RESTU ORANG TUA
Setetes embun bening menyejukkan hati. Hati yang damai tergenggam setiap hari. Senyum tersebar dan terpancar di bibir ayu gadis cantik nan manis di pagi ini.
"Selamat pagi, Ma, Pa," sapa Lyana menghampiri kedua orang tuanya di meja makan.
Lyana mencium pipi kedua orang tuanya dan duduk di sebelah sang papa, Dirga.
"Ma, pagi ini aku langsung ke kampus, ya? Soalnya aku ada tes pelajaran. Mama ke toko sendiri enggak pa-pa?" kata Lyana sambil mengolesi rotinya dengan selai cokelat.
"Iya enggak pa-pa, nanti Mama bareng sama Papa aja," ujar Virda dengan senyum terbaiknya.
"Oh, iya, bagaimana dengan rencanamu untuk melanjutkan S2?" tanya Dirga ingin mengetahui rencana pendidikan anaknya agar dia bisa mempersiapkan biaya dan kebutuhannya nanti.
"Aku mau kerja dulu, Pa, karena itu syarat sebelum mengambil S2. Rencananya, aku mau coba ikut tes di perusahaan ASIA. Tapi, lihat nanti dulu deh, Pa, kata teman-teman yang sudah mencoba seleksinya ketat dan tes masuk ke sana juga enggak mudah," ujar Lyana memiliki keinginan bagus untuk targetnya bekerja sementara waktu sebelum dia melanjutkan mengambil S2.
"Kalau di Indonesia memangnya kenapa? Di sini juga banyak membutuhkan tenaga yang berpotensi tinggi sepertimu. Kenapa tidak masuk di perusahaan Papa saja?" tanya Dirga menatap Lyana heran.
"Paaaa, biarkan Lyana mencari pengalaman dulu di luar sana sebelum Lyana membantu mengembangkan bisnis Papa, ya? Lyana cuma mau melihat cara berbisnis orang-orang di luar sana, apakah Lyana bisa mengikuti cara dan langkah mereka? Kalau Lyana mampu, itu berarti Lyana dapat membantu Papa buat mengembangkan bisnis kita dan biar perusahaan Papa dapat bersaing dengan perusahaan lain di ASIA ini," jelas Lyana pelan-pelan agar Dirga memahami keinginannya.
Virda dan Dirga tersenyum bangga kepada pola berpikir Lyana yang maju. Selama ini Lyana selalu memiliki target dan rencana untuk masa depannya. Virda dan Dirga hanya mendukung dan mengarahkannya.
"Baiklah, kalau itu maumu. Papa sama Mama cuma bisa mendukung dan mendoakanmu biar semua jalanmu dimudahkan oleh Allah," ujar Dirga mengalah karena tak mungkin dia memaksakan kehendaknya untuk meminta Lyana secepatnya membantu dia berbisnis.
"Makasih, ya, Ma, Pa. Doa restu kalian adalah yang Lyana harapkan, karena berkat doa kalian, apa yang Lyana lakukan akan lebih mudah," ucap Lyana tersenyum lega karena orang tuanya selalu ada di belakangnya untuk mendorong dan menopang hidupnya.
Sarapan pagi ini pun terasa hangat karena perbincangan kecil antara anak dan orang tua. Memberikan tempat yang aman dan nyaman di dalam rumah adalah tugas utama orang tua, agar anak lebih leluasa dan merasa betah berada di dalam rumah.
***
Lyana berjalan di koridor kampus, dia tak sengaja melihat Al yang sedang cekcok dengan Lisa di depan kelas. Karena Lyana merasa sungkan, dia berniat membalikkan badan dan mencari jalan lain.
"Lyana!" seru suara dari arah lain yang membuat Al dan Lisa menghentikan perdebatan mereka.
Lyana mengurungkan niatnya untuk membalikkan badan. Seorang wanita manis berlari kecil menghampirinya.
"Enggar," ucap lirih Lyana sekilas melirik Al dan Lyana lalu fokus kembali kepada Enggar, teman satu kelas Lyana sekaligus kekasih Gibran.
Enggar menghampirinya dan merangkul Lyana akrab. Karena Gibran sering mengajak Enggar main ke rumah Lyana, membuat mereka kini menjadi teman baik.
"Lo udah sarapan belum?" tanya Enggar mengajak Lyana berjalan lurus ke arah Al dan Lyana.
Al yang melihat Lyana semakin mendekat, jantungnya kembali berdetak abnormal. Masalahnya bersama Lisa tadi terlupakan seiring melihat paras cantik yang sudah menarik perhatinnya semenjak pertama mereka bertemu.
"Udah tadi, kenapa?" tanya Lyana menahan perasaannya agar tak lepas saat berdekatan dengan Al.
Lyana mulai menyadari perasaan yang tak biasa di dalam dirinya kepada Al. Namun dia sadar, jika Al sudah memiliki kekasih dan Lyana harus menolak perasaan itu agar tak semakin masuk ke dalam hatinya.
"Kalau belum, gue mau ajak lo makan di kantin. Gue belum sempat sarapan tadi." Enggar menghentikan langkahnya ketika menyadari di depannya ada Al dan Lisa.
"Hai, Sa, Al," sapa Enggar bersikap biasa seperti hari-hari lalu, karena dia tak tahu apa yang terjadi dengan Al dan Lisa tadi sebelum dia datang.
Al bersikap biasa seolah sedang tak memiliki masalah dengan Lisa, berbeda dengan Lisa, dia menatap Enggar dan Lyana malas.
"Hai, Enggar," balas Al canggung karena dia menduga Lyana melihatnya tadi saat beradu mulut dengan Lisa.
"Mmm ... kita duluan, ya, permisi." Lyana yang merasa tak enak hati lalu menarik Enggar menjauhi Lisa dan Al.
Enggar bingung dengan sikap Lyana yang memaksanya berjalan, sebelum dia menanyakan keberadaan sang kekasih kepada Al, sahabat baik Gibran itu.
"Eh, ada apa sih, Ly? Gue kan mau nanyain Gibran sama Al," ujar Enggar menghentikan langkahnya dan menarik tangan Lyana agar menghentikan jalannya.
"Enggar, kamu tuh enggak tahu sikon banget sih. Tadi tuh aku lihat Al sama Lisa lagi berantem. Tadinya aku mau lewat tempat lain, api keburu kamu manggil aku," gerutu Lyana membuat Enggar menatapnya shock.
"Apa! Mereka berantem? Berantem kenapa?" tanya Enggar merasa penasaran dan ingin tahu.
"Ih, enggak tahulah aku. Itu kan bukan urusanku," kata Lyana mengedikkan bahu dan melanjutkan jalannya.
Enggar hanya menyengir kuda, karena dia baru menyadari jika Lyana tak begitu dekat dengan Al maupun Lisa. Mereka pun berjalan menuju kelas. Setibanya di ruang kelas, Lyana dan Enggar segera duduk di kursinya masing-masing.
"Eh, Ly, lo dapat undangan ulang tahun Delta enggak?" tanya Chelsea yang duduk di depan Lyana.
Lyana menatap Enggar yang duduk di sampingnya. Enggar pun menggeleng karena dia juga belum mendapat undangan itu.
"Belum, emang kapan acaranya?" jawab Lyana sambil mengeluarkan buku tebal dari tasnya.
"Acaranya Sabtu malam. Eh, Enggar masa lo belum dapat sih?" tanya Chelsea menatap Enggar heran.
"Iya, gue belum ketemu Delta." Baru saja Enggar menutup mulutnya, orang yang mereka bicarakan pun datang, lalu duduk di bangkunya.
"Haaaaai, selamat pagi," sapa Delta heboh duduk di depan Enggar.
"Pagi juga, Delta," balas mereka bersamaan.
Delta mengeluarkan dua kertas dari tasnya dan memberikan kepada Lyana dan Enggar.
"Kalian harus datang, enggak mau tahu! Pokoknya wajib datang!" paksa Delta yang sangat menginginkan teman-teman dekatnya menghadiri hari spesialnya.
"Iyaaa, tapi enggak janji," sahut Enggar bergurau membuat Delta mecebikkan bibirnya, mereka pun terkekeh geli.
Lyana membuka undangan itu dan membacanya. Senyum kecil mengukir bibir manisnya. Pengisi acara ulang tahun Delta yang membuat hatinya merasa sejuk seperti tanah gersang yang disiram dengan air hujan.
"Wuiiiih, acaranya bakalan seru nih. Apalagi pengisi acaranya DJ Al Salendra Abimanyu Putra. Itu berarti pacar kita main dong, Chel," pekik Enggar heboh.
"Yoooo, pastilah DJ Al yang mengisi acara. DJ fenomenal dan udah terkenal di mana-mana, apalagi itu kan teman kita sendiri. Lumayanlah, dapat kortingan harga," gurau Delta membuat Enggar dan Chelsea terkekeh.
"Lo tuh, ya, Del, kalau ada diskonan cepet!" sahut Chelsea semakin membuat Enggar tertawa lepas.
"Aku enggak sabar deh, Chel, mau lihat pacar kita nemenin Al perform. Pasti makin ganteng. Secara, mereka kan partner yang tak bisa terlepas dari Al," seru Enggar bangga.
"Yeeeeee ... enggak cuma pacar kalian aja kali. Pacar gue juga sangat berperan penting. Tanpa adanya pacar gue, dokumentasi pasti terbengkalai," sahut Delta tak ingin kalah untuk membanggakan Beril sebagai kekasihnya yang hobi foto.
"Iya-iya deeeeh, yang punya pacar ... bisa membanggakan pasangannya masing-masing," sela Lyana yang sejujurnya merasa iri karena selama ini hatinya masih tertutup rapat hingga belum ada seorang pria pun yang berhasil membuka pintu hatinya.
"Ciyeeeeee yang jones. Udah deh Ly, cari cowok gituuu ... biar kalau ada acara bisa diajak dan enggak kesepian lagi," ujar Chelsea membuat Lyana tersenyum getir.
Bukannya Lyana tak mau memiliki pacar seperti yang lainnya. Namun, Lyana merasa belum mendapatkan pria yang cocok sesuai yang dia inginkan. Terkadang jika melihat teman-temannya kencan dengan pacar mereka masing-masing, hati Lyana merasa sedih. Dia juga ingin melakukannya, tetapi apa daya, ini belum waktu yang tepat untuk dirinya. Karena saat ini Lyana sedang sibuk menyiapkan ujian akhirnya dan mengikuti seleksi masuk di perusahaan yang sesuai dengan targetnya. Yang Lyana utamakan saat ini adalah belajar.
***
Lyana dan teman-temannya sedang asyik menikmati makan siang di kantin. Segerombolan pria menghampiri mereka. Sebagian dari mereka langsung duduk di samping pasangannya.
"Yaaaaah, gue duduk sama siapa?" dengus Andika yang merasa tak memiliki pasangan.
Al dengan santai duduk di sebelah Lyana, membuat debaran jantung mereka berdetak kencang. Lyana yang tadinya sedang makan bakso terhenti lalu minum es tehnya. Gibran memandang tingkah Al dan Lyana yang canggung, dia hanya tersenyum dan menggeleng. Dia tahu arti sikap Lyana dan Al, jika mereka sebenarnya memiliki rasa yang sama, tetapi tertahan oleh keadaan dan kondisi.
"Mmm ... Andika sini, duduk di sebelah aku." Lyana sedikit menggeser duduknya memberikan ruang kosong untuk Andika.
Dengan senang hati Andika duduk di antara Al dan Lyana. Ada rasa kecewa dan tak rela di dalam hati Al saat Andika menjadi penghalang di antara mereka.
"Sayang, kamu mau pesan apa? Biar aku pesenin," kata Chelsea lembut kepada Ranggaz.
Ranggaz merasa sungkan kepada Lyana, karena selama ini dia dan Andika selalu berebut untuk mendekatinya. Jika sudah seperti ini, mana mungkin Lyana akan memberikannya ruang untuk mendekatinya, yang ada Lyana justru semakin menjaga jarak.
"Hiyaaaaak noooh! Skak mat lo, Bro, makanya jangan macam-macam!" pekik Gibran membuat Chelsea dan Enggar menatap Ranggaz heran.
Ranggaz menggaruk tengkuknya yang tak gatal membuat Gibran dan Andika tertawa penuh kemenangan. Sedangkan Beril dan Al hanya terkekeh.
"Apaan sih maksudnya? Enggak jelas deh!" tukas Chelsea yang tak memahami ucapan Gibran tadi.
"Mmm ... enggak kok, Sayang. Biasa ... obat Gibran habis. Jadi begitulah dia," ujar Ranggaz memberi alasan agar Chelsea tak mencurigainya.
Lyana hanya tersenyum melihat keakraban persahabatan mereka. Canda dan tawa pun menguasai kantin siang ini. Al sesekali melirik Lyana dan mencuri pandangan ke arahnya. Namun, Lyana tetap tak acuh justru ikut bercanda dan menimbrung obrolan dengan yang lain.
Masyaallah, nih anak kenapa sih bisa mengalihkan perhatin gue? Bener-bener deh, kayaknya gue sudah gila karena dia. Al menggerutu di dalam hati seraya memandang Lyana yang tertawa lepas memacarkan aura positif yang dapat membangkitkan semangat Al.
Tiba-tiba tawa mereka semua terhenti saat melihat Lisa masuk ke kantin dan menghampiri meja mereka.
"Darling, kita butuh bicara," ujar Lisa dingin mendekati Al.
Al yang tadinya sudah dapat memperbaiki suasana hatinya, kedatangan Lisa justru membuatnya kembali bad mood.
"Bicara aja di sini," sahut Al santai, terlihat wajahnya yang malas.
"Enggak bisa! Aku butuh bicara empat mata sama kamu!" sergah Lisa membuat yang lain terdiam tak berani menatap Al maupun Lisa.
Mereka sibuk dengan makanannya masing-masing dan tak ingin ikut campur urusan pribadi Al.
"Aku capek, enggak bisa, ya, kita bicara aja di sini." Al masih saja ngotot agar Lisa tak mengajaknya pergi.
"Enggak!" sahut Lisa galak dan sedikit meninggikan suaranya.
Gibran menepuk bahu Al agar dia mengikuti kemauan Lisa. Gibran tak ingin sahabat baiknya menjadi pusat perhatin orang-orang yang ada di kantin itu.
"Mmm ... maaf, aku harus pulang duluan," pamit Lyana sebelum Al dan Lisa pergi.
Lyana merasa tak nyaman dengan keadaan di tempat itu. Saat Lyana berjalan melewati Lisa, tangan Al dengan berani menahannya.
"Gue mau antar Lyana. Maaf Lisa," ujar Al dengan keberanian yang sudah dia kumpulkan sejak tadi.
Semua mata teman-teman Al dan Lyana pun terbelalak. Sejak kapan Al dan Lyana dekat? Setahu mereka Al dan Lyana tak pernah mengobrol berdua.
"Al," ucap lirih Lyana yang shock karena tangan Al mencekal lengannya erat, seakan tak ingin dia melepaskannya.
Lisa menatap wajah Al tajam, Al tak memedulikan itu. Al berdiri dari duduknya lalu menggandeng Lyana keluar begitu saja dari kantin tanpa memedulikan tatapan heran puluhan pasang mata di kantin tersebut.
"Al! Aku enggak akan pernah rela melepaskanmu!" pekik Lisa mengejar Al yang sudah berjalan jauh menggandeng Lyana.
Para sahabat mereka pun berdiri dan mengikuti Lisa yang mengejar Al.
"Eh, tunggu, siapa yang bayar ini?" tanya Andika teringat jika makanannya belum dibayar.
"Ah! Lo yang urus! Ini masalahnya genting!" pekik Beril seraya berlari mengejar yang lain.
Sembari berjalan untuk membayar makanannya, Andika tak henti-hentinya menggerutu. Sedangkan Lyana masih bergeming, hanya mengikuti langkah Al. Lyana bingung apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia tak tahu apa-apa tentang Al dan Lisa, dengan kejadian ini pasti dia akan terlibat dalam masalah di antara Lisa dan Al.
"Al, tunggu!" Lyana menghentikan langkah Al, tetapi Al tak mau berhenti. Dia tetap berjalan menarik tangannya.
"Jangan sekarang, Lisa mengejar kita," ujar Al menyadari jika Lisa kini sedang berlari mengejarnya dan Lyana.
Lyana memaksakan untuk berhenti, membuat Al terpaksa menghentikan langkahnya. Dia membalikkan badan dengan wajah memohon kepada Lyana, terlambat karena Lisa lebih dulu sampai di antara mereka.
"Jadi ini alasan kamu mutusin aku, Al?" sergah Lisa tak terima seraya menunjuk wajah Lyana tajam.
Teman-teman Al dan Lyana pun berhenti berlari saat mereka melihat Lisa mencerca Al.
"Lisa, jangan salahkan orang lain. Tapi lihatlah dirimu sendiri dulu. Lyana bukan alasan utamaku memutuskanmu, tapi sikap dan tindakanmu selama ini terhadapku yang membuatku merasa jenuh dan terkekang. Please, jangan berpikir negatif," mohon Al sungguh-sungguh.
Lyana melepaskan genggaman tangan Al, lalu berlari ke Delta. Dengan tangan terlentang Delta menyambut Lyana yang sudah meneteskan air mata.
"Aku enggak tahu apa-apa persoalan mereka, tapi kenapa aku yang disalahkan? Aku enggak pernah dekat apalagi sampai ngobrol sama Al. Ak-ak-aku." Lyana berusaha menjelaskan kepada Delta dan yang lainnya jika dia tak terlibat dalam masalah Al dan Lisa.
"Udah, ya, lo jangan nangis. Kakak tahu kok, lo enggak terlibat dalam masalah mereka. Mungkin tadi Al ingin menghindari Lisa dengan alasan yang kurang tepat," jelas Gibran yang merasa iba dan tak tega melihat adik sepupunya menangis seperti itu lalu dia mengelus rambut Lyana lembut, mencoba menenangkan hatinya.
Terkadang menemukan alasan dapat membantu saat posisi terjepit dan tidak menemukan keberanian untuk menghadapi suatu hal. Namun, alasan yang tak tepat membuat kita terkadang justru merugikan diri sendiri dan orang lain. Mencari alasan tak semudah yang kita pikirkan.
#####
Rumit! Gimana coba nek dah gini?
Makasih vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top