25 | Retak


SETELAH kejadian waktu itu, Abil tahu kalau semuanya mulai tak seimbang. Mulai tak berjalan dengan semestinya. Selain Jihan dan Hilal, semuanya berubah. Saat berpapasan tak pernah ada lagi tegur sapa antara mereka. Persahabatan mereka hanya menyisakan kecanggungan kini.

Entah sefatal apa kesalahannya, Abil merasa kalau tak hanya Sira dan Pandu. Alwin, Aisya, bahkan Metta pun jadi terlihat berbeda padanya. Mungkin hanya perasaan, tetapi Abil sadar kalau kekacauan ini memang karena kesalahannya. Persahabatan yang sempat Abil jaga dan ia perjuangkan untuk tetap berdiri kokoh, justru ia sendiri yang menghancurkannya.

Abil menjambak rambutnya frustasi. Tak hanya sebab nilai ulangan mata pelajaran terakhirnya yang tak yakin sempurna, juga rasa bersalah kian menghimpit dadanya dengan brutal. Tak hanya ujian akhir sekolahnya yang terasa lebih berat, cobaan yang menimpanya pun terasa jauh lebih dahsyat.

Karena kini Abil sadar, sahabat-sahabatnya yang selama ini menjadi satu-satunya alasan ia terus bertahan, tak lagi memberi asa. Tak lagi menjadi penyemangat kala dera ujian hidup semakin membabi buta.

"Kenapa? Sakit?" Jihan berdiri di samping meja Abil. Selama ujian, meski masih di kelas yang sama, tapi posisi bangkunya tak berada di dekat Abil.

"Gue kayaknya harus minta maaf sama Sira dan yang lain." Abil berhenti menjambak rambutnya. Berganti menatap Jihan yang kini tengah membantu ia membereskan alat-alat tulisnya. Raut gadis itu langsung berubah seketika saat kalimat itu lepas dari mulutnya.

"Minta maaf apa lagi sih, Bil? Lo itu gak salah. Lagian kan dari awal lo udah minta maaf, tapi emang Sira-nya aja yang gak mau maafin lo." Jihan bersungut-sungut. Kesal dengan makhluk satu di dekatnya saat ini.

"Tapi gue ngerasa gak nyaman sama situasi kayak gini," tutur Abil. Kegetiran jelas nampak di raut pucatnya.

Jihan mendengus. Ia pun sama seperti Abil. Situasi canggung seperti sekarang sungguh membuatnya tak nyaman. Tapi, melihat Abil terpojok seperti saat ini juga tak bisa Jihan terima. Abil tak sepenuhnya salah, tapi laki-laki itu dianggap sebagai antagonis yang sudah mengacaukan persahabatan mereka.

"Gak usah terlalu dipikirin. Gue--"

"Alwin?"

Kalimat Jihan terpotong lantaran mendadak Abil menyebut nama itu, selagi beranjak dari tempat duduknya guna mengejar seseorang yang baru saja melintas di depan kelas mereka. Dengusan kasar Jihan mengudara. Sambil menghentakkan kaki kesal, ia berlari menyusul Abil.

"Alwin!" Saat berusaha mengejar Alwin yang beberapa meter jauh berada di depannya, Abil meringis kala rasa sakit menusuk area perutnya.

Ah, sejak perkelahiannya dengan Pandu dan ia mendapat tinju di bagian perut, area itu jadi sering terasa sakit. Kadang sampai mual dan muntah. Bahkan saat dibawa berlari kecil seperti sekarang pun sakitnya sangat menyiksa.

"Tunggu bentar, Win! Gue mau ngomong." Saat langkahnya berhasil mengejar, segera saja Abil menahan pergerakan Alwin, memegang bahu sahabatnya itu untuk berhenti melangkah. Selagi salah satu tangannya stand by di atas perut, agak menekannya guna menghalau nyeri.

Alwin tak lalu merespon. Dalam penglihatan Abil, Alwin terlihat begitu pucat.

"Lo sakit?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Abil, cemas kentara dari nada suaranya. Jihan yang entah sejak kapan berdiri di samping Abil hanya mendelik tak suka.

Kenapa di saat kondisinya yang harusnya dikhawatirkan, Abil justru mengkhawatirkan kondisi orang lain. Orang yang jelas-jelas tidak lagi menaruh peduli padanya. Benar, sejak awal memang tak ada yang sepeduli itu pada Abil.

"Sorry, Bil. Gue sibuk!" Alih-alih menjawab tanya Abil, Alwin justru kembali berbalik. Hendak melanjutkan langkah yang sempat terhenti seandainya tangan Abil tak lagi menahannya.

"Bentar aja, Win!" mohon Abil. Dibanding Pandu, Abil tahu kalau Alwin bisa jauh lebih pengertian.

"Nanti aja. Sekarang gue ada urusan mendesak." Lantas tanpa ingin melihat lebih lama raut kecewa Abil, Alwin segera berlalu. Benar-benar tak berpikir untuk berbalik barang sedetik saja.

"Udah dong, Bil. Gue sedih liat lo kayak gini. Lo masih punya gue, kenapa masih mengharapkan orang-orang yang jelas gak peduli sama lo?" Dari belakang, Jihan tiba-tiba melingkarkan tangannya di perut Abil. Memeluk erat tubuh ringkih itu. Apa yang Alwin lakukan barusan jujur turut melukai hatinya juga.

Abil tak merespon. Hanya memejam erat, menahan sakit yang kian menjadi. Tak hanya raganya, tapi juga jauh di dalam hatinya yang paling dalam ada begitu banyak luka yang tergurat.

"PANDU, gue minta maaf soal kejadian waktu itu. Gue..."

Tut... Tut.. Tut...

Setelah tak berhasil membuka pembicaraan dengan Alwin, Abil berpikir untuk menghubungi Pandu. Tapi, respon Pandu sama saja. Bahkan belum sempat Abil menyelesaikan kalimatnya, Pandu sudah memutus panggilan dengan sebelah pihak.

Dada Abil terlampau sesak. Terlebih ketika tau kalau chat-nya yang ia kirim kepada Aisya sebelum menghubungi Pandu juga tak jua mendapat balasan. Aisya, orang yang paling netral di antara semua, bahkan tak memihak padanya.

Aisya menyalahkannya juga. Aisya membencinya juga.

| Ais, bantu gue ngomong sama Sira.
| Gue tau, gue salah. Tapi, masa kalian gak bisa maafin gue.
| Ais, lo marah juga ya sama gue?
| Read

Ya udah, gue pergi aja dari hidup kalian. Abil membatin. Ia biarkan tubuhnya meringkuk, menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Di sana, ia biarkan kesedihannya tumpah.

Menangis hingga dadanya sesak.

Tak bisa ditahan lagi. Semuanya sudah teramat menyakitinya. Abil merasa tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menangis. Ujian hidupnya lebih dari berat. Sosok Ibu dan Ayah yang mesti ada di sisinya di saat ia butuh sandaran pun justru menjadi salah satu dari mereka yang merobohkan pertahanannya.

"Abil?"

Suara Rani. Abil mengenalnya jelas. Tapi, pantang baginya untuk menunjukkan kesedihan yang ada.

"Bibi pulang aja. Besok gak apa-apa kalau Bibi gak dateng ke rumah. Nanti Abil telfon kalau Abil butuh bibi."

"Abil nangis?" Rani bertanya. Suara serak Abil terlalu eksplisit untuknya tak peka dengan kondisi putra majikannya itu. Ditatapnya tubuh yang masih bersembunyi di balik selimut itu dengan pedih.

"Abil lagi pengen sendiri. Bibi pulang aja. Please!"

Rani menarik napas dalam-dalam. Kendati khawatir dengan kondisi Abil, tapi ia juga tak ingin bersikukuh untuk tetap tinggal. "Besok Abil harus ke rumah sakit buat transfusi trombosit."

"Abil bisa pergi sendiri besok. Bibi pulang aja."

"Ya udah. Kalo ada apa-apa Abil telfon bibi atau Hilal ya? Jangan lupa minum obatnya. Bibi udah masakin lauk buat makan. Abil bisa angetin lagi nanti." Meski berat, Rani akhirnya melangkah meninggalkan ruangan, meninggalkan Abil bersama sepi dan kesedihannya.

Setelah yakin Rani tak lagi ada di kamarnya, tangis Abil pecah lebih keras. Karena kini hanya pada air mata Abil bersandar. Hanya pada sepi Abil mengadu. Tak ada satu pun dari sekian orang yang diharapkannya mampu menghapus semua luka yang ada.

Kata Mama, Abil harus jadi anak baik. Abil udah pegang pesan Mama selama ini. Buat Papa dan semua orang, Abil selalu berusaha jadi orang yang baik. Tapi... tapi kenapa semua orang begitu jahat sama Abil, Ma? Bahkan Mama juga...

Dada Abil di penuhi sesak. Kuat, ia mencengkram bagian itu. Sesekali memukulnya dengan keras. Berharap bisa melubangi area itu sehingga udara pengap di sana bisa menguap barang sedikit.

Papa bahkan gak pernah pulang untuk Abil. Sekarang, temen-temen Abil juga gak lagi menganggap kehadiran Abil.

Wajah Melly membingkai sempurna dalam ingatan Abil. Sekaligus penambah pedih di dalam jiwa. Kristal bening itu semakin gencar bercucuran. Membasahi bantal dan selimut yang menemani kesedihannya kali ini.

Abil mau Mama, tapi kalau Mama gak mau Abil. Abil harus apa?

"ABIL, PLEASE BUKA! ABIL BUKA PINTUNYA GUE MOHON!"

Jihan berteriak keras hingga tenggorokannya sakit, namun tak juga ia mendapat respon dari dalam. Berulang kali ia menggedor badan pintu dengan kuat. Tangannya sampai merah dan nyeri.

"ABIIIILLL!"

Hilal dan juga Rani yang kini turut hadir bersamanya hanya bisa terpaku. Sama-sama bingung hendak melakukan apa.

Seminggu lebih setelah menyuruhnya pulang kala itu, Rani tak juga mendapat panggilan dari Abil. Sosok yang sudah ia anggap sebagai anak kandungnya sendiri itu menghilang. Nomor ponselnya aktif, tapi panggilan yang ia lakukan berulang kali tak juga mendapat jawaban.

Hal sama Jihan terima juga. Balasan pesan terakhir yang Jihan dapat dari Abil sekitar empat hari sebelumnya.

My Abil Naufal 💕
| Gue baik-baik aja, Jihan.
| Gue lagi pengen sendiri.
| Jangan hubungi gue dulu. Biar nanti gue yang hubungi lo.

Empat hari terlalu lama untuk Jihan tanpa pesan dari Abil. Sebabnya, hari ini ia memutuskan untuk mendatangi rumah sahabatnya itu. Sangat kebetulan ia bertemu dengan Rani dan Hilal yang juga punya tujuan yang sama.

"Gue dobrak aja pintunya," putus Hilal seraya mendorong pelan tubuh Jihan ke samping. Namun, belum sempat Hilal menjalankan maksudnya, dering ponsel Jihan terdengar.

"Abil!" Jihan memekik kala netranya menangkap nama dan foto Abil di balik layar ponselnya. Sesegera mungkin ia mengangkat panggilan itu.

"A...."




Publikasi, 18 Mei 2020
Revisi, 23 Juli 2021

....

Kalau kamu adalah salah satu sahabat Abil, apa yang ingin kamu sampaikan pada Abil sebelum-mungkin-dia hilang dari kehidupanmu?

....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top