Bertemu Renata
"Maksud kamu?" Renata membalikkan badannya.
Sena menghela napas lega. Meski mungkin belum tentu perempuan itu memercayainya.
"Iya. Apa yang terjadi malam itu, sudah direncanakan oleh seseorang!"
Renata terlihat berpikir, bukan dia tak tahu soal itu. Sebenarnya dia juga pernah mempunyai pemikiran yang sama dengan Sena, tetapi dia tidak memiliki cukup bukti. Lagipula, jika memang ada yang merencanakan, untuk apa? Dia merasa tidak pernah berseteru dengan siapa pun.
"Kita cari tempat duduk yang nyaman? Gimana?"
Lagi-lagi dia tampak berpikir. Akan menjadi masalah jika sampai Jendra tahu dia berkeliaran dan duduk bersama Sena yang Jendra tahu siapa Sena di masa lalunya. Akan tetapi, bukankah hak itu akan lebih mudah baginya untuk menggugat cerai? Lalu jika pun iya, bagaimana dengan anak yang ada di rahimnya?
Renata menggeleng cepat.
"Maaf, Sena. Aku nggak nggak ada waktu. Makasih!" Kembali dia membalikkan badan dan melangkah meninggalkan Sena.
"Renata, tunggu!" Seperti tak ingin menyia-nyiakan kesempatan bertemu Renata ebih dekat dengan perempuan itu, Sena berlari mengejarnya.
"Apa yang terlintas di kepalamu jika otak ini semua adalah Ranu dan ...."
"Dan? Dan siapa?" Langkah Renata melambat, di menoleh dengan mata menyipit.
Pria yang pernah dia cintai itu pernah mencampakkannya seperti sampah dan sekarang Renata sama sekali tidak merasakan getaran yang dulu selalu hadir saat mereka berdua. Namun, dia bisa menangkap tatapan lembut dari sorot mata Sena.
"Dan siapa, Sen?" tanyanya mengulang.
Mengedikkan bahu, Sena tersenyum tipis.
"Entahlah! Tapi aku pikir Ranu yang paling tahu soal ini. Kamu pasti kenal Ranu, kan?"
"Bukannya dia teman baik Dea?"
Sena menaikkan alisnya. Selintas matanya terlihat sesal saat Renata menyebutkan nama istrinya. Meski tidak mungkin, tetapi ingin sekali rasanya dia berteriak mengatakan jika betapa menyesalnya dia telah percaya begitu saja cerita soal Renata malam itu. Akan tetapi, semuanya tentu akan sia-sia, bukan?
"Renata, aku pikir ... Dea yang paling punya peran penting malam itu!"
Seperti tak terkejut, Renata hanya tersenyum miring lalu menggeleng. Sejenak dia diam dan berpikir, untuk apa lagi semuanya dibongkar? Toh semua sudah terjadi dan terlambat. Toh pada akhirnya suaminya pun berpikir dirinya perempuan hina.
Sekarang ada yang harus lebih dipikirkan. Mungkin menepi di villa peninggalan eyang dari garis papanya adalah pilihan terbaik agar tidak disibukkan oleh hal-hal yang menurutnya kini sudah tak lagi penting untuk dibahas.
"Aku nggak peduli apa pun lagi sekarang, Sena! Meski sebenarnya aku akhirnya berpikir seperti itu, tapi ...." Renata menggeleng dan menarik napas dalam-dalam. "Aku hargai inisiatifmu untuk membongkar apa yang terjadi malam itu, makasih, tapi aku nggak tertarik! Aku capek!"
Dia lalu mengayun langkah meninggalkan Sena.
"Renata kamu mau ke mana?" tanyanya kembali mengejar perempuan yang tengah hamil muda itu.
"Hei? Kamu kenapa? Ke mana pun aku pergi, bukan urusanmu!"
Renata mengambil ponsel di tasnya membuka aplikasi untuk memesan taksi online.
"Kamu nggak dijemput Jendra?"
Tangan Renata berhenti menari di ponselnya, Mata indah perempuan itu menyipit heran. Dia merasa Sena sudah sangat ingin tahu kehidupannya.
"Sori, aku mungkin terlalu ingin tahu soal dirimu. Sori, Renata!" ucapnya setelah sadar jika Renata sudah mulai terganggu dengan dirinya.
Kembali perempuan berkulit bersih itu menatap ponselnya dan memainkan jemari di sana.
"Aku tahu siapa Jendra belakangan ini, Ren!" ujarnya tanpa menoleh seolah akan tahu apa reaksi perempuan di sebelahnya itu.
"Untuk apa kamu kepo soal Jendra? Apa urusannya dengan hidupmu?" ucapnya ketus.
Sena menarik napas dalam-dalam. Dia tahu perempuan itu tak lagi merasa nyaman. Percakapan telepon antara Dea dengan Ranu yang tak sengaja dia dengar membuat Sena merasa ada banyak hal yang sebenarnya harus diungkap pada hidup Renata. Tentu saja dia tak boleh gegabah dalam hal ini.
"Nggak ada, cuma aku ...."
"Taksiku udah datang!" potongnya lalu bergegas meninggalkan Sena.
"Oke, keep and touch, Renata!" tuturnya melambaikan tangan dengan wajah kecewa.
'Mungkin kamu akan terus menghindar, Renata, tapi aku akan terus mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya pada malam itu termasuk apa benar jika Jendra pelakunya!" batinnya pria itu seraya melangkah malas kembali masuk ke rumah sakit. Salah satu karyawannya mendadak pingsan dan dia harus bertanggungjawab atas itu.
**
Jendra semakin frustrasi, dia sama sekali tidak bisa bekerja dengan baik. Semesta seperti sedang mempermainkannya dirinya. Rekam kejadian setahun yang lalu kembali muncul bersama dengan potongan-potongan peristiwa ketika dia mengatakan jika Renata bukan perempuan baik-baik.
"Sial! Bodoh! Aku bodoh! Kenapa aku bahkan tidak bisa mengingat jika dia ... aargh!" Jendra meninju tembok kamarnya. "Renata, kamu di mana sekarang!" imbuhnya.
Pria yang masih mengenakan baju kantor itu mondar-mandir di kamarnya. Tak ada satu pun petunjuk yang bisa memberi titik terang keberadaan isterinya.
"Satu-satunya cara untuk tahu adalah kamu menemui orang tua Renata atau teman dekatnya!" Perkataan papanya terngiang.
Membuang napas dari mulut, dia segera keluar dari kamar. Menyambar kunci mobil, pria bertubuh atletis itu segera meluncur ke kediaman Renata.
"Aku nggak peduli jika mereka mengatakan aku pengecut!" gumamnya.
Hari masih sore saat Jendra melajukan mobil membelah jalanan. Seperti biasa, kemacetan yang diciptakan kendaraan bermotor selalu menjadi acara rutin setiap sore. Volume kendaraan yang semakin bertambah membuat seolah sulit untuk terurai.
"Sial!" umpatnya memukul kemudi.
Hampir lima belas menit dia menunggu, sementara mobil bergerak bak siput. Tak mungkin dia kembali memutar balik kendaraannya karena sudah kepalang tanggung.
Tak ada pilihan lain, dia memang harus menambah kesabaran agar bisa keluar dari kemacetan itu. Membunuh jemu, Jendra menyalakan lagi di tape mobilnya. Setidaknya bisa sedikit mengalihkan penat dan bosan.
Bersama kesulitan, pasti akan ada kemudahan, dan sore itu Tuhan seolah memberi bukti kepada pria itu. Saat Jendra menoleh ke mobil yang baru saja maju menjajarinya, sejenak keningnya berkerut dengan mata menyipit.
"Renata?" gumamnya melihat perempuan yang belakangan ini hampir membuatnya gila.
Tanpa berpikir panjang, dia segera keluar dan meminta sopir untuk membuka pintu mobil. Apa yang dilakukan Jendra sempat membuat sopir taksi itu menolak. Pria paruh baya di balik kemudi itu sangat terkejut dan hampir meminta tolong sekeliling karena menyangka Jendra adalah rampok.
"Saya orang baik- baik jika Bapak menuruti permintaan saya, Pak. Dia isteri saya, tolong buka pintunya!" Jendra terlihat berang.
Sementara Renata tak kalah terkejut. Pria yang diam-diam telah memenuhi pikiran dan hatinya itu berdiri tepat di luar jendela taksi yang dia tumpangi.
"Maaf, Bu. Apa benar dia suami Ibu?" tanya sopir panik.
Menarik napas dalam-dalam, dia mengangguk.
"Jadi bagaimana, Bu? Apa saya ikuti saja perintah suami Ibu atau bagaimana?"
"Renata, kita pulang. Please!" pintanya dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan oleh Renata. "Kita bicarakan semuanya nanti. Sekarang kita pulang ya," mohonnya lagi.
Terdengar ada permohonan yang begitu dalam dari suara Jendra membuat Renata tak sanggup menolak. Dia lalu meminta sopir untuk membuka pintu mobil dan memohon maaf jika dia harus turun di tempat itu.
Jendra menghela napas lega, dia lalu mengeluarkan dia lembar uang kertas berwarna merah untuk diberikan kepada sopir taksi itu. Sementara kemacetan perlahan mulai terurai. Suara klakson bersahutan memberi isyarat agar Jendra segera memajukan mobilnya.
"Masuk, please!" Jendra membukakan pintu untuk isterinya. Dia mengabaikan suara pengendara mobil di belakangnya yang berteriak kesal karena dia dianggap berulah.
Tak ingin terjadi keributan yang lebih, Renata segera masuk. Sementara tak lama kemudian Jendra sudah duduk di balik kemudi dan memasang sabuk pengaman. Sejenak dia menoleh melihat sang isteri. Tanpa bicara dia mendekat memasangkan sabuk pengaman untuk Renata.
"Biasakan tertib, itu akan menyelamatkanmu," tuturnya lembut dan sangat dekat.
Aroma parfum Jendra kembali mengisi indra penciumannya. Aroma maskulin yang begitu akrab di ingatannya kini kembali menyapa.
"Makasih, buruan jalan!" titahnya mengalihkan rasa panas di wajah karena baru saja gak berjarak dengan Jendra, selain itu merasa tak nyaman dengan teriakan pengendara di sekelilingnya.
Jendra tak menjawab, dia hanya tersenyum tipis kemudian menginjak gas lalu mobil perlahan berjalan meninggalkan kemacetan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top