20 | Hilal yang Sebenarnya

"DOKTER bilang, karena belum ada tindakan medis yang bisa dilakukan, jadi hanya terapi obat sama transfusi trombosit yang bisa dijalani. Tiap dua Minggu sekali, Abil harus ke rumah sakit. Kita ambil hari Sabtu atau Minggu aja ya? Pas Abil libur sekolah."

"Bi, kemarin Hilal bilang kalau dia itu kakaknya Abil." Abil mengubah posisinya menjadi duduk. Tak benar-benar peduli dengan apa yang Rani bicarakan. Sejak awal, ia tidak ingin terlalu memikirkan penyakit yang bersarang dalam tubuhnya kini. Justru yang lebih membuatnya terganggu adalah kata-kata Hilal kemarin. Sebenarnya berulang kali ia sudah menanyakan kepastian itu pada Hilal, tapi laki-laki itu urung buka suara.

"Abil gak ngerti loh, Bi. Hilal itu adik kelas Abil. Masa iya dia ngaku kakaknya Abil sih?"

Rani mengulas senyum. Raut bingung campur penasaran yang tergurat di wajah pucat Abil agak membuat gemas. "Abil seneng punya kakak?" tanyanya.

Abil menggeleng. "Abil belum percaya kalau Hilal itu kakaknya Abil. Dia lebih imut dari Abil, harusnya Abil yang jadi kakaknya."

Rani terkekeh. "Udah, udah. Istirahat aja ya?"

"Hilal bilang, Bibi itu ibunya Hilal. Kalau kita saudara, berarti bibi itu ibunya Abil juga kan?"

"Abil..."

"Kemarin Abil udah maksa Hilal buat cerita, tapi dia bilang, penulis harus bayar mahal dulu kalau dia dapet banyak dialog. Konyol banget kan?"

Kontan saja Rani tertawa, selagi tangannya menuntun Abil untuk kembali berbaring. Ia tahu sedari tadi Abil tengah menahan pusing, juga mungkin nyeri di titik tertentu tubuhnya. Semalam karena demam Abil tak bisa tidur pulas, harusnya pagi ini laki-laki dengan kaos putih polos itu mengistirahatkan diri.

"Bi, cerita dong!" Rengek Abil. Menarik tangan Rani yang terasa halus kendati sosok itu begitu sering melakukan banyak pekerjaan.

Rani tak langsung menanggapi. Lembut, dielusnya rambut Abil. Selagi sebagian jiwanya melayang, melanglang buana ke kejadian bertahun lalu lamanya. Entah kenapa, harus ada momen di mana ia mesti mengulang dan mengingat kembali kejadian yang sebenarnya begitu ingin dilupakannya.

"Sebenarnya, Hilal itu...."

Anak itu terlalu kecil. Lemah. Polos tanpa dosa. Tangisnya yang harusnya membuat haru, tak lantas membuat kedua orang dewasa itu luluh. Alasan kenapa bayi mungil itu harus terlahir membuat mereka bersikeras ingin membuangnya. Padahal ia masih harus diberi ASI. Harus merasakan dekap hangat seorang ibu. Dipeluk. Dimanja. Dihadiahi berpuluh ciuman.

Hilal adalah anak yang tidak diharapkan kelahirannya. Tapi, si ibu tak tega menghabisi nyawanya saat masih di dalam kandungan. Satu-satunya alasan kuat yang membuat wanita itu memaksa seseorang yang telah berkeluarga kemudian mengambil tanggung jawab untuk menutupi aib yang ada.

Mungkin memang benar, Hilal adalah anak dari seseorang yang tidak bertanggung jawab. Yang tega merebut kehormatan seorang wanita. Yang membuat keharmonisan sebuah keluarga nyaris berantakan. Tapi, hati nurani Rani tidak lantas setuju dengan keputusan yang ada. Bukankah, tindakan mereka tak kalah kejam dengan penjahat yang telah merebut paksa kesucian si wanita.

Sejak hari itu, Rani kemudian membawa Hilal dalam dekapannya. Mengasuhnya dengan penuh ketulusan. Merawatnya dengan cinta dan kasih. Membesarkannya hingga ia tumbuh menjadi sosok yang istimewa. Aktif. Berprestasi. Ceria. Berbudi luhur. Sosok yang kelak akan didamba dan dirindukan oleh orangtuanya.

Hilal tahu latar belakang keluarganya, tapi ia tidak pernah mengeluh. Tidak pernah marah pada siapa pun yang sudah menyakitinya, menelantarkannya. Bahkan saat kemudian ia tahu kalau Abil, adiknya yang lahir satu tahun setelah ia "dibuang", jauh lebih dicintai, lebih disayangi. Hilal tidak pernah merasa iri. Ia malah bertekad untuk menjaga Abil. Membahagiakan sosok itu hingga mungkin ia bisa diterima di antara mereka.

Tapi, sebelum ibunya mengakui betapa mengagumkannya Hilal, kejadian empat tahun lalu itu merenggut segalanya. Merenggut seluruh kebahagiaan Hilal. Mengurung Hilal dalam dunia tanpa cahaya yang siapa pun tak mampu menjamahnya.

Hilal lupa caranya tersenyum. Keceriaannya memudar. Hilal bukan lagi sosok yang siapa pun kenali. Hilal berubah menjadi begitu mengerikan.

"Tapi, Bi. Hilal kok bisa jadi adik kelas Abil sih? Harusnya kalau dia kakaknya Abil, dia udah kelas 3 kan sekarang?" Gurat kesedihan di balik wajah Rani memaksa Abil menutup cerita yang ada. Tak tega. Wanita berhati tulus itu pasti begitu terluka.

Abil sendiri bahkan tidak pernah tahu ada sosok yang jauh lebih menderita, lebih memperihatinkan dari dirinya. Hilal. Sosok pendiam yang kemarin bilang adalah saudaranya, ternyata kisah hidupnya jauh lebih kelam dari yang pernah ia bayangkan.

"Itu biar Hilal aja yang cerita ya? Sekarang kamu tidur. Istirahat." Senyum simpul Rani tersemat. Napas berat Abil membuat ia berujar demikian.

"Tapi, Bi..."

"Jihan kemarin ke sini. Dia bawa banyak makanan. Tapi, dia langsung pulang lagi." Rani mencoba mengalihkan pembicaraan. "Dulu pas kelas 3 SD Abil punya temen cewek, cantik, imut, baik. Sering banget main ke sini. Itu Jihan bukan sih?"

Abil terdiam. Seingatnya, ia berteman baik dengan Jihan sejak SMP. Tidak ada memori lain di kepalanya tentang teman masa lalunya selain Jihan.

"Jihan kayaknya suka deh sama Abil." Melihat fokus Abil mulai teralihkan, Rani mulai meluncurkan godaan. Tak ingin menambah beban berat dalam hidup Abil dengan kenyataan tentang Hilal.

"Enggak mungkinlah. Kita itu teman," elak Abil cepat. Ia memunggungi Rani. Tak terlalu suka jika harus membahas perihal hati. Terlebih di saat ia dijatuhi vonis penyakit mematikan seperti ini, Abil merasa tidak berhak untuk menyimpan rasa apa pun pada perempuan. Baik itu Jihan, atau siapa pun.

"Tapi, Abil gak ada suka gitu sama Jihan? Dia cantik, baik..."

"Apaan sih, Bi? Abil tuh sukanya cewek yang asyik, ceria, gak galak kayak Jihan. Udah ah Abil mau tidur." Abil mengakhiri pembicaraan dengan sengaja menenggelamkan diri di balik selimut putihnya.

Rani hanya mengulas senyum. Mengusap punggung Abil dengan sayang. Kemudian senyum itu perlahan memudar kala kata-kata Hilal kembali terngiang.

Bu, apa yang udah aku alami setelah kejadian hari itu, Abil gak boleh tau ya?

Publikasi, 150320
Revisi, 25 Juni 2021

.
.

Yang vote cantiknya nambah 20%
Yang komen cantiknya nambah 50%
Yang gak vomen, jodohnya gak seganteng gue. -Pandu

....

Btw, apa yang bikin kalian suka sama cerita ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top