3 | Taman Kota dan Langit Senja

"WIN!" Sira mengguncang pelan bahu Alwin. "Bangun dong, katanya tadi ngajak ke taman kota dulu. Kita tinggalin enggak apa-apa, nih?

Hela napas panjang Sira mengudara. Melihat Alwin tertidur di tengah-tengah jam pelajaran itu biasa, tetapi bukan hal biasa jika Alwin sulit dibangunkan seperti saat ini.

"Kenapa, Sir?" Aisya yang memang duduk di kelas yang sama dengan Alwin dan Sira, berjalan menghampiri kedua sahabatnya itu.

"Enggak tahu, Alwin kok mendadak susah dibangunin, ya?"

"Yeee, kebo emang nih, anak. Bangun gak lo?!" Padahal suara dan tepukan Aisya di bahunya sama-sama keras. Tapi, itu tak lantas membuat Alwin membuka mata juga. Jelas saja itu membuat Sira dan Aisya kembali saling pandang.

"Win, lo enggak lagi sakit, 'kan?" Nada khawatir mulai terdengar di balik suara Sira. Gadis pendiam itu baru saja hendak menyentuh kening Alwin saat kepala seseorang menyembul di balik pintu kelas.

"Jadi ke taman kota gak?" tanya si pemilik kepala seraya mengayunkan kaki panjangnya masuk ke dalam kelas.

"Alwin-nya, nih malah kebo!" jawab Aisya. Sira mengangguk mengiyakan.

Pandu, orang itu, menyempatkan diri untuk menghela napas pendek. "Gini, nih cara bangunin makhluk kebo." Mendekatkan mulut ke telinga Alwin, Pandu mulai berbisik lembut, "Alwin sayang, bangun dong. Kalo gak bangun, gue cium nih ...."

Alwin tak juga terbangun, sampai Sira dan juga Aisya kemudian terkikik geli lantaran Pandu kini benar-benar menempelkan bibirnya di pipi Alwin.

"ANJIR! PANDU PEA, LO! LO HOMBRENG, HAH?" Alwin mengusap-usap kasar pipinya, sementara Pandu hanya cengengesan seraya mengusap bibirnya. Ekspresi jijik Alwin tunjukkan.

"Abisan kapan sih lo mau insaf. Molor mulu di kelas kerjaannya. Gak naik kelas baru nyaho lo."

"Cerewet lo kayak anak k-poper."

"Gue K-popper, ya!" Aisya sebagai pecinta K-Pop sejati, merasa tersinggung dan refleks memukul kepala Alwin dengan gulungan buku di tangannya.

Ringisan lolos dari mulut Alwin. Laki-laki bertubuh tinggi itu lantas mencebik seraya mengelus kepalanya yang jadi sasaran tangan jahil Aisya.

"Udah dong, tadi katanya mau ke taman kota dulu." Sira menengahi sebelum Alwin kembali memulai perdebatan.

"Iya, katanya Abil pengen kita kumpul bareng di tempat biasa." Selagi memasukkan alat tulis ke dalam tasnya, Alwin mengingat percakapannya dengan Abil tadi pagi. Sahabat baiknya itu meminta ia memberi tahu teman-temannya yang lain untuk kumpul di taman kota sepulang sekolah.

"Yaudah, ayo cekicus! Abil, Jihan, sama Metta udah ada di lokasi katanya." Aisya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku sesaat setelah ia membaca pesan dari Jihan.

DI balik viewfinder kamera digitalnya, Jihan sibuk mengamati sosok itu. Laki-laki yang saat ini tengah asyik bermain basket di tengah lapangan sana bersama ketiga kawan laki-lakinya yang lain. Senyum tipis terlukis di balik bibir semerah cerinya setiap kali ia berhasil menangkap gambar dengan berbagai pose unik laki-laki berkulit pucat itu.

Selalu menawan, begitu pikirnya. Di kondisi seperti apa pun, sosok itu memang selalu berhasil membuatnya jatuh hati dan melanglang buana.

"Ngapain, sih?"

Jihan tersentak tepat ketika wajah Aisya tiba-tiba muncul di balik lensa kamera. Dengan gerakan cepat, segera ia mematikan Nikon P500-nya dan menatap Aisya dengan kesal.

"HAYO NGAKU! PASTI LAGI NYURI FOTO A---Hmmfft!"

Dengan cepat, Jihan membungkam mulut Aisya dengan sebelah tangannya, sehingga gadis imut itu tidak lagi mampu melanjutkan kalimatnya.

"Hmmfft ... hmmfftt ..." Aisya berusaha melepaskan tangan Jihan dari mulutnya saat udara yang ia hirup kian menipis.

"Pelanin enggak ngomongnya?!" Ancam Jihan. Setelah mendapat anggukan dari Aisya, gadis berambut kecokelatan itu baru mau melepaskan bekapan tangannya.

"Ih, lo jahat banget sama gue! Kalo gue mati kehabisan udara gimana? Malah gue belum ketemu Kyungsoo Oppa lagi," rutuk Aisya sesaat sehabis menyempatkan diri untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya.

"Salah sendiri kalo ngomong kayak pake toa!"

"Iya, tapi enggak usah kayak tadi juga reaksinya. Lagian, kalian itu udah lama deket. Harusnya Abil udah tahu juga perasaan lo."

Begitu mendengar kalimat Aisya, seketika hela napas panjang Jihan terembus. "Justru karena kita udah deket banget. Makanya, susah banget buat Abil peka sama perasaan gue."

Jadi, bahkan ketika mereka belum sedekat saat ini. ketika mereka masih duduk di bangku kelas satu SMP. Ketika Jihan bahkan masih tak berani menyapa. Hanya diam-diam menunggu sosok itu berjalan melewati kelasnya. Hanya diam-diam memperhatikan sosok itu ketika asyik membaca buku di perpustakaan. Atau bermain piano di ruang musik. Atau sekadar berbincang singkat bersama temannya di kantin sekolah.

Jauh sebelum sesuatu pada akhirnya membuat mereka sedekat saat ini, Jihan sudah memupuk perasaan itu. Setiap hari, perasaan itu tumbuh subur dan semakin mengakar kokoh dalam hatinya hingga saat ini.

Bukan Jihan tak berani menunjukkan perasaan itu, hanya saja Abil terlalu menganggap semua yang ia lakukan adalah sesuatu yang biasa. Sesuatu yang selayaknya sahabat baik berikan.

"Kadang ada beberapa orang yang emang enggak pandai membaca perasaan orang. Untuk itu, terkadang juga kita perlu mengungkapkan perasaan kita secara terang-terangan. Karena dengan dia tahu perasaan kita, seenggaknya dia akan belajar membalas perasaan kita."

"Cinta itu emang rumit, 'kan? Makanya gue enggak mau terlalu memikirkan dia balas perasaan gue apa enggak. Yang terpenting buat gue, selalu bisa lihat dia tersenyum seperti sekarang itu udah lebih dari cukup." Jihan mendesah panjang sebelum akhirnya melirik ke arah Sira dan Metta yang tengah asyik duduk di bawah pohon berdiameter besar di pinggir lapangan basket, sementara ketiga sahabat laki-lakinya ditambah Hilal yang sengaja Abil ajak, masih anteng berebut bola di tengah lapangan sana.

"Met, Hilal punya blog ya?" Sira melempar tanya selagi matanya sibuk mengamati halaman blog dengan template hitam di balik layar laptopnya.

Metta hanya mengangkat bahu pertanda tak tahu. "Tanyain aja langsung ke orangnya," jawab Metta tanpa mengalihkan fokusnya dari layar ponsel. Sibuk membaca ratusan komentar di postingan terbaru kekasihnya, Alwin.

Sira tak menanggapi lagi. Matanya refleks berputar ke arah Hilal yang kini tengah berusaha merebut bola dari tangan Alwin. Lantaran satu ekskul dengan Abil, adik kelasnya itu jadi cukup dekat dengan sahabat-sahabatnya. Hanya saja sikap pendiamnya yang terlampau parah membuat Sira sulit mengenal sosok itu jauh lebih dekat.

Padahal, selain menjadi novelis, Hilal adalah salah satu mimpi yang ingin Sira raih kemudian ia dekap dalam hidupnya.

"Udah ah, capek!" Abil mendudukkan dirinya di tengah-tengah lapangan. Sambil mencoba menghimpun udara guna memenuhi paru-parunya, laki-laki itu berusaha menyeka keringat di balik kening dan lehernya.

"Yeee, baru juga main sebentar," protes Alwin. Ia menendang kaki Abil pelan sebelum akhirnya turut duduk di samping sahabat baiknya itu. Pandu dan juga Hilal melakukan hal yang sama.

"Gak enak perut nih, gue. Mendadak enek, sumpah!"

"Manja!" Giliran Pandu yang melempar cibiran. Ia mengusak rambut Abil, sok gemas.

Di sampingnya, Hilal tersenyum kecil. Melihat bagaimana intimnya persahabatan Abil dan juga yang lain, membuat jiwa Hilal yang dingin dilingkup hangat. Turut senang melihat Abil memiliki sahabat-sahabat yang luar biasa seperti Alwin dan yang lain.

"Seriusan juga," protes Abil. Perutnya mendadak terasa perih dan mual.

"Kok mainnya udahan?" Jihan bersama Aisya dan yang lain berjalan mendekat.

"Udah ah, capek." Abil menjawab cepat, sebelum Pandu atau Alwin kembali mencibirnya. "Pada duduk sini, deh. Kita lihat langit senja dulu," sambungnya kemudian.

Jadi, semuanya dimulai saat mereka---kecuali Hilal-—menempati gugus yang sama ketika MOS berlangsung tahun lalu. Yang kemudian takdir kembali mempertemukan mereka di kelas yang sama pula di tahun pertama sekolah mereka.

Entah bagaimana caranya, mereka kemudian berteman baik bahkan saat mereka menempati kelas berbeda di tahun kedua. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sekadar bermain basket atau melihat langit senja di taman kota sepulang sekolah seperti saat ini.

"KALIAN kapan ke sini? Gue bu—-"

"Urus aja diri lo sendiri!"

Tut!

Cahaya di balik ponsel itu kemudian meredup, seredup sorot mata itu. Sendu, laki-laki kelas dua SMA itu menatap layar ponselnya yang perlahan menggelap. Kalimat yang baru saja mampir di telinga, entah kenapa serasa menampar keras hatinya. Begitu keras sehingga menciptakan memar di dalam sana.

Sesak.

Seolah baru saja menghirup karbondioksida dengan jumlah yang tak sedikit, ia merasa paru-parunya penuh, dan ia tak bisa mengambil udara.

Sepi.

Pandangannya yang penuh dengan kaca-kaca bening kemudian berotasi mengelilingi tiap jengkal ruangan tempatnya berada. Sunyi, seperti biasa. Namun, ada yang jauh lebih sunyi lagi. Di sana. Jauh dalam lautan hatinya yang terdalam.

Sakit.

Piring kotor bekas makan malamnya kini menjadi objek tatapannya. Bahkan ketika ia merasa semuanya mulai tak berjalan semestinya, ia masih tetap melakukan kebiasaan buruknya.

"Lo bener, Han. Gue bahkan enggak bisa mengurus diri gue sendiri. Apalagi orang lain, kan?"

Bersambung
Publikasi, 26 Juni 2018
R

evisi, 01 Mei 2021


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top