17 | Tak Lagi Bisa Dibendung
GERAKAN tangan Abil terhenti seketika. Lagi, cairan itu meluncur bebas. Merah kental mengotori halaman buku yang sejak dua jam ini menemaninya. Abil tidak tahu nasib laptop kesayangannya di ruang seni saat ini. Sebab itu ia terpaksa menggarap ulang konsep acara di buku.
Abil masih memikirkan acara yang lebih sederhana, tapi bisa memberikan kesan mendalam. Acara yang bisa sukses hanya dengan latihan sebentar.
Abil tahu kalau ia salah. Benar, ia tak kompeten. Ia terlalu memikirkan hubungan persahabatannya sementara tugasnya sebagai ketua seni sempat ia hiraukan. Tapi, bukan berarti Yuda boleh menyudutkannya seperti tadi. Setidaknya, ia sudah berusaha untuk bertanggung jawab. Tapi, tak seorang pun yang menghargai usahanya padahal ia sudah membuat konsep acara semalaman hingga waktu istirahatnya tersita.
Gue kecapean deh kayaknya.
Padahal, baru tiga jam yang lalu Abil melihat bagaimana paniknya keempat teman perempuannya. Hampir satu jam penuh mimisannya tak mau berhenti. Baru setelah Metta membantu mengompres hidungnya dengan air es, epistaksis itu berhenti.
"Kalo mimisan jangan dongak, Bil. Lo duduk tegak terus pencet cuping hidung lo. Kalo sepuluh menit belum berhenti coba kompres pake air dingin."
Petuah Metta masih Abil ingat betul. Sekarang, ia sedang berusaha mengikuti saran Metta tadi. Toh, tadi juga usaha Metta cukup berhasil, meski agak lama.
Setelah sepuluh menit berlangsung dan tak membuahkan hasil, Abil segera bangkit. Pusing seketika menghampiri. Terseok ia berjalan keluar kamar. Sambil berusaha meraih apa pun yang ada disekitarnya guna dijadikan tumpuan, sementara ia biarkan saja darah di hidungnya mengalir dan mengotori lantai. Abil melangkah menuju tempat di mana satu-satunya orang selain dirinya berada di rumah ini.
"Bibi..." Abil membuka pintu ruangan. Suaranya parau terdengar.
"Astaghfirullah!" Tak ayal, Rani panik bukan buatan kala netranya melihat kondisi Abil saat ini. Bergegas ia menghampiri majikannya itu, meninggalkan pakaian yang hendak dimasukkannya ke tabung pembilas. "Kamu kenapa?"
"Ini gak mau berhenti masa. Tolong dong, Bi." Sebenarnya Abil tak ingin merepotkan Rani atau siapa pun. Tapi, ia sadar kalau tubuhnya benar-benar tidak bisa mengatasi sakitnya sendiri. Ia butuh bantuan. Beruntung Rani masih berada di rumah ini. Biasanya, lewat jam delapan malam wanita itu sudah pulang.
"Kita ke rumah sakit aja ya?" Pasalnya kondisi Abil benar-benar mengkhawatirkan. Dan ia tidak bisa berbuat lebih.
Vertigo yang tiba-tiba mendera, juga lemas yang kian mengikis sadarnya memaksa Abil mengangguk pada akhirnya. Apa pun itu, Abil hanya ingin penderitanya saat ini segera berakhir.
"Kamu duduk dulu. Bibi mau cari bantuan." Rani membantu Abil untuk duduk di kursi terdekat, lantas berlalu guna mengambil ponselnya yang ia tinggal di ruang tengah.
Abil menundukkan kepalanya. Ia merasa dunia seperti dijungkirbalikkan berulang kali. Sementara sesuatu mengaduk-aduk isi perutnya. Pusing. Mual. Belum lagi kepalanya yang terasa ditusuk ribuan paku. Tak lupa darah yang terus mengalir, membuat tubuhnya lemas tak kepalang.
Sekarang, Abil justru lupa caranya bernapas. Sesuatu seperti mencekiknya. Sesak. Sementara jantungnya terasa berpacu dengan cepat. Menggedor rusuknya hingga nyeri.
Abil pasrah saja saat tubuhnya oleng ke samping kemudian menghantam lantai. Sadarnya kian terenggut. Kemudian teriakan Rani adalah hal terakhir yang diingatnya sebelum gelap menelan seluruh kesadarannya.
PUKUL empat subuh, Abil membuka mata. Keadaan sunyi terasa menelusup sanubari.
Hal pertama yang Abil lirik adalah lengannya. Ada jarum tertancap di sana, di bawah lipatan sikunya. Terhubung dengan selang kateter yang mengantarkan cairan berwarna merah ke dalam tubuhnya.
Ia tengah berada di rumah sakit, dan ia kehilangan banyak darah. Tentu transfusi darah ini harus dilakukan.
Kemudian, matanya menyapu keadaan sekitar. Sebelum fokusnya jatuh ke arah ranjang di samping ranjangnya. Di balik celah tirai yang sedikit terbuka, ia melihat seorang wanita paruh baya tengah terkantuk-kantuk di sisi ranjang pasien.
Seketika ia terenyuh. Meratapi kekosongan yang ada di sekitarnya.
Di mana keluarganya saat ini? Kenapa dalam kondisi seperti ini ia harus sendiri?
Tak tahan menahan sedih yang perlahan menelusup rongga sanubari, Abil biarkan sebelah lengannya yang bebas infus menutupi kedua matanya. Lantas menangis dalam diam. Selagi bibirnya ia gigit kuat-kuat, menahan isakan agar tak lolos begitu saja.
Selama ini Abil cukup kuat menahan segenap nestapa yang ada. Sesakit dan seperih apa pun, ia selalu bisa menahan air matanya untuk tak jatuh. Ia berjuang sendiri selama ini. Hingga rasanya ia sudah terbiasa dengan sepi.
Abil tidak pernah mempermasalahkan ketika ia harus duduk sendiri di meja makan, tanpa kehangatan keluarga.
Abil tidak masalah harus mencuci dan menyetrika pakaiannya sendiri, mencuci bekas makannya sendiri, bertahun lamanya, tanpa ada tangan lembut ibu yang mau membantunya.
Abil tidak masalah ketika hanya dirinya yang duduk sendiri di depan televisi. Tak ada teman tertawa. Tak ada teman berbagi.
Abil tidak masalah ketika paginya hanya ada lenggang dan sunyi yang menyambut.
Tapi untuk hari ini, detik ini, hati kokohnya mendadak roboh. Ia butuh seseorang yang mereka panggil Papa, yang mereka panggil Mama, untuk ada di sampingnya. Menguatkan hatinya dengan puluhan kalimat penenang. Meyakinkan dirinya bahwa sakit yang ia rasa hanya sementara.
Tak tahan dengan kesedihan yang kian menjerat, juga sesak yang menjarah, isakan itu lolos juga akhirnya. Masih dengan mata tertutupi lengan, bahu Abil berguncang hebat. Tangis itu mengusik hening yang sempat menjamah. Juga membangunkan sosok ...
"Kenapa?"
... Hilal tiba-tiba muncul dari bawah ranjang. Dengan raut kantuk yang kentara, ia duduk di sisi ranjang tempat Abil berbaring.
Abil menyingkirkan lengannya. Kaget dengan kehadiran adik kelasnya itu membuat ia sontak terduduk lantas menghapus air matanya. Melupakan pening yang sesaat menghujam kepalanya, ditatapnya Hilal dengan bingung.
"Gue tidur di bawah tadi. Jagain lo."
Bukan itu yang Abil bingungkan tentu saja.
"Nyokap telfon gue, bilang lo pingsan."
Kening Abil semakin berkerut. Tidak mengerti dengan semua kata yang Hilal paparkan.
"Bi Rani itu nyokap gue." Melihat kebingungan yang kentara di wajah pucat Abil, membuat Hilal mendesah keras. Tak suka jika ia harus berbelit-belit menjelaskan panjang lebar. Tapi, ia tetap berusaha bersabar dengan kondisi Abil yang mendadak telat loading.
Abil mengangguk paham kemudian. Di samping tak percaya kalau Hilal itu anaknya Bi Rani. Sejak awal, memang ada banyak fakta yang tidak pernah ia ketahui. Tak hanya teman-temannya, tapi juga orang-orang terdekatnya selama ini.
"Nyokap bilang, dia udah telfon semua anggota keluarga lo. Tapi, gak ada yang angkat. Makanya dia gak bisa nempatin lo di ruang VIP."
Mata Abil kembali berkaca-kaca. Bukan lantaran apa yang Hilal paparkan. Ia tidak peduli di mana ia ditempatkan. Toh, kemewahan yang selama ini didapatnya pun tak pernah bisa membuatnya bahagia. Karena bagi Abil, bukan ruang VIP yang bisa mengobati dan menyembuhkannya. Akan tetapi, kehadiran mereka, keluarganya.
"Sini!"
Abil cukup tersentak kaget saat tiba-tiba Hilal menariknya, merapatkan diri dalam sebuah pelukan hangat.
"Lo gak perlu keluarga lo. Lo cuma perlu nangis. Di sini." Hilal mengeratkan pelukannya. Membuat Abil merasa nyaman. Ia melihat sosok yang lain dari diri Hilal. Sesuatu yang tak pernah ia temukan sebelumnya.
Hilal begitu dewasa, seperti bukan adik kelasnya. Mungkin memang seperti itu sejak dulu. Hanya saja ia yang tidak terlalu memerhatikan sosok itu.
ABIL tidak tahu apa salahnya sehingga kedua saudara tiri beserta teman-teman mereka begitu tega menganiaya dirinya seperti ini. Menghujaninya dengan pukulan dan tendangan.
Abil baru saja pulang. Ia sangat lelah setelah seharian mengikuti kegiatan MOS terakhir di SMP barunya. Harapnya, ia bisa segera menidurkan diri di kasur empuknya sebelum Rega tiba-tiba saja menariknya ke halaman belakang. Lantas menyuguhkan ia pada Bara dan kawan-kawannya untuk dijadikan samsak.
Meski Abil memohon-mohon agar mereka menghentikan semua kegilaan yang dilakukan padanya, mereka tak ingin ambil peduli. Justru tanpa iba, setelah ia babak belur mereka malah menceburkannya ke dalam kolam.
Nyeri dan ngilu yang menyerang setiap persendian membuat Abil tak bisa berenang kala itu. Hanya berpasrah saat tubuhnya kian ditarik ke kedalaman. Ia meminum banyak air. Dadanya sesak kehilangan oksigen. Saat itu Abil berpikir ia akan mati. Tenggelam. Mengambang. Dan berakhir mengenaskan. Akan tetapi, sebelum jantungnya benar-benar berhenti berdetak, sesuatu tiba-tiba menarik tubuhnya ke permukaan. Lantas-
"ABIL! ABIL, BANGUN!
-teriakan seseorang disertai guncangan pada tubuhnya terasa. Abil ingin membuka mata, memastikan siapa orang yang masih berbaik hati menyelamatkan nyawanya. Tapi, kelopak matanya terlalu berat. Tubuhnya lemas luar biasa, sementara ia sendiri bahkan nyaris tak merasakan detak jantungnya sendiri.
"Bangun, Bil! Please, bangun!"
Tubuhnya diguncang semakin kasar. Ia bisa mendengar tangisan itu mengusik gendang telinga. Lirih terdengar. Membuat Abil berpikir bahwa hidupnya masih berarti. Masih diinginkan. Sekuat tenaga, sekejap saja ia membuka mata dan sosok itu, meski samar, Abil cukup mengenalnya.
"Hilal?"
Hilal mengernyit ketika Abil bersuara dalam tidurnya. Memanggil namanya pula. Melupakan workshop yang ditekuninya sejak tadi, ia lantas melirik laki-laki yang tengah tertidur pulas di atas sofa itu dengan cemas.
Sore ini Abil baru saja pulang dari rumah sakit, setelah menghabiskan dua hari lamanya di sana. Tak kuat menahan lemas, ia memilih untuk beristirahat sebentar di sofa sebelum akhirnya hening yang ada malah membuat sadarnya tenggelam dalam bunga tidur.
Sebenarnya dari hasil pemeriksaan yang ada, Abil membutuhkan waktu lebih lama di rumah sakit. Ia masih membutuhkan transfusi trombosit setelah menghabiskan tiga kantung darah. Tapi, laki-laki penyuka warna putih itu justru ngotot minta pulang. Tak bisa Rani bujuk dengan cara apa pun. Alasannya membuat Hilal sempat kesal.
"Emang lo pikir karena nyokap gue pembantu, dia gak bisa bayar biaya rumah sakit lo?"
"Enggak gitu, Lal. Gue cuma gak mau repotin orang lain kayak gini."
"Terserahlah."
Hilal kesal saat itu. Ia tidak suka Abil menganggap ia dan ibunya orang lain setelah apa yang mereka lakukan untuk Abil.
"To-hh-long!"
Hilal tersentak saat Abil tiba-tiba bangun dengan napas terengah. Laki-laki itu tampak mencengkeram kuat bagian dadanya sementara mulutnya sedikit terbuka guna mencari oksigen. Hilal kontan beringsut mendekat dan merangkul tubuh Abil. Menyuruh Abil untuk bernapas pelan-pelan.
"O-obat gue."
Mendengar itu Hilal bergegas mengambil satu kantung plastik berisi obat yang diresepkan dokter di rumah sakit tadi.
"Bukan." Abil menggeleng kuat. Membuat Hilal semakin bingung. "Di kamar gue. Obatnya..."
Tanpa ingin mendengar lanjutan kalimat Abil, Hilal paham dan langsung bergegas menuju kamar Abil di lantai atas. Tak membutuhkan waktu lama untuk Hilal menemukan obat itu sebab netranya langsung menangkap satu tabung kecil berada tepat di atas meja belajar. Tapi, sempurna tabung berisi pil-pil kecil berwarna putih itu berada dalam genggamannya, Hilal terdiam. Terpekur lama.
Lo depresi, Bil? Kenapa obat penenang?
Publikasi, 24 Pebruari 20
Revisi, 21 Juni 2021
Tolong bantu munculin siders!! 😣😣😣 —Abil
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top