SALAH PAHAM

Hari-hari dilalui Lyana dengan perasaan gundah dan tak tenang. Bagaimana bisa dia tenang? Sedangkan Lisa masih berpikir jika Lyana adalah penyebab utama Al memutuskan hubungan mereka. Padahal Al sudah berusaha menjelaskan kepada Lisa, jika bukan Lyana penyebab utama dia mengakhiri hubungannya bersama Lisa.

"Kenapa sih, Ly, lo susah banget buat gue gapai?" pekik Al seraya menyandarkan tubuhnya di kursi.

Al kepikiran sikap Lyana yang kini menjaga jarak darinya, Al menjadi semakin sulit untuk mendekati Lyana.

"Apa lo tahu, hidup gue jadi terasa hampa semenjak lo menghindar dari gue?" gerutu Al menghela napas dalam.

Di studio tempat biasa Al mencari nada dan menggabungkan musik, dia duduk sendiri menghadap ke komputer dengan layar yang menyala. Musik di ruangan itu melantunkan lagu dari Dewa 19 berjudul Risalah Hati. Lagu itu mencerminkan suasana hatinya saat ini. Heldy masuk ke ruangan tersebut lalu duduk di kursi sebelah Al.

"Enggak bosen kamu muter lagu itu terus? Om saja yang dengerin kamu seharian cuma muter lagu itu bosen," tegur Heldy lalu mengambil sebatang rokok. Menyalakan korek api dan membakar ujung rokok yang sudah terpasang di bibirnya.

"Om, apa aku salah jika merasakan jatuh cinta?" tanya Al terdengar sedih membuat Heldy justru tertawa keras.

"Al, siapa pun berhak jatuh cinta, mencintai dan dicintai. Enggak ada undang-undang yang menyebutkan 'dilarang jatuh cinta'. Allah saja justru mengajarkan cinta, perasaan kasih dan berbagi sesama ciptaan-Nya," jelas Heldy menepuk bahu Al pelan. Al hanya tersenyum miring lalu memutar kursinya untuk menghadap Heldy.

"Aku sedang jatuh cinta, tapi bukan dengan Lisa melainkan dengan wanita yang baru aku kenal. Jujur saja, awal hubunganku dan Lisa itu hanyalah keterpaksaan saja Om," ujar Al jujur membuat Heldy terkejut.

Bagaimana bisa Al menjalin hubungan selama setahun belakangan ini bersama Lisa, dengan mudahnya Al mengatakan jika hubungannya hanyalah keterpaksaan? Heldy menegakkan tubuhnya dan bersiap mendengarkan cerita Al.

"Terus?" Heldy ingin mendengar alasan selanjutnya dari Al.

"Lisa hanyalah pelarianku saja, Om, saat aku merasa sakit hati karena dikecewakan Adel, dia datang dan membawa senyum yang dapat menghapuskan laraku. Aku pikir Lisa datang untuk mengisi kekosongan hatiku, selama ini aku merasa, hatiku tetap hampa, meski aku dan dia berpacaran. Hatiku masih terasa dingin," ujar Al mencurahkan semua isi hatinya kepada Heldy.

"Terus apa alasan utama kamu memutuskan Lisa? Bukankah kamu sudah lama berpacaran dengannya?" tanya Heldy heran seraya menyodorkan minuman dingin untuk Al.

"Makasih, Om," ujar Al lantas menenggak minuman itu sebelum melanjutkan ceritanya. "Selama ini aku berusaha menjadi pacar yang baik untuk Lisa, sepertinya dia enggak mengerti dan memahami kebaikanku. Semakin aku memanjakannya, dia semakin melunjak dan menganggapku lelaki yang mudah diperalat dan diatur. Aku kehilangan kebebasanku, dia itu tipe cewek yang curigaan dan enggak bisa percaya sama pasangannya. Aku cuma mau dimengerti dan dipercaya, dengan dua hal itu yang justru membuat aku selalu berpikir ulang jika akan berkhianat," ungkap Al menggebu-gebu menumpahkan rasa kesalnya beberapa hari belakangan ini.

"Kamu yakin jika sampai suatu hari ada orang yang memercayai kamu dan memahami kamu, kamu akan menjaga hati dan bertanggung jawab atas kepercayaannya kepadamu?" Heldy menatap Al lembut seakan dia ingin mengetahui jawaban tulus dari hati Al.

"Ya, aku yakin, Om. Karena buat aku pribadi, mendapat kepercayaan adalah tanggung jawab yang berat dan hal itu yang membuat aku merasa memiliki beban untuk mempertanggungjawabkannya nanti. Seperti Bunda yang selama ini memercayaiku, bahwa pilihanku menjadi DJ itu baik bagiku. Dari situ aku belajar dan berusaha agar tidak membuat Bunda kecewa, justru aku ingin membuat Bunda bangga kepadaku atas jalan yang sudah aku ambil, Om," jawab Al mantap dan percaya diri.

"Terus apa yang membuat Lisa dan gadis itu berbeda?"

"Bedanya, kalau Lyana bisa membuat hatiku bergetar saat dekat dengannya. Nyaman, tenang, dan rasanya aku enggak bisa jauh darinya. Hal seperti itu enggak aku rasakan saat bersama Lisa," kata Al membuat Heldy tertawa renyah.

"Ooooh, jadi namanya Lyana. Gadis seperti apa sih yang sudah membuat kamu seharian galau di studio?" gurau Heldy menggoda Al dengan menaik-turunkan kedua alisnya. "Kalau kamu sudah resmi putus sama Lisa, terus apalagi yang menjadi masalahnya? Tinggal taklukkan saja hatinya," ujar Heldy memberikan Al semangat.

"Om, dia itu enggak semudah yang Al bayangkan. Mungkin cinta Al tak terbalas olehnya, mungkin cinta Al juga enggak bersambut dari Lyana. Dia itu beda dari gadis-gadis yang lainnya. Sangat susah untuk didekati," ujar Al merasa jengkel karena beberapa hari ini Lyana selalu menghindarinya.

"Yaaaa, namanya cinta butuh perjuangan. Semua butuh proses, Om suka dengan sikap gadis seperti itu. Jual mahal dan itu artinya kamu harus lebih bisa bekerja keras untuk meluluhkan hatinya," ujar Heldy membuat Al semakin bad mood.

"Terus Al harus gimana, Om, biar dia tahu kalau Al bersungguh-sungguh dengannya. Al enggak mau main-main lagi, lelah hati Al, Om. Selama ini Al sudah membohongi diri sendiri," kata Al gemas karena begitu sulitnya meluluhkan hati Lyana.

"Itu urusan kamu, sekarang lakukan pekerjaanmu. Ayo cari lagu yang cocok untuk nanti dibawakan di acara ulang tahun Delta." Heldy memutar kursi Al agar menghadap ke komputer.

Al mulai menenangkan pikirannya agar bisa lebih konsentrasi dan merangkai musik dengan baik. Al mencari-cari musik yang dapat dia putar nanti saat mengisi acara Delta.

"Wah, wah, wah, kerja keras nih." Suara Ranggaz mengusik gendang telinga Al yang sedang serius mendengarkan nada lagu.

"Diam lo! Jangan berisik!" tegur Al tanpa menoleh ke belakang.

Gibran, Andika, dan Beril hanya mengulum senyum saat Ranggaz mengerucutkan bibir. Mereka tertawa tak bersuara seolah-olah meledek Ranggaz.

"Eh, dengerin dulu lirik ini. Terus habis itu dengerin musik yang sudah gue mix," ujar Al mengotak-atik komputer lalu memutar musik Dewa 19 berjudul Risalah hati.

Hidupku tanpa cintamu
Bagai malam tanpa bintang
Cintaku tanpa sambutmu
Bagai panas tanpa hujan
Jiwaku berbisik lirih
Kuharus milikimu

Aku bisa membuatmu
Jatuh cinta kepadaku
Meski kau tak cinta kepadaku
Beri sedikit waktu
Biar cinta datang
Karena telah terbiasa
Simpan mawar yang kuberi
Mungkin wanginya mengilhami
Sudikah dirimu untuk
Kenali aku dulu
Sebelum kau ludahi aku
Sebelum kau robek hatiku

Aku bisa membuatmu
Jatuh cinta kepadaku
Meski kau tak cinta ... kepadaku

Hidup tanpa cintamu
Bagai bulan tanpa bintang
Cintaku tanpa sambutmu
Bagai panas tanpa hujan

Semua mendengarkan lagu itu dengan baik, terutama Ranggaz dan Gibran yang memang bertugas sebagai pengisi suara atau vocal.

"Terus, ini musik remix-nya." Al menekan tombol enter dan mulai melantunkan sebuah remix yang baru saja dia racik dan dia kombinasikan dengan musik jazz.

"Waaaooow, I like it!" pekik Heldy yang langsung jatuh hati dengan putaran remix Al kali ini.

"Gue okay," sahut Gibran.

"Gue juga okay," imbuh Ranggaz.

"Kalau udah okay berarti nanti kalian bawakan lagu ini di acara ulang tahun Delta, ya?" ujar Al membuat Beril tersenyum senang.

"Makasih, ya, Al, lo kerja keras buat kesuksesan acara party cewek gue," ucap Beril menepuk bahu Al.

"Jangan GR dulu lo, Ril, Al melakukan ini ada tujuannya," ucap Heldy melirik Al membuat yang lain menatap Al menuntut penjelasan.

"Maksudnya apa nih?" sahut Ranggaz penuh selidik.

"Enggak ada apa-apa. Om Heldy bercanda," elak Al menginjak kaki Heldy agar tak membocorkan rahasianya.

Heldy yang menyadari kode Al hanya tersenyum manis dan menutup mulutnya rapat.

"Tapi, kalau menurut, Om, kamu mengeluarkan lagu ini pas acara sudah mulai tenang dan hari semakin larut. Yaaaa ... intinya buat pendinginanlah," saran Heldy kepada Al.

"Boleh juga sih, Om, terus musik yang mau dibawain pas pembukaan apa?" tanya Al kepada Gibran dan Ranggaz.

"Til it Hurts Yellow claw, juga bagus buat pembukaan," ujar Ranggaz memberi usulan.

"Oke, gue atur sekalian tata letaknya," sahut Al lalu mengotak-atik komputernya lagi.

"Selanjutnya nanti mengikuti aja deh Al. Lihat sikon di sana nanti," usul Andika yang sedari tadi memerhatikan teman-temannya berunding.

"Sip, okay deh! Jadi persiapan buat ulang tahun Delta udah, ya? Tinggal persiapan kita buat perform ke Jogja." Al menyimpan file musik yang sudah dia mix ke flashdisk.

"Oke, kalau begitu semoga acara besok lancar tanpa suatu kekurangan apa pun dan semoga remix Al dapat menghibur audiens di ulang tahun Delta besok, ya?" kata Heldy memberikan semangat untuk ALG team.

Tim inilah yang menjadi penguat karier Al. Mereka adalah serangkaian dari kerja Al di belakang panggung maupun saat di atas panggung.

***

Sang mentari mengintip di pagi hari, semua manusia mulai sibuk dengan aktivitasnya masing-masing di muka bumi. Lyana yang rajin bangun lebih awal membantu Virda di toko bunga. Sebelum berangkat ke kampus, Lyana selalu menyempatkan diri mengantar Virda dan membantu menyiram koleksi tanaman dan bunga-bunga di toko mamanya itu. Saat Lyana sedang memotong daun-daun yang sudah mengering, mobil berhenti di depan toko. Pemuda tampan keluar dari mobil lalu dia menyambut Lyana dengan senyum terbaiknya.

"Selamat pagi, Ly," sapa pria tampan bertubuh kekar dan memiliki tinggi badan 173 sentimeter.

Lyana yang sudah menghafal suara itu lalu menoleh dan menatapnya malas.

"Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Lyana jutek.

"Mmm ... gue mau beli bunga mawar," ujar Al berniat mulai mendekati dan meminta maaf atas perbuatannya beberapa hari lalu yang melibatkan Lyana dalam masalahnya dan Lisa.

"Maaa, ada pelanggan!" pekik Lyana agar Virda yang melayani Al.

Lyana berniat masuk ke toko, dengan cepat Al menahan pergelangan tangannya. "Tunggu! Gue maunya lo yang milihin bunga itu," pinta Al memohon.

Lyana mendengus sebal, lalu menatap Al. "Enggak bisa, ya, milih sendiri?"

"Enggak! Kan gue enggak tahu bunga yang bagus dan disukai wanita apa. Bantu pilih, ya?" bujuk Al tak kekurangan akal agar Lyana mau berbicara dengannya.

"Eh, Nak Al. Tumben pagi-pagi sudah datang. Mau cariin bunga buat Bunda, ya?" tegur Virda baru saja keluar menghampirinya.

Al segera melepaskan tangan Lyana lalu menjabat tangan Virda dan menciumnya.

"Iya, Tan," jawab Al melirik Lyana mulai mencarikannya bunga yang biasa dibeli Maya.

"Kenapa bukan Bunda sendiri yang datang? Biasanya Bunda selalu mampir sebelum berangkat ke kantor," tanya Virda membuat Al bingung mencari alasan.

"Mmm ... mmm ... nganu, Tante ... mmm ... Al pengin aja beliin bunga buat Bunda. Biar surprise gitu, Tan," alasan Al tersenyum canggung seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Ooooh, ya sudah. Lyana sudah biasa merangkaikan bunga buat bundamu. Jadi nanti biar Lyana yang memilihkan, ya?" kata Virda menyentuh bahu Al lembut dengan senyum terbaiknya.

"Iya, Tan, makasih," ucap Al sopan, Virda pun kembali masuk ke toko mempersiapkan pesanan lainnya.

Al menghampiri Lyana yang masih sibuk mencarikan mawar bagus untuk Maya.

"Ly, jalan yuk!" ajak Al memberanikan diri mengajak berkencan Lyana.

"Maaf, aku harus kuliah," tolak Lyana dingin dan jutek.

"Pulang dari kuliah kan bisa," bujuk Al tetap ingin mengajak Lyana berkencan.

"Pulang kuliah aku sibuk belajar, sebentar lagi aku mau menyusun skripsi," alasan Lyana untuk menhindari Al.

Al menunduk kecewa, ternyata meluluhkan hati wanita tak semudah yang Al pikirkan selama ini. Biasanya, Al dengan mudah mencari dan mengencani para wanita. Kali ini, Al baru merasakan penolakan itu.

"Nih bunganya sudah jadi." Lyana memberikan sebuket bunga mawar kepada Al.

"Dari sekian bunga yang sudah lo pilih ini, yakin bagus semua?" tanya Al menerima bunga itu dari Lyana.

"Yakin," jawab Lyana menatap manik mata Al.

"Kalau yakin, lo cari satu aja bunga yang lebih bagus daripada yang lain," ujar Al menatap kedua bola mata Lyana lekat.

Tersirat apa yang akan terjadi. Al membaca dari sorot mata itu jika Lyana akan meninggalkannya, bukan mempertahankannya. Lyana memilih bunga yang sudah di tangan Al, lalu menariknya.

"Ini yang lebih bagus dan lebih indah daripada yang lain," ujar Lyana memperlihatkan bunga pilihannya.

Al tersenyum sangat manis ke arah Lyana. "Bunga itu adalah lo, Ly. Banyak bunga yang bagus dan indah yang mengelilingi hidup gue, tapi di mata gue, cuma lo yang lebih indah dan lebih bagus yang akan gue pertahankan dan perjuangkan."

Dada Lyana kembang kempis mendengar seruan Al tadi. Hatinya menghangat mengkhianati pikirannya yang ingin menolak jika rasa cinta itu hadir di dalam dadanya. Lyana menatap wajah Al lekat.

"Simpan mawar itu, anggaplah itu bunga pemberian gue. Gue bisa buat lo jatuh cinta sama gue, walaupun lo enggak cinta sama gue, Ly," ucap Al percaya diri lalu memakai kacamata hitamnya dan masuk untuk membayar bunga yang sudah Lyana rangkai.

Lyana masih saja bergeming di tempat, dia mencerna ucapan Al tadi. Mawar putih yang berada di tangannya masih kukuh dipegang. Hingga Al keluar pun Lyana masih mematung di tempat yang sama.

"Masuklah, Sayang, sampai jumpa di kampus, pacar," tukas Al sangat percaya diri membuat dada Lyana semakin sesak karena ucapan manis Al.

Senyum manis terukir di bibir Lyana seiring kepergian Al dari hadapannya. Entah kapan cinta itu hadir, tetapi cinta datang seperti pencuri. Dia perlahan mengendap-endap masuk di celah hati. Cinta perlahan masuk di ruang kosong dan tergelincir hingga mengakar di jantung hati. Hingga cinta itu bersemayam dan menetap di dalam sanubari.

######

Walaaah, sejak kapan Lyana nerima cinta lo, Al. Udah bilang pacar aja! Dasar lo!

Makasih vote dan komennya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top