7 | Ketidakpekaan
DENGAN langkah lebar, Jihan berjalan memasuki rumah Abil yang tak terkunci. Rasa khawatir menggedor-gedor dadanya dengan keras. Sangat keras sehingga Jihan tak berpikir apa pun selain ingin cepat-cepat melihat sosok laki-laki yang paling disayanginya itu.
Hela napas lega kontan berembus panjang dari mulut Jihan kala netranya menangkap sosok itu tengah meringkuk di atas sofa, tertidur dengan begitu pulasnya sementara televisi dibiarkan menyala begitu saja. Kebiasaan Abil untuk sekadar mengusir sepi di sekitarnya.
Jihan menaruh rantang di atas meja dan mengecilkan volume televisi sebelum mengecek suhu badan Abil. Perasaannya sedikit tenang kala melihat satu botol obat beserta gelas berisi air putih yang nyaris tandas berada di atas meja.
Masih panas, tapi dia udah minum obat kayaknya, pikir Jihan demikian. Lantas ia segera bangkit dan melangkah menuju dapur. Berniat untuk memanaskan makanan yang dibawanya sebelum membangunkan Abil untuk makan.
"Loh, kok?" Langkah Jihan terhenti di ambang pintu dapur. Matanya baru saja menangkap hal ganjil di rumah itu. Ia melihat pintu yang mengarah ke halaman belakang terbuka dengan lebar. Entah apa alasannya, seingat Jihan Abil tidak pernah membiarkan pintu itu terbuka.
Jihan tahu alasan kenapa Abil selalu mengunci rapat pintu halaman belakang itu. Sebab, tak hanya bagi Abil, tempat itu pun menjadi kenangan paling buruk untuk dirinya.
"Jihan? Tolong tutup dan kunci pintunya."
Jihan membalikkan badan seketika tepat ketika suara itu berlabuh di telinga. Abil tengah berdiri jauh di hadapannya saat ini. Matanya yang sayu tampak memandang Jihan dengan lelah. Laki-laki itu begitu pucat dan lemas, membuat Jihan buru-buru kembali menutup serta mengunci pintu itu sebelum melangkah mendekat ke arah Abil.
"Lo udah bangun? Gue baru mau panasin makanan ini buat lo." Jihan menunjukkan rantang yang tengah ia jinjing.
"Nanti aja, gue belum laper." Abil meraih tangan Jihan dan menarik gadis itu untuk kembali duduk di atas sofa. Bukan belum lapar, hanya saja perutnya terasa enek dan mual. Percuma, nanti makanan yang Jihan bawa hanya akan berakhir mengenaskan di atas wastafel jika ia memaksa memakannya.
Jihan tak melakukan protes apa pun. Hanya mengikuti langkah Abil dalam diam. Rasanya tak tega melihat wajah lesu Abil saat ini. Laki-laki itu, benar-benar terlihat sakit.
"Abil, pintu itu kenap—"
"Gue seneng."
Jihan mengernyit. "Seneng? Seneng kenapa?"
"Gue kira lo marah gara-gara gue kemarin nganterin Metta pulang dan biarin lo pulang sendiri. Gue seneng lo dateng dan masih peduli sama gue."
Gue gak bisa marah lama-lama sama lo, Bil. Jihan membatin sedih. Memang, Abil selalu bisa membuat hatinya luluh. Lemah. "Alwin telepon gue katanya lo sama dia janji ketemuan, tapi lo gak dateng."
"Gue takut." Sengaja, Abil biarkan kepalanya bersandar di punggung sofa. Menahan pusing.
"Hah?" Salah satu alis Jihan kontan terangkat.
"Gara-gara lo ajak gue nonton horor, gue takut terus enggak bisa tidur. Jadinya, gue bangun kesiangan terus lupa deh ada janji sama Alwin."
"Bohong!"
Dengan ujung matanya, Abil melirik Jihan. Tersenyum tipis. Gadis yang juga memiliki garis mata sipit itu memang tak bisa dibohongi. Atau, memang ia yang tak pandai berbohong.
"Gue tahu lo sakit. Tuh, panas gini, 'kan badan lo." Jihan menempelkan tangannya di kening Abil. Abil tak menolak, terlalu menikmati sentuhan lembut Jihan. "Lo ngapain janjian sama Alwin? Mau bahas Metta ya?"
Abil menggeleng. "Bukan. Gue enggak berhak ngurusin mereka. Toh, mereka juga belum tentu mau kurus, 'kan?"
Tawa Jihan mengudara begitu mendengar kata-kata Abil. Ia menarik tangannya menjauh dari kening Abil, hendak memukul lengan Abil, tetapi laki-laki itu justru membawa tangannya ke dalam sebuah genggaman. Mendadak, hawa panas yang bersumber dari tubuh Abil terasa merambat dan menghangatkan hatinya. Jihan tersipu di tempatnya terlebih ketika Abil berujar, "Gue beneran seneng lo ada di sini, Jihan."
Dari dulu gue emang selalu ada buat lo, Bil. Selalu ada di sisi lo. Lo aja yang enggak pernah menyadarinya.
"Gue ngambil plester penurun demam dulu deh, Bil. Badan lo panas banget." Salah tingkah, Jihan buru-buru bangkit.
SIRA memandang Alwin dengan serius. Sedikit pandangan sebal dan kecewa disuguhkan pula oleh gadis bermata mocca itu. Alwin tampak mencoba menghindari tatapannya beberapa kali, tetapi Sira kukuh dan tak ingin melepas pandang sampai Alwin benar-benar merasa jengah campur bingung.
"Ini sebenarnya ada apa sih, Sir?" Alwin membuka obrolan, seiring bergantinya backsound Kafe Cokelat tempat mereka bertemu saat ini. Satu jam yang lalu Sira tiba-tiba menelepon dan mengajaknya bertemu di sana. Alwin agak aneh sebenarnya, kenapa seharian ini orang-orang mengajaknya bertemu.
"Gue kecewa sama lo, Win."
Alis Alwin sontak berjungkit. "Kenapa?"
"Lo enggak tahu salah lo apa?" Sira mendengkus. Kesal. Jengkel. Ingin rasanya ia menyembur Alwin dengan cokelat panas di hadapannya. Namun, jika dipikir-pikir, cokelat panas bahkan terlalu bagus untuk mendarat di wajah Alwin.
"Emang apa sih, Sir? Gue udah lakuin apa ke lo?"
"Bukan sama gue. Tapi sama Metta." Iris mocca itu berputar, mendelik tak suka.
"Metta? Emang kenapa lagi, elah?"
Sira menarik napas panjang, berusaha menghimpun udara sebanyak mungkin dalam dada sebelum mengembuskannya dengan perlahan. Ia butuh ketenangan. Rasanya 'bukan Sira banget' seandainya ia meledak-ledak seperti petasan hanya lantaran emosi kepada Alwin.
"Gue enggak ngerti kenapa sesuatu yang udah lo perjuangin susah payah, dengan mudahnya lo sia-siain, Win. Padahal dulu gue inget banget lo sampe pura-pura kanker segala buat bisa raih hatinya Metta. Lo bujuk kita semua buat bikin dia percaya kalau lo beneran sakit. Dan, walaupun pada akhirnya Metta tahu lo bohongin dia, dia bahkan dengan mudahnya maafin lo dan tetep mencintai lo setulus hati. Bahkan sampai saat ini dia selalu seperti itu. Tapi, kenapa lo selalu aja bikin kesalahan yang sama seolah dia bukan manusia yang enggak bisa rasain rasa sakit?"
Sesaat Alwin termenung. Berpikir keras. Memang, ia ingat bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan Metta, gadis yang sejujurnya selalu menjadi nomor satu di hatinya. Hanya saja, laki-laki berwajah tampan itu belum menyadari kesalahan apa lagi yang ia perbuat sehingga Sira bahkan tampak begitu kecewa kepadanya.
"Siapa cewek yang lo kencani kemarin malam?" To the point, Sira melontar tanya saat melihat wajah Alwin yang tampak kebingungan.
"Kencan? Kema-—ya ampun!" Alwin menepuk pelan jidatnya. "Lo tau dari mana, Sir?"
JADI, tadi pagi ...
"Sebenarnya mau si Alwin apa, sih? Dia kalau ngerasa punya wajah ganteng, ya manfaatin yang bener dong. Casting jadi model kek, jadi bintang iklan atau apa, kek. Bukan malah dimanfaatin buat nyakitin cewek. Temen gue lagi."
Cerocosan Aisya langsung saja lolos sedetik setelah Metta menceritakan kejadian kemarin malam, saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Alwin tengah berduaan bersama seorang gadis di lapangan basket. Begitu akrab. Begitu mesra seperti sepasang kekasih.
Sira diam menyimak, selagi tangannya memijat pelan kakinya yang lumayan pegal. Mereka tengah beristirahat setelah memutari lapangan alun-alun kota. Sira tidak biasa jogging pagi, tetapi ajakan Metta juga tidak bisa ditolaknya.
"Harusnya gue enggak terlalu jauh terperosok. Sekarang, gue bahkan enggak tahu gimana caranya bisa ngebebasin diri sendiri. Menyerah atau tidak, pasti sama-sama menyakitkan." Lirih, Metta kembali berujar. "Gue beneran udah sayang banget sama Alwin."
Baik Sira maupun Aisya sama-sama bisa mendengar nada frustasi dari balik suara Metta. Melihat hal itu, jelas membuat kedua sahabat itu turut merasa prihatin. Turut merasakan bagaimana sakitnya. Jelas saja, kendati mereka belum pernah merasakan bagaimana rumitnya sebuah hubungan, tetapi mereka paham bagaimana rasanya dikhianati saat sedang mencintai dengan setulus hati. Berulang kali pula.
"Abil bilang, akan ada saatnya Alwin benar-benar menyesali semua kesalahannya. Tapi, gue enggak tahu itu kapan." Suara Metta nyaris bergetar. Aisya benci itu, sebab jauh sebelum Metta jatuh ke dalam lubang asmara yang Alwin buat, gadis itu adalah gadis tangguh yang Aisya pikir berbeda dengan kebanyakan gadis yang lain.
"Maretta ...." Tepukan ringan Sira daratkan di bahu Metta. "Seseorang pernah bilang ke gue, penyesalan itu selalu datang beriringan dengan kekecewaan."
Metta menoleh ke arah Sira. Senyum manis gadis penyuka sastra itu terpatri rapi di bibirnya. Metta tak paham apa maksud senyuman itu, sampai Aisya tiba-tiba berujar, "Alwin hanya belum tau saja rasanya dikecewakan itu seperti apa."
"KAYAKNYA Alwin emang perlu dikasih pelajaran lebih. Dia enggak kapok-kapok emang!"
Kembali ke malam ini, di lokasi yang berbeda, tampak Aisya dan Pandu tengah berjalan beriringan di antara orang-orang yang berseliweran di trotoar jalan raya. Sibuk menikmati jajanan para pedagang kaki lima, atau hanya sekadar berjalan-jalan menikmati gegap gempitanya kota. Dan, kedua siswa SMA itu termasuk salah satu dari mereka.
Aisya tengah asyik menonton V-Live boy group favoritnya saat Pandu tiba-tiba menghubunginya. Ketua Osis SMA Anata itu menanyakan kenapa seharian ini Metta tampak galau dan sedih. Aisya hendak menjelaskan, tetapi Pandu malah mengajaknya bertemu langsung. Kurang afdol kalau bercerita via telepon, begitu katanya.
Alhasil, lantaran tak bisa menolak, Aisya terpaksa melupakan seberapa seru aksi V-Live oppa-oppa gantengnya dan segera bersiap untuk bertemu Pandu. Tentu saja, gadis imut itu tak mau menggratiskan hal itu dan meminta Pandu mentraktirnya makan.
Mereka bertemu di kedai ramen di pinggiran kota. Sambil menikmati makanan favoritnya, Aisya menceritakan kejadian tadi pagi kepada Pandu. Agak tidak enak sebenarnya, tetapi Aisya juga tidak bisa menyembunyikan masalah Metta dan Alwin kepada Pandu yang jelas-jelas adalah sepupu Metta sendiri. Padahal, sikap emosional Pandu bisa saja membuat hubungan Metta dan Alwin semakin ruwet. Namun, ya mau bagaimana lagi.
"Kayaknya bukan bagian kita deh kali ini." Aisya berujar. Setelah menghabiskan satu mangkuk penuh ramen, Aisya mengajak Pandu untuk melanjutkan obrolan sambil berjalan-jalan. Di dalam kedai begitu ramai dan Aisya merasa sangat gerah.
"Bukan bagian kita gimana?"
"Kali ini harusnya Metta bisa menyelesaikannya sendiri. Toh, selama ini nasihat kita enggak pernah mempan sama Alwin. Jangankan dari gue atau lo, dari Abil aja enggak pernah bisa bikin Alwin insaf."
Sejenak, Pandu membisu. Berpikir. Memang benar apa yang dikatakan Aisya. Sejauh ini, pendapat Abil yang bahkan selalu didengarkan oleh sahabat-sahabatnya tidak pernah bisa membuat Alwin berubah.
"Gue yakin, yang bisa bikin Alwin berubah cuma Metta sendiri. Dan yang ta-—eh, itu Sira sama Alwin, ya?"
Pandu refleks saja menoleh ke arah yang Aisya tunjuk. Di balik jendela kafe yang mereka lewati, dengan jelas ia melihat Alwin dan Sira tengah duduk berdua. Saling berhadapan, saling tatap. Tanpa sadar, sesuatu bergejolak dalam dada Pandu. Panas dan menyulut sumbu emosi dalam hatinya.
"Mau disamperin?" tanya Aisya yang langsung merutuki bibirnya sendiri. Harusnya ia tahu kalau kepalan tangan Pandu yang ia lihat kali ini bukan sebuah pertanda yang baik.
"Gak usah, kita balik aja." Pandu balik kanan dan berjalan cepat meninggalkan tempatnya, dalam hati Aisya bernapas lega. Kali ini, Pandu masih bisa menahan emosinya. Lagi pula, memang seharusnya Pandu menanyakan dulu alasan kenapa Alwin dan Sira duduk bersama di sana.
Bersambung
Publikasi, 05 September 2018
Revisi, 05 Mei 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top