2.3
Aku bersandar di depan pagar rumah milik Hestia sambil menunggu Daniel membereskan baju dan mainan miliknya.
Pertama-tama, aku benar-benar lupa apa tujuanku. Bukankah tadi aku hanya ingin membeli bahan makanan dan obat untuk Irin? Kenapa menjadi aksi mengadopsi satu bocah lagi?
"Aghhhhh!" teriak ku sambil mengacak-acak rambut merahku.
"Kenapa dengamu?"
Aku menoleh ke sumber suara dan melihat Daniel yang membawa tas punggung dan memeluk sebuah boneka beruang.
Hah? Kenapa anak ini? Bukankah ini terlalu lucu?
Bertahanlah, hatiku.
"Kalau begitu, Nona Lilya. Tolong jaga Daniel," ucap Hestia.
Anak-anak lainnya pun menangis setelah Hestia mengucapkan kalimat tadi.
"Ada apa dengan kalian? Daniel bisa mengunjungi tempat ini kapan saja. Kalian menangis seakan dia akan mati," ucap Hestia sambil terkekeh dan anak-anak lainnya pun menangis semakin kencang.
"Nenek! Jangan berkata seperti itu! Huaaaa!"
"Nenek! Ucapan itu do'a!"
"Nenek kenapa tega berucap seperti itu! Huaaaa."
Kulihat Hestia membujuk anak-anak dengan panik. Melihat pemandangan itu, aku pun terkekeh.
"Kalau begitu, kami pergi. Dan kalian para bocah," ucapku kepada anak-anak yang kini menatapku dengan mata sembab mereka, "Daniel tidak akan mati selama aku ada, jadi jangan khawatir. Hohoho!" sambungku.
"Janji ya?"
"Nona harus berjanji!"
Aku menganggukkan kepalaku.
.
.
.
.
.
.
Aku dan Daniel kemudian berjalan menyusuri jalan yang agak berair di depan kami. Kemarin malam hujan ternyata.
Aku kembali teringat ucapan Hestia.
"Nona Lilya. Perlu anda ingat, Daniel adalah salah satu anak haram dari bangsawan di negeri seberang sana."
"Ibunya dulu seorang pelayan di rumah bangsawan tersebut. Kudengar salah satu anak dari bangsawan itu yang menidurinya. Dan anak itu, ayah kandung Daniel, kini mengembara dari wilayah ke wilayah. Saya mohon Nona untuk berhati-hati jika Nona menemuinya."
"Dan katanya, ayah Daniel merupakan penyihir yang hebat. Tolong ingat hal ini."
"Uwah!"
Aku menoleh ke belakang dan melihat pemandangan di mana Daniel sedang tengkurap di atas tanah yang agak berair.
Oh, tidak.
Aku segera berlari menghampirinya lalu membantunya berdiri sambil membersihkan wajahnya yang berlumpur.
"Kau tidak apa-apa? Kepalamu tidak sakit kan?" ucapku.
Daniel mengangguk.
Aku menghela nafas lega. Dasar kau jalan setapak!
"Cense," panggilku.
Daniel memiringkan kepalanya, bingung dengan nama yang tiba-tiba keluar dari mulutku.
[Ada apa, Tuanku?]
"Woah! Ada suara yang berbicara di dalam pikiranku!" ucap Daniel.
Hm hm. Aku paham reaksimu, bocah.
"Tolong angkat dia dan ikuti aku. Terserah bagaimana kau mau mengangkatnya."
Dengan kata lain, "Gendong dia untukku."
Kulihat baju zirah besi di sampingku mematung. Sesaat kemudian, dia pun menggendong Daniel di atas bahunya.
Bagus bagus. Tolong bantuannya untuk di masa depan ya, Cense.
Aku kembali berjalan, mengabaikan teriakan Daniel yang terkagum-kagum dengan Cense.
Heboh sekali.
Terlihat sebuah rumah yang agak besar dan juga memiliki pekarangan yang luas di depan kami. Jangan tanya siapa yang membangun rumah ini. Ini semua ide Serin.
Aku membuka pintu. Serin menyambutku dengan pemandangan dan ucapan yang seperti biasa.
"Kau telat, bocah," ujarnya sambil mengibas-ngibas kan ekornya ke lantai. Serin mendongak lalu berucap, "Kenapa kau memungut satu bocah lagi?"
Aku hanya mendengus dan mengabaikannya.
Dasar kucing Laknat.
"Kucingnya bicara!" ucap Daniel sambil melompat turun dari bahu Cense. Lalu langsung mengelus kepala Serin.
[Nnnnggggg aku tidak suka bocah ini.]
Ya, ya. Setidaknya hapus wajah cengengesanmu sebelum berucap seperti itu. Aku tahu kau suka ketika perutmu di elus-elus.
Irin menghampiriku dengan semangat.
"Nona! Nona! Kau tahu? Kau tahu? Tadi Serin tidur di pangkuanku! Hehe!"
[Nnnnggggg iki tidik siki bicih ini. Nyinyinyi.]
"Benarkah? Apa Serin tidur dengan pulas?" tanyaku dengan senyuman lebar.
"Un! Un! Sampai tubuhnya terlentang!" jawab Irin masih dengan semangat yang sama.
Hah! Kucing jadi-jadian satu itu suka tidak jujur dengan perasaannya.
Aku berjalan menuju dapur, mengabaikan Serin yang bertengger di punggungku. Sialan, Kuku jari kucing jadi-jadian ini menancap ke punggungku. Sangat dalam.
"Irin, tolong tunjukkan Daniel di mana kamar mandinya. Daniel, ikuti Irin," ucapku.
"Ah, aku lupa. Irin, dia Daniel. Daniel, dia Irin. Sekarang pergi," lanjutku sambil mengeluarkan belanjaanku tadi.
Aku bersyukur ada sihir di dunia ini. Jika tidak, entah bagaimanakah aku menyimpan bahan makanan ini.
Aku mengeluarkan beberapa roti, rempah-rempah, dan sayur yang tadi kubeli dan kumasukkan ke dalam kantong yang sudah diberi mantra penyimpanan. Lalu pergi mengambil sisa hasil buruan dari kotak yang sudah kuberi sihir pendingin.
Hm. Manusia di dunia ini sudah berkembang. Bahkan mereka punya keran air. Tentu saja jauh berbeda dengan yang ada di Bumi. Semuanya terbuat dan diaktifkan dengan sihir di sini. Kau tidak bisa sihir? Tidak masalah, ada benda yang bisa diaktifkan tanpa sihir.
Aku selesai menata makanan di meja makan ketika Daniel sudah selesai mandi dan Irin selesai menyisir bulu Serin yang tiap hari selalu rontok.
Aku menatap rambut Daniel yang belum kering, lalu handuk yang sedang di pegang Daniel, dan terakhir, wajah Daniel yang mengatakan, "Tolong keringkan rambutku."
...dan beginilah cerita bagaimana bebanku bertambah setelah kucing jadi-jadian itu datang di hidupku.
Aku mengeringkan rambut Daniel sambil mengeluh di dalam hati. Ya. Hanya Irin si anak baik yang paling kusayangi.
Irin duduk di atas kursi yang terletak di depan ku dan di samping Serin. Sementara Daniel duduk di sampingku.
Akhirnya, ketenangan. Saat mereka menghadapi makanan, barulah ada ketenangan.
"Irin, minum ini," ucapku sambil menyodorkan secangkir ramuan yang tadinya sudah kutumbuk sampai halus, lalu kularutkan ke dalam air gula.
Irin menatap cangkir di depannya dengan bingung.
"Kata Serin kau sering batuk," jelasku singkat sambil mengambil porsi tambahan untuk Daniel. Bocah satu ini memang... dia tidak makan setahun atau apa? Ini sudah yang ke-5 kalinya.
Irin dengan patuh mengambil cangkir di hadapannya, lalu menenggaknya sampai habis.
"Enak?" ucapku
Irin mengangguk, "Un. Manis," jawabnya.
.
.
.
.
.
.
Aku berjalan menuju kamarku di lantai satu setelah naik ke lantai dua, mengantar Daniel dan Irin ke kamar mereka masing-masing.
Serin tidur di kamarku hari ini. Sungguh langka, setelah dia pergi begitu saja dan tidur di kamar Irin setiap hari.
"Bocah kesatu harus tidur," ucapnya tiba-tiba.
"Siapa bocah kesatu?"
"Irin. Daniel si bocah kedua."
Hm... terserah dia saja.
Aku berbaring di kasurku. Tepat sebelum kantuk mengambil kesadaranku, aku teringat sesuatu.
"...uang kita hampir habis," ucapku.
"..."
"..."
"...kalau begitu, kerja sana!"
"Shh!! Shh!! Jangan berteriak!" bisikku.
Ah. Besok aku harus bekerja menjadi petualang lagi...
.
.
.
.
.
.
Terima kasih telah membaca! ^^
Silahkan vote dan komen jika ada kesalahan ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top