JAUH DI MATA DEKAT DI HATI
Semenjak kepergian Lyana, kini Al sering mengisi waktu luangnya dengan bermain DJ bersama Maya saat mereka sama-sama tak memiliki kesibukan. Kini nama Al semakin tenar seiring melejitnya karier menjadi disc jockey dan penyanyi solo. Tawaran menjadi bintang iklan dan bermain film pun membanjirinya.
Meskipun begitu, Al tetap akan mengosongkan waktunya seminggu sekali untuk sekadar berkumpul bersama keluarga. Satu tahun lebih kepergian Lyana ke Belanda, Al mampu melalui hari-harinya tanpa Lyana di sisi. Meski awalnya terasa berat karena Al sudah terbiasa bersamanya, dia tetap berusaha menerima kenyataan jika dia sekarang menjalin hubungan jarak jauh bersama Lyana.
Meskipun begitu, hati Al tetap sama, dia tetap masih bertahan menunggu Lyana. Justru rindunya kepada Lyana yang memupuk rasa cinta itu hingga semakin tubuh di jantung hati Al. Cinta Al sudah harga mati kepada Lyana, secantik apa pun wanita yang berkeliaran di depannya, bagi Al itu hanyalah ilusi, godaan sesaat. Hatinya tetap akan selalu mencintai gadis yang jauh di mata, selalu terasa dekat di hatinya.
"Bun, latihan yuk! Udah ada Gibran tuh di studio," ajak Al membuka pintu kamar Maya pagi ini.
"Ya, kamu duluan, nanti Bunda nyusul. Bunda selesaikan ini dulu," sahut Maya merapikan bantal dan guling.
"Oke, Al tunggu di studio, ya, Bun." Al menutup pintunya kembali kemudian menuju ke studio miliknya yang beberapa bulan lalu dibangun di rumah Maya.
Maya yang baru saja selesai merapikan kamarnya lantas keluar menghampiri Al yang sudah siap di studio mininya. Tak ada yang spesial di ruang berukuran 3x4 meter itu. Hanya equipment DJ lengkap dengan laptop, turntable, mixer, sampai headphone.
Maya tersenyum sangat manis saat melihat Al selalu menggunakan headphone pemberian Lyana yang dititipkan kepada Maya kala itu sebelum Lyana berangkat ke Belanda.
"Lebih semangat, ya, kalau pakai headphone itu," tegur Maya kemudian menyalakan semua alat yang diperlukan saat berlatih men-DJ bersama Al.
Al hanya tersenyum dan mengelus headphone yang selalu mengalung di leher maupun terpakai di telinganya.
"Benda ini yang selalu membuat Al lebih bersemangat menciptakan musik baru dan pemberiannya ini membuat imajinasi Al luas. Jadi lebih mudah mencari inspirasi bermusik, Bun," jawab Al membuat Maya bangga dengan semangat Al yang membara.
"Ayo, mulai." Maya mengenakan headphone lain yang sering dia gunakan saat berlatih bersama Al. Sedangkan Gibran sudah bersiap mengiringi dengan suara emasnya.
Maya semakin bangga kepada Al karena saat ini banyak sekali stasiun televisi yang ingin mengontraknya dengan bayaran tinggi. Hasil kerja keras Al selama ini berbuah manis. Namun, tak semudah itu Al menerima setiap tawaran, Al akan benar-benar menyeleksi, karena pekerjaan ini bagi Al bukan hanya soal materi, melainkan kenyamanan.
"Al, Bunda mau tanya satu hal sama kamu," ujar Maya menghentikan musiknya sementara, agar obrolannya bersama Al tak terganggu.
"Iya, Bun, mau tanya apa?" Al memerhatikan dan benar-benar menunggu Maya untuk bersuara.
Maya tersenyum sangat manis kepada Al. "Apa kamu nyaman dengan pekerjaan ini?"
Al tersenyum menatap wajah Maya lembut. "Al sangat mencintai pekerjaan DJ, Bun. Al sangat menikmati pekerjaan ini. Jadi Bunda enggak usah khawatir jika Al akan merasa bosan. Al enggak akan bosan, Bun, karena DJ adalah hobi yang menyenangkan," jawab Al membuat Maya tersenyum puas.
"Kalau begitu Bunda merasa lega, awalnya Bunda takut jika semakin padat jadwalmu, kamu akan merasa bosan dan meninggalkan pekerjaan ini di tengah jalan."
Usai berbincang Maya mulai mengeraskan musiknya kembali, lalu memasang headphone di telinganya. Al mengikuti Maya memasang headphone pemberdian Lyana lalu memerhatikan tangan Maya yang menari lincah di atas turntable.
Meski kini Al harus berteman handphone setiap hari untuk menanyakan kabar Lyana yang jauh darinya, bagi Al jarak tak akan terasa lagi. Alat komunikasi yang sekarang semakin canggih membuat mereka tetap merasa dekat.
Al melihat dan memerhatikan tehnik Maya dalam memutar musik remix. Ilmu yang Maya tularkan kepada Al saat ini membuat Al semakin dalam menguasai DJ. Hampir tiga jam Maya, Gibran, dan Al bergulat di studio mini pribadi Al. Maya mulai lelah dan telinganya juga membutuhkan istirahat.
"Sudah dulu, ya, latihannya. Gibran, makasih, suara kamu makin okay aja," puji Maya melepas headphone-nya.
"Wah, Tante bisa aja, ini memuji tulus atau pujian menjatuhkan?" gurau Gibran, Maya hanya menanggapi dengan tawa lepas.
"Sudah, ah, Tante mau istirahat dulu." Maya menepuk bahu Gibran tanda ucapan terima kasih karena latihan hari ini memuaskan baginya.
"Iya, Tan," sahut Gibran sopan.
"Bunda keluar, ya? Hari ini kamu makin mahir dalam menguasai musik, lanjutkan dan sementara pertahankan ini dulu, ya, Al." Maya menepuk bahu Al.
"Iya, Bun, makasih untuk hari ini, Bun," ucap Al tersenyum manis mengiringi langkah Maya ke luar studio. Maya hanya mengacungkan ibu jarinya ke arah Al sambil melenggang pergi.
"Bro, gue juga langsung balik, ya? Mau ngantar nyokap pergi," pamit Gibran merapikan barang bawaannya.
"Enggak main dulu lo, yang lain pada ke mana sih?" tanya Al karena teman-temannya tak ikut menemaninya berlatih hari ini.
"Biasa, Beril sama Ranggaz kencan, Andoy mungkin lagi ngumpul sama geng motornya. Kalau Om Heldy jelas, dia pasti lagi sama keluarganya," jawab Gibran mencangklong tasnya.
"Lo enggak pergi sama si Enggar?" ujar Al yang merasa iri karena teman-temannya bisa pacaran seperti pasangan muda lainnya.
Nonton di bioskop dan makan malam romantis, Al juga menginginkan hal itu. Namun, dia harus menahan dan sabar hingga Lyana kembali ke Indonesia.
"Entar, pulang ngantar nyokap baru deh gue jemput dia ke rumahnya. Ya udah, gue duluan, ya?" Gibran menepuk bahu Al lalu melenggang keluar meninggalkan Al sendiri di studio itu.
Di sinilah Al meratapi kesendiriannya, saat teman-temannya sibuk dengan kegiatannya masing-masing, Al lebih memilih bekerja meracik dan mencari musik untuk bahan remix-nya. Al melihat jam menunjukan pukul 11.00 WIB, itu artinya jika di Belanda sana jam menunjukan pukul 06.00 waktu setempat. Karena selisih waktu antara Belanda dan Indonesia adalah lima jam, tetapi jika di saat Belanda mengalami musim panas.
Saat musim dingin, selisih waktu bisa sampai enam jam, lebih dulu Jakarta, Indonesia. Al mengambil handphone yang berada di meja kerjanya, lalu dia menghempaskan tubuhnya di kursi tempat biasa dia bekerja di depan komputer. Al menghubungi Lyana yang mungkin saja sudah memulai aktivitasnya sebelum berangkat bekerja.
"Halo." Sahutan dari seberang membuat hati Al sejuk dan tenang.
Al tersenyum sangat manis saat mendengarkan suara yang selalu dia rindukan setiap saat.
"Hai, lagi apa kamu?" tanya Al sambil menyalakan komputernya.
"Lagi bersiap untuk berangkat kerja. Soalnya aku nanti ada meeting pagi dan hari ini jadwalku sangat padat," kata Lyana terdengar sedang menggoreng sesuatu.
Al hanya dapat memaklumi kesibukan Lyana yang saat ini sedang bekerja meraih impiannya menjadi pebisnis profesional. Terkecuali jika Lyana di sana sedang bertamasya, mungkin Al akan marah karena sudah dicueki.
"Apa harimu menyenangkan di sana?" tanya Al mengkhawatirkan keadaan Lyana.
"Iya, aku bahagia di sini. Kamu harus ke sini suatu hari nanti, kamu tahu enggak, kalau di sini ... jam enam pagi itu masih gelap, bahkan jam tujuh aja matahari masih malu-malu buat nongol," kata Lyana membuat Al terkekeh dan semakin rindu untuk segera berjumpa dengannya.
"Ceritakan apa saja kegiatanmu di sana selama aku enggak menghubungimu," pinta Al yang selalu meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita Lyana.
Itu Al lakukan sebagai bentuk membayar utang karena saat dia dan Lyana sama-sama sibuk mereka tak dapat mengobrol banyak dan Al tak ingin ketinggalan cerita sekecil apa pun tentang Lyana di sana.
"Biasa saja, bekerja dan bekerja. Enggak ada waktu untuk bermain dan bermanja-manjaan di sini. Di sini itu semua kehidupan dibatasi dan ditarget. Enggak seperti di Indonesia," ujar Lyana terdengar dari telepon Al sedang mengunyah makanan.
"Kamu makan sama apa?" sahut Al penasaran dengan apa yang sedari tadi Lyana masak dan kini sedang Lyana makan.
"Aku bikin scrambleegg, aku sedang diet. Berat badanku naik gara-gara aku stres menyelesaikan pekerjaanku dan enggak bisa menghentikan ngemil," jelas Lyana membuat Al tersenyum menahan rindu yang semakin menggunung.
"Enggak usah diet, sekalipun kamu gemuk, aku tetep akan selalu suka kamu," rayu Al membuat perasaan Lyana menghangat.
"Gombal! Aku diet karena merasa enggak nyaman saat memakai pakaianku yang dulu. Kamu sedang apa?"
"Lagi di studio. Biasa kan pekerjaan DJ setiap hari lebih banyak menghabiskan waktu di studio," kata Al sambil menyalakan korek api untuk membakar ujung rokok yang sudah berada di mulutnya.
"Iya deh, percaya yang sekarang udah jadi DJ terkenal. Al, udah dulu, ya? Nanti kita sambung lagi. Aku harus berangkat kerja. Hati-hati, ya, kamu, I miss you," kata Lyana terdengar buru-buru.
Al harus dapat memahami jika Lyana tak setiap waktu dapat mendengarkan semua keluh dan ceritanya. Ada kalanya Al harus menyimpannya sendiri, sebenarnya banyak cerita yang akan Al bagi bersama Lyana, tetapi situasi dan kondisi belum mendukung mereka untuk mengobrol lebih lama.
"Baiklah, kamu juga hati-hati di sana, ya? I miss you too and I love you so much."
Lyana tertawa keras dari ujung telepon lalu panggilan pun terputus. Al tersenyum seraya meletakkan handphone-nya di meja. Dia memulai pekerjaannya, serius menatap komputer mencari lagu dan nada yang cocok dengan suasana kelab yang akan dia kunjungi nanti malam.
***
Suasana yang hiruk-pikuk menguasai tempat hiburan malam ini. Orang berbondong-bondong mencari hiburan untuk merelakskan diri. Setelah seharian penuh bekerja, dari pagi hingga malam agar tidak stres, biasanya clubbers pergi ke clubbing untuk mencari hiburan atau banyak faktor yang membuat siapa saja datang ke clubbing. Entah itu alasan melobi klien, bersosialiasi, menambah network, menghilangkan stres dengan mengonsumsi minuman beralkohol ataupun hanya mendengarkan musik yang dimainkan DJ.
"Al, perhatikan mood partygoers, ya?" seru Heldy mengingatkan Al sebelum dia berdiri di belakang turntable.
"Om, aku enggak yakin bisa menyukseskan event ini," kata Al setengah pesimis karena melihat betapa antusdiasnya pengunjung kelab tersebut.
Sebagai seorang DJ terkenal, Al mulai sering diundang ke acara dan berbagai kegiatan hingga festival besar. Hingga kini Al sudah dikontrak oleh perusahaan motor dan rokok untuk memeriahkan setiap acara yang diadakan kedua perusahaan itu. Heldy tersenyum dan menepuk bahu Al, lalu dia duduk di sebelahnya.
"Apa yang membuat kamu menjadi pesimis seperti ini? Orang yang ingin maju dan sukses itu, dia harus berani melangkah dan memberontak rasa malunya. Lihatlah mereka." Heldy menunjuk berbagai macam karakter orang sudah menanti kehadiran Al di lantai dansa.
Al mendongak menyapu semua wajah orang-orang yang haus dengan hiburan.
"Tapi, Om, aku takut menggagalkan event ini. Event ini termasuk acara besar dan aku baru kali ini bekerjasama dengan mereka. Iya kalau aku bisa menyukseskan acara ini, kalau mereka kecewa dengan permainan remix-ku bagaimana?" bantah Al yang belum juga dapat menumbuhkan rasa kepercayaan dirinya lagi.
Heldy terkekeh geli saat melihat wajah lesu bercampur was-was Al.
"Kamu pikir DJ itu bisa ngejamin suksesnya sebuah event?" tanya Heldy diiringi tawanya.
Al hanya mengangguk dengan tampang polos, hal itu justru membuat Heldy semakin dibuatnya tertawa hingga terbahak-bahak.
"Al, Al, enggak begitu juga kali!Menurutku sih, pada event party semua yang ada di sini bersinergi. Mulai dari organizer-nya, terutama yang memang sudah biasa bikin event bagus, tempatnya yang memang asyik, sampai DJ-nya juga. Kalau cuma DJ-nya aja yang ditonjolin, belum tentu juga event-nya sukses. Jadi saling bertautanlah, Al," jelas Heldy menumbuhkan rasa kepercayaan diri lagi di dalam hati Al.
"Iya sih, Om, soalnya kemarin aku dapat cerita dari DJ Riri. Beberapa waktu yang lalu, katanya ada seorang DJ luar negeri yang cukup terkenal beraksi di party scene, Bali. Gara-gara musik yang dibawainnya enggak pas sama kemauan crowd di tempatnya beraksi, hasilnya pun gagal total. Aku jadi kurang PD dan takut itu terjadi sama aku," ujar Al sambil memainkan bungkus rokok yang sedari tadi menjadi pelariannya untuk mengurangi rasa gugupnya.
"Makanya, Om sering bilang ke kamu kan, sebelum manggung dan perform, kenali dulu tempat dan tema acaranya. Kamu juga harus pintar meracik remix sesuai situasi yang ada. Lebih penting lagi, kamu juga harus jago ngebaca arah angin alias mood partygoers." Heldy menepuk-nepuk bahu Al, memberikan semangat agar kepercayaan dirinya kembali.
Al menatap lurus ke depan, melihat gadis berpakadian mini dan vulgar membuatnya justru merasa risih. Ingatannya terbesit kepada Lyana yang jauh di mata, selalu dekat di hatinya.
"Om, kenapa, ya, sampai sekarang Lyana masih berpikir jika DJ itu play boy? Enggak setialah, apalah, itulah, beginilah. Padahal aku udah berusaha meyakinkan dia, kalau aku tidak seperti itu. Sangat sulit meyakinkan hati seorang wanita," keluh Al kepada Heldy.
"Mungkin saja karena kelihatannya DJ itu identik selalu dikelilingi wanita cantik dan pergaulannya di tempat yang bebas seperti ini. Maklumi saja, karena Lyana belum sepenuhnya mengenal pekerjaanmu. Itu adalah PR berat untuk kamu, agar meyakinkan kepada Lyana, bahwa kamu itu bukan DJ seperti apa yang ada di dalam benaknya selama ini." Heldy beranjak dari duduknya, bersiap mengawal Al keluar menuju ke tempatnya memutar musik remix.
"Iya, itu adalah PR terberatku selama ini, Om. Meyakinkan Lyana itu ... seperti aku menakklukan lautan manusia agar ikut hanyut menikmati remix-ku," sahut Al lalu mengikuti Heldy bersiap untuk keluar bersama Ranggaz, Gibran, dan Beril.
Sedangkan Andika sudah mengurus jalan agar penggemar Al tak terlalu ramai mendekatinya, agar nanti tidak menghambat perjalanan Al menuju ke tempat DJ. Semua tim bekerja sama dengan baik, sehingga Al tak perlu susah payah menghadapi jeritan dan tangan-tangan jail dari para fans yang sewaktu-waktu dapat melukainya.
"Ayo!" ajak Heldy bersiap membuka pintu.
Saat Heldy membuka pintu, suasana ramai dan sorakan pengunjung kelab menyambut kedatangan Al. Penjagaan yang ketat membuat Al berhasil melewati kerumunan orang-orang. Kini Al sudah berdiri di balik turntable. Al mulai beraksi, saat dia sudah berada di balik turntable, sikapnya yang cool dan pendiam seketika berubah menjadi periang dan penuh enerjik. Al berjingkrak mengikuti alunan musik yang dia putar, dipemanis oleh suara Gibran dan Ranggaz hingga terkadang mereka berdiri di atas meja untuk memeriahkan suasana.
Kelebihan Al saat menjadi DJ, ketika dia sudah beraksi di party terlihat mempunyai power yang kuat membuat orang tak ingin berhenti menari. Ada juga mungkin yang berpikir menjadi DJ kelihatannya simpel, hanya memutar lagu dan mixing, kenyataannya butuh banyak pengertian, materi, dan latihan untuk menjadi seorang DJ yang benar-benar ahli membangkitkan suasana pesta. Kesalahan memilih lagu pun justru akan membuat pesta gagal total, menjadi DJ itu mudah, tetapi juga susah.
#####
Hampir di ujung cerita. Aku sengaja bikin ini 19 part. Soalnya ngepasin sama umur Al waktu itu yang berusia 19 tahun.
Makasih vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top