2 | Abil dan Jihan

JIHAN Abian hanya bisa mengernyit kala ujung matanya menangkap gerak-gerik mencurigakan di samping tempat duduknya.

Alih-alih fokus pada materi hidrokarbon yang tengah guru kimia terangkan, Abil --si teman sebangku--justru asyik memenuhi bagian belakang buku kimianya dengan coretan asal. Sesekali laki-laki pencinta junkfood itu meloloskan gumam kecil sebelum kembali mengguratkan pensilnya.

Sejak masuk SMA Anata, entah itu sebuah kebetulan atau apa, mereka selalu masuk kelas yang sama dan duduk di bangku yang sama pula. Lantaran sudah bersahabat baik sejak SMP, baik Jihan maupun Abil tak merasa keberatan sama sekali. Justru keduanya berharap sampai kapan pun bisa selalu bersama-sama seperti saat ini.

"Lo kenapa, sih? Dari tadi kayaknya sibuk sendiri. Enggak nyatet emangnya?" Penasaran, Jihan melirik buku catatan milik Abil. Bukannya penuh dengan rumus-rumus kimia seperti yang sedang ia tulis, halaman buku Abil justru penuh dengan lingkaran dan tulisan-tulisan tidak jelas.

"Gue liat lo entar, deh." Selama beberapa detik, Abil menatap Jihan sebelum kembali menekuni pekerjaannya.

Ujian kenaikan kelas sebentar lagi. Sebab itu, Abil begitu sibuk menyelesaikan konsep acara akhir tahun yang mesti digarap oleh anak-anak kelas seni untuk acara malam puncak pelepasan kelas tiga nanti.

Abil ketua ekskul Seni, omong-omong. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pihak sekolah akan meminta anak-anak ekskul Seni untuk mengonsep acara puncak akhir tahun dengan sebaik-baiknya. Tentu saja, sebagai ketua Seni tahun ini, Abil tidak ingin mengecewakan mantan ketua ekskul seni tahun lalu juga para senior yang sudah melimpahinya kepercayaan. Jadi, Abil bertekad akan membuat acara yang spektakuler untuk perpisahan kakak-kakak kelasnya tahun ini.

Jihan tak berkomentar ketika lagi-lagi Abil menggumam tak jelas. Hanya menatap sosok itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. Abil benar-benar terlihat tak waras.

"Jihan Abian!"

Sungguh, Jihan benar-benar terkejut kala namanya disebut, menggema memenuhi tiap sudut ruangan. Refleks ia mengalihkan fokus matanya ke arah sumber suara. Sorot runcing mata Bu Lulu menusuk tepat bola matanya. Seketika itu, Jihan menggigit bibir bawahnya, gugup.

Di tempatnya, Abil turut memandang Bu Lulu. Kening bersihnya berkerut dalam.

"Ngapain kamu bengong-bengong sambil lihatin Abil?" Lepasnya pertanyaan Bu Lulu sontak saja membuat keadaan kelas menjadi ricuh. Beberapa siswa mulai asyik menggodanya; ciee ... Jihan.

Pipi Jihan bersemu seketika, sementara Abil hanya menatap bingung keadaan di kelasnya.

"Ini, Bu, Abil kayaknya udah gila deh," jelas Jihan yang langsung mendapat toyoran gratis dari Abil.

"Apaan sih, Han!" protes Abil. Ia memandang Jihan sekilas sebelum kembali memandang Bu Lulu. Tatap tajam menusuk milik Bu Lulu belum juga menumpul. Kesat, Abil menelan ludah.

"JADI DARI TADI KALIAN TIDAK MENDENGARKAN IBU?!"

Seperti diserang mantra immobilus-nya Harry Potter, keadaan di kelas XI IPA 1 itu seketika menghening.

Abil dan Jihan sebagai tersangka refleks menggeleng, tetapi tak lama setelah itu mereka mengangguk. Hal itu jelas membuat amarah Bu Lulu semakin naik menuju ubun-ubun.

INI sudah ke sekian kalinya Alwin menghela napas panjang di setengah jam ini. Pasalnya, ia sudah menjelaskan panjang lebar, tetapi tak ada reaksi apa pun dari gadis di hadapannya. Hanya diam dan sibuk sendiri memainkan ponsel.

"Gue enggak tahu harus jelasin apa lagi sama lo." Nada putus asa jelas menggantung di balik suara Alwin.

"Yaudah, enggak usah jelasin apa-apa lagi." Akhirnya Metta angkat suara. Ia menutup aplikasi yang tengah dioperasikannya dan memandang tiap sudut kantin yang sudah sepi dengan enggan. Sejujurnya, ia hanya tidak berani saja menatap langsung wajah tampan kekasihnya itu.

"Kalo gitu gue minta maaf." Dalam satu gerakan, Alwin meraih tangan Metta dan menggenggamnya.

Metta tak memberikan respons apa pun sampai kemudian tangan Alwin membingkai di wajah manisnya. Menuntun mata itu untuk beradu pandang. "Kali ini gue janji enggak bakal ngulangin kesalahan yang sama. Jadi, gue minta maaf."

Sejujurnya, kalimat serupa itu entah sudah berapa puluh kali Alwin katakan. Metta tak ingin lagi tertipu untuk ke sekian kalinya. Namun, bola mata cokelat itu entah kenapa selalu berhasil membuat hatinya luluh.

"Gue mohon jangan kayak gini." Metta menjauhkan tangan Alwin dari wajahnya dan menunduk dalam. Berusaha menghindar dari tatap si lelaki.

"Iya, tapi maafin gue dulu," pinta Alwin memelas. Ekspresi itu membuat tembok kokoh yang Metta bangun runtuh seketika.

"Dimaafin enggak? Maafin atuh, ya. Please!"

Metta kembali memalingkan muka, tak tahan. "Yaudah, tapi janji gak ngulangin lagi!"

"Ya, gue janji!"

Dan, hening pun menjamah. Sampai ...

"Ah, gara-gara lo nih, Bil." Jihan mengempaskan tubuhnya di samping Metta, sementara Abil memilih untuk duduk di samping Alwin.

"Lah, kok jadi gue? Itu, sih lo aja yang bego. Udah tahu nitrogen dioksida itu NO2, lo malah jawab nitrogen monoksida."

Jihan cemberut. "Lagian, tadi lo ngapain sih pake corat-coret buku gaje gitu?"

"Gue lagi bikin konsep acara akhir tahun. Lah, lo ngapain mandangin gue sampai Bu Lulu cemburu gitu?!"

"Ih, najis! Siapa yang mandangin lo." Walau sebenarnya, memandang Abil lama-lama adalah kebahagiaan tersendiri untuknya.

Alwin dan Metta yang sama sekali tidak mengerti topik pembicaraan apa yang tengah Abil dan Jihan bicarakan, hanya saling pandang seraya mengangkat bahu kompak.

"GUE nemu ini lagi di loker."

Sira refleks menoleh ke arah kiri saat bisikan itu terdengar. Baru saja Aisya menggeser kursi di sampingnya dan mendudukkan diri di sana. Di tangannya ada selembar kertas berwarna merah muda. Sira langsung paham kertas apa itu.

Sudah terhitung satu tahun lebih, Aisya sering mendapatkan hal-hal misterius. Semacam puisi, bunga, cokelat, atau hadiah-hadiah kecil lainnya. Aisya tidak tahu siapa sebenarnya pengirim hadiah-hadiah itu. Intinya, ia memiliki seorang secret admire, begitu Sira menyebutnya.

Aisya sebenarnya senang dengan semua hadiah yang diterimanya. Hanya saja, rasa penasaran tak jarang membuat Aisya merasa frustasi juga. Kadang, jika membayangkan siapa pengagum rahasianya itu, Aisya selalu merasa ngeri sendiri.

"Udah lo baca?" Mereka sedang berada di tengah-tengah rapat OSIS saat ini, alhasil Sira agak berbisik saat melontar tanya.

Aisya menggeleng. "Gue berharap dia kasih petunjuk ke gue. Capek deh, serius! Dibikin penasaran aja terus kayak gini," keluh Aisya masih dengan suara berbisik.

"Dramatis tahu."

"Tapi, enggak seindah di drama juga kali. Mending deh cowok tuh model Pandu yang gentle man. Enggak main diem-diem gini."

Begitu nama Pandu disebut, kontan iris sewarna cappuccino milik Sira berputar ke arah Pandu yang tengah sibuk menerangkan materi rapat di depan sana.

"Sayangnya, dia ditolak terus sama cewek yang dia suka. Padahal, kayaknya Pandu tuh sayang banget sama si cewek itu."

"Enggak usah nyindir!" Sira menyikut lengan Aisya yang hanya bisa terkekeh kecil melihat ekspresi dirinya. Sira tahu cewek yang Aisya maksud itu dirinya.

Sudah hampir dua tahun ini Pandu berusaha meraih hatinya. Rasanya sulit sekali bagi Sira membalas perasaan laki-laki itu. Padahal jika dipikir-pikir lagi, Pandu itu termasuk jajaran cowok-cowok ganteng yang jadi rebutan anak-anak sesekolahan. Hanya saja, ada alasan lain kenapa Sira selalu menutup rapat pintu hatinya untuk laki-laki itu.

Kembali fokus dengan agenda osisnya, gadis penyuka sastra itu hanya bisa tersenyum kecut. Tak memedulikan godaan Aisya di sampingnya.

Dalam hati ini, bukan nama Pandu yang terukir. Ada nama lain yang lebih dulu berhasil menempati tiap sudut sanubari ini. Semuanya mungkin terasa aneh, tapi nama itu...

"Hilal."

...selalu sukses membuatku seperti mengelilingi angkasa setiap kali mengingatnya.

Sira terperangah saat Pandu menyebut nama itu. Dengan dada berdebar, ia mengangkat kepalanya dan menatap sosok yang saat ini berdiri di ambang pintu ruang OSIS sana.

"Ada apa?" Pandu bertanya saat dada Sira terasa ingin meledak melihat Hilal, adik kelasnya yang sejak pertama kali bertemu membuatnya jatuh hati.

"Pembina OSIS nyuruh gue nganterin ini." Hilal menunjukkan beberapa map di tangannya.

Seperti biasa, suara dan wajah Hilal selalu tenang seperti air danau. Sesuatu yang membuat Sira selalu jatuh cinta setiap kali melihatnya.

Bersambung
Publikasi, 07 Juni 2018
Revisi, 30 April 2021




....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top