23 | Perkelahian

"BIL!" Hilal meraih tangan Abil yang tengah sibuk memasukkan beberapa buku pelajaran ke dalam ransel.

"Gue udah baik-baik aja, Lal. Lagian bentar lagi ujian. Gue udah bolos banyak banget," papar Abil sembari menepis pelan tangan Hilal. Lantas kembali melanjutkan kegiatannya. "Gue juga belum nyerahin konsep acara buat anak-anak seni. Kasian mereka entar——"

"Sebenarnya yang kasihan di sini itu siapa sih, Bil?"

Gerakan tangan Abil terhenti. Ditatapnya wajah tanpa ekspresi milik Hilal. Meski masih terlihat datar, tetapi Abil tahu kalau laki-laki yang juga sudah lengkap dengan seragam sekolah sepertinya itu tengah dilanda kesal.

"Bisa, kan sekali aja lo berhenti pura-pura? Gue tau kalau setelah kejadian malam itu, lo enggak pernah baik-baik aja." Kali ini tatap Hilal terlihat lebih runcing. Sungguh, Hilal kesal jika harus membuang waktu untuk bicara panjang lebar. Namun, melihat sikap Abil seperti ini membuat Hilal jengkel bukan main.

Bukan apa-apa, karena pernah satu waktu ia pun bersikap seperti Abil. Hidup dalam kepura-puraan. Pura-pura bahagia di saat orang tua yang begitu diharapkannya tak menginginkan kehadirannya. Dan, itu berkali-kali lipat lebih menyakitkan.

Panjang, Abil menghela napas. Tak sedikit pun ia alihkan fokusnya dari mata kelam Hilal. "Gue enggak pernah pura-pura. Gue emang baik-baik aja, Lal. Selalu." Seulas senyum tipis Abil sematkan. Lantas segera saja ia mengayunkan langkahnya, selagi menyampirkan asal ransel hitamnya di bahu. Meninggalkan Hilal yang masih mematung di tempatnya.

"Oya, Alwin chat gue. Katanya pulang sekolah kita kumpul di taman kota. Lo ikut, oke!"

Sayup teriakan Abil terdengar, membuat napas Hilal semakin terasa tercekik. Ia tidak tahu terbuat dari apa hati saudaranya itu. Yang bahkan setelah dikhianati takdir dengan begitu kejamnya, hati itu masih saja terlihat kokoh.

Kejadian malam itu masih terlalu segar. Masih Hilal ingat dengan gamblang.

Mereka berada di depan sebuah Klinik saat itu. Abil sudah ditangani, meski kondisinya tidak lantas membaik. Namun, Hilal cukup bersyukur sebab ada orang yang mau berbaik hati menolong saudaranya itu.

Setelah hampir satu jam penuh mencari di mana posisi Abil, laki-laki bernama Mika itu menghubunginya. Menyuruh ia datang ke sebuah Klinik. Hilal bernapas lega kala itu. Namun, cerita Mika tentang kejadian yang menimpa Abil sebelumnya tak pelak membuat Hilal merasa terluka juga.

Dan yang membuat Hilal benci adalah sehari setelahnya Abil bersikap seolah kejadian itu memang tidak pernah terjadi.

KENDATI kilat marah masih terlihat di mata anggota seni. Terutama Yuda. Tapi, Abil cukup bersyukur setidaknya mereka tidak merecokinya tadi pagi. Ia berharap sekolahnya hari ini berjalan baik-baik saja. Apa pun alasan mereka terlihat jadi lebih segan padanya, Abil tidak terlalu ingin memikirkannya.

Kepalanya terlalu penuh. Seharian ini, Abil bahkan tak yakin kalau jiwanya turut hadir di mana raganya berpijak. Mencoba fokus pada semua materi pelajaran pun rasanya percuma. Mungkin Hilal benar kalau seharusnya ia di rumah saja. Sebab, tak hanya fisiknya yang dirundung sakit di sana-sini, otaknya pun tidak ingin menerima asupan pelajaran apa pun.

Padahal ujian kenaikan kelas tinggal di depan mata, tetapi kondisi Abil malah menyedihkan seperti ini. Ia bahkan tertidur di sepanjang pelajaran berlangsung.

"Bil ...."

Lembut suara Jihan terdengar. Disertai elusan lembut di rambutnya. Pelan, ia membuka mata. Wajah dengan senyum yang mengembang milik Jihan langsung menyambut.

"Lo kalo mau tidur di rumah aja padahal," kata gadis itu seraya turut menidurkan kepalanya di atas meja. Saling beradu tatap dengan teman sebangkunya itu. "Masa dari awal pelajaran dimulai sampe mau balik, lo kebo, sih?" sambungnya. Iseng tangannya memainkan poni rambut Abil yang sedikit berantakan.

Abil tersenyum tipis. Hari ini Jihan terlihat lebih cantik. Gaya rambut cepol tingginya membuat image galaknya menjadi lebih cute.

"Ekhm ..."

Baik Jihan maupun Abil kontan mengangkat kepala saat dehaman seseorang menginterupsi. Sira tampak berjalan menghampiri ke duanya. Bersamaan itu Jihan merasakan getaran kecil di balik saku seragamnya. Pesan dari Aisya.

"Bil, ada yang mau gue omongin."

Mendengar hal itu, Jihan buru-buru bangkit. "Gue duluan kalau gitu." Ia membereskan alat-alat tulisnya dan segera berlalu. "Oya, Ais bilang ditunggu di parkiran sekolah," lanjutnya.

"Soal kejadian waktu itu ...." Sira bersuara sedetik setelah siluet Jihan tak lagi terjamah pandang. Diliriknya Abil yang tengah membereskan buku-bukunya. Terlihat tak acuh dengan kehadirannya.

"Lo marah sama gue?"

Abil menggeleng. "Enggak. Gue cuma gak mau bahas kejadian itu lagi." Ditatapnya netra cokelat Sira barang sejenak. Sejujurnya, kejadian malam itu tak hanya menyakiti hati dan perasaan, tetapi juga bagi Abil itu adalah sesuatu yang begitu memalukan. Abil bahkan tak berani menatap Sira dengan lama.

"Tapi, Bil. Gue perlu tau sebenarnya Bunda itu sia——"

"Kasian yang lain udah nunggu. Ayo!" Abil bangkit. Lantas berjalan melewati Sira begitu saja. Demi apa pun itu, Abil tidak ingin diingatkan lagi tentang kejadian malam itu. Sebab, tanpa diingatkan pun bayangnya selalu menari-nari dalam kepala. Terus terngiang. Menusuk tajam sanubari.

"Abil, tunggu!" Sira meraih tangan Abil. Menggenggamnya dengan kuat. Menahan sosok itu untuk pergi. "Gue udah tau semuanya. Mika udah kasih tahu gue. Tapi, gue enggak percaya. Gue mau denger langsung dari lo, Bil. Gue ..."

Abil menahan langkahnya. Tangannya terkepal erat, menahan marah. Ia tidak mengerti kenapa mendadak Sira jadi menjengkelkan seperti ini. "Gue enggak mau bahas itu lagi, Sira."

"Bil ..."

"GUE BILANG GUE GAK MAU BAHAS ITU LAGI! LO KENAPA, SIH?" Abil memekik. Tak lagi bisa menahan emosi, ia berusaha menarik tangannya dari genggaman Sira. Tapi, mungkin tarikannya terlalu kuat sehingga tubuh Sira ikut tertarik sebelum akhirnya jatuh terduduk di lantai.

Sungguh Sira tidak percaya kalau Abil bisa sekasar saat ini. Setahu Sira, Abil itu sahabatnya yang paling baik, selalu berlaku lemah lembut terlebih itu kepada perempuan. Namun, sosok yang kini berdiri di hadapannya itu benar-benar berbeda.

"Sira, sorry... gue..."

"Lo kok jahat banget, sih?" Air mata Sira menetes begitu saja. Ia bangkit berdiri sebelum berlari dengan cepat meninggalkan Abil.

Abil memejamkan mata dengan erat. Kekeraskepalaan Sira sungguh membuatnya kesal, sehingga refleks ia berteriak. Namun, ia benar-benar tidak bermaksud sekasar itu kepada Sira. Tanpa berpikir panjang lagi, segera saja ia memaksakan tubuhnya yang terasa begitu lemas untuk berlari mengejar Sira. Ia harus mendapat maaf gadis itu sebelum semuanya tambah ruwet.

"ABIL mana?"

Segera saja kalimat itu terlayang pada Jihan saat keduanya, Jihan dan Aisya baru sampai di parkiran. Gadis pecinta fotografi itu dapat dengan jelas membaca raut cemas di paras tampan Hilal.

Ah, Jihan lupa. Bahkan hubungan mereka—Abil dan Hilal—entah sejak kapan kian dekat. Belum lagi, "Lagi sama Sira ..." Gadis lain turut lebih lengket dengan Abil. Seolah celah dirinya menjadi satu-satunya bagi Abil, semakin sempit. "Paling nanti mereka bareng," begitu tambahnya. Jelas terdengar kecemburuan dalam nada bicara Jihan.

"Kalian bisa duluan. Nanti Abil bareng gue. Gue masih nunggu Metta juga." Alwin menutup aplikasi chat yang sedari tadi dibukanya. Berputus begitu sebab kekasihnya memberi kabar bahwa akan mengikuti pengayaan materi. Berhubung ujian memang semakin dekat.

"Jadi gimana? Mau duluan, nih?" Aisya bertanya. Memperhatikan tiap raut yang berbeda-beda. "Gimana, Pan?" Gadis imut bertinggi 151 senti itu melempar tanya khusus pada sosok yang duduk di atas motor. Pasalnya, selama ia perhatikan, tak barang sedikit Pandu angkat bicara.

"Terserah. Ikut aja gue." Begitu jawabnya. Sebenarnya, terlalu padat untuk seorang Pandu yang biasa mengemukakan pendapat panjang di rapat OSIS.

Aisya tahu, akhir-akhir ini muram memang sering terlukis di wajah sahabat laki-lakinya itu. Sering Pandu meminta bertemu. Kendati tak banyak yang mereka obrolkan. Ditambah lagi, menurut praduga Aisya, kebersamaan Sira dengan Abil pasti membuat percikan cemburu tersulut, barang sedikit.

"Oke. Duluan aja kalau gitu, ya? Gue udah ngidam choco banana di deket sana," putus Aisya. Mendapat anggukan sebagai persetujuan.

Semua, kecuali Alwin telah bersiap di atas motor kala figur tubuh Sira tampak dari kejauhan. Berlari dan langsung saja memeluk tubuh setinggi 185 senti di sana. "Eh, Sira? Lo kenapa?" Alwin sedikit terkejut saat dua buah lengan melingkari pinggangnya bersamaan dengan paras Sira yang disembunyikan di dada bidangnya. Belum habis ketekejutannya, dibuat heran lagi tatkala gadis itu mendongak. Wajah Sira jelas memerah, turut basah oleh air bening yang masih mengalir dari netra cokelatnya.

Abil turut hadir tiba-tiba. Dengan raut pucat dan napas terengah. Diraihnya lengan Sira. "Sir... gue enggak maksud begitu. Maafin gue."

Tegas, Sira menolak. Masih teramat erat memeluk tubuh tinggi Alwin.

"Sir—"

"Udah jelas-jelas dia nolak, kan?" Pandu kontan mematikan mesin motornya. Lantas turun dari kendaraan beroda duanya. Meninggalkan Aisya yang kesulitan menyusul turun. Sebenarnya, mood-nya sedang tak baik hari ini. Perdebatan kedua orang tua yang biasa menjadi menu sarapan terus saja menggelayuti pikir. Belum lagi saat Jihan mengabari saat Sira bersama Abil, sedikit kecemburuan menambah sesak. Dan kini, kehadiran Sira dengan tangisnya, tak lagi kuasa membuat Pandu menahan emosinya.

"Lo enggak tahu apa-apa, Pan!"

Bugh!

Ringan, sebuah pukulan lepas dari laki-laki itu. Mendarat tepat di rahang Abil. "Gue emang enggak tahu apa-apa! Tapi keadaan Sira sudah menjelaskan kalau dia enggak baik-baik aja! Lo apaain dia sampai nangis begitu?"

"Iya, gue tahu gue salah. Makanya gue minta maaf. Sira ..." Abil kembali mencoba meraih lengan Sira yang lagi-lagi ditepis. Dihiraukannya nyeri akibat pukulan Pandu barusan.

"Sira, gue mohon jangan gini. Gue minta ma—"

"Udahlah!" Pandu mendorong tubuh Abil menjauh dari Sira.

Kalau biasanya Abil memilih diam meredam emosi, kali ini ia merasa tak terima. Di samping suasana hati yang tak terususun apik, perlakuan kasar Pandu tanpa lebih dulu tahu apa yang terjadi menggerakkan tubuh Abil memberi balas.

Bugh!

Tanpa diduga, sebuah bogem mentah turut mendarat di pipi Pandu.

"Abil!" Jihan memekik. Terlampau terkejut akan apa yang ia lihat. Lantas, ia turun dari jok belakang motor Hilal. Diikuti gerakan sama oleh pemiliknya.

"Gue bilang, diam goblok! Enggak usah ikut campur urusan gue!" Abil hendak kembali menarik Sira, tetapi kali ini Alwin yang menghalanginya.

Alwin tahu benar siapa Abil. Sekacau apa pun suasana perasaannya, tak pernah Abil bertindak di bawah kendali amarah. Namun saat ini, Alwin seolah menangkap sosok lain di depannya. Kecewa jelas terarah pada sahabat terdekatnya. Bahkan sebelumnya, jika dirinya terlibat masalah, Abil selalu andil secara lansung. Amat kontras dengan dirinya kali ini.

"Bangsat lo, Bil!"

Pukulan kembali terlayang padanya. Kali ini cukup untuk membuat Abil jatuh tersungkur.

"Cukup!" Instruksi dari Hilal membuat aksi Pandu kembali menyerang Abil tertahan di udara.

Jihan dengan cepat mengambil posisi di sebelah Abil. Sedangkan Aisya berusaha menenangkan amarah Pandu yang semakin tak terkendali. Sira menangis kian menjadi. Belum cukup kekecewaannya pada Abil kali ini ia dapati, tapi pertengkaran sahabat-sahabatnya turut menambah sakit sanubari.

"Pan ...." Aisya beniat meraih lengan Pandu. Namun, dengan kasar laki-laki itu menepisnya. Ketua OSIS SMA Anata itu lantas kembali maju untuk menyerang Abil.

Tak ingin kalah, Abil juga turut maju. Kali ini, bukan lagi ingin meraih Sira, meraih maaf Sira. Nafsunya hanya ingin membalas pukulan Pandu.

Selama ini, sesadis apa pun ia dianiaya, disakiti, dan dijahati oleh orang-orang terdekatnya, ia tetap bertahan tanpa membalas. Sebab pesan sang mama untuk selalu menjadi orang baik selalu Abil pegang teguh. Tapi, pengkhianatan yang Abil dapat dari ibunya sendiri membuat Abil tak lagi punya alasan untuk memegang prinsip itu.

Maka detik selanjutnya, amarah yang mengungkung kedua jiwa itu tak bisa lagi ditahan. Adegan saling balas pukul itu sulit untuk diredakan.

"PANDU RAHARGI! GUE BILANG CUKUP!" Aisya mengambil posisi di antara Pandu dan Abil saat Pandu hendak kembali memberi serangan balasan. Tapi, tubuh dan tenaga Aisya itu terlalu kecil untuk menahan keduanya. Ia terdorong ke samping.

Hilal berusaha menarik mundur tubuh Pandu. Tetapi, tenaga Pandu entah kenapa terasa dua kali lebih kuat sehingga laki-laki itu lagi-lagi lolos.

Abil juga, berkali-kali Jihan menahan laki-laki itu. Tetapi, entah kenapa Abil jadi lebih kuat padahal sebelumnya ia begitu lemah sampai-sampai menghabiskan seluruh waktunya untuk tidur di kelas.

Alwin ingin ikut menghentikan perkelahian itu. Namun, Sira begitu kuat memeluknya. Terlihat begitu membutuhkan sandarannya. Alwin jadi tidak tega jika harus memaksa Sira melepaskan pelukan itu.

"Gue baru tahu kalau lo itu munafik, Bil!" Lolos dari cengkeraman Hilal, Pandu kembali melayangkan pukulannya. Kali ini area perut Abil jadi sasaran. Pukulan kali ini berhasil membuat Abil tak lagi bisa membalas. Laki-laki itu seketika  jatuh berlutut selagi tangannya mencengkram kuat sasaran pukulan Pandu barusan.

Publikasi, 28 April 2020
Revisi, 05 Juli 2021

Apa yang lebih manis dari cokelat? Dia yang setia kasih vote dan komen—Aisya.

...
Ngingetin, jangan lupa nabung dari sekarang buat ikut PO nanti ya, gaes...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top