AKU PAMIT, YA?
Hari telah tiba, di mana Lyana akan pergi untuk melanjutkan kariernya. Setelah menyelesaikan pendidikan, Lyana mengurus semua persiapan di negara Belanda. Malam nanti dia akan terbang ke Belanda untuk bekerja.
Kedekatan Maya dan Lyana pun seiring berjalannya waktu semakin hari seperti teman yang sulit terpisahkan. Karena urusan bisnis, Maya dan Lyana sering bertemu sembari menunggu ijazahnya keluar, Lyana membantu sementara di kantor Dirga.
"Lyana, setelah meeting kita nanti shopping yuk! Sebelum nanti malam kamu berangkat, Tante mau kita happy dulu di sini," ajak Maya saat mereka akan mengawali meeting.
Kerjasama antara perusahaan Dirga dan Maya membuat Lyana sering bertemu dengannya. Sesekali memang Virda membantu Dirga, saat Lyana membantu di perusahaan, kini Virda lebih banyak meluangkan waktunya di toko bunga.
"Baiklah, Tante," sahut Lyana ceria membuat Maya menyukai tingkah lakunya.
Karier Al semakin cemerlang, setelah dia dikontrak oleh acara di televisi. Usai ujian skripsi dan sidang, Al menerima semua tawaran yang menurutnya nyaman untuk dijalankan. Kini Al hanya memiliki sedikit waktu walau sekadar jalan-jalan, Al sekarang tak sebebas dulu. Semua orang kini mengenalinya, apalagi kini fans Al semakin banyak.
"Om, nanti malam acara talk show jam berapa?" tanya Al kepada Amank, manajernya.
"Jam tujuh mulai acaranya, ini acara live, Al, mungkin selesai sekitar jam delapanan. Kenapa? Kamu punya acara lain?"
"Oh, enggak, Om, mmm ... aku setelah itu ada acara lagi enggak?"
"Tengah malam kamu kan harus perform di kelab," sahut Amank seraya membuka jadwal kegiatan Al yang memang sekarang padat.
"Om, sebelum berangkat ke kelab, apa aku bisa pergi sebentar?" pinta Al dengan wajah memohon kepada pria dewasa yang kini sedang duduk bersandar santai di depannya.
"Emangnya kamu mau ke mana sih, Al? Kamu jam sebelas harus sudah standby di sana loh?" ujarnya.
"Om, please ... pacarku mau berangkat ke Belanda. Masa sih aku enggak boleh menemuinya sebelum kita LDR-an," mohon Al agar mendapat izin.
"Kamu udah punya pacar, Al?" sahut seorang perias artis.
"Bukan, lebih tepatnya calon pacar kalau ujian Al lulus," celetuk Gibran yang kini sedang menemani Al di belakang panggung sebelum acara dimulai.
"Diam lo!" sergah Al menatap Gibran tajam. Gibran hanya terkekeh lalu melanjutkan obrolannya bersama Beril dan yang lainnya.
"Hai, Sayang," sapa seorang wanita menghampiri Beril lalu melingkarkan tangannya di lengannya.
Senyum manis terukir di bibir Beril.
"Hai, kalian cuma berdua?" tanya Gibran melihat Delta dan Chelsea saja.
"Terus lo nanyain siapa lagi?" tukas Delta jutek menatap Gibran.
Beril tertawa kecil melihat wajah lucu kekasihnya jika sedang marah.
"Maaf, maksud gue itu Enggar enggak sekalian ajak ke sini?"
"Enggar lagi perjalanan mau ke sini kok, Bran. Tadi mau kita samperin ke rumahnya, tapi dia bilang lagi di jalan, ya udah gue suruh aja langsung ke sini," sahut Chelsea yang sudah bergelayut manja di lengan sang kekasih, Ranggaz.
Gibran hanya mengangguk paham, dia lebih tahu ke mana perginya sang kekasih sebelum teman-temannya tahu. Enggar selalu lancar berkomunikasi dengan Gibran, ke mana pun dia pergi, Gibran selalu tahu keberadaannya.
"Oh, iya, kita mau kasih kenang-kenangan apa sama Lyana? Kan malam ini dia berangkat ke Belanda," ujar Chelsea membuat hati Al bergetar, ingin sekali mencegah kepergian Lyana.
Mengingat jika hari ini Lyana akan pergi, membuat hati Al berat untuk melepaskannya, walau hanya sementara, tetapi yang Al khawatirkan adalah kelanjutan hubungannya bersama Lyana. Al takut jika Lyana akan mendapatkan pria yang dia anggap lebih baik darinya dan akan mengingkari janjinya untuk kembali.
"Udah deh, jangan dibahas di sini. Bahas di luar aja sana!" seru Al terdengar emosi membuat teman-temannya seketika mengatupkan bibirnya.
Kini Al sedang berada di stasiun televisi yang mengontrak dirinya untuk mengisi cara musik dan dia sebagai DJ tetap. Al harus bisa profesional, meski hatinya menjerit selalu ingin menemui Lyana.
"Ya udah deh, kita keluar dulu mau cariin Lyana suvenir," ujar Ranggaz yang memahami jika kini suasana hati Al sedang buruk.
"Kalian duluan aja, gue sama Andoy di sini aja nemenin Al," sahut Gibran yang tak tega jika membiarkan Al sendiri.
"Okay, entar malam langsung ketemu di bandara aja, ya, Bro," pekik Beril saat sampai di ambang pintu.
"Okay, sip. Kasih yang bagus suvenirnya," sambung Andika.
Beril dan Ranggaz hanya mengacungkan ibu jarinya ke arah Gibran dan Andika. Al masih saja diam menghadap ke cermin yang memantulkan gambar dirinya. Al sedang menyiapkan dirinya untuk melepas kepergian Lyana.
Usai melakukan meeting, Lyana dan Maya pun pergi ke mal. Mereka terlihat akrab dan sering bercanda hingga menimbulkan tawa lepas dari bibir keduanya.
"Tante kalau jalan sama kamu berasa jadi anak muda lagi," ujar Maya diiringi tawanya.
"Berarti virus muda aku udah tersebar di jiwa dan raga Tante dong," sahut Lyana bergurau.
Mereka pun tertawa bersama melepas beban persoalan hidup untuk sementara waktu.
"Oh, iya, Tan, aku mau kasih sesuatu buat Al sebelum aku pergi. Tapi aku bingung mau kasih dia apa, ya, Tan?" Lyana berpikir keras sembari melangkah santai menyusuri mal tersebut.
Maya tampak ikut berpikir, kira-kira barang apa yang Al butuhkan dan sering digunakan. Saat mereka melewati tempat yang menjual berbagai alat musik, Maya menghentikan langkahnya dan menarik lengan Lyana untuk mengikutinya berhenti.
"Tante punya ide!" Maya melirik ke toko yang menjual alat musik itu.
Lyana mengikuti arah mata Maya memandang. Lyana tersenyum memahami maksud Maya.
"Okay, kita cari sekarang." Lyana bersemangat masuk ke toko yang begitu banyak menjual peralatan musik.
Maya merasa bahagia dan beruntung jika Al mampu meraih dan mempertahankan gadis yang kini sedang menemaninya berbelanja itu. Maya sudah merasa cocok dengan Lyana, tetapi semua keputusan berada di tangan anaknya begitupun dengan Lyana. Maya memerhatikan Lyana yang antusias memilihkan salah satu alat yang selalu Al butuhkan dan dapat Al gunakan di mana pun dia berada.
"Tan, ini bagus enggak?" tanya Lyana memperlihatkan benda itu kepada Maya.
Maya menghampiri Lyana dan mengecek kualitas benda tersebut, apakah layak dan berguna untuk Al nanti.
"Ini bagus, tapi ...." Maya melihat bandrol harga yang lumayan mahal.
"Sudahlah, Tan, soal itu jangan dipikirkan. Aku kan udah punya uang sendiri, dari gaji yang selama ini membantu Papa di kantor." Lyana mengambil benda itu dari tangan Maya, lalu memberikannya kepada penjaga toko agar membungkusnya.
Maya hanya tersenyum dan mengangguk. "Makasih, ya?" ucap Maya mengelus pipi Lyana.
"Sudah, ah, kok jadi melow begini sih, Tan. Aku kan jadi berat mau ninggalin Tante. Tapi dua tahun itu cepet kok, Tan, apalagi aku di sana kan kerja, pasti hari-hariku enggak akan terasa karena kesibukanku," ujar Lyana menghibur diri dan Maya.
Walau sesungguhnya hati Lyana juga berat untuk berpisah dengan Al dan teman-temannya di sini. Namun, Lyana harus melakukannya. Lyana melakukan ini demi kebahagiaan orang tuanya, Lyana ingin melihat orang tuanya bangga karena hasil kerja keras mereka selama ini merawat dan menjaganya, membuahkan hasil yang sebanding. Bagi Lyana senyum dan kebahagdiaan orang tuanya adalah harga mati yang tak dapat ditukar dengan segala apa pun di dundia ini, sekalipun itu harta yang berlimpah.
"Lyana, mau janji satu hal sama Tante?" ujar Maya menangkup wajah Lyana agar menatap matanya.
"Apa Tante?" tanya Lyana dengan debaran jantung yang kencang di dadanya.
"Apa pun yang terjadi, pulanglah tepat waktu. Jangan membiarkan seseorang yang tulus padamu menunggu terlalu lama," ujar Maya sudah mengetahui apa yang terjadi di antara Al dan Lyana dari cerita Al selama ini.
Hati Lyana bergetar, ini adalah beban sekaligus hal yang juga dia inginkan. Kembali secepatnya dan meraih apa yang hatinya selama ini harapkan. Namun, Lyana menyadari semua itu tak akan mudah dan tak akan selancar apa yang ada di dalam bayangannya.
Apalagi kini Al sudah menjadi pria yang dikenal banyak wanita dan sering dikelilingi wanita cantik. Itu akan lebih mudah menggoyahkan kepercayaannya selama jauh dengan Al. Berita miring tentang Al tak ayal akan menghampiri telinganya. Akankah Lyana sanggup dengan hal itu? Ataukah Lyana justru akan menyerah sebelum berperang melawan semua godaan itu?
"Iya, Tante, Lyana janji akan pulang tepat waktu," kata Lyana menepis semua pikiran negatif yang menghinggap di benaknya.
Maya tersenyum puas dan sangat manis, seraya mengelus pipi Lyana dengan ibu jarinya.
"Makasih," ucap Maya bahagia dan mengharap Lyana akan menepati janjinya suatu saat nanti.
***
Acara talk show di suatu ruang yang luas dengan putaran remix menjadi penutup acara tersebut mampu menggairahkan semangat penonton live di tempat itu. Musik remix dari tangan Al semakin membuat semarak acara tersebut. Meski hati Al risau karena waktu terus berjalan dan dia harus menemui Lyana sebelum pujaan hatinya itu pergi. Al tetap profesional menjalankan tugasnya dengan baik.
Sedangkan teman-temannya sudah berada di bandara menemani Lyana menunggu waktu pemberangkatan. Hati Lyana was-was karena semakin mendekati waktu pemberangkatannya, Al tak kunjung datang. Lyana ingin sekali bertemu dengan Al sebelum dia pergi.
"Gimana, apa Al sudah bisa dihubungi?" tanya Gibran yang tadi langsung meluncur ke bandara bersama Enggar saat mengetahui Lyana sudah berada di bandara.
"Belum bisa," sahut Beril yang sedari tadi mencoba menghubungi Al.
Lyana hanya menunduk, meremas-remas ujung bajunya. Hatinya selalu bergetar nyeri dan bergemuruh ingin sekali marah karena Al begitu tega membuatnya menunggu hingga seperti ini. Al sudah berjanji dengannya waktu itu, jika dia akan menemui sebelum Lyana berangkat. Namun sepulangnya Lyana jalan-jalan bersama Maya, Al tak kunjung menemuinya. Walau teman-teman Al memberikan alasan jika jadwal Al hari ini padat, Lyana tak memedulikan hal itu. Lyana hanya ingin Al memenuhi janjinya.
"Coba lo telepon Andoy. Kan dia masih nemenin Al di sana," usul Enggar yang duduk di samping Lyana sambil mengelus punggungnya agar selalu tenang.
"Oh, iya, gue lupa. Kenapa enggak dari tadi. Bego banget sih!" umpat Ranggaz langsung merogoh handphone-nya di saku celana. Ranggaz langsung menghubungi Andika.
"Halo, ada apa, Bro," sahut Andika dari seberang.
"Bro, lo di mana?" tanya Ranggaz membuat semua teman-temannya memerhatikan dan mendengarkan perbincangan antara Ranggaz dan Andika.
"Masih di studio. Al aja belum keluar, Bro. Lyana berangkat jam berapa?" tanya Andika terdengar gugup.
"Berangkat jam sembilan lebih lima belas menit. Masih ada waktu, Bro, kalau lo dan Al langsung ke bandara. Jam sembilan Lyana sudah harus masuk ke pesawat," ujar Ranggaz membuat hati yang lainnya ikut risau.
Delta menggenggam tangan Lyana yang terasa dingin karena takut dia tak akan memiliki waktu untuk bertemu Al sebelum berangkat.
"Dia sudah janji akan menemui sebelum aku berangkat," ucap lirih Lyana terdengar Delta yang duduk tepat di sebelahnya.
"Gue yakin, Al akan menepati janjinya. Gue udah kenal Al lama dan selama ini Al enggak pernah mengingkari janjinya," ujar Delta meyakinkan Lyana.
Lyana menegakkan kepalanya dan menatap Delta dengan air mata yang menggantung di pelupuk. Delta memeluk Lyana karena merasa tak tega melihatnya bersedih seperti ini. Chelsea dan Enggar pun ikut memeluk Lyana meringankan rasa sedihnya.
"Jangan menangis, kita yakin Al pasti akan datang," ujar Enggar mengelus punggung Lyana.
Waktu terus berjalan hingga pukul 20.35 WIB Al tak kunjung terlihat. Gibran dan yang lain berusaha menelepon, nomer Al justru tak aktif. Andika dapat dihubungi, tetapi tak diangkat. Hingga waktunya Lyana berangkat, ada rasa kecewa mengiringi kepergiannya kali ini.
"Aku berangkat sekarang ajalah. Mungkin Al sedang sibuk, jadi dia enggak akan datang," ujar Lyana mencangklong tasnya lalu berdiri.
"Lyana, tunggu sebentar lagi. Mungkin Al dan Andoy masih dalam perjalanan," bujuk Gibran menahan lengan Lyana.
"Ini udah jam sembilan kurang sepuluh menit, Kakak. Aku harus masuk sekarang," bantah Lyana meski hatinya sakit, dia tetap berusaha tersenyum untuk melegakan hati teman-temannya.
"Ya sudah, berangkatlah. Jangan membawa beban di hati karena ini perjalanan jauh dan lo akan di sana lama," ujar Gibran mengelus kepala Lyana.
Lyana memeluk Gibran dan menuangkan air matanya di dada kakak sepupunya itu. Gibran membalas pelukan Lyana dan mengusap punggungnya agar isak tangis Lyana mereda. Lyana melepas pelukan dan menghapus air matanya. Dia beralih kepada Delta, Enggar, dan Chelsea, mereka berpelukan untuk melepas kepergian teman baiknya itu.
"Cepet pulang, ya? Biar kita bisa main bareng lagi," pinta Enggar dibalas anggukan Lyana karena dia tak kuasa mengeluarkan kata, Lyana pun sibuk menahan air matanya hingga suaranya seperti menyangkut di tenggoroan.
"Hati-hati, ya, Ly. Kalau dapat view bagus untuk foto jangan lupa kasih kabar ke gue, entar lo kirim aja ke email gue. Siapa tahu entar gue mau ke sana," ujar Beril mengelus lengan Lyana menenangkan sekaligus menghiburnya.
"Ya," jawab Lyana dengan suara tertahan.
Lyana beralih kepada Ranggaz dan menjabat tangannya.
"Udah jangan nangis, cewek cantik itu enggak pantas nangis. Pantasnya begini." Ranggaz menarik kedua sudut bibir Lyana sehingga membuat bibir tipis itu tersenyum walaupun terpaksa.
"Makasih, ya, semuanya. Aku pamit dulu, salam untuk Al dan Andoy," ucap Lyana menahan tangisannya.
Semua berjalan mengantar Lyana hingga di tempat pengecekan tiket. Saat Lyana sudah masuk dalam antrean, suara derap langkah kaki berat mendekat padanya, membuat hati Lyana bergetar dan berdebar.
"Lyana!" Suara itu seketika membuat Lyana menoleh, air matanya tak dapat terbendung lagi saat melihat Al yang sudah berdiri dengan jarak satu meter darinya.
Napas Al memburu dengan peluh bercucuran dari dahinya. Andika berlari menyusul Al, dengan napas tersengal membuat teman-teman yang lain menatap Al dan Andika heran. Tanpa berpikir panjang, Al menarik Lyana keluar dari antrean.
"Kenapa enggak nungguin aku dulu? Hm? Aku kan udah bilang, bakalan datang nemuin kamu sebelum kamu berangkat," maki Al bukannya membuat Lyana marah, dia justru tersenyum bahagia.
"Kamu tahu enggak kalau aku sekarang lagi bahagia?" ujar Lyana menatap wajah Al lekat.
"Apa yang membuat kamu bahagia?" tanya Al heran memicingkan matanya kepada Lyana.
"Karena kamu menepati janji, walau sedikit terlambat," sahut Lyana menunduk sedih.
"Maaf, tadi mobil yang aku pakai bannya bocor dan jalanan macet karena ada acara di jalan arah ke sini. Sampai aku sama Andoy naik ojek mengejar waktu biar bisa nemuin kamu," jelas Al panjang lebar.
"Udah deh, jangan buang-buang waktu. Bentar lagi giliran Lyana tuh Al," sela Gibran.
Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Andika pun mendekati Lyana dan menyela percakapan Al dan Lyana.
"Ly, lo hati-hati, ya, di sana. Jaga diri dan jangan lupa oleh-olehnya kalau balik ke Indonesia," ucap Andika menyalami Lyana dengan senyuman jail.
Semua teman-teman yang mendengar gurauan Andika hanya tersenyum dan menggeleng.
"Iya, makasih, ya, Doy," ucap Lyana tersenyum sangat manis kepada Andika.
Andika kemudian menyingkir dan berdiri di samping Gibran, memberikan kesempatan agar Al dan Lyana dapat melanjutkan obrolannya.
"Sampai di Bandara Schiphol, kamu langsung hubungi aku, ya?" Al meraih kedua tangan Lyana dan menggenggamnya sangat erat.
Hati keduanya sama-sama berat melawan sakitnya perpisahan ini. Namun apa daya, ini semua demi kebaikan mereka. Al menatap ke dalam dua bola mata Lyana yang berkaca-kaca karena menahan tangisnya.
"Jangan nangis." Al mengelus pipi Lyana lembut. Lyana hanya menggeleng lalu menunduk.
"Al, kasih aku alasan agar aku bisa kembali lebih cepat," ujar Lyana parau.
Al mengangkat dagu gadis pujaan hatinya itu, agar Lyana dapat menatap mata Al lebih dalam.
"Aku mencintai kamu dan aku di sini akan selalu menunggumu. Cuma kamu gadis yang sudah berhasil menyita pikiran dan menyadap semua isi otakku. Aku memang bukan pria yang baik dan aku tidak bisa menjanjikan apa pun untuk kamu. Tapi aku akan selalu berusaha sekuat tenaga dan semampuku. Jadi, kembalilah demi aku," kata Al menyentuh relung hati Lyana yang terdalam.
Sekuat inikah cinta yang dimiliki Al? Sejauh ini Lyana tak pernah memberikan jawaban pasti tentang hubungan mereka. Namun, Lyana tak sedikit pun pernah mendengar berita miring tentang Al. Sekalipun pekerjaan Al yang memang dikelilingi wanita cantik dan sexy, Al tetap bisa memegang komitmennya yang akan selalu menjaga hatinya untuk Lyana. Ketangguhan hati Al yang menguatkan kepercayaan jika Lyana adalah pilihan terakhirnya.
"Sebelum kamu pergi, aku mohon dengan sangat tulus dari hatiku yang paling dalam, maukah kamu menerima lamaranku setelah kembalinya kamu dari Belanda nanti?" imbuh Al dalam sekali tarikan napas menatap sungguh-sungguh ke dalam manik mata Lyana.
Semua teman-teman Al terkejut dengan keberanian sang DJ itu. Lyana membekap mulutnya karena tak menyangka Al akan mengungkapkan keinginannya untuk lebih serius dengannya. Lyana melangkah sedikit demi sedikit menjauh dari Al.
Air mata Lyana menggantung di pelupuknya, Lyana menggeleng seraya masih tetap menatap Al.
"Maaf Al, aku ... aku ...." Lyana masih saja berjalan mundur hingga masuk ke pengecekan tiket.
Debaran jantung Al tak keruan mendengar jawaban Lyana seperti itu, Al sudah dapat menebak jika untuk kesekian kalinya pasti Lyana akan menolaknya. Semua teman-teman Al ikut was-was dan tegang menunggu jawaban yang lebih jelas dari Lyana. Al masih saja memerhatikan Lyana yang memperlihatkan paspornya kepada petugas. Setelah diizinkan masuk, Lyana memutar tubuhnya menatap Al dengan linangan air mata.
"Al, maaf," ucap Lyana membuat air mata Al menetes tak tertahankan.
Apakah ini akhir dari perjuangannya untuk menaklukkan hati Lyana? Al menunduk menahan rasa pedih di hatinya. Dadanya terasa sesak dan ingin sekali rasanya Al berteriak lepas, agar sesak di dadanya menjadi lega.
"Maaf, aku enggak bisa menolak lamaranmu itu. Aku mau!" pekik Lyana seketika membuat hati teman-temannya lega.
Semua dapat bernapas lega setelah tadi Lyana mempermainkan perasaan mereka. Al yang mendengar jawaban Lyana langsung menegakkan tubuhnya. Ingin melangkah dan memeluk gadis yang secara tak langsung sudah menjawab penantiannya selama ini. Namun Lyana sudah masuk di area steril dari pengantar ataupun pengunjung yang tak berkepentingan. Lyana hanya melambaikan tangannya dan tersenyum sangat manis kepada Al.
"Cepat pulang, cepat kembali, aku menunggumu di sini," pinta Al sungguh-sungguh.
Lyana mengangguk mantap lalu melambaikan tangannya tanda perpisahan. Tubuh Lyana semakin menjauh dan semakin lama tak terlihat. Lyana pergi dengan perasaan lega karena ini adalah awal yang baik dalam hubungannya bersama Al.
"Berasa kayak film AADC, tapi bedanya ini si cewek yang pergi," celetuk Enggar membuat Al tersenyum geli.
"Iya, deh, jadi melow banget cerita cinta lo, Al," imbuh Delta membuat teman-temannya terkekeh geli.
"Asal jangan kayak Rangga AADC dan Cinta aja. Suruh nunggu 1000 bulan purnama, keburu berjenggot lo, Al!" gurau Gibran lalu merangkul Al dan mengajaknya keluar dari bandara.
Semua mengikuti Al dan Gibran keluar dari area bandara dengan canda gurau untuk menghibur Al dan perasaan lega di hati Al karena Lyana pergi membawa cintanya.
Jarak tak lagi menjadi penghalang bagi Al dan Lyana. Namun jarak akan mengajarkan mereka banyak hal, di antaranya tentang pendewasaan diri dan menyadari betapa pentingnya kebersamaan.
Akankah cobaan hubungan jarak jauh dapat mereka lawan bersama? Hanya satu hal yang harus ditanamkan dalam menjalin hubungan jarak jauh, yaitu rasa saling percaya dalam diri masing-masing. Sejauh apa pun jarak, ketika hati sudah saling terpatri, yakinlah cinta akan menuntunnya kembali dalam pelukan dengan campur tangan Tuhan.
#####
Aku pasti kembali. Aaaah, apakah ini akhir ceritanya?
Jadi inget waktu aku bikin cerita ini. Hubungan Al sama Alysa lagi di ujung tanduk. Pas ketemu di Surabaya, aku kasih novel ini ke dia dan menceritakan sedikit isinya, dia bilang, "Kok bisa mirip gini sih?"
Aku enggak akan lupa ultahmu ke-19 tahun, Boy.
Makasih vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top