1.1
Aku berteriak dalam pikiranku ketika merasakan diriku merosot di lorong yang sempit dan licin. Oh tidak... Sepertinya aku tahu tempat apa ini...
Setelah aku selesai menyadari dimana diriku, lebih tepatnya 'tubuhku' berada sekarang, aku merinding. Sungguh, dia yang menyebut dirinya "dewi" itu sedang bercanda?
Kudengar suara tangis bayi keluar dari mulutku. Dan cahaya yang terang serta wajah seorang perempuan paruh baya menyambutku.
Ah... Jadi tempat tadi benar-benar....
"Nyonya, Putri anda lahir dengan selamat." Ucap seseorang.
Kenapa aku bisa mendengar?
Aku merasakan badanku mengambang, tidak, lebih tepatnya, di gendong? Aku merasakan tangan hangat yang menyambutku.
Aku kemudian mencoba membuka mataku.
Dan aku bisa melihat pemandangan di depanku dengan jelas.
Tunggu, bukan kah bayi biasanya bisa melihat ketika berumur 2-3 bulan? Kenapa aku bisa melihat?
Pemandangan di depanku sungguh nyata, sangat nyata sehingga aku tidak berani menganggap ini sebagai mimpi.
Seorang wanita berambut hitam legam, dengan warna bola mata yang serasi menyambut pandanganku.
Tunggu, bukannya ini terlalu jelas?
"Lihat, lihat, Darren, dia sepertimu, tapi perempuan." Ucap wanita tadi, kurasa dia sekarang 'Ibu' ku?
"Apa Nyonya dan Tuan sudah memutuskan nama untuk Nona Kecil?" Ucap suara lainnya.
"Kami sudah memutuskannya."
Aku menoleh ketika mendengar suara lainnya yang kali ini lebih berat. Kulihat seorang laki-laki dengan rambut yang berwarna merah terang dengan bola mata emas menatapku yang juga sedang menatapnya.
Jadi dia 'Ayah' ku?
"Oh? Siapa namanya?" Aku menoleh lagi, kali ini menatap seorang wanita paruh baya, yang kutebak juga orang yang sama dengan orang yang mengangkatku tadi.
Wanita-- Ibu lalu terkekeh, membuat dada dan tangannya yang mengendongku bergetar.
"Lilya, Kelak dia akan menjadi perempuan yang tangguh, berani, cantik, dan anggun." Jawab Ibu sambil menatapku dengan senyum.
Ah, sudah lama seseorang menatapku seperti ini, aku hampir lupa bagaimana sensasinya. Sensasi ditatap dengan pandangan penuh kasih sayang.
"Dan putriku ini juga akan menjadi penyihir yang hebat! Aku jamin putriku ini akan menjadi gadis tercantik di kekaisaran!" Ucap Ayah dengan penuh semangat.
Ibu beserta yang lainnya hanya terkekeh menanggapi ucapannya.
"Nyonya, bukankah Nona kecil terlalu diam? Kenapa dia tidak menangis?" Ujar wanita paruh baya tadi.
"Benarkah? Bukankah dia tadi menangis?" Sahut seorang perempuan, kali ini lebih muda.
"Hm... apakah ada yang salah dengannya?" Ucap ibu sambil meraba-raba tubuhku, berusaha mencari apa yang salah denganku.
U-uh... bukankah ini gawat?... apa aku harus menangis?
Dan tepat setelah ibu membuka selimut yang membungkusku dan mengelus-elus punggungku, aku menangis.
[Ini hari pertamaku, dan aku sudah merasa selelah ini... Dewi Kentang.... cepatlah datang...]
.
.
.
Aku terbangun dari tidurku, terhitung sudah hampir 30 kali lebih aku kalah dari rasa kantukku selama satu minggu ini.
Ini lebih ekstrim dari saat aku bergadang saat kerja lembur. Ditambah dengan anggota tubuhku yang tidak mau bergerak sesuai perintahku.
Apakah ini yang namanya pikiran tahu bagaimana caranya tetapi tubuh tidak? Kurasa aku juga pernah mengalami hal ini saat masih bayi. Bedanya aku belum bisa mengingat hal ini saat itu.
Tunggu. Kenapa aku menganalisis diriku sendiri?
Lauren, sadarlah nak. Ingatlah siapa yang membuatmu berada di situasi seperti ini.
"Ibu! Ibu! Ibu!"
Aku menoleh seketika ketika mendengar suara melengking itu. Siapa dia? Dia terlihat seperti Ibu....
Apa mungkin....
Tidak. Tidak mungkin. Dia baru saja memanggil Ibu tadi.
"Ferius, jangan berisik. Nanti adikmu bangun" Tegur orang yang sepertinya adalah Ibuku.
"Tidak! Bukan, bukan itu. Dia bangun!"
Ada apa dengan anak ini. Apa dia tidak pernah melihat bayi sebelumnya?
Anak itu lalu menjulurkan tangannya ke dalam kereta bayiku, dan menusuk-nusuk pipiku.
[Hei, bocah. Apa yang kau lakukan pada seorang perempuan?]
"Ferius, berhenti mengganggunya."
Ibu lalu menggendongku, lalu kembali berucap, "Lilya sungguh tenang ya. Bahkan Lilya tidak menangis ketika terbangun."
"Apa Lilya lapar?" Ucap ibu lagi.
[K-Kurasa....?]
Ibu lalu memberiku 'makanan' setelah itu. Atau aku bilang saja ASI?
Detailnya tidak akan kuceritakan. Karena ini memalukan bagiku.
Saat ini Ibu sedang membawaku menemui Ayah. Sepertinya. Dan bocah kecil itu juga mengikuti kami.
Huh. Lihat aku. Memanggil orang lain dengan bocah sementara diriku sendiri seorang bayi.
"Ibu. Ibu. Ibu."
"Apa lagi sekarang, Ferius?"
Kulihat Ferius memilin-milin bajunya, dan mulutnya terbuka dan tertutup seperti ingin mengatakan sesuatu, sementara pipinya memerah, sungguh lucu dimataku yang berjiwa kepala 3 ini.
Ibu dengan sabar menunggunya mengucapkan keinginannya. Jika dipikirkan, dia Ibu yang baik. Dia menegur anaknya dengan tegas, tapi juga mendengarkan permintaan anaknya dengan seksama. Tentu saja dengan menahan teriakannya dalam hati sepertiku.
"B-boleh aku menggendongnya?" Ucap Ferius setelah mengumpulkan keberanian.
Ibu, yang sepertinya sedang menahan tawanya berkata, "Ah.. fft. Tentu saja, Fery. Tapi apa Fery bisa?"
Ferius mengangguk dengan semangat mengetahui Ibunya menyetujui permintannya, "Fery bisa!" Ucapnya dengan semangat.
Ukh. Kenapa anak ini lucu sekali.
Ibu kembali berjalan. Aku menoleh menatap taman yang berada di kananku. Seperti yang diduga dari Duchess Mournbone, dia merawat rumah ini sepenuh hati.
"Darren. Apa kau ada di dalam?"
"Ya." Sahut suara yang sepertinya suara Ayah?
Kami bertiga lalu masuk ke dalam ruangan, dan melihat Ayah yang duduk di depan mejanya, membaca kertas di tangannya dengan serius.
Hei. Hei. Kemana orang yang mengelu-elukan aku ketika aku baru lahir? Dia seperti orang lain.
"Abwuu.."
Hah! Aku secara tidak sadar...!
Kulihat Ayah langsung menoleh ke arahku dengan mata yang melotot.
[Ke-Kenapa dia menatapku seperti itu?]
Ayah mengikuti pergerakan Ibu yang menggendongku sampai kami duduk di kursi dekat dengan mejanya.
Dia berdiri, masih dengan tatapan yang sama. Sementara aku menatap balik ke arahnya dengan pandangan waspada.
"Maya. Berikan Lilya kepadaku." Ucapnya ketika berada di depan kami.
Ibu yang juga kebingungan dengan sikap Ayah memiringkan kepalanya. Tapi Ibu tetap menyerahkanku kepadanya.
Aku menatap Ayah yang juga menatapku dengan lekat.
Tiba-tiba, aku merasa kehangatan menyelimutiku dan aku sedang menatap ke meja kerja yang tadi diduduki Ayah.
[Hmmm?]
"Uwaaahhh Putri Ayah memang yang paling cantik!" Ucapnya dengan semangat sambil menggosok-gosokkan wajahnya ke wajahku.
[Pak tua. Janggutmu menyakitkan.]
Ibu dan Ferius yang menyaksikan adegan itu hanya bisa menatap dengan tatapan kosong. Terutama Ferius.
.
.
.
Special thanks to KiprangNovel323 untuk nama "Maya" dan "Ferius".
Tolong vote dan komen jika ada kesalahan dalam pengetikan :3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top