12 | Penuh Prasangka

SEBENARNYA, sejauh apa pun Jihan meninggalkan Abil, perasaan itu pada akhirnya menarik dirinya kembali. Jihan benci akan hal itu. Jihan benci dirinya yang sepenuh hatinya hanya tertambat untuk laki-laki itu. Jihan benci dirinya yang terlalu mencintai Abil.

Karena faktanya, ia tidak pernah bisa meninggalkan Abil. Tidak pernah selangkah pun meninggalkannya kendati ia mau. Perasaan itu sudah terlalu erat membelit seluruh rongga hatinya. Abil, bagi Jihan adalah segalanya. Sumber kebahagiaannya. Cita-citanya. Mimpi-mimpinya.

Katakan saja ia terlalu dramatis. Katakan saja ia terlalu kekanakan. Namun, kejadian kemarin ketika Alwin memberitahunya kalau Abil sakit, Jihan tak tahan untuk tidak menemui laki-laki itu. Padahal, ia sudah bertekad untuk melangkah sejauh mungkin. Ia tidak akan berbalik barang sekalipun ketika ia tahu bahwa posisinya di hati Abil tak pernah seberarti posisi Abil di hatinya.

Jihan melangkah lesu memasuki gerbang sekolah. Tak bersemangat sekali. Galau. Alasan pastinya kenapa wajah gadis penyuka fotografi itu begitu mendung hari ini cuma satu.

Abil.

Demamnya parah banget kemarin. Hari ini pasti gak masuk, begitu pikir Jihan.

Akan tetapi--—

"JIHAN!"

-—-terlalu eksplisit untuk tak dikenali. Suara itu begitu Jihan hafal. Abil.

"Ayo!"

Tak ada kesempatan untuk Jihan mengeluarkan suara. Pasalnya, laki-laki yang saat ini tengah mengenakan jaket Adidas putih itu tiba-tiba saja mengapit lehernya. Lantas menyeret tubuhnya di sepanjang koridor sekolah. Terseok Jihan mengikuti langkah cepat Abil, sementara matanya terus memandangi wajah pucat laki-laki yang begitu disayanginya itu. Jihan tak mengeluarkan suara apa pun bahkan saat mereka tiba di dalam kelas dan kembali duduk bersebelahan. Hanya menatap rinci laki-laki itu dengan bingung.

"Jangan cuekin gue lagi." Abil kemudian bersuara, selagi tangannya sibuk mengeluarkan buku-buku pelajaran di dalam tas.

"Kenapa?"

"Karena gue bukan Dilan yang sanggup nahan beratnya rindu."

Jihan terpaksa mengulum senyumnya. Tak ingin menunjukkan kepada Abil kalau ia tengah tersipu. "Lo bukannya lagi sakit?"

"Ya ... gue ke sini lagi berobat."

Jihan mengernyit. Benar tak paham akan apa yang keluar dari bibir laki-laki itu.

"Lo obat gue. Gue sehat kalau ada lo." Tubuh Jihan menegang. Bukan sebab guru seni budaya yang menjanjikan ulangan hari ini memasuki kelas. Namun, bisik Abil yang merambat lambat hingga sampai di telinganya.

Jihan menunduk. Berusaha mengatur detak di dalam sana yang tak lagi beirama. Entahlah. Barangkali rautnya kini merah padam. Dan, Jihan tak mau Abil mengetahui hal itu. Berharap mata pelajaran yang paling diminati ketua ekskul seni itu mampu menyita seluruh fokusnya.

Jihan mengempas napas. Lega. Mendapati sepasang mata Abil terpusat pada Pak Joko, usai guru itu mengucap salam pembuka. Gadis berdarah Korea itu mengambil pulpennya. Memainkan alat tulis itu dengan sesekali mencuri padang ke arah laki-laki di sampingnya.

Aneh. Tak biasa Abil begitu receh padanya. Mungkinkan sosok Dilan diam-diam menyusup ke dalam laki-laki berzodiak Aries itu. Atau, barangkali Abil telah menyadari perasaan yang tak hanya sebatas sahabat.

"Jihan Abian! Kenapa terus memperhatikan Abil?"

Mampus. Jihan rasa, hawa panas yang lama berpangkal dari wajahnya menjalar. Hingga punggung gadis itu terasa basah. Pipinya lebih-lebih memerah. Alih-alih sangat malu sebab siulan seisi kelas, gadis pembidik sosok Abil lewat lensa kameranya itu justru lebih khawatir akan satu hal.

Kejadian sore itu.

JADI kemarin sore...

"Lo lagi ngapain di sini?"

Sebenarnya Hilal terkejut kala suara disertai tepukan ringan di bahunya terasa. Jika orang itu bukan Hilal, mungkin sudah melontarkan sumpah serapah lantaran kaget. Namun, Hilal ya Hilal. Yang walaupun makhluk asing datang menginvasi bumi, wajahnya tetap flat macam TV LED masa kini.

"Lo sendiri lagi ngapain di sini?" Tak ingin menanggapi pertanyaan Jihan lebih jauh, laki-laki minim ekspresi itu kemudian balik melempar tanya.

"Gue habis lihat kondisi Abil." Seraya melirik pintu rumah Abil yang sudah tertutup, Jihan menjawab. "Lo mau jengukin Abil juga?" tanyanya sebelum menutup rapat gerbang cokelat kusam yang sempat dilewatinya tadi.

Menggeleng singkat, Hilal biarkan manik sepekat malamnya berpusat penuh ke arah Jihan. Tak heran jika gadis itu bisa bebas keluar masuk rumah Abil. Jihan adalah satu-satunya orang yang mengulurkan tangan untuk menarik Abil dari lembah keterpurukan. Dia yang selalu menaruh peduli dan perhatian di saat orang-orang penting dalam hidup Abil satu per satu pergi. Hilal tahu betul tentang itu.

"Kondisinya gimana?" Kemudian laki-laki bernama lengkap Hilal Fachri itu bertanya. Ia juga penasaran. Kondisi Abil saat dibawa Alwin tadi cukup mengkhawatirkan. Tapi, tujuannya sejak awal memang bukan untuk menjenguk Abil.

"Gak begitu baik. Gue tadinya enggak tega juga ninggalin dia. Tapi, barusan ada tante-tante. Ngakunya sih datang karena disuruh papanya Abil buat jagain Abil. Kayaknya sih, gue pernah lihat tante itu, deh. Apa dia or—"

"Lo mau pulang bareng?" Memotong kalimat Jihan, Hilal segera menghidupkan motor matic miliknya yang sempat terparkir sembarang di depan gerbang. Warna jingga sudah mulai melukis diri di kaki langit sana. Sebentar lagi magrib dan gelap segera berperan menyelimuti cakrawala. Selain urusannya sudah selesai, ia juga harus segera pulang.

"Hah?" Sebelah alis Jihan refleks terangkat. Bingung dengan sikap Hilal yang alih-alih merespons semua omongannya, malah mengajaknya pulang bersama.

Tanpa berkata apa-apa lagi, dan tanpa menunggu persetujuan Jihan, Hilal tahu-tahu mengulurkan tangannya guna memakaikan helm di kepala Jihan. "Buruan naik."

Jihan sebenarnya ingin protes, tapi aksi Hilal yang rasanya 'cowok banget', jujur saja membuat Jihan terpesona. Jika saja hatinya belum terperosok jauh ke dalam pesona yang Abil buat, mungkin ia akan berpaling pada laki-laki pendiam itu.

"Lo kok kalo ngomong dikit banget sih, Lal?" Beberapa saat setelah motor yang mereka tumpangi melaju, Jihan tiba-tiba saja melempar tanya. Niatnya hanya ingin mengusir kecanggungan, tetapi entah kenapa yang keluar justru pertanyaan seperti itu. Dalam hati ia bahkan merutuki mulutnya yang berkata seenaknya saja.

"Pengen aja." Karena buat Hilal, Tuhan memberinya satu mulut dan sepuluh jari, yang artinya dia hanya perlu sedikit bicara dan banyak bekerja.

Jihan mencebik. "Lo sebenarnya tipe gue banget. Kalo perasaan gue belum terkunci rapat buat seseorang, gue pasti udah jatuh hati sama lo," ujarnya dibumbui tawa ringan.

"Seseorang itu Abil?"

Jujur Jihan agak terkejut. Tak menyangka kalau Hilal tahu seseorang yang ia maksud itu adalah Abil. "Lo ... kok tau?"

"Gue bisa telepati."

"Serius?"

"Hm." Tentu saja Hilal tak seserius itu.

"Coba aja kalo yang bisa telepati itu Abil. Gue enggak perlu kan kasih dia kode terus tapi dianya enggak peka. Sebenarnya gue pengen ngomong kayak yang pernah Aisya saranin. Tapi, rasanya enggak cewek banget ya?"

Hilal tak merespon. Namun, ia menyimak dengan baik cerita Jihan. Kendati suara Jihan timbul tenggelam lantaran siul angin dan beberapa deru kendaraan lain yang berseliweran, Hilal tetap paham dengan semua penuturan gadis itu.

Maka malam itu, di sepanjang perjalan, Jihan bercerita banyak hal tenyang Abil. Hilal hanya menjadi pendengar yang baik. Sesekali, di balik helmnya yang tertutup, tanpa Jihan tahu laki-laki itu tersenyum mendengar ceritanya.

BUKANNYA Jihan itu sukanya sama Abil ya? Tapi, kenapa dia jalan bareng sama Hilal kemarin?

Gak mungkin, kan kalau Jihan sama Hilal ada hubungan? Tapi, kenapa mereka kelihatan deket banget?

Aah ... tahu ah. Emang apa urusannya sama gue? Tapi, kok rasanya gue gak suka ya liat mereka jalan bareng?

Batin Sira bergemuruh ramai. Kontras dengan keadaan kelas yang cukup sunyi. Sunyi lantaran kisah gelapnya penjara tempat Soekarno ditahan pada zaman penjajahan dulu mampu membius hampir seluruh atensi yang ada. Kecuali Sira yang seluruh pikirannya malah mampir ke kejadian kemarin.

Biasanya sejarah adalah salah satu pelajaran paling membosankan. Tak jarang siswa tertidur saat jam pelajaran masa lalu itu berlangsung. Sira juga berpendapat seperti itu. Selain matematika, Sejarah adalah pelajaran yang tak begitu Sira sukai.

Matematika itu membuat segala sesuatu penuh dengan perhitungan. Dan sejarah adalah sesuatu yang selalu diulang-ulang. Buktinya, sekarang entah yang ke berapa kalinya kisah Soekarno ditahan di Sukamiskin itu kembali didengarnya.

Akan tetapi, setelah Pak Suwarno---guru mata pelajaran Sejarah sebelumnya---diganti oleh Bu Sisna, tidak pernah ada lagi siswa yang tertidur saat jam pelajaran berlangsung. Selain wajah cantik dan body sintalnya yang menawan, bagaimana cara guru muda itu bercerita juga mampu menyita perhatian.

Biasanya Sira juga selalu terbius dengan cara Bu Sisna mengajar, tetapi tidak kali ini. Kejadian yang sempat terekam lensa matanya kemarin, di mana ia melihat Hilal, orang yang begitu didambakannya membonceng Jihan yang notabennya adalah sahabatnya sendiri, terus berputar-putar dalam kepalanya.

"Sira? Kamu melamun?"

Sira kontan terhenyak kala suara itu menyapu halus pendengaran. Buru-buru ia mengalihkan fokusnya ke arah Bu Sisna yang tengah menatap rinci dirinya. Di sampingnya, Alwin hanya pura-pura sibuk menulis. Sebenarnya, sejak tadi laki-laki kelahiran 6 April itu ingin menegur Sira lantaran Bu Sisna mulai memperhatikan gerak-gerik Sira yang aneh. Namun, kejadian di ruang OSIS kemarin lusa masih membentangkan benang merah yang membuat keadaan terasa begitu canggung.

Sejak bel masuk berbunyi hingga jam pelajaran terakhir ini, tak ada tegur sapa antara mereka. Aisya yang biasanya bersikap netral saja tampak mendiamkannya kali ini.

Kesalahan gue fatal banget kayaknya, begitu pikir Alwin. Ia merasa bersalah, tetapi terlalu gengsi untuk mengatakan maaf sebab sebagian hatinya masih merasa kalau tak cuma ia yang bersalah dalam insiden tempo hari.

Argh!---

"Alwin? Kamu juga melamun?"

---sial!

KALAUPUN Alwin mengambil langkah cepat, paling guru muda itu menyambutnya dengan salam penutup. Alwin memilih berlama-lama di dalam bilik toilet, usai membasuh wajah. Berharap dengan begitu, seperti yang Bu Sisna katakan, konsentrasinya akan kembali.

Alwin menyandarkan punggungnya di dinding. Mengeluarkan ponselnya. Sekadar membuka notifikasi dari akun media sosialnya. Ada banyak komentar di bawah swafoto yang ia upload pagi tadi. Tapi Alwin tak sepenuhnya peduli.

Fokus laki-laki bertubuh tinggi itu tertarik pada gemercik air di luar. Mengantongi smartphone-nya, ia keluar dari sana. Matanya melebar, mendapati sosok yang tak lagi asing itu berdiri memunggunginya. Menumpukan tangan pada sisi wastafel sembari menatap pantulan raut pucat miliknya di cermin.

"Abil! Lo—–

Abil luruh. Tatkala sepasang kakinya benar-benar tak lagi dapat menopang tubuh.

-—-bego!" Alwin mengumpat kesal. Lantas berjongkok di depan sahabatnya itu. Mengalungkan lengan Abil dan membantunya berdiri. Mengambil alih menyangga tubuh itu agar tak lagi jatuh.

"Kayaknya lo beneran bakal mati kehabisan darah!" Desis runcing keluar dari bibir Alwin. Tentu ia tak dapat tinggal diam lantaran melihat cairan anyir itu lagi-lagi mengucur dari kedua lubang hidung Abil.

Tak ada niat untuk Abil menanggapi. Atau barangkali dengung yang menganggu pendengarannya membuat suara Alwin teredam.

"Lo ngapain juga masih sakit udah maksa sekolah? Harusnya lo istirahat. Jangan terus-terusan bikin orang kuatir!"

Abil menggeleng. Berusaha mempertahan sadarnya yang kian terkikis. Tangannya yang bergetar masih berusaha menghambat darah yang mengalir.

"Gue bawa lo ke rumah sakit sekarang!"

"Gak usah. Gue nggak papa." Abil memejam. Meredam denyutan di kepalanya yang turut timbul.

Alwin mendengkus. Ia tak lagi mau kalah kali ini. Sekeras kepala apa pun Abil, ia bisa lebih keras lagi. Tapi ...

"Gue lebih butuh psikiater, psikolog, dokter penyakit jiwa atau apa pun itu namanya."

... lagi. Ia tak pernah sampai untuk benar-benar memaksa Abil. Nyatanya, semua memang berawal dari psikologis laki-laki itu. Terlalu sering memendam semua masalahnya sendiri. Bersembunyi di balik keceriaan yang selalu tampak. Berlagak seolah dialah yang paling kuat di sini. Dan pada akhirnya, tubuh itu lelah. Jika suasana hati buruk, bukankah fisik biasa andil menyiksa?

Panjang, Alwin menghela napas. Dituntunya Abil untuk menyandarkan punggung di dinding. Kali ini laki-laki itu membiarkan tubuh lemas Abil meluruh, melakukan hal yang sama dan keduanya berakhir bersandar pada dinding.

"Please, bantuin gue ketemu bokap lo." Abil meminta lirih.

Alwin bungkam. Bukannya tak mau, tetapi bertemu dengan sang ayah bukanlah perkara yang mudah. Tak hanya sibuk, hubungan keduanya sebenarnya juga tak cukup akrab. Alih-alih bercakap-cakap, saling melempar sapa pun belum pasti ada kesempatan.

"Nanti gue coba bilang." Itu masihlah jawaban yang sama seperti beberapa kali sebelumnya, selain ia memilih membisu.

Bising mulai terdengar. Terhitung sejak bel pulang sekolah berbunyi. Tapi keduanya masih bergeming. Entah Alwin memberi waktu untuk Abil menikmati sakitnya atau ia yang terlalu larut dalam lautan lamunan.

"Abil, lo ...." Suara itu terputus saat Alwin mendongakkan kepalanya. Sontak menatap datar Pandu yang kini berdiri di depan mereka.

"Lo mau biarin Abil mati di sini?" Sinis. Kalimat retoris itu mengalun dingin ke telinga Alwin. Namun, ia tak dapat berbuat apa pun saat Pandu memapah Abil.

Alwin benci itu. Bukan. Bukan kecemburuan mendapati adegan di depannya, melainkan ia yang selalu berakhir seperti ini usai memikirkan hubungannya dengan kedua orang tuanya. Sosok yang membesarkannya, katanya.

Dari jarak cukup jauh, Abil sempat menoleh. Laki-laki berkulit pucat itu menghela napas. Bagaimana ia dapat fokus mengurus dirinya, sedangkan sahabatnya, orang-orang yang selama ini menjadi sandarannya, tak pernah sekali pun luput dari masalah.

Publikasi, 13 April 2019
Revisi, 24 Mei 2021





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top