Analisis Sena

Sudah lama Renata tak membuat tulisan di blog-nya. Pagi itu selepas Jendra kerja, dia kembali menulis dan membagikan foto-foto kegiatan bakti sosial beberapa waktu lalu.

Pernikahan yang sudah berjalan hampir tiga bulan itu terkadang membuat Renata lelah jika harus berhadapan dengan keangkuhan Jendra, tetapi dia akan merasa nyaman jika pria itu sedang berada di mood terbaiknya.

Seperti malam tadi, entah apa yang ada di kepala pria itu hingga mereka kembali memadu kasih di ranjang setelah beberapa hari kondisi pernikahan mereka seperti perahu yang terombang-ambing. Mengingat manisnya perlakuan Jendra, membuat Renata tersipu.

Ada perasaan rindu jika Jendra tak segera pulang, terkadang dia merasa ingin berada di dekat sang suami meski jantungnya berdetak hebat. Pelan, tetapi pasti Renata merasa mulai mencintai pria itu, tetapi dia tidak tahu seperti apa yang dirasakan Rajendra.

Tiba-tiba muncul ide untuk membuat masakan spesial malam nanti saat Jendra pulang. Seperti yang pernah dikatakan oleh asisten rumah tangga Jendra saat di villa, Jendra itu sebenarnya tidak rewel dalam hal makan, asal ada sayur maka dia akan menikmati makanan itu dengan senang hati.

"Sup ayam, tempe goreng dan kerupuk udang! Menu yang menarik untuk malam ini!" gumamnya.

Menarik napas dalam-dalam, dia bangkit menuju dapur melihat apa saja yang tidak ada di lemari es.

**

Ranu menyeringai mendengar keluh Dea. Perempuan di depannya itu kesal karena Sena tidak pernah punya waktu untuknya. Menurut Dea suaminya itu selalu disibukkan dengan urusan pekerjaan.

"Bahkan waktu untuk bulan madu aja sampai detik ini masih belum ada pembicaraan!" keluhnya dengan wajah kesal.

"Kalau baru beberapa bulan aja kamu udah merasakan seperti ini, bagaimana di waktu-waktu selanjutnya? Mungkin kamu bakal dianggurin sepanjang waktu!" ejeknya masih dengan seringai.

Dea mendelik tajam mendengar ucapan Ranu.

"Aku serius, Ranu! Aku minta kamu bisa mencarikan jalan keluar!" sentaknya.

Ranu mengedikkan bahu.

"Itu urusan domestik rumah tanggamu, Dea! Sebagai istri seharusnya kamu bisa mendapatkan perhatian suami. Apalagi ini baru juga hitungan bulan!"

Perempuan berambut pendek itu mendengkus lalu meneguk habis minuman ringannya. Ranu tertawa kecil melihat tingkah Dea. Perempuan ambisius itu terlihat sedang tidak baik-baik saja padahal semua yang dia inginkan satu per satu sudah terwujud, tetapi dia masih terlihat gelisah.

"Kamu pernah berpikir mengundang Renata kemarin adalah satu kesalahan?" tanya Ranu.

Dea memandangi Ranu tajam.

"Maksudnya?"

Pria berkemeja marun itu kembali menyeringai. Dia tahu gesture Sena saat bertemu kembali dengan Renata, dia juga tahu jika belakangan ini Sena berusaha mencari tahu tentang mantannya itu, dan tentu saja kejadian tahun lalu yang membuat hubungan mereka berantakan.

Ranu tertawa mengejek.

"Dea, segala sesuatu yang diawali dengan keburukan, akan berimbas pada akhirnya nanti!"

Kali ini Dea menyeringai lalu tertawa lebar.

"Sok bijaksana! Makan apa kamu pagi ini?" ejeknya.

"Kamu nggak berpikir jika kembali bertemunya Sena dengan Renata akan berimbas pada kembalinya perasaan suamimu itu kepada mantannya lagi?" Ranu balik bertanya dengan ekspresi masih mengejek.

"Sok menganalisis! Kamu nggak tahu seperti apa Sena ke aku. Dia nggak bakal berpikir seperti yang kamu pikirkan, Ranu! Emangnya dia kamu apa? Nggak bisa lihat perempuan cantik sedikit udah ke mana-mana pikiran!" elaknya meski hatinya terbakar.

Ranu terkekeh. Dia kenal bagaimana Dea, dia juga tahu jika ucapannya barusan akan membuat perempuan itu gelisah.

"Kamu yakin Sena cinta sama kamu? Bukannya ini semua akal-akalan kamu untuk semakin membuat Renata patah? Ini semua kamu lakukan hanya untuk membalas dendam, kan?"

"Kamu bisa diam nggak! Berhenti berkata seperti itu! Kejadian malam itu memang ideku, tapi Sena memang mencintaiku, Ranu!" sentak Dea. Kali ini emosinya semakin tersulut.

Mendengar jawaban Dea, justru membuat Ranu semakin terbahak.

"Ck! Ayolah, Dea, aku tahu apa yang ada di pikiranmu. Kamu hanya ingin kaya dan mengembalikan kejayaan orang tuamu, kan? Padahal kamu pasti tahu kenapa papamu dulu sempat berseteru dengan papa Renata karena apa, kan? Itu karena papamu sudah menipu, kan?"

"Cukup, Ranu! Sekali lagi kamu singgung urusan itu, aku bocorkan semua kelicikanmu ke Jendra!" ancamnya.

"Lalu, apa aku juga tidak bisa berbuat hal yang sama ke Jendra? Bahkan aku bisa melakukan ke Sena sekaligus!" Tawa Ranu kembali terdengar bahkan kali ini lebih keras seolah hendak memecahkan gendang telinga Dea.

"Sial! Kamu ternyata sangat licik!" umpat Dea.

"Aku licik itu karena kamu mengajakku, Dea!" Kembali Ranu tertawa.

Merasa dipojokkan, perempuan bercelana denim itu terlihat semakin kesal.

"Ranu dengar! Aku memintamu ke sini untuk mencarikan jalan keluar bukan mendengar komentarmu tentang hidupku!"

Pria di depannya itu mengembuskan asap rokoknya.

"Sebaiknya kamu curigai suamimu."

"Apa?"

Menaikkan alisnya Ranu berkata, "Karena suamimu saat ini sedang berusaha mendekati Renata!"

**
"Aku bantu bawa ke mobil?" tawar seseorang yang tiba-tiba muncul di sampingnya. "Seharusnya kalau belanja sebanyak ini kamu bawa pembantu, Ren!"

Wajah Renata pias seketika melihat pria di sampingnya itu. Sena masih tetap memiliki tatapan seperti dulu dan senyum itu! Tetap seperti dulu juga.

"Nggak perlu!" tolaknya mulai bmendorong trolly yang penuh menuju parkiran.

Namun, tangan Sena menahan mereka.

"Ini berat, Ren. Biar aku bantu. Tenang, aku hany ingin menolong. Karena kebetulan aku juga bagi dari kantor teman di dekat sini," paparnya lalu mengambil alih mendorong trolly dari tangan Renata.

"Kamu nggak perlu seperti ini, Sena! Lagian untuk apa?"

"Aku senang melakukannya untukmu!"

"Tapi aku nggak nyaman dan nggak senang!" tukasnya.

Sena tersenyum manis. Satu tahun telah begitu banyak mengubah Renata. Dan satu tahun itu dia telah membuat perempuan itu menangis.

"Maafkan aku, Ren."

Renata menutup bagasi lalu mengedikkan bahu.

"Aku harus pulang! Terima kasih," pungkasnya lalu gegas masuk ke mobil.

Renata menarik napas lega saat baru saja sampai di rumah sepulang dari supermarket. Perempuan itu membuka bagasi menurunkan barang belanjaan keperluan untuk satu bulan.

Jendra benar, dirinya memang harus belajar terus untuk menyesuaikan diri. Hidup tanpa ada asisten rumah tangga memang butuh kerja keras. Karena hampir seluruh hidupnya selalu ada yang membantu. Kini mau tidak mau dia harus belajar perlahan untuk bisa melakukan apa-apa sendiri.

"Renata!" panggilnya seseorang dari luar pagar.

Terkejut dengan munculnya pria masa lalunya, Renata mengembuskan napas kasar. Seolah tak peduli, dia kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Renata, tunggu! Aku mau bicara!" serunya saat perempuan yang mengenakan rok panjang berwarna biru gelap itu hendak masuk rumah membawa belanjaannya.

"Mau kamu apa sih!" ketusnya.

"Aku mau kita bicara empat mata."

"Nggak perlu!"

"Tapi aku merasa perlu! Ini tentang kamu dan aku!"

Renata menoleh dengan mata menyipit.

"Tentang kamu dan aku? Apa aku nggak salah dengar?" tanyanya memindai Sena.

"Nggak! Sama sekali kamu nggak salah dengar. Aku merasa kita berdua dijebak!"

Kali ini keningnya mengernyit lalu kemudian tertawa kecil.

"Dijebak ya? Dan kamu baru datang setelah satu tahun untuk mengungkapkan semuanya?" ejek Renata. "Basi, Sena! Basi!"

"Renata, please! Aku serius soal ini. Aku merasa Dea sudah merencanakan semuanya untuk kita!"

Tak ingin mendengar apa pun lagi dari mulut Sena, dia menggeleng cepat kemudian tersenyum sinis.

"Dea sudah jadi istrimu. Baik dan buruknya seharusnya kamu bisa terima, jadi berhenti mengulik semua yang sudah terjadi. Aku dan kamu adalah masa lalu, dan akan selalu begitu. Selamat siang!" pungkasnya kembali membalikkan badan melangkah ke rumah.

"Tapi aku nggak bisa menghilangkan rasa sesalku waktu itu, Renata! Kamu boleh benci aku, tapi itu semua aku lakukan karena terbakar emosi dan cemburu!" Suara Sena terdengar keras.

Meski sempat ingin kembali berbalik menghadap Sena, tetapi otaknya menolak. Saat ini yang di kepalanya adalah bagaimana bisa membuktikan kepada Jendra bahwa dia bisa menjadi istri yang baik seperti yang dia inginkan meski pria itu terkadang masih meragukan dia tentang masa lalunya.

Menutup pintu rapat-rapat, Renata meletakkan beberapa kantong belanja ke meja dapur. Sementara di luar, suara Sena tak lagi terdengar. Samar dia mendengar deru mobil menjauh.

**

Sena memukul kuat kemudinya. Setelah beberapa hari mencari tahu akhirnya dia bisa menemukan tempat tinggal Renata. Bukan hal yang mudah untuk tahu alamat perempuan yang pernah mengisi hatinya itu. Dia harus berhari-hari bertukar pikiran dengan Rico rekannya yang juga suami dari Karina.

Selain itu dia juga mencoba menghubungkan semuanya dengan kehadiran Dea yang sekaligus menjadi istrinya. Mengingat Dea, Sena mengembuskan napas kasar. Sungguh! Jika boleh memilih, dia tentu lebih memilih tidak menikah dengan perempuan itu. Akan tetapi, dia dan Dea sudah melakukan hal yang tidak seharusnya malam itu di bawah pengaruh minuman yang mereka konsumsi.

"Maafkan aku, Renata, aku berharap Jendra memperlakukan kamu dengan baik. Karena jika tidak ... aku pastikan dia akan menyesal."

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top