Berusaha dekat
Aktivitas mereka berhenti saat dering ponsel Jendra terdengar. Keduanya cepat membuat jarak.
"Maaf, aku terima telepon dulu." Dia mengambil ponsel dari kantong celananya. "Sebaiknya kamu tidur. Sudah malam," titahnya memberi isyarat agar Renata masuk.
Menyelipkan rambut ke belakang telinga, Renata mengangguk lalu melangkah meninggalkan Jendra di balkon.
"Besok ya? Oke, mungkin aku agak telat karena perjalanan dari puncak ... you know lah!"
"Aku tahu, tapi kamu yakin istrimu nggak apa-apa kamu tinggal saat bulan madu?"
Jendra terdiam mendengar ucapan Devan. Dia lalu membalikkan tubuhnya melihat ke dalam. Tampak Renata tengah bersandar di ranjang dengan ponsel di tangannya. Kejadian intim beberapa saat yang lalu membuatnya tersenyum tipis.
"Jendra?"
Seolah tak mendengar, Jendra masih menatap sang istri.
"Jendra! Oke, sepertinya kamu memang nggak bisa diganggu! Fine, meeting biar aku handle, Bos!"
Sambungan telepon ditutup oleh Devan. Tersadar rekannya mengakhiri obrolan, Jendra menaikkan alisnya kemudian melangkah masuk lalu menutup rapat pintu balkon.
Jendra meletakkan ponsel di meja kecil yang terletak di sebelah ranjang lalu duduk di samping Renata.
"Sudah selesai teleponnya?"
"Sudah."
Renata mengangguk lalu tersenyum.
"Lagi ngapain? Sepertinya serius banget?"
"Browsing resep masakan," jawabnya dengan wajah merona. "Biar aku bisa masak."
Jendra tertawa kecil. Dia lalu merebahkan tubuhnya di ranjang.
"Jadi, besok kamu mau masak apa?"
Renata tersenyum geli. Seraya menggeleng dia berkata, "Aku bingung, mungkin dimulai dari yang paling mudah dulu ya."
"Apa?"
"Sayur bayam! Kamu suka, kan?"
Jendra mengedikkan bahu kemudian mengangguk.
"Kita lihat sepintar apa kamu besok!" ujarnya sambil tertawa. "Sudah malam, kamu nggak tidur?"
Renata menoleh ke samping, tepat saat Jendra juga tengah menatapnya.
"Tumben? Biasanya lagi serius di depan laptop!"
Menaikkan alisnya Jendra menarik selimut.
"Ya aku sedang mencoba mengikuti jadwal hidupmu."
Perempuan berpiyama marun itu terkesan dengan jawaban sang suami. Dia lalu bergegas meletakkan ponsel ke meja, menarik selimut dan berkata, "Selamat malam. Terima kasih sudah mau beradaptasi dengan jadwal hidupku!"
Jendra menaikkan alisnya kemudian tersenyum.
"Renata."
"Ya?"
"Aku rasa, kita memang harus saling mengenal lebih dekat sebelum ...." Jendra membiarkan kalimatnya berhenti.
"Sebelum apa?"
"Sebelum aku meminta hakku dan ...."
Kalimat terakhir Jendra membuat Renata berdehem. Desir dadanya kembali terasa. Entah kenapa, ada rasa nyaman berada dalam satu ranjang dengan pria itu.
Dia tahu itu adalah sebuah keniscayaan karena tidak mungkin suaminya berbuat hal buruk atau sesuatu yang menyakitkan. Bagi Renata, pengalaman malam ulang tahun Dea masih menyisakan rasa trauma yang mendalam.
Mengingat kejadian malam setahun yang lalu mendadak Renata merasa hambar. Ketakutan kembali memenuhi hatinya.
Ketakutan tak diterima oleh masyarakat, ketakutan jika Jendra mengulik masa lalunya, juga kekhawatiran jika Jendra benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya sudah menimpanya.
Jika Jendra tahu, apakah dia masih bersikap manis seperti saat ini? Tetapi bukankah orang tua Jendra menurut Mama dan papanya sudah mengetahui kondisinya yang sebenarnya?
Mendadak Renata ketakutan, ingatannya kembali ke masa silam. Ke masa di mana dia dilecehkan dan direndahkan oleh kalimat Sena. Ketakutan tidak akan bisa diterima oleh siapa pun. Tampak matanya berkaca-kaca, dadanya mulai naik turun menahan sesak yang kembali hadir. Rasa takut tak diperlakukan baik memenuhi pikirannya.
Setitik air mata jatuh di pipi membuat Jendra mengerutkan keningnya.
"Kamu nangis?" Cepat dia bangkit mengusap lembut pipi Renata. "Kenapa? Apa ucapanku ada yang salah?" tanyanya khawatir.
Cepat dia menggeleng, meski air mata kembali jatuh.
"Renata, maaf kalau ... oke, kita istirahat sekarang."
Jendra terlihat sangat cemas. Dia lalu merapatkan selimut ke sang istri.
"Maaf," bisiknya mengulang.
"Aku yang harus minta maaf," tutur Renata. "Jangan pergi!" pintanya saat melihat sang suami hendak bangkit dari ranjang.
Jendra tersenyum.
"Aku mau ambil air minum untukmu."
"Nggak perlu. Please! Temani aku."
Mengernyitkan kening, Jendra kembali ke tempatnya semula.
"Oke, aku temani kamu. Sekarang tidurlah! Aku nggak ke mana-mana," ucapnya seraya mengusap lembut puncak kepala sang istri.
Renata menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk dan memejamkan mata. Sejenak kemudian napas Renata tampak teratur, Jendra tahu istrinya itu sudah tertidur pulas.
Satu sungging senyum tercetak di bibirnya. Dia tidak tahu kenapa Renata tiba-tiba menangis, tetapi dia lega karena sang istri terlihat nyaman bersamanya.
**
Lagi-lagi Renata terlambat bangun. Hal itu membuatnya kesal karena dia harus kembali merasa tidak enak hati kepada Rajendra.
"Jam tujuh! Oh, God!" keluhnya seraya menepuk dahi.
Satu pesan masuk di ponsel.
[Ada meeting penting! Mungkin aku nggak pulang ke villa. Nanti kamu siap-siap. Beresin semua baju kamu. Pak Slamet akan mengantar kamu pulang ke rumah kita!]
"Rumah kita?" gumamnya.
Ketukan di pintu dan suara Sundari mengurungkan niatnya untuk membalas pesan Jendra.
"Iya, Bik?" sahutnya beringsut dari ranjang.
"Pagi, Non, maaf mengganggu." Bik Sundari mengangguk sopan saat pintu dibuka.
"Nggak apa-apa, Bik. Ada apa?"
"Suami saya sudah siap. Tadi Mas Jendra bilang setelah sarapan, Non diminta segera bersiap-siap untuk kembali ke kota diantar suami saya, Non."
Renata menarik napas dalam-dalam. Sedetail dan secermat itu suaminya. Baru saja dia bangun dan membaca pesan, bahkan dia belum mandi, tetapi sopir sudah tersedia untuk membawanya pulang ke rumah mereka. Rumah mereka? Dia bahkan tidak tahu seperti apa rumah yang akan dia tinggali nanti.
"Non?"
"Oh iya, Bik. Saya mandi dulu ya. Setelah itu siap-siap."
"Iya, Non. Jangan lupa! Mas Jendra berpesan supaya Non sarapan dulu."
Kembali dia menarik napas dalam-dalam.
"Iya, Bik."
**
Rajendra tersenyum setelah mendapat pesan dari Pak Slamet. Pria paruh baya itu mengatakan jika Renata sudah sampai di rumah.
"Senyum-senyum sendiri, tahu yang pengantin baru!" Devan duduk tepat di sebelah Jendra.
Sore itu mereka baru saja selesai meeting bersama beberapa klien.
"Jadi gimana rasanya jadi suami?" Kembali Devan meledeknya.
"Rasanya?" Jendra mengedikkan bahu lalu menggeleng. "Biasa aja!"
"Hah? Biasa aja? Punya istri cantik seperti Renata biasa aja? Kamu normal, kan?" cecar Devan.
Jendra mendelik tajam mendengar kelakar rekannya.
"Sinting!" celetuknya seraya terkekeh.
"Dev!"
"Ya?"
"Kamu bisa nggak hubungi Ranu?"
Mata Devan menyipit.
"Untuk apa? Bukannya Ranu udah setahun lalu babak belur kamu tinju?"
Jendra menyeringai. Sesaat dia teringat peristiwa itu. Ranu menurutnya yang tahu kejadian sebenarnya, tetapi pria itu berkelit enggan menceritakan padanya.
"Kamu masih penasaran?" tanya Devan. "Untuk apa?"
"Nggak ada, cuma penasaran aja."
Devan menyeringai. Sambil menyalakan rokoknya dia berkata, "Kamu masih kepikiran perempuan itu?"
Kepulan asap rokok Devan mengudara.
"Untuk apa? Apa untungnya buatmu? Kalau ketemu apa kamu mau kawinin dia juga?"
Jendra menggeleng. "Itu nggak penting! Aku hanya curiga."
"Maksudmu curiga? Curiga pada siapa?"
Jendra terdiam. Dia menarik napas dalam-dalam. Entah kenapa pikirannya menerawang pada kejadian malam itu. Terlebih tanpa sengaja dia mendengar obrolan Renata di telepon yang bercerita tentang Dea.
Jendra tidak mengenali siapa Dea, dia malam itu datang atas undangan Ranu yang juga teman dekatnya kala itu. Mendengar obrolan sang istri, kembali dirinya terusik untuk menelisik apa yang sebenarnya terjadi pada malam setahun yang lalu itu.
**
Haloo, maaf rasa ngaret dari janjiku. Maaf banget. Terima kasih masih tetap setia.
Salam hangat 🤗
Colek jika typo ya 😅😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top