PENGHAPUS LARA

Hening, diam, dan tak ada kata yang terlontar. Itulah yang Al lakukan saat ini bersama Lisa. Ruang dalam mobil yang biasanya berisik dengan musik DJ, kini sunyi sepi. Al fokus menatap lurus ke depan memerhatikan padatnya ibu kota pagi ini. Lisa tak mengerti mengapa Al kini berubah menjadi dingin dan cuek.

"Darling, kenapa sih diam aja?" tanya Lisa memecahkan keheningan di antara mereka.

Al menarik napasnya dalam, apakah Lisa tak menyadari amarah Al saat ini kepadanya? Apa yang dilakukan Lisa pagi ini sangat membuat Al marah dan bingung untuk mencari pembelaan dari ibundanya jika sampai Maya tak menyetujui hubungannya dengan Lisa. Sejauh ini memang Al belum menceritakan sedikit pun tentang Lisa kepada Maya.

"Darling," panggil Lisa menyentuh lengan Al agar kekasihnya itu menatap dia.

Al tetap saja fokus melihat ke depan, tak melirik sedikit pun kepada Lisa. Hingga mereka sampai di kampus, Al masih saja setia membungkam.

"Kenapa sih diem aja? Kamu sakit?" tanya Lisa seraya menyentuh dahi Al.

Al menyingkirkan tangan Lisa dari dahinya. Tanpa menoleh kepada Lisa, Al akhirnya membuka mulut.

"Apa yang kamu lakukan pagi-pagi datang ke rumahku? Aku kan sudah bilang, jangan dulu, tunggu sampai aku siap ngenalin kamu sama Bunda," sergah Al sambil memijat pelipisnya. Matanya masih saja menatap lurus ke depan.

Lisa yang mendengar ucapan Al sedikit meninggi, langsung balas menatap wajah kekasihnya tajam.

"Kamu enggak suka aku datang ke rumah kamu? Aku pacar kamu, Al. Aku juga pengin lebih dekat sama keluarga kamu," bantah Lisa tak mengerti juga dengan jalan pikiran Al.

"Iya, aku tahu. Tapi bukan sekarang," bantah Al mencoba memberi pengertdian kepada Lisa.

"Apa bedanya sekarang dan nanti? Semua sama aja." Al mengembuskan napasnya kasar.

Karena aku belum yakin sama kamu, batin Al, tak kuasa melontarkan kata-kata itu kepada Lisa.

Lisa tak dapat memahami jalan pikiran dan kemauan Al selama ini. Dia selalu mementingkan dirinya dan perasaannya sendiri tanpa memedulikan bagaimana dengan Al. Selalu Al yang mengalah!

"Oke, terserah kamu. Lakukan saja apa yang kamu mau," ujar Al sudah menyerah mengarahkan Lisa untuk berjalan seiring bersamanya.

Al keluar dari mobil meninggalkan Lisa begitu saja. Saat Al baru sampai di depan mobil, dia melihat Gibran merangkul Lyana sedang berjalan ke arahnya. Jantung Al berdebar tak terkontrol. Melihat Lyana untuk yang kedua kalinya membuat dia terdiam, mati gaya. Al menelan ludahnya susah payah, saat Gibran dan Lyana semakin dekat, dari arah berlawanan, Gibran lebih dulu melihat Al.

"Woiy, Bos Al!" sapa Gibran melambaikan tangannya dari jauh.

Al terlihat gugup saat Lyana menyadari jika ada dia di situ. Gibran dan Lyana menghampiri Al. Saat mereka semakin dekat, getaran di dada Al semakin kuat, tetapi Al tutupi dengan gaya stay cool.

"Baru datang lo?" tanya Gibran menjabat tangan Al ala anak remaja kebanyakan.

"Ya," jawab Al singkat sambil melirik Lyana yang tersenyum sangat manis ke arahnya.

Senyuman itu seketika mengalihkan perhatin Al dan membasuh lara yang baru saja Al alami bersama Lisa. Al merasa nyaman meski hanya melihat senyumnya saja.

Lisa keluar dari mobil, lalu merangkul lengan Al posesif. Lisa menatap Lyana judes dan tak bersahabat, tetapi Lyana tetap memberikan senyuman terbaiknya dan menyapa Lisa dengan mengangguk.

"Eh, Lis, nih kenalin adik sepupu gue. Namanya Lyana," ujar Gibran berniat mengenalkan Lyana kepada Lisa.

Bukannya langsung berjabatan tangan, justru Lisa melihat penampilan Lyana yang memakai jeans panjang berpadu dengan blazer putih, terlihat rapi dan cantik. Lisa membuang wajahnya ke arah lain, Al yang melihat sikap Lisa seperti itu semakin tak memiliki feeling lagi untuk melanjutkan hubungannya semakin jauh.

"Hai, aku Lyana." Lyana mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Lisa.

Namun Lisa hanya menjabat ujung tangan Lyana tanpa mengucapkan kata apa pun.

"Ayo kita masuk!" ajak Lisa menggandeng posesif lengan Al, sedikit menarik untuk masuk ke gedung kampus.

Al mengikuti Lisa, tetapi pandangannya tak dapat berbohong. Mata Al tak dapat berdusta saat Al semakin jauh dibawa oleh Lisa, tatapan dan hatinya tergantung bersama Lyana.

"Dasar cewek posesif. Al betah banget pacaran sama cewek begitu, ya," gumam Gibran sendiri, masih terdengar jelas oleh Lyana.

"Wajar kok, Kak, mungkin dia takut kalau pacarnya akan melirik cewek lain. Orang cemburu itu tandanya sayang. Itu sih kata kebanyakan orang," ujar Lyana lalu mereka terkekeh bersama.

"Bukan begitu, tapi kasihan si Al. Seperti dipenjara," sahut Gibran lalu tertawa keras.

"Udah yuk, masuk! Aku ada kuliah pagi," ajak Lyana lalu mereka pun masuk ke gedung kampus.

Di sepanjang perjalanan Gibran dan Lyana saling bersenda gurau. Sesekali Gibran tertawa lepas karena cerita polos Lyana. Hingga mereka pun berpapasan dengan Ranggaz dan kawan-kawan.

"Eh, si cantik Lyana," sapa Andika.

Lyana menyapa mereka dengan senyum terbaiknya.

"Halo, Lyana," sapa Ranggaz manis sambil menggoda.

"Hai, Ranggaz," balas Lyana ramah.

"Eh, iya, Beril, nih kenalin adek sepupu gue," kata Gibran teringat jika Beril belum sempat mengenal Lyana.

Beril mengulurkan tangannya menjabat tangan Lyana. Senyum manis terlempar untuk Beril saat mereka saling menjabat dan memperkenalkan diri.

"Ly, Beril ini fotografer. Koleksi kameranya banyak. Sesuailah sama hobi lo yang juga suka mengoleksi foto, kan?" ujar Gibran.

"Oh, iya? Wah, kebetulan. Jadi nanti kita bisa ngobrol banyak tentang kamera dan hasil foto, ya?" Sambut Lyana girang, akhirnya dia menemukan teman yang satu hobi dengannya.

"Sip, oke deh! Gampang masalah itu. Nanti kita ngobrol banyak," sahut Beril ramah dan senang hati menerima teman barunya.

"Baik, aku harus masuk kelas dulu. Sampai jumpa semua, aku duluan, ya?" Lyana melambaikan tangannya seraya menjauh dari keempat pria-pria tampan itu.

Ranggaz dan Andika yang memang sejak awal mengagumi kecantikan Lyana tak henti-hentinya memandang tubuh ramping, mungil, dan selalu berpenampilan sopan itu yang semakin menjauh.

"Beruntungnya nanti yang jadi suaminya," ucap Andika asal.

"Sudah cantik, ramah, lemah lembut, baik, anak rumahan. Duhhh, semoga aja dia jodoh gue," ujar Ranggaz masih memerhatikan punggung Lyana yang semakin jauh dan menghilang di tikungan.

Mendengar ucapan Ranggaz, Gibran memukul bahu Ranggaz dengan gulungan buku yang tadi dia bawa.

"Aw! Kampret! Sakit bego!" umpat Ranggaz membuat yang lain terkekeh.

"Gue enggak ikhlas kalau adek gue jadi istri lo. Yang ada tiap hari dia makan hati," seru Gibran ketus.

"Bener ... setuju kalau itu. Cewek dan gebetan mau lo taruh mana?" tanya Beril sambil meledek dan terkekeh.

"Nah, loooh! Mampus lo!" ledek Andika membuat Ranggaz tak terima.

Ranggaz hampir memukul bahu Andika, tetapi dengan cepat Andika menghindar dan berlari. Ranggaz mengejar Andika membuat Beril dan Gibran tertawa geli melihat dua sahabatnya itu selalu bertindak konyol dan seperti anak-anak.

***

Di dalam kelas saat mengikuti pelajaran, Al tak bisa sepenuhnya konsentrasi. Dia selalu memikirkan sikap Lisa yang semakin mengekangnya dan mengaturnya. Apa yang Al lakukan tak dapat bebas, ke mana pun Al pergi Lisa selalu memantau dan menelepon. Seolah Lisa tak memberinya kepercayaan dan ruang untuk bergerak.

Al membuang wajahnya keluar jendela kaca, dari situ dia menangkap Lyana sedang duduk di bangku putih bawah pohon yang rindang. Senyum tipis terukir dari bibir merah Al. Hatinya seketika menghangat dan damai saat melihat gadis yang sudah diam-diam mencuri hatinya.

Bagaimana caranya gue bisa menggapai dia? Sedangkan di sisi gue sudah ada Lisa, gumam Al dalam hati.

Gibran yang duduk bersebelahan dengan Al merasa heran karena Al sangat betah memerhatikan ke luar jendela. Gibran mengikuti arah pandang Al, setelah memahami, Gibran hanya senyum dan menggeleng. Tak ada niat Gibran untuk memudarkan kekaguman Al kepada Lyana.

Lo sudah menyita perhatin gue, lo menyandera otak gue agar memikirkan lo, lo sudah membuat hari-hari gue dipenuhi rasa penasaran. Siapa sih sebenarnya lo itu? Lagi-lagi Al hanya dapat bertanya dalam hatinya.

Melangkah untuk mendekati Lyana, mungkin saja akan Al lakukan. Namun, Al masih memikirkan Lisa. Komitmennya untuk berpacaran dengan Lisa membuat Al susah untuk melangkah. Al memang tampan dan banyak wanita yang mendekatinya.

Namun, jika dia sudah memiliki komitmen, Al akan berusaha menepati dan setia. Bagaimana jika yang dipertahankan seperti Lisa? Selama ini Al selalu berjuang sendiri untuk mempertahankan hubungannya dengan Lisa. Bukankah Al akan semakin menyakiti dirinya sendiri? Apakah Al dapat terus bertahan dengan wanita yang sudah mengekang kebebasannya? Lisa dan Lyana, dua nama gadis cantik yang hampir sama itu terus menari-nari di pikiran Al.

Al terus berpikir hingga kepalanya terasa pening, dipijat pelipisnya sambil memerhatikan Lyana yang asyik membaca buku. Hingga tak terasa jam mata pelajaran kali ini pun berakhir. Gibran menyadarkan Al dengan menepuk bahunya.

"Keluar yuk! Cari makan," ajak Gibran membuat Al terlonjak.

"Eh, iya. Sudah selesai?" tanya Al menoleh kepada Gibran.

Gibran yang tahu sedari tadi Al tak memerhatikan pelajaran, justru dia sibuk dengan pikirannya sendiri, hanya diam dan tersenyum. Gibran mulai memahami arti tatapan Al kepada Lyana. Namun, dia tak ingin ikut campur persoalan itu.

"Kantin yuk!" ajak teman-teman Al saat mereka menghampiri ke mejanya.

Al sangat malas jika nanti bertemu Lisa, tetapi memang dia harus menghadapinya. Al membereskan buku lalu mencangklong tasnya, kemudian dia mengikuti teman-temannya yang sudah berjalan lebih dulu.

"Al!" panggil seseorang dari arah belakang.

Al dan kawan-kawan pun berhenti. Gadis cantik nan sexy berjalan mendekati mereka.

"Gue mau ngadain party di rumah. Gue mau minta lo ngisi acaranya. Lo nge-DJ, ya, Al?" pinta teman sekampus Al.

Al menoleh kepada teman-temannya, lalu mereka mengangguk.

"Oke, soal waktu dan tempat lo bisa diskusiin sama Beril atau Andoy. Entar kalau mereka udah deal sama lo, gue akan isi acara di party lo," sahut Al dingin karena dia tak ingin membuat Lisa cemburu jika melihatnya mengobrol dengan wanita lain.

"Oke, Al. Makasih, ya, entar gue hubungi Andoy kalau enggak si Beril," ucap gadis itu lalu Al membalikkan badannya begitu saja.

Al selalu berusaha menjaga hatinya dan menjaga jarak dengan wanita lain untuk Lisa. Namun, bagi Lisa apa yang sudah Al lakukan selama ini masih saja kurang dan selalu salah.

Mereka pun sampai di kantin kampus. Di sana sudah ada Lisa dan teman-temannya sedang bercengkrama dan bercanda ria. Hingga sesekali tawa keras dan terbahak keluar dari mulut mereka.

"Lis, tuh cowok lo," ujar seorang teman yang melihat Al dan kawan-kawannya baru saja masuk ke kantin.

Al dan teman-temannya duduk di bangku pinggir yang langsung bersebelahan dengan taman. Al melihat Lyana dengan teman-temannya sedang membaca buku di bawah pohon yang sama. Namun, bedanya tadi Lyana sendiri, kini dia bersama dua temannya.

"Darling." Suara manja membuyarkan kebahagiaan Al yang baru saja dia rasakan.

Lisa memeluk Al dari belakang lalu mencium pipinya. Al menarik napas dalam karena dia tak suka sebenarnya jika Lisa melakukan hal itu di tempat umum. Namun, karena Al sedang tak ingin bertengkar dengan Lisa, dia hanya diam.

"Mau makan apa lo?" tanya Andika bersiap memesankan Al sekalian dirinya.

"Gue enggak makan, minum aja deh. Jus jeruk," sahut Al melirik Lisa yang kini duduk di sampingnya seraya bergelayut manja di lengannya.

"Oke, gue pesenin dulu." Andika dan yang lain pergi mencari makan.

Tinggal Al dan Lisa yang duduk di sana. Al membiarkan Lisa menaruh kepalanya di bahunya.

Al memerhatikan Lyana lagi, sejenak Lyana mengangkat kepalanya dan melihat Al sedang menatapnya. Senyum menyapa dan anggukan kepala Lyana lempar untuk Al. Al membalas dengan senyuman sangat tipis.

"Nih pesenan lo." Andika membawakan jus jeruk untuk Al. Dia juga membawa jus jambu untuknya sendiri.

"Kok lo enggak bawain gue sih, Doy," protes Lisa yang melihat Andika hanya membawa dua gelas jus.

"Lo juga mau, Lis? Gue pikir tadi lo udah minum sama temen-temen lo," ujar Andika seraya duduk di bangkunya.

"Itu kan di sana. Kalau di sini bedalah. Enggak perhatin banget sih lo," omel Lisa membuat kepala Al semakin pening.

"Udah jangan diributin. Masalah sepele gitu aja diributin. Ini, kamu minum jus aku aja," kata Al menggeser jusnya ke depan Lisa.

"Terus kamu minum apa?" tanya Lisa melihat Al mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

"Air mineral, lebih sehat," jawab Al tak acuh memamerkan botol air mineral yang baru saja dia ambil dari tas.

Hati Lisa menghangat karena dia berpikir Al lebih rela meminum air mineral dan memberikan jus jeruknya untuk dia. Padahal, Al sedang tak ingin mendengar pertengkaran ataupun berisik di sekelilingnya. Al hanya ingin menikmati wajah cantik dan senyum manis gadis yang sudah beraninya merenggut hati dan menyadap pikiran Al selama ini. Senyum tersungging dari Al saat dia memerhatikan Lyana, itupun tanpa Lisa tahu dan tanpa menimbulkan kecurigaan dari teman-temannya. Namun, tidak untuk Gibran, dia menyadari hal itu.

######

Ciyeeeee, ahai! Kok kamu nakal sih Al. Ah! Aku jadi senyum-senyum sendiri.

Makasih vote dan komennya, teman-teman.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top