14 | Semakin Terasa Sakit

“Sir.”

Sira yang tengah asyik mengotak-atik ponselnya seketika menoleh ke samping kiri. Tempat di mana Abil berada saat ini. Setelah menghabiskan waktu setengah jam lamanya guna beradu argumen, akhirnya Abil mengalah dan pasrah ketika ia menyeretnya ke tempat ini.

Jujur, Abil baru tahu kalau di balik sikap Sira yang lembut, gadis itu ternyata cukup keras kepala, agak pemaksa juga. Sebabnya, kini ia terjebak di antara puluhan pasien lainnya yang juga tengah menunggu panggilan guna mendapat pemeriksaan.

“Kenapa?” Memasukkan ponsel ke dalam tas selempang kecilnya, Sira kemudian menatap Abil dengan serius.

“Lo pulang aja, gih. Bukannya tadi nyokap lo telepon nyuruh lo pulang ya?” Jadi, beberapa menit setelah mendaftarkan Abil, Sira mendapat telepon dari Melly. Wanita itu menanyakan keberadaannya, dan setelah tahu kalau ia tengah berada di rumah sakit untuk mengantar Abil, Melly langsung menyuruh ia pulang buru-buru.

“Nanti lo kabur terus enggak jadi periksa lagi,” tuduh Sira.

Memijit pelipisnya, Abil kemudian mendengkus. “Ya enggaklah, Sira.”

“Gue tunggu di sini aja sampai lo dipanggil masuk, nanti gue baru pulang.”

Panjang, Abil menghela napas. Setelahnya ia tidak lagi berkomentar. Udara penat yang memadati kepalanya membuat ia enggan berdebat lebih jauh dengan Sira. Lelah. Pusing. Di saat seperti ini, Abil malah ingin cepat-cepat bertemu dokter dan mengadu apa yang ia rasakan. Berharap setelahnya sakit yang ia rasa bisa hilang dalam satu ucapan mantra.

Pusing banget, Ya Tuhan ... Abil memejamkan mata kuat-kuat. Kepalanya terasa begitu berat sehingga ia terpaksa menunduk dalam. Nomor antriannya masih cukup lama, dan sakitnya semakin bertindak anarkis. Apa rumah sakit selalu ramai begini, ya? Pikirnya.

“Lo oke? Masih kuat, ‘kan?”

Sebisa mungkin Abil meredam sakit itu dengan menarik napas sedalam mungkin. Tentu saja, ia tidak ingin Sira terlalu mengkhawatirkannya. “Ohya, gue mau nanya.” Mengalihkan pembicaraan. Abil membenarkan posisinya, menatap Sira dengan serius.

“Kenapa?”

“Lo sama Alwin udah temenan dari kecil, ‘kan? Lo pasti tahu kan Alwin itu—”

Mendengar nama Alwin kontan Sira mendengkus kasar. “Gue tahu, Bil. Gue tahu baik-buruknya Alwin itu kayak gimana. Tapi, gue lagi enggak mau bahas dia. Gue lagi enggak mau bahas apa pun tentang Alwin, juga Pandu.”

Abil mengedipkan mata beberapa kali. Bukan itu sebenarnya yang hendak ia bicarakan. Ia hanya ingin bertanya soal hubungan Alwin dengan ayahnya. Pasalnya, saat ia berkunjung ke rumah Alwin sore kemarin, Abil merasa ada yang aneh dengan hubungan keluarga sahabatnya itu.

“Yaudah, kalau gitu.” Abil pikir Sira tahu, sebab setahunya Alwin dan Sira itu sahabatan sejak masih bayi. Namun, sepertinya bukan waktu yang tepat untuk membahas hal itu saat ini.

Jadi kemarin alih-alih berbicara dengan Alwin, Abil justru terlalu asyik berbincang dengan Gilang. Pembicaraan mereka hampir sepenuhnya membicarakan tentang Alfi—kakak Alwin yang kata Gilang—sangat berprestasi dan membanggakan

Dalam percakapan mereka yang hampir menghabiskan waktu dua jam penuh, Abil tidak mendengar sekalipun nama Alwin disebut oleh ayahnya. Alwin juga tampak tidak berniat ikut bergabung dengan mereka. Seolah ada tembok tak kasat mata yang menghadang hubungan Alwin dan juga ayahnya. Abil curiga kalau selama ini kehidupan Alwin tidak sebaik kelihatannya.

“Gue sebenernya enggak marah sama Alwin. Sama Pandu juga. Gue juga sama kayak lo, gue enggak mau persahabatan kita berantakan kayak gini. Tapi, gue enggak mau pake cara lo, Bil. Gue maunya Alwin, Pandu, sama Metta tuh baikkan karena mereka bener-bener tulus pengen baikkan. Bukan karena lo atau siapa pun yang suruh.”

Cukup lama Abil terdiam. Sedikit menyetujui pendapat Sira. Selama ini ia terlalu khawatir. Sebab, hubungan orang dewasa itu tidak sama seperti hubungan anak kecil, yang jika mereka marahan, beberapa menit kemudian hubungan mereka akan membaik lagi. Abil terlalu takut masalah ini akan membekas dan membuat persahabatan mereka retak kemudian pecah berkeping-keping.

“Ih, Bunda ini kenapa sih?”

Gerutuan Sira mengalihkan fokus Abil. Gadis itu mengangkat telepon dengan enggan. Abil hanya memperhatikan dalam diam.

“Iya, ini Sira mau pulang. Nunggu Abil masuk ruangan dulu.” Setahu Sira Melly tidak seperti ini sebelumnya. Namun, beberapa terakhir ini wanita itu jadi terlihat lebih protektif padanya.

Pokoknya pulang sekarang ya, Sayang. Lagian kan Abil juga udah gede. Emang harus ya sampai ditungguin gitu.”

“Ih, Bunda ini. Abil itu kan sahabat aku. Dia itu lagi sakit dan aku pengen mastiin kalo—”

“Lo pulang aja deh, Sir. Serius gue jadi enggak enak sama nyokap lo.”

“Tapi, Bil...” Sira memutuskan panggilan sebelah pihak.
 
“Setelah ini giliran gue. Jadi gue enggak bakal kabur.” Seraya menunjukkan nomor antrian di tangannya, Abil mencoba meyakinkan Sira. Lagipula sejak tadi ia memang berharap bisa bertemu dengan dokter, jadi untuk apa ia kabur? Setidaknya jika ia tidak bisa menceritakan semua sakit yang ia rasa selama ini kepada sahabat dan keluarganya, mungkin ia bisa menceritakannya kepada dokter.

Sira tampak berpikir sebelum akhirnya, “Ya udah, nanti kasih tahu gue hasilnya ya?”

Abil mengangguk saja.

“Janji?”

“Iya, Sira...” gemas Abil.

Sira melambai singkat sebelum menghilang di balik pintu keluar. Bersamaan dengan itu, ia mendengar nomor antrian beserta namanya dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan.

Cepat, Alwin menggiring bola, usai merebut si kulit oranye itu dari tangan Hilal. Melakukan lay-up shoot untuk yang keberapa kalinya, tetapi lagi-lagi gagal. Alwin mengembuskan napas kasar. Melepas semua resah yang terus bergelayut di dalam dadanya dengan bermain basket hanya sebatas angan belaka. Nyatanya, rasa itu masih saja melekat kuat. Tubuhnya memang di sini. Namun, pikirannya tak kunjung terlepas dari masalah yang dihadapinya akhir-akhir ini.

Alwin membiarkan bola basket melayang bebas setelah memantul pada papan pantul dan berbalik arah. Taman kota cukup ramai mengingat malam Minggu. Akan sangat menyenangkan andaikan ia dapat bermain dengan Metta. Saling berebut bola, memasang taruhan yang aneh dan berakhir tertawa bersama sebagai pelepas penat.

“Gue capek, Lal.” Laki-laki itu membaringkan tubuhnya. Membiarkan dadanya naik turun tak teratur selagi netra cokelatnya memandang hamparan langit di atas sana. Jakarta malam ini memang cukup cerah. Namun bagaimanapun, bintang tak juga memenuhi pandang.

Hilal melakukan hal yang sama. Laki-laki pendiam itu mengambil sisi kosong di sebalah kanan Alwin. Menghela napas cukup panjang, lantas diembuskannya dengan sekali empas.

“Lo pernah suka sama cewek?” Alwin membuka percakapan. Sadar betul jika adik kelasnya itu tak mungkin memulai terlebih dahulu.

“Gue normal juga,” jawab Hilal serius. Nada suaranya masih tenang di antara keramaian yang meredam suaranya.

“Cewek ideal lo yang kayak apa?” Alwin melipat lengannya. Lantas menyelipkan lipatan lengan itu di bawah kepala.

Hilal terdiam cukup lama. Barangkali tengah berpikir atau bingung harus mendiskripsikan gadis yang disukainya seperti apa. “Yang penting gue suka,” jawabnya asal.

Alwin terkekeh ringan. “Sesimpel itu sebenarnya, ya ....” Hela napas panjang kembali terdengar di antara mereka. “Gue kira, cinta emang sesimpel itu. Tapi, nyatanya enggak. Gue enggak tahu mesti mulai dari mana lagi, Lal. Enggak ada yang mau dengerin gue, apalagi bantuin. Lo juga keberatan dengar ini dari gue?”

Hilal tak menjawab. Alwin menganggapnya sebagai isyarat bahwa adik kelasnya itu tak keberatan menjadi teman berbaginya.

“Gue tahu kalau gue emang kurang ajar. Tapi bagaimanapun, sebanyak apa pun cewek yang dekat sama gue, Metta tetap yang pertama.”

Bibir Hilal berkedut. Entahlah. Dia juga tak berhak menilai dengan pandangannya mana yang benar. Bukannya tak peduli, hanya saja khawatir jika dirinya turut campur, malah akan memperkeruh keadaan. Toh, ia tak benar-benar mengenal sosok seperti apa Alwin.

“Susahnya jadi orang ganteng, enggak respons dikira sombong. Kasih respons dibilang playboy.”

Hanya decak kecil dari Hilal yang didengar Alwin sebagai tanggapan.

“Yang bikin gue kesel lagi, mereka malah jauhin gue. Harusnya mereka ngebantu gue, kan? Bukan hanya menimpakan kekesalan dan ikut-ikut menjauh.” Kali ini suara Alwin terdengar lebih rendah. Teringat hubungannya dengan Pandu yang semakin memanas. Ditambah canggung yang tercipta di antara teman-teman lainnya.

“Apa gue harus beneran jauhin mereka aja? Cari kehidupan yang lain?” Bahkan, Abil yang biasanya dapat ia andalkan pun tak turut andil. Dan, entah mengapa teringat kedatangan Abil kemarin petang beradu dengan senyum hangat Gilang, membuat hatinya semakin gundah.

Hening membelenggu kedua laki-laki itu. Hilal masih setia bergeming, kendati kali ini Alwin membiarkan pikirannya semakin liar. Keramain di sekitar mereka seolah lenyap begitu saja tertelan runyamnya masalah-masalah yang terus berputar di kepala. Hingga Alwin merasa pandangannya mengganda. Laki-laki itu sontak mengerjap. Lantas dengan cepat bangkit dari posisi terlentang.

“Kenapa?” tanya Hilal. Kening laki-laki itu berkerut saat mendapati Alwin yang tiba-tiba mengubah posisinya menjadi duduk.

“Enggak pa-pa.” Alwin memejam cukup lama. Membuka matanya perlahan, lantas mengembuskan napas lega saat pandangannya kembali normal. “Gue pulang dulu. Thanks udah mau dengerin gue.” Laki-laki itu berdiri.

Hilal melakukan hal yang sama. Tak sempat menjawab atau mengatakan hal lain sebab Alwin lekas berlalu. Netranya hanya dapat mengikuti punggung Alwin yang kian menjauh. Hingga tak terjamah oleh pandang.

Publikasi, 21 Januari 2020
Revisi, 05 Juni 2021

Ini Alwin. Jangan lupa cintai dia juga yaa.. 💕💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top