13 | Mengambil Langkah Pertama
Kembali Abil tatap dua orang itu bergantian. Masih sama. Sira masih berpura-pura sibuk membantu petugas UKS yang tengah beres-beres, meski beberapa kali mencuri pandang ke arahnya. Barangkali masih khawatir semenjak ia datang dalam keadaan yang jauh dari kata baik. Sedangkan Pandu masih duduk anteng di sebelahnya sembari memeriksa soft file proposal Acara Akhir Tahun Sekolah di ponsel pintar miliknya. Ia sebenarnya lelah. Tak hanya karena masalah fisik, namun hubungan persahabatannya saat ini membuat pundaknya semakin berat.
Sebenarnya, Abil ingin sekali saja tak terlibat. Ia ingin memberi kesempatan untuk mereka dewasa dengan sendirinya. Bukan lagi sedikit-sedikit—tanpa sadar—memaksa ia untuk andil menyelesaikan.
Hela napas panjang, Abil udarakan. Laki-laki itu menurunkan pundaknya, meluruskan kaki-kakinya yang masih sedikit lemas. Sisa rasa sakit beberapa menit yang lalu. “Pan,” panggilnya, mendapat tolehan Pandu sebagai jawab.
“Lo nganggurin Sira? Enggak takut makin jauh nantinya?”
Sekilas Pandu melempar pandang ke arah gadis bersurai cokelat itu. Hanya beberapa detik sebelum ia alihkan pada kedua manik mata hitam Abil.
“Gue udah ngajak bicara, tapi dianya tetap aja ketus.” Pandu menghela napasnya. Sekejap terlintas kejadian di Ruang OSIS beberap hari yang lalu.
“Terus lo udahan gitu aja?” Abil memicing.
“Bil, lo enggak nger—”
“Gue ngerti. Gue paham,” Abil menegakkan punggungnya. “Emang biasanya siapa yang paling ngertiin kalian?”
Lagi-lagi Pandu menghela napas. “Tapi Alwin udah kebangetan, Bil. Kali ini gue enggak bisa biarin dia gitu aja.”
Seperti yang dibilangnya, Abil paham betul itu. Tak mudah memang jika ia dalam posisi Pandu. Mendapati perlakuan Alwin ke sepupunya sendiri, ditambah pemandangan yang tak seharusnya ia lihat terlalu kuat untuk melunakkan hatinya kali ini.
“Lo lihat, kan? Bukan cuma Metta, tapi persahabatan kita jadi secanggung ini sekarang. Dan kalau lo beneran paham, ini salah siapa? Salah si pea itu! Emang dari dulu dia biang masalah!”
Urat leher Pandu tampak semakin jelas. Kalau Abil menyanggah, meski sekadar meluruskan, paham yang salah justru akan muncul di sini. Mungkin Pandu akan berpikir bahwa Abil membela Alwin. Bukannya Abil mau menyerah, tetapi melanjutkan percakapan ini dengan Pandu hanya akan menyita tenaganya yang tak banyak.
Abil harus memutar otak. Bukan asal ambil benang dalam suasana runyam seperti ini. Pada akhirnya, ia harus turut turun tangan. Menarik akar dari permasalahan ini, mencabutnya, sebelum batangnya bercabang.
Dan kali ini, dirasanya Pandu bukan sasaran tepat untuk memulai. Ia harus kembali ke titik semula. Kendati Abil tak suka menyebutnya sama seperti Pandu, tetapi sosok itu memang awal dari semua. Alwin.
Jujur, Alwin tak pernah mendapat sorot sehangat itu dari sang ayah. Kendati warna irisnya terwaris dari sosok itu, saat netra mereka bersitemu, selalu ada kesan yang beda di sana. Alwin bukan seorang yang mudah cemburu, kalau akunya. Toh, laki-laki itu juga banyak kali mematahkan hati wanita dengan mudah. Namun kali ini, semua ini di luar nalarnya. Di luar ekspektasinya. Di luar dugaannya jika rasa aneh itu akan menyelusup ke sana. Bertahan cukup lama menghimpit dada.
Alwin masih berseragam putih abu saat Abil berdiri di depan pintu rumahnya. Sedikit terheran akan alasan sosok itu berada di sana. Atau tepatnya, rasa cemas diam-diam meremas hatinya. Tebaknya kala itu, Abil berniat menemui Gilang—ayahnya.
“Lo baru pulang?” tanya Abil.
“Habis main bentar.”
Kejadian sepulang sekolah tadi membuat kaki jenjang Alwin terasa berat melangkah pulang. Bayang-bayang hutangnya untuk membantu Abil bertemu sang ayah terus saja terngiang. Dan bukannya cepat-cepat menyampaikan hal itu ke Gilang, ia justru memilih menghindar. Menyibukkan diri dengan berlatih basket hingga petang. “Lo mau ketemu bokap gue?” tebaknya.
Abil menggeleng. Niatnya kemari memang bukan untuk itu. Laki-laki berkulit pucat itu datang untuk menemui Alwin. Sedari awal mengetahui permasalahan mereka, Abil harus bertindak cepat. Sebelum hubungan persahabatan mereka merenggang dan tinggal kenang.
“Kalau mau ketemu sekarang, kayaknya Papa enggak ...” kalimat Alwin menggantung saat pintu utama tiba-tiba terbuka. Memunculkan sosok sang ayah yang menyambut Abil ramah. Ia kalah. Bahkan sebelum menyelesaikan kebohongan pertamanya.
Alwin menghela napas. Memandang kosong poster Kuroko Tetsuya berukuran 1,2 m × 2,3 m di dinding kamarnya.
Benar. Ia tak sepandai Alfi, kakak perempuannya. Ia belum pernah mengantongi medali—kecuali basket, dan ayahnya tak peduli—dalam ajang penguji kecerdasan. Tapi setidaknya, nilai rapornya tak pernah merah. Tak pernah mengecewakan. Bahkan terkadang, laki-laki itu ingin dibanggakan barang sekali. Dan Alwin, juga bukan Abil. Bukan seorang yang terpandang pandai dalam segala bidang.
Lagi, laki-laki penggemar Kuroko No Basuke itu membuang napas kasar. Merebahkan diri di kasur selagi matanya memejam. Memijat pangkal hidungnya, berharap dapat mengurai pening yang begitu sinkron dengan susana hatinya.
Sial. Alwin menggigit daging dalam bibirnya kala rasa itu justru menghantam lebih kuat. Sejenak, berhasil mengalihkan luka di dalam dada sana.
“Ais, ada telepon!”
Aisya tengah asyik membantu ibunya membuat berbagai macam kue saat kepala Adit, ayahnya menyembul di balik pintu dapur.
“Siapa?” tanya gadis bernama lengkap Aisya Muthi itu seraya melirik si ayah sekilas.
Adit mengangkat bahu pertanda tak tahu. “Cowok, sih.” Kemudian pria itu melengos setelah sebelumnya melemparkan senyum menggoda ke arah Aisya.
Erni, ibunya hanya terkekeh kecil melihat ekspresi Aisya yang kontan mencebik. Selama yang ia tahu, putri sulungnya itu tidak pernah bercerita banyak tentang teman laki-lakinya. Kalaupun bercerita tentang laki-laki, anak gadisnya itu hanya membahas orang dengan nama-nama yang menurutnya susah sekali disebut, nama selebritis Korea katanya.
“Ais, angkat telepon dulu ya, Bun?” Setelah mendapat anggukan setuju dari Erni, Aisya segera melangkah meninggalkan dapur.
“Dengan siapa, ya?” Sempurna telepon itu berada dalam genggamannya, dengan sopan Aisya melempar tanya. Takut-takut kalau orang yang sedang menjadi lawan bicaranya adalah orang penting.
“Gue Abil.”
Oh panjang seketika berdendang. Pantas ia merasa familiar dengan suara di seberang sana. “Kenapa telepon lewat telepon rumah?”
“Gue tadi telepon ke HP lo, tapinya enggak lo angkat.”
Refleks Aisya menepuk jidatnya. “Ahiya, HPnya gue tinggal di kamar. Terus gue lagi bantuin Bunda bikin kue di dapur. Jadi enggak tahu deh,” jelasnya.
“Kayak yang mau lebaran aja bikin kue.”
“Ye, emang kue dimakan cuma pas lebaran aja?” Aisya mencebik. Sudah satu tahun sejak salah satu dari adik kembarnya sering sakit-sakitan, kondisi keuangan keluarga Aisya memburuk. Gaji Adit yang hanya sebagai guru honorer, tak bisa mencukupi kebutuhan yang ada. Sebabnya Erni terpaksa membantu Adit dengan membuat kue dan menitipkannya di warung-warung terdekat. Sore hari setelah pulang sekolah, Aisya terpaksa melupakan kebiasaannya mengurung diri di kamar, berkutat dengan ponsel dan dunia Kpop-nya. Ia harus membantu sang Bunda.
“Bunda lo apa kabar?”
“Alhamdulillah sehat. Lo sini, dong main. Kenalan sama Bunda gue.” Kendati tak pernah bertatap muka, setiap ada kesempatan menelepon, Abil selalu menanyakan kabar ibunya.
“Enggak deh, takut disuruh nikahin lo entar.”
“Dih!” Lagi, Aisya mendengar Abil tertawa di sana. “Lagian, kalo disuruh nikahin gue, emang lo enggak mau?”
“Emang, kalo gue disuruh nikahin lo, lo mau?”
Aisya mengerling kontan. “Enggak, sih. Selera gue kan oppa-oppa EXO.” Gelak tawa Aisya kemudian membahana.
“Cantik kok seleranya opa-opa, sih?”
Jika Abil ada di hadapannya, mungkin saja Aisya sudah memalingkan muka lantaran baru saja rona merah menjalar di sekitar pipinya. Dipuji cantik oleh Abil entah kenapa membuat dadanya seketika bertabuh ramai. Gugup, ia memainkan kabel telepon dengan asal.
“Oya, Ais. Lo coba ngomong dong sama Pandu.”
“Hah?” Aisya berhenti memainkan kabel telepon dan mengubah posisi duduknya. Bersila di atas sofa. Tak langsung paham dengan kalimat Abil.
“Bujuk Pandu biar baikan sama Alwin. Sama Sira juga.”
Sejemang, Aisya biarkan suara random di balik speaker telepon menguasai. Panjang, ia berpikir. Tak bisa langsung mengambil keputusan atas apa yang Abil pinta barusan. Pasalnya, Abil tidak tahu kalau permasalahan yang ada cukup rumit. Dan lagi, berbicara kepada Pandu yang keras kepala itu bukan perkara enteng.
“Diam berarti setuju ya, kan?”
“Susah nolak sih kalo lo yang minta. Tapi, lo kok enggak minta tolong sama Metta aja sih? Dia kan sepupunya Pandu. Pacarnya Alwin juga.”
“Kalo lo ada di posisi Metta, emang lo bakal mau?”
Bola mata Aisya refleks berotasi. Membayangkan Metta barang sejenak. Sejak awal, masalahnya bersumber dari hubungan Metta dan Alwin. Namun, Aisya tidak ingin menyalahkan keduanya. Karena menurutnya mencari jalan keluar jauh lebih penting ketimbang mencari siapa yang salah.
Melihat hubungan persahabatannya dilingkupi kabut permusuhan, jujur membuatnya merasa miris. Kecanggungan itu seperti membuat ruang geraknya terbatasi. Sebabnya, ia merasa tidak tahu harus memulai darimana menyapa sahabat-sahabatnya. Terlebih itu Alwin. Sejak kejadian di Ruang OSIS dan Alwin memilih untuk pergi, Aisya merasa kalau Alwin turut memusuhinya juga.
“Mau ya, Ais? Gue tahu lo juga enggak suka lihat persahabatan kita kayak gini.”
Gerbang lamunan Aisya tertutup. Suara Abil memaksanya kembali ke alam sadar. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya dalam sekali hela. Abil benar, ia tidak suka dengan situasi semacam ini. Dan lagi, kekhawatiran Abil mungkin sama dengan dirinya.
Aisya takut tembok persahabatannya runtuh hanya karena kasus sepele seperti sekarang ini. “Ya udah, gue coba deh ngomong sama Pandu.”
Gadis berisis mocca itu menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Berusaha menguasai emosi yang perlahan memadati ruang dalam dadanya dengan menutup aplikasi yang tengah diaksesnya. Tak hanya kesal lantaran siders cerita di akun Wattpad-nya yang kerap membuat semangat menulisnya melempem. Tapi, juga Abil yang sampai saat ini belum juga tiba padahal ia sudah menunggu sejak setengah jam yang lalu.
Restoran keluarga Jihan yang jadi lokasinya saat ini mulai terlihat ramai. Situasi lumrah di malam Minggu yang cerah seperti saat ini. Sira tidak tahu kenapa mendadak Abil minta bertemu di tempat ini. Dan lagi, sejak tadi matanya menyapu tiap sudut ruangan tapi tidak menemukan sosok Jihan. Seharusnya temannya itu ada di sana untuk membantu keluarganya.
“Sorry telat.”
Baru saja Sira berpikir untuk pulang seandainya Abil tak kunjung datang dalam lima menit. Namun, suara serak Abil disertai derit kursi yang baru saja digeser membuat Sira mengurungkan niatnya. Sesaksama mungkin, Sira biarkan manik sewarna mocca-nya menilik serius sosok itu. Tak hanya datang dengan napas timbul tenggelam, Abil juga terlihat lebih pucat dari biasanya.
“Gue tadi ketiduran. Sorry udah bikin lo nunggu lama.” Setelah menutup pembicaraan dengan Aisya, Abil merasa dunia di sekelilingnya berputar hebat. Sebabnya ia memilih untuk tidur barang sejenak. Lupa kalau sebelum menelepon Aisya ia mengirim pesan kepada Sira untuk bertemu di tempat ini. Begitu ingat, tanpa sempat cuci muka dan ganti baju, ia langsung berlari menuju tempat ini. Takut Sira keburu pergi sebab menunggunya terlalu lama.
“Enggak apa-apa. Ini belum gue minum, kok.” Sira menyodorkan gelas berisi air putih miliknya kehadapan Abil. Tak tega juga melihat Abil ngos-ngosan seperti sekarang ini.
Jika itu Jihan, Abil yakin akan diomeli panjang lebar lantaran dibiarkan menunggu cukup lama. Tapi, inilah Sira. Aura tenangnya selalu bisa menelan bulat-bulat emosi yang hendak menguasai.
“Lo maraton ke sini?”
Abil meneguk tandas air yang Sira sodorkan sebelum menjawab, “Gue enggak inget sejak kapan jalan ke sini jadi jauh.” Kekehan kecil Abil loloskan. Selagi tangannya memijit pelan keningnya yang kembali dilanda pening.
“Lo udah periksa ke dokter?” Kemudian, Sira ingat dengan kejadian di UKS kemarin. Ia kira kondisi Abil lebih parah dari sebelumnya.
“Gue baik-baik aja. Ngapain ke dokter?”
Sira berdecak seraya memutar bola mata jengkel. “Iya deh, yang katanya baik-baik aja tapi hidungnya mimisan lagi.”
“Hah?” Refleks Abil menyentuh bawah hidungnya. Lagi, untuk ke sekian kalinya cairan itu meluncur dari lubang hidungnya. “Gue—”
“Kita ke dokter sekarang!” Sira bangkit. Sebelum menyeret tubuh Abil keluar restoran, ia mengambil beberapa lembar tisu di atas meja dan memberikannya kepada Abil. Mungkin wajah Sira masih terlihat tenang. Namun, getar di tangannya tetap menunjukkan kalau ia khawatir dengan kondisi Abil saat ini.
“Nanti aja. Sekarang ada hal yang lebih penting ketimbang pergi ke dokter.”
Sira berbalik. Menatap Abil sengit; marah. “Menurut lo apa yang lebih penting dari kesehatan lo, Abil Naufal?” Nada suara Sira naik beberapa oktaf. Kali ini rasa kesalnya tak bisa disembunyikan lagi.
“Persahabatan kita.”
Dan, seketika itu Sira mematung di tempatnya.
Publikasi, 28 April 2019
Revisi, 02 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top