PIKNIK SAMA KAMU

Ada berbagai jenis profesi yang terkait dengan musik. Jika bermusik adalah sebuah hobi, mungkin bekerja sebagai DJ adalah salah satu jembatan dalam meniti karier di industri musik. Jadi, sembari menyalurkan hobi dan bakat, juga sebagai sumber nafkah.

Al menggandeng tangan Lyana melewati kerumunan orang yang memadati tempat tersebut. Teriakan dan seruan para wanita memekakkan telinga Al dan Lyana. Tangan para wanita itu berusaha menggapai Al, sayang penjagaan sangat ketat.

"Selalu begini, ya?" tanya Lyana berjalan sambil melindungi diri dari hal yang dapat menyakitinya.

"Biasa," jawab Al mendekap Lyana, melindungi gadis itu dari orang-orang di sekelilingnya.

"Belum masuk TV aja udah banyak diidolakan, apalagi kalau udah masuk TV nanti?" gerutu Lyana mencebikkan bibirnya.

Akhirnya mereka pun berhasil melewati kerumunan orang-orang itu. Al menarik kursi agar Lyana duduk di samping panggung tempat dia nanti perform menghibur pengunjung mal terbesar di Jogja.

"Kamu tenang aja, ya, soal itu. Kan hati aku udah digembok sama kamu," ujar Al jongkok di depan Lyana seraya menggenggam tangannya.

Lyana masih saja belum memercayai perkataan Al tadi. Dia masih beranggapan bahwa kata-kata Al itu hanya rayuan sesaat.

"Halah gombal! Iya kalau ada yang punya kunci serep dan terus buka gemboknya. Palingan juga matanya lirik sana-sini," ujar Lyana sewot.

"Hidiiih, emang kalau ngelirik enggak boleh, ya? Kan sayang kalau ada pemandangan indah lewat di depan mata disia-siain. Yang penting kan hati aku cuma buat kamu," bujuk Al mencolek dagu Lyana.

Lyana mengusap dagunya, bekas colekan Al. "Kan cinta datangnya dari mata turun ke hati," bantah Lyana.

"Ya enggak mungkinlah aku tergoda sama cewek lain. Kan aku udah menjatuhkan pilihanku sama kamu," rayu Al agar Lyana memercayainya.

"Al, persiapan," seru Heldy memberi interupsi.

"Iya, Om," balas Al lalu berdiri bersiap naik ke panggung. "Kamu tunggu di sini dulu, ya? Aku mau persiapan dulu. Nanti Delta dan yang lain ke sini. Mereka masih dalam perjalanan," ujar Al mengacak rambut Lyana lembut lalu meninggalkan Lyana duduk sendiri.

DJ menghadirkan hiburan dan kesenangan kepada orang-orang yang berada di kelab-kelab malam, di acara resepsi pernikahan, di arena konser, bar, pesta sebuah organisasi, pameran karnaval, dan tempat lainnya. Seperti yang Al lakukan saat ini untuk merintis kariernya.

"Hai!" Suara dari belakang mengagetkan Lyana.

"Chelsea, ngagetin aku deh. Kalian kok baru datang sih?" tanya Lyana mencium pipi Chelsea, lalu bergantian dengan Delta dan Enggar.

"Iya, tadi kita kejebak sama kerumunan orang di luar. Gila banget, fans-nya Al banyak juga, ya," jelas Delta heboh.

"Yaiyalah, Delta, secara Al kan keren, ganteng, tinggi, dan DJ lagi. Mana ada cewek yang enggak tergila-gila sama dia," sahut Enggar membuat Lyana menunduk sedih.

Lyana merasa minder mendengar seruan Enggar tersebut. Hatinya bergetar lirih, ingin rasanya dia menangis, tak bisa air matanya keluar. Lyana berdiri menjauhi teman-temannya yang asyik bercanda seraya menunggu kekasih mereka perform.

Apa aku enggak pantas untuk Al, ya? Banyak gadis yang lebih pantas bersama Al daripada aku, batin Lyana berkecamuk.

"Apa yang sedang lo pikirkan?" Beril tiba-tiba datang mendekati Lyana dan berdiri di sampingnya.

Lyana menatap lurus ke depan, melihat aksi Al yang sedang berjingkrak menghibur audiens di mal tersebut. Lyana tersenyum tipis melihat semangat Al yang membara.

"Kalau Al jadi orang terkenal, pasti yang mengidolakannya banyak, ya?" Bukannya menjawab pertanyaan Beril, Lyana justru mengalihkan pembicaraannya.

Beril hanya tersenyum dan sibuk mengambil foto Al yang sedang beraksi bersama Ranggaz dan Gibran. Sesekali saat musik slow, Al mengajak komunikasi pengunjung. Meskipun profesi sebagai DJ sering dipandang penuh kesenangan dan glamor, tetapi dibutuhkan kerja keras dan dedikasi yang tinggi agar menjadi terampil dan profesional.

"Jangan mikir yang enggak-enggak. Al anak yang baik dan aslinya dia penyayang kok, Ly," ujar Beril mencoba memberikan pandangan tentang Al kepada Lyana.

Lyana diam, dia mengangkat kameranya yang sedari tadi mengalung di leher. Dia mengambil gambar saat Al merentangkan tangan sambil berjingkrak dengan peluh yang mengalir dari dahinya. Lyana tersenyum manis melihat hasilnya.

Beril melihat Lyana yang asyik mengambil potret Al, dia hanya tersenyum. Beril membantu Al menjaga Lyana dari kerumunan orang. Obrolan kecil membahas tetang kamera menjadi tema mereka siang itu, untuk mengusir kebosanan saat menunggu acara hingga selesai. Usai menghibur, Al, Gibran, dan Ranggaz turun dari panggung.

"Lyana mana?" tanya Al saat mendekati Delta, Chelsea, dan Enggar yang justru asyik mengobrol sendiri hingga tak menyadari Lyana dari tadi tak bersama mereka.

"Al!" Suara Lyana datang dari belakang Al.

Al menoleh dan tersenyum sangat manis. "Dari mana?" tanya Al mengambil air mineral yang tersedia di tempat itu.

"Tadi sama Beril, ambil foto kamu."

Al menenggak minumannya, pandangan tak lepas dari Lyana. Lyana menunduk malu dan salah tingkah karena Al begitu intens memerhatikannya.

"Om Heldy, sudah selesai kan tugasku?" tanya Al melihat Heldy baru saja berjalan di depannya.

"Iya, sudah. Aku urus yang lain dulu. Kalau mau jalan-jalan dulu silakan. Tapi nanti waktunya kita balik ke Jakarta, kalian harus sudah berkumpul di bandara, ya?" ujar Heldy memberikan izin.

Menyelam sambil minum air, bekerja sekaligus piknik, itulah yang dilakukan Al dan kawan-kawan saat mereka mengisi acara di luar kota. Al mengajak Lyana dan yang lainnya untuk keluar dari mal. Karena di depan mal padat pengunjung yang menanti Al keluar, akhirnya seorang penjaga mencarikan jalan keluar dari belakang. Tak pernah Al melepaskan genggaman tangan Lyana selama perjalanan, Al juga sangat melindungi dan menjaga Lyana dengan baik.

"Ly, kata Tante Virda minggu depan di rumahmu mau ngadain acara? Emang acara apaan sih?" tanya Gibran menyamakan langkah Al dan Lyana.

"Ooooh, acara pesta biasa kok, Kak. Ulang tahun pernikahan Mama sama Papa."

"Oh, kirain acara apaan. Oke deh, kalau gitu, Kakak usahakan datang," ucap Gibran mengacak rambut Lyana kecil, bentuk kasih sayang kakak kepada adik perempuannya.

Sesampainya mereka di tempat parkir, mobil yang tadi mengangkut mereka dari bandara siap di sana. Semua masuk ke mobil dan sopir siap untuk mengantar mereka menyusuri wisata di Kota Jogja.

"Al," panggil Lyana pelan.

"Hmmm, apa?" sahut Al menoleh ke sampingnya.

"Apa setiap selesai manggung kamu selalu jalan-jalan seperti ini?" tanya Lyana yang baru pertama kali ini ikut bersama Al, melihat cara dia bermain DJ di luar kelab.

Al memang tak pernah mengajak Lyana melihat aksinya secara langsung saat di night club. Gibran menolak keras saat Al ingin mengajak Lyana. Walau bagaimana pun, kelab malam banyak godaan yang dapat berpengaruh negatif untuk gadis rumahan seperti Lyana. Al sangat ingin menjaga dan melindunginya, maka dari itu Al tak pernah mengajak Lyana ke night club.

"Iya, hitung-hitung bekerja sambil wisata. Untuk menghibur diri usai menghibur orang lain," jawab Al membuat hati Lyana yang tadinya buruk kini kembali menghangat.

Al memang mudah mengubah suasana hati Lyana. Terkadang hati memang sulit untuk ditebak. Jalan pemikiran antara hati dan otak bisa saja tak sejalan, itu yang membuat orang merasa ragu.

"Enak, ya? Kamu bisa keliling Indonesia," tukas Lyana, Al hanya tersenyum sambil mengelus rambutnya lembut.

"Lyana, lihat hasil foto lo dong?" Beril mengulurkan tangannya meminta kamera Lyana.

Lyana memberikan kameranya kepada Beril. Selama perjalanan menuju ke suatu tempat, Al dan yang lain asyik bersahut-sahutan candaan yang terkadang hingga menimbulkan gelak tawa menguasai ruang mobil tersebut. Beril asyik melihat-lihat hasil pengambilan gambar Lyana yang membuatnya berdecak kagum.

"Ly, bagus banget nih tempat. Lo ambil gambar ini di mana?" tanya Beril memperlihatkan gambar yang ada di dalam kamera Lyana kepada pemiliknya.

"Ooooh, itu pas aku masih di Belanda. Itu desa yang masih banyak kincir anginnya. Aku juga heran, katanya Belanda negara kincir angin, tapi padahal aslinya di sana kincir anginnya cuma sedikit dan sekarang jarang ditemui," ujar Lyana menjelaskan.

"Tapi keren, ya, tempatnya, perkebunan gandumnya luas dan view pengambilan gambarnya keren. Gue suka gambar ini, Ly," puji Beril asyik sendiri dengan gambar di kamera Lyana.

Sesampainya mereka di sebuah bangunan kuno, Al dan Lyana terpisah dari yang lain. Semua sibuk dengan pasangannya masing-masing. Namun, bagaimana dengan Andika? Dia tak ikut dalam perjalanan kali ini, Andika sibuk menyelesaikan urusan bersama Heldy di mal tadi.

"Lyana, sebenarnya kamu itu suka musik apa fotografer sih?" tanya Al penasaran karena sedari tadi Lyana asyik memotret tempat itu.

"Dua-duanya, kenapa?" Lyana mengambil foto Beril yang sedang memotret Delta di batu besar.

Hamparan bukit yang masih sejuk membuat betah berlama-lama di tempat itu. Bangunan bersejarah menjadikan view indah untuk pengambilan gambar kali ini. Lyana mengarahkan kameranya kepada Al yang sibuk menunduk duduk di rumput liar, dia iseng mencabuti rumput yang ada di sekelilingnya.

"Ganti pekerjaan, ya?" tanya Lyana bergurau menggoda Al.

Al mendongak mengerutkan dahinya, menatap Lyana penuh tanya. "Kenapa?"

"Aku kira kamu sekarang jadi jasa kebersihan di sini." Lyana duduk di sebelah Al.

"Enggak." Al masih saja belum memahami maksud perkataan Lyana tadi. Lyana terkekeh hingga menutup mulutnya, Al semakin bingung melihat Lyana seperti itu.

"Itu, kamu ngapain cabutin rumput?" Lyana menunjuk tangan Al dengan dagunya yang sedang memainkan rumput liar.

Al melihat tangannya sendiri lalu tertawa lepas, baru dia menyadari gurauan Lyana.

"Dasar lemot," cerca Lyana membuat Al menghentikan tawanya.

"Maklum, kuota hampir habis, jadi loading-nya lama," sahut Al yang kini justru membuat Lyana tertawa.

"Bercandamu enggak lucu," kata Lyana, tetapi masih terkekeh.

"Enggak lucu kok ketawa," sahut Al. "Yuk, cari minum dulu. Haus nih." Al bangkit lebih dulu lalu menarik Lyana membantunya untuk berdiri.

Karena keterbatasan membuat Al dan Lyana memiliki rasa saling ketergantungan. Mereka dapat saling memahami dan mengenal lebih jauh kepribadiannya masing-masing.

"Kak Gibran, kami cari minum dulu, ya?" pekik Lyana meminta izin Gibran.

Walau bagaimanapun Gibran memiliki tanggung jawab untuk menjaga Lyana. Meskipun sudah ada Al, Gibran tak begitu mudahnya memercayainya.

"Iya, jangan jauh-jauh," sahut Gibran lalu kembali bercengkrama dengan Enggar.

Al mengulurkan tangannya, dengan senang hati Lyana menerima uluran tangan itu, lalu dia mengambil foto tangannya yang digapai Al dengan senyuman menawan pria yang kini sudah memenuhi otak dan pikirannya. Walau belum ada status 'pacaran' di antara mereka, tetapi Al memperlakukan Lyana dengan baik. Seolah gadis itu adalah yang istimewa selain ibundanya.

"Al, terkadang aku bingung deh antara DJ dan remixer. Pekerjaan itu sama enggak sih? Terkadangkan orang menghubung-hubungkan antara DJ dan remixer," tanya Lyana manja sembari menyamakan langkah Al yang lebar.

Lyana sedikit kualahan jika berjalan dengan Al. Kaki Al yang panjang jika berjalan dapat melangkah lebar.

"Sebenarnya ada kaitannya juga sih, tapi terkadang orang salah persepsi. Kalau DJ itu gelar atau julukan orang yang memiliki keahlian memainkan musik dengan alat DJ controller, sedangkan lagu remix itu adalah musik yang diedit oleh seorang remixer. Misalnya nih, ya, aku kalau bekerja di studio ngumpulin lagu-lagu dan aku mix jadi satu, berarti aku sebagai remixer. Tapi kalau aku sudah di atas panggung dan mengontrol semua lagu yang sudah aku persiapkan, berati aku DJ," jelas Al yang melangkah lebih cepat daripada Lyana, membuat gadis itu kelelahan karena menyamakan langkah kaki Al sedari tadi.

"Al ...," panggil Lyana lirih.

"Iya," jawab Al lembut, tak menghentikan langkahnya.

"Bisa enggak, kalau jalan sama aku langkahnya kecil-kecil aja. Kaki aku pendek enggak kayak kaki kamu. Aku capek," ujar Lyana lalu berjongkok begitu saja.

Al menghentikan langkahnya dan menoleh melihat Lyana yang sudah bercucuran keringat di keningnya. Al mengeluarkan sapu tangannya lantas mengelap keringat Lyana.

"Maaf," ucap Al merasa bersalah.

"Udah enggak pa-pa, nasib aku aja jadi orang pendek," ujar Lyana mencebikkan bibirnya.

"Ya udah, pas kan kalau kita jadi suami istri. Memperbaiki keturunan kamu," sahut Al membuat mata Lyana membulat sempurna.

Hati Lyana menghangat, tetapi telinganya seperti digelitiki saat mendengar ucapan Al tadi. Sampai sejauh itukah pemikiran Al? Sedangkan Lyana saja belum memikirkan hal itu.

"Ya udah, kamu sekarang tanggung jawab. Gendong aku sampai kedai itu dan kamu nanti yang traktir aku beli minuman," ujar Lyana menunjuk sebuah kedai sederhana yang menjual makanan ringan di area wisata tersebut.

Al tersenyum, ternyata Lyana ada sisi manjanya juga, pikir Al. Selama ini Al belum pernah mendengar Lyana merengek seperti gadis-gadis yang lainnya. Apa yang dapat Lyana kerjakan sendiri, dia tak pernah meminta bantuan dari siapa pun. Mungkin karena Lyana sudah terlatih mandiri, jadi dia mampu mengatasi masalahnya sendiri.

"Siap, Permaisuri, naiklah ke punggung hamba," ujar Al memutar tubuhnya agar Lyana naik ke punggungnya.

Lyana tertawa lepas lalu memeluk leher Al. Dengan ringan Al berdiri lalu mengajak Lyana berlari membuat gadis itu berteriak nyaring karena takut bercampur bahagia.

Setiap orang memiliki caranya sendiri-sendiri untuk saling mengenal. Sebuah komitmen dan janji pada dirinya sendiri adalah tali yang kuat untuk menjaga hubungan baik dengan lawan jenis.

#####

Aku kayak orang gila. Senyam-senyum sendiri. Hahahaha

Makasih vote dan komennya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top