5 | Alwin dan Metta

EMBUSAN angin malam mengibarkan rambutnya. Kendati berulang kali ia menyelipkannya di balik daun telinga, tetapi udara yang bergerak itu tampaknya terlalu kencang sehingga membuat rambut pendeknya kembali berantakan.

Metta, gadis berambut pendek itu lantas mempercepat langkah agar segera sampai di tempat tujuan. Gerutuan panjangnya saling sahut dengan desau angin kemarau yang semakin kencang. Bukan tanpa alasan ia keluar malam-malam seperti ini kecuali rengekan si Adik yang terus berdengung meminta dibelikan batagor kuah di alun-alun kota.

Langkah Metta memelan ketika ia melewati sebuah lapangan basket kecil di samping perumahan tempat tinggalnya. Kendati jaraknya dengan lapangan itu tak begitu dekat kini, tetapi tiba-tiba saja angan Metta seakan ditarik mendekati persimpangan masa silam di mana kisah indah itu mulai tertulis di sana.

SORE itu Metta dan Alwin terlihat berdiri berhadapan di sana. Saling beradu tatap sebelum akhirnya saling kejar, selagi tangan berusaha saling berebut si bundar oranye. Tak terlihat lelah meskipun keringat mulai bercucuran membasahi seragam mereka.

"Lo pikir lo itu hebat, ya?" Underestimate. Jelas terlihat di balik sorot mata Alwin kala itu. Ia masih berusaha merebut bola dari tangan gadis tomboi di hadapannya.

Metta tersenyum miring. Terus fokus pada bolanya dan berusaha tak terprovokasi oleh kata-kata Alwin. "Sendirinya? Lo pikir, lo itu paling jago dalam basket apa?"

Alwin terkekeh. "Enggak juga, tuh. Ada yang lebih hebat dari gue kali."

Metta menaikkan sebelah alisnya. "Siapa?" tanyanya setengah mencebik.

Alwin tertawa kecil dan dengan cepat merebut bola dari tangan Metta saat sadar gadis itu berada di posisi lengah. "Akashi Seijuro, dan gue reinkarnasi dari dia." Tunjuk Alwin pada bola yang baru saja dilemparnya. Masuk.

Bola oranye itu kemudian menggelinding tanpa arah. Metta tak peduli dan mulai menatap Alwin yang kini berjalan menghampirinya. Sama seperti dirinya, laki-laki itu tengah berusaha mengatur napas kini.

"Score 43-20. Jadi, sesuai perjanjian, lo jadi cewek gue."

Untuk beberapa saat Metta biarkan napas mereka yang masih berembus cepat merespon kalimat Alwin. Selagi matanya berputar ke sana-sini, ia sibuk memikirkan apa keputusan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Alwin.

Seminggu setelah Pandu mengenalkan Alwin kepadanya, Pandu bilang kalau Alwin menyukainya. Jelas saja Metta tak langsung percaya. Terlebih ia yakin wajah Alwin yang seleb banget bukan tipe wajah yang mudah diberi kepercayaan untuk menyimpan aman perasaan. Alhasil, guna mengulur waktu untuk menjawab laki-laki bertubuh tinggi itu, Metta sok menantang Alwin untuk bertarung basket.

Dan ternyata, Alwin sungguh mahir bermain basket.

"Tunggu sampai lo bisa ngalahin tokoh anime Kuroko No Basuke itu." Tentu saja, walaupun sebenarnya Metta menyukai laki-laki itu, ia bukan tipe orang yang akan dengan mudah memberikan hatinya.

Metta berniat untuk balik kanan dan meninggalkan tempatnya saat Alwin tiba-tiba menggenggam pergelangan tangannya.

"Gue sakit."

Kedua alis Metta refleks saling bertemu. Jelas ia tak mengerti apa yang Alwin paparkan. "Sakit jiwa?" Lantas ia menepis tangan Alwin. Hal drama semacam itu jelas tidak akan memengaruhi Metta. Kecuali—-

"Gue serius. Kanker otak."

—-mata tegas Alwin yang kini menatapnya dengan begitu dalam. Redup. Tak ada cahaya di sana.

Sungguh, Metta tidak bisa melihat kebohongan di balik mata indah itu. Membuat pertahanan yang ia bangun mendadak roboh, dan kebimbangan perlahan merambat menuju sanubari.

Alwin terkekeh kecil. "Tapi, karena lo udah tahu rahasia ini, jadi, lo enggak perlu lagi jadi cewek gue. Karena setelah ini, kalaupun lo nerima gue, itu pasti karena lo prihatin sama gue. Bukan karena lo beneran tulus sayang sama gue." Memutar tubuhnya, Alwin kemudian berjalan ke tepi lapangan. Menyambar tasnya dengan cepat dan pergi meninggalkan Metta.

"Alwin tunggu, Alwin!" Metta berteriak. Menahan pergerakan Alwin. Pertahanannya benar-benar runtuh."Gue mau jadi cewek lo. Serius gue juga suka sama lo. Gue tulus suka sama lo, Win. Bukan gara-gara kasian, tapi dari awal gue emang udah suka juga sama lo." Karena sejak awal memang begitu. Hanya saja Metta terlalu gengsi untuk mengakuinya.

"Beneran?"

Anggukan pasti yang Metta loloskan adalah pertanda dimulainya hubungan mereka saat itu.

"HAHAHA ...."

Suara gelak tawa yang berbaur dengan suara pantulan bola basket seketika menarik lamunan panjang Metta. Mengernyit sebentar sebelum akhirnya rasa penasaran merambat cepat menguasainya. Perlahan ia berjalan mendekati lapangan itu guna memastikan kehebohan apa yang sedang terjadi di sana. Pasalnya, ia merasa kenal dengan suara itu.

Seolah ditimbun tumpukan salju, kaki Metta tiba-tiba saja mengaku di tempatnya. Dengan jelas, ia melihat siapa yang kini berdiri di tengah lapangan sana. Salah satu dari kedua orang itu, benar-benar Metta kenal. Mereka tampak sedang bermain basket bersama. Begitu dekat dan akrab.

Benar, Alwin memang berjanji tidak akan dekat-dekat lagi dengan Gina, si mantan pacar. Namun, laki-laki itu tidak berjanji untuk tidak dekat dengan gadis lainnya.

Lagi-lagi Metta dibodohi.

"Sialan!" Tanpa pikir panjang, Metta segera berbalik dan meninggalkan tempat itu. Untuk ke sekian kalinya sesak itu menghujam keras dadanya. Membuat air mata itu untuk ke sekian kalinya juga mendarat mulus di pipinya.

KENDATI rasanya kepala Abil ingin pecah dan juga tubuhnya terasa begitu lemas, tetapi melihat seberapa lebarnya senyuman Jihan saat ini, membuat semua rasa tidak enak itu menguap begitu saja. Ikut terbang mengudara bersama tawa kecil  gadis berambut sepunggung itu.

"Makasih banget ya, Bil." Jihan menatap Abil yang kini duduk di sampingnya. Mereka tengah duduk di salah satu bangku taman kota kali ini. Menikmati malam yang meskipun dilingkupi angin kencang, tetapi terasa lebih indah dari biasanya—untuk Jihan tentu saja.

"Buat?"

"Nemenin gue nontonlah ...." Sempat ragu, akhirnya Jihan berhasil mengajak Abil juga tadi sore. Dikira Abil akan menolak, tetapi ternyata laki-laki itu langsung mengiyakan saja ajakannya.

Senyum simpul Abil suguhkan. "Gue kali yang makasih ke lo udah diajak nonton gratis." Abil terkekeh pelan. Meskipun alasan Abil sebenarnya bukan itu. Abil hanya berpikir pergi keluar jauh lebih baik daripada mendekam di rumahnya yang sepi.

"Lo mah kalo gratisan aja semangat." Jihan mencebik. "Eh, tapi menurut lo filmnya gimana?" Sengaja gadis berambut sepunggung itu mengetuk-ngetuk ujung sepat Kets salemnya dengan pavingblock tempatnya berpijak.

"Biasa aja." Sebentar Abil merapatkan jaketnya. Angin yang berembus terasa menusuk langsung dadanya.

"Kok biasa aja?" Jihan merengut lucu.

Abil tertawa kecil. "Gue lebih suka nonton Transformers, sih." Selera tontonan Abil emang sesuatu berbau action, SC-fic, fantasi, dan film-film berimajinasi tinggi.

"Tadi pas nonton, lo pasti takut, 'kan?"

Abil tak menjawab, hidungnya tiba-tiba saja gatal sehingga sebelum sempat menjawab pertanyaan Jihan, laki-laki dengan tinggi 180 senti meter itu bersin beberapa kali.

"Kenapa?" Jihan bertanya, refleks menoleh ke arah teman baiknya itu.

"Bersin," jawab Abil seadanya.

Tentu saja Jihan tahu. Namun, bukan itu jawaban yang Jihan mau. Ditatapnya wajah Abil sesaksama mungkin. Ia baru sadar kalau di balik sinar lampu taman kota yang tak begitu terang, kulit pucat Abil terlihat dua kali lebih pucat. Juga warna merah di sekitar hidung laki-laki itu membuat Jihan yakin kalau Abil tidak baik-baik saja. Alhasil, gadis berambut kecokelatan itu berinisiatif untuk menyentuh kening Abil. Dan seketika itu ia memekik dengan keras, "LO DEMAM!"

"Metta?"

Akan tetapi, alih-alih peduli dengan kecemasan Jihan, Abil justru lebih tertarik dengan sosok yang baru saja berlari ke arah mereka. Begitu sosok itu mendekat dan hendak melewati dirinya, Abil buru-buru berdiri dan meraih tangan si gadis.

"Kenapa?" Walaupun yakin hal yang sama adalah alasan kenapa gadis berambut pendek itu menangis, tetapi Abil tetap melempar tanya. Sekadar memastikan.

Metta tak menjawab dan lebih memilih membenamkan wajah lusuhnya di balik dada Abil. Berharap dengan begitu, Abil bisa membagi sedikit ketenangan jiwa padanya. Selama bersahabat, Abil adalah satu-satunya orang yang selalu bisa menyebarkan aura positif kepada sahabat-sahabatnya.

"Alwin lagi?" Abil melirik Jihan sekilas sebelum memberi elusan lembut di punggung Metta. Kendati selalu terlihat kuat, Metta tetap seorang perempuan yang pasti akan hancur jika terus menerus dikhianati.

Anggukan kecil Metta berikan sebagai jawaban.

Jihan tak bersuara. Memilih untuk bungkam dan membiarkan waktu berdua yang ia dambakan bersama Abil melebur begitu saja. Sebenarnya, Jihan tak ingin egois. Namun, tetap saja setiap kali melihat perhatian Abil tak hanya tertuju padanya, selalu membuat hatinya terasa ngilu dan nyeri.

Bagaimanapun juga, Jihan hanya ingin pelukan hangat laki-laki itu ada untuk dirinya seorang. Tidak untuk Metta, pun sahabat perempuannya yang lain.

Akan tetapi, kenyataannya tidak begitu. Karena Abil adalah Abil. Sosok yang akan selalu membagi ketenangan, kebahagiaan, dan kehangatan kepada semua orang.

Dan, Jihan tidak bisa seegois itu karena ia sadar ...

"Gue yakin saatnya nanti Alwin beneran bakal nyesel udah sakitin lo terus-menerus kayak gini. Lo tenang aja, oke?"

... Abil bukan milik dia seutuhnya.

Bersambung
Publikasi, 22 Juli 2018
Revisi, 03 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top