NAKSIR DIA, TAPI PUNYA PACAR

Kali ini Al memadukan kaus putih dengan topi sebagai asesorisnya dan celana training putih yang membuat tampilan sporty-nya sempurna. Al kembali menjadi pusat perhatin di atas panggung bersama Gibran dan Ranggaz.

Ratusan orang memadati lapangan untuk menikmati musik remix yang Al putar. Dia sangat mahir memainkan semua perangkat alat elektronik yang disebut DJ gears atau DJ equipment. DJ gears terdiri dari CD decks (CD Player), turntable yang gunanya sebagai pemutar atau player membaca piringan hitam. DJ mixer, headphones, perangkat komputer, dan serato scratch live.

Al sudah memiliki lagu andalan yang sering dia putar dari panggung ke panggung dan kelab ke kelab, membuat orang kini lebih mengenalinya. Al berjingkrak sangat berenergi sambil sesekali memutar tombol pada mixing-nya. Tak mau kalah dengan Al, Ranggaz dan Gibran pun sangat bersemangat mengimbangi musik yang Al racik. Kerja sama tim yang baik saat di atas panggung.

"Wuih, gila! Sukses keras manggung kali ini," seru Andika sebagai asisten Al.

Ranggaz dan Gibran turun dari panggung. Senyum puas terpancar dari bibir mereka. Al menghempaskan tubuh di kursi lalu mengelap keringatnya. Diikuti Gibran dan Ranggaz, mereka langsung menyahut botol air mineral yang ada di meja. Deringan handphone seluler Gibran menghentikannya menenggak air. Gibran merogoh handphone-nya lalu segera menggeser tombol hijau yang ada di layar.

"Halo," sahut Gibran setelah menempelkan handphone-nya di telinga.

"Hallo, Kakak ada di mana? Aku mau ke rumah Kakak. BT di rumah sendiri," kata penelpon dari seberang.

Al memerhatikan Gibran yang terlihat serius mengangkat telepon, entah dari siapa. Namun, Al merasa ingin tahu pemilik suara yang terdengar lirih di telinganya. Tak biasanya Al ingin tahu dan penasaran hingga ikut campur urusan orang lain. Kali ini suara dari seberang membuat dia tertarik menyimak percakapan itu. Al mendengar baik-baik komunikasi Gibran dengan orang yang sedang meneleponnya.

"Gue masih di Monas, ada acara. Lo langsung ke rumah aja, emang Tante sama Om ke mana?" tanya Gibran seraya melirik Al yang diam mendengarkannya berbicara.

"Mama sama Papa ke Singapura, Kak. Ada kerjaan yang harus mereka urus di sana. Aku sendirdian di rumah," rengek manja gadis belia itu.

"Ya udah, lo ke rumah aja. Suruh antar sopir, ya? Jangan nyetir sendiri, udah malam ini," ujar Gibran penuh perhatin kepada gadis itu.

"Oke. Kakak enggak pulang? Aku mau nginep di rumah Kakak. Enggak enak di rumah sendiri," tanya gadis itu yang sudah akrab dengan Gibran.

Mungkin karena dia anak tunggal dan Gibran sangat menyayanginya selayaknya seorang kakak, membuat dia nyaman dan senang dapat bercerita banyak dengan kakak sepupunya itu.

"Nanti larut malam Kakak baru bisa pulang, Ly. Kenapa? Mau curhat nih pasti," goda Gibran yang asal menebak. Terdengar tawa kecil darinya.

"Kok Kakak tahu kalau aku mau curhat? Iya, aku mau cerita soal ...."

"Soal apa hayoooo? Pacar, ya?" sahut Gibran cepat sebelum Lyana melanjutkan ucapannya.

"Iiihhhh, bukan! Mana ada aku punya pacar, Kak. Kakak tahu sendiri kalau aku enggak punya teman cowok. Pokoknya kalau kita udah ketemu aja, aku baru cerita," sangkal Lyana membuat Gibran terkekeh.

Gibran tahu betul bagaimana adik sepupunya itu, yang sejak dulu tak ingin memusingkan dirinya dengan urusan cinta. Yang dia pikirkan hanya pendidikan dan planning masa depan. Lyana belum punya pikiran untuk merajut kasih dengan teman prianya.

"Iya deh. Ya udah lo langsung ke rumah Kakak aja, besok pagi kita ke kampus bareng, jadi lo bisa curhat sepuasnya."

"Oke, Kak. Ya udah, aku berangkat sekarang. Sampai jumpa, Kak," ujar Lyana lalu memutuskan panggilannya.

Gibran tersenyum dan menggeleng seraya meletakkan handphone-nya di meja.

"Siapa? Serius amat," tanya Al yang sedari tadi penasaran, tetapi tetap stay cool.

"Adek sepupu gue. Biasa, kalau orang tuanya enggak ada di rumah biasanya nginep di rumah gue," jawab Gibran mengambil sebatang rokok lalu memantik korek api.

"Wuiiihhh, jadi si Lyana ada di rumah lo, ya?" sahut Ranggaz cepat dan antusias.

"Ya! Kenapa?" tanya Gibran ketus yang sudah dapat menebak isi pikiran Ranggaz.

"Gue nginep di rumah lo, ya, malam ini," pinta Ranggaz memohon.

"Enggak ada yang boleh nginep di rumah gue malam ini. Bahaya, buaya masuk di rumah gue saat ini," ujar Gibran membuat Ranggaz kecewa.

"Yaelah, biasanya juga lo izinin kami keluar masuk, bebas di rumah lo," bujuk Ranggaz yang belum mau mengalah.

"Kali ini beda, soalnya ada bunga mawar yang masih kuncup di rumah gue. Kalau kalian para kumbang nginep bisa gaswat!"

"Gawaaaat!" seru yang lain membenarkan kata Gibran yang sengaja dipelesetkan tadi.

Gibran terkekeh melihat kekompakan kawan-kawannya. Al hanya diam dan seolah dia sedang memikirkan sesuatu. Ranggaz masih saja mendesak Gibran agar dia diizinkan menginap di rumahnya. Andika yang baru saja selesai mengurusi sesuatu lalu ikut bergabung bersama mereka, diikuti Beril yang juga baru datang. Mereka duduk di kursi yang masih kosong.

"Kenapa lo ngerengek begitu sama Gibran?" tegur Beril melihat Ranggaz masih merayu Gibran.

"Tahu nih! Udah gede juga merengek begitu," cerca Gibran yang tak acuh.

"Ini masalah pria dewasa, kali aja gue jodoh sama adik sepupu lo. Lo kan, bakal bangga punya adik ipar kayak gue," ujar Ranggaz percaya diri.

"Hidiiihhhhhh, musibah buat adik gue kalau dapat lo," tolak Gibran membuat semua tertawa.

"Emang ada apa sih? Kenapa lo sampai begitu?" tanya Andika penasaran melihat Ranggaz antusias membujuk Gibran agar mengizinkannya menginap di rumahnya.

"Ada Lyana yang nginep di rumah Gibran, Doy. Makanya gue malam ini mau nginep di rumah dia. Ya ... siapa tahu gue bisa meraih hatinya. Namanya juga usaha," jelas Ranggaz disambut bahagdia oleh Andika.

"Serius lo? Wah, kalau gitu gue juga mau nginep di rumah lo, Bran." Gibran semakin pusing dengan bujukan teman-temannya.

"Enggak! Malam ini pokoknya enggak ada yang boleh nginep di rumah gue. Titik!" ujar Gibran tegas karena dia tak ingin kenyamanan Lyana di rumahnya terganggu.

Terlihat raut wajah kecewa dari Ranggaz dan Andika, berbeda dengan Al. Dia justru tersenyum penuh kemenangan. Beril yang melihat wajah temannya tertekuk hanya terkekeh geli.

"Udah selesaikan semua? Kita pulang sekarang," ajak Heldy baru saja selesai mengurus sesuatu.

"Okay, Om."

Semua beranjak dari tempat itu dan mengemasi bawaannya. Setelah memastikan bawaan mereka tak ada yang tertinggal, mereka pun menuju ke tempat mobil terparkir. Al langsung saja masuk ke mobil Gibran tanpa seizin pemiliknya.

"Lah, lo ikut gue? Enggak ikut Om Heldy?" tegur Gibran terkejut dan setahu dia, tadi Al berangkat bersama Heldy.

"Enggak, kasihan Om Heldy kalau ngantar gue pulang dulu. Rumah kita kan searah. Sekalian aja," ujar Al yang memiliki niat terselubung.

"Okay deh, terserah lo."

Akhirnya Gibran pun melajukan mobilnya untuk membelah jalanan kota metropolitan malam ini. Hingga hampir sampai di daerah rumah mereka, Al menolak Gibran mengantarnya pulang ke rumahnya.

"Langsung ke rumah lo aja deh. Gue udah ngantuk banget," kata Al beralasan sambil berpura-pura memejamkan matanya.

Gibran yang melirik Al bersandar sambil melipat kedua tangannya di depan dada, merasa tak tega. Al masih setia memejamkan mata, dalam hati dia was-was jika Gibran akan tetap menurunkan di depan rumahnya. Hingga Al merasa mobil berhenti, dia tak membuka mata. Al menunggu Gibran mengucapkan sebuah kata.

"Al udah sampai, turun yuk!"

Dalam hati Al tersenyum penuh kemenangan. Dari kata-kata Gibran tadi Al dapat menebak jika mobil itu berhenti di depan rumah Gibran. Namun, kenyataannya mengejutkan, Gibran memarkirkan mobilnya di pelataran rumahnya.

"Kok ke rumah gue?" tanya Al sedikit tak terima.

"Iyalah! Gue lihat lo udah kelelahan banget. Enggak tega gue, kalau ajak ke rumah gue kelamaan, kan lebih deket rumah lo daripada rumah gue," jelas Gibran polos tanpa beban.

Gibran tak menyadari alasan Al yang ingin menginap di rumahnya. Dengan perasaan kecewa Al keluar dari mobil Gibran lalu berlari kecil menuju ke teras rumahnya tanpa berpamitan dengan Gibran. Tak ada kecurigaan di benak Gibran dengan sikap aneh Al, dia langsung melanjutkan perjalanan untuk menuju ke rumahnya.

Di dalam kamar, Al menghempaskan tasnya kasar. Dia mengacak rambutnya frustrasi. Entah mengapa kini hatinya merasa sangat kecewa dan ingin sekali marah. Al sendiri tak memahami, sejak pertemuan pertamanya dengan Lyana, Al tak henti-hentinya memikirkan gadis itu. Otaknya tersita untuk memikirkan gadis berparas ayu nan manis itu.

"Gibran, lo enggak peka banget sih jadi teman. Gue tuh pengen nginep di rumah lo, biar bisa ketemu adik sepupu lo, bego!" gerutu Al memaki Gibran yang tak ada di depannya.

Hati Al menjadi gelisah, ingin sekali Al mengenal lebih jauh gadis itu. Parasnya yang cantik telah menarik perhatinnya.

"Gue kalau lama-lama begini bisa mati penasaran. Gue harus bisa deketin dia, entah dengan cara apa pun pasti gue bisa," ucap Al bertekad bulat meyakinkan dirinya sendiri.

Al lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum beranjak tidur.

***

Sang mentari pagi menghangatkan dunia. Embun segar telah menyejukkan jiwa, senyum manis tersebar di rumah bernuansa putih itu. Lyana yang sejak subuh tadi sudah bangun dan membantu Hesti, mama Gibran, menyiapkan sarapan di dapur sesekali membuat adik kandung mamanya itu tertawa bahagia.

Selesai memasak, Hesti dan Lyana pun menyajikan sarapan di meja makan. Lyana sangat mahir membantu pekerjaan rumah, karena itu sudah sering dia lakukan.

"Selamat pagi," sapa Gibran yang baru saja masuk ke ruang makan.

"Pagi juga," sahut Lyana dan Hesti sambil mereka menata makanannya di meja makan.

Gibran menarik kursi lalu duduk dan bersiap untuk sarapan.

"Papa mana, Ma?" tanya Gibran kepada Hesti.

"Papa kan ikut Tante Virda sama Om Dirga ke Singapura. Ada bisnis keluarga kita yang harus mereka urus. Tugas Mama di sini ngurus kalian," jelas Hesti seraya melayani Gibran, mengambilkannya sarapan.

"Ayo, Tan, kita sarapan bareng." Lyana menarik kursi untuk Hesti dan dirinya sendiri.

Dengan senyum terbaiknya Hesti duduk di samping Gibran. Lyana mengambilkan nasi goreng ayam yang tadi dibuat bersama Hesti.

"Tante, segini mau lagi apa cukup?" Lyana memperlihatkan nasi goreng yang ada di piring untuk Hesti.

"Cukup, segitu aja. Tante lagi diet," kata Hesti lalu terkekeh sendiri.

Lyana ikut terkekeh mendengar bahwa Hesti sedang program diet. Bagaimana mungkin diet, sedangkan berat tubuhnya saja 70 kilogram. Gibran tertawa keras hingga menggelegar di ruang makan.

"Mama diet? Haduh, Ma, kalau Gibran boleh kasih saran, mending enggak usah deh. Entar masuk rumah sakit lagi, Gibran yang repot. Gibran enggak bisa main sama temen-temen," gurau Gibran mendapat cubitan sayang dari Hesti.

"Kamu nih, enggak suka, ya, kalau lihat Mama cantik." Hesti mencebikkan bibirnya membuat Gibran semakin tertawa keras.

"Enggak kok, Ma, Gibran tuh cuma mau Mama sehat. Enggak usah diet-dietan segala. Itu akan menyiksa diri Mama. Cukup makan makanan yang sehat aja, ya?" saran Gibran penuh perhatin.

Lyana tersenyum bahagia melihat perhatin Gibran kepada Hesti. Walau Gibran jarang menemani Hesti di rumah, tetapi dia sangat perhatin dan penuh kasih sayang dengan keluarganya. Maka dari itu Lyana merasa aman dan nyaman selama dekat dengan Gibran. Dia selalu melindunginya dan menjaganya.

"Udah, jangan ledekin Mama terus. Habisin aja nasi goreng kamu," perintah Hesti kepada Gibran.

Akhirnya mereka pun melanjutkan sarapannya. Diiringi canda tawa dan senda gurau ala orang tua dan anak. Meski hanya sebagai keponakan, Lyana merasa Hesti adalah ibu kedua baginya.

***

Sedangkan di rumah bernuansa putih abu-abu, Maya dan ketiga jagoannya sedang menikmati sarapan. Hanya candaan dan obrolan kecil yang terjadi di antara mereka. Hingga sebuah bel rumah bunyi. El berniat untuk beranjak dari duduknya dan membukakan pintu. Namun Maya cegah pergelangan tangannya.

"Biar Bunda yang bukain pintu, kamu selesaikan sarapannya."

El mengangguk dan mengikuti perintah Maya. El melanjutkan sarapannya bersama Al dan Dul. Sedangkan Maya membukakan pintu. Setelah pintu terbuka, Maya menautkan dahinya, melihat seorang gadis berparas cantik berpakaian serba mini. Rok pendek yang mengekspose paha mulusnya dipadukan dengan kaus putih ketat pas bodi. Rambutnya sengaja digerai, gadis itu membuka kacamata hitamnya, lalu tersenyum ramah kepada Maya.

"Selamat pagi, Tante. Maaf pagi-pagi sudah mengganggu, aku Lisa, pacar Al."

Maya membulatkan matanya sempurna ketika gadis itu dengan percaya diri memperkenalkan diri secara langsung.

Maya menjabat uluran tangan Lisa dan memerhatikan kembali gadis yang mengaku kekasih anak sulungnya dari atas hingga bawah.

"Al!" pekik Maya sedikit keras seraya memerhatikan Lisa. Suaranya terdengar hingga ke ruang makan.

Al yang mendengar panggilan Maya lalu menghentikan makannya. Al, El, dan Dul saling menatap penuh tanda tanya.

"Ada apa sama Bunda?" tanya Dul seketika merasa cemas.

Mereka bertiga pun segera berdiri lalu menghampiri Maya. Al terkejut saat melihat Lisa sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Ini bukan yang Al inginkan. Al belum siap memperkenalkan Lisa kepada sang bunda. Namun, apa yang sudah Lisa lakukan? Semua sudah telanjur.

#####

PD banget sih si Lisa! Pagi-pagi datang, enggak punya aturan. Hehehe, maaf, ya? Aku kesel sama Lisa.

Makasih atas dukungannya. Makasih vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top