10 | Pengabaian
"ANJIR!" Umpatan kasar itu untuk ke sekian kalinya lolos dari bibir tipis Alwin. Kepanikan jelas kentara tergurat di balik wajah yang selalu digilai banyak gadis itu. Pasalnya, sudah setengah jam berlalu, tetapi ia belum juga berhasil membantu Abil menghentikan aksi mimisannya. Malah cairan merah itu semakin gencar keluar dari hidung si Sahabat. Alwin sampai ikut pusing melihatnya. Wajahnya bahkan tak kalah pucat dari wajah Abil.
"Kita ke dokter sekarang!" Ini bukan pertama kalinya. Sudah berkali-kali Alwin mengatakan hal itu di setengah jam ini, namun-—
"Gue gak mau, Alwin!"
-—lagi dan lagi Abil menolaknya. Membuat Alwin kembali mengumpat kasar lantaran kesal.
"Sialan! Sejak kapan lo jadi keras kepala gini, hah?" rutuk Alwin selagi tangannya berusaha menahan berat badan Abil agar tak tumbang begitu saja. Tangan Abil yang tengah mencoba membasuh darah di hidungnya bahkan mulai terlihat bergetar.
"Sejak saat ini."
Erangan frustasi Alwin keluarkan begitu mendengar jawaban Abil. "Lo mau mati apa?"
"Gak masalah!" Kembali Abil menjawab sarkastik. "Mati gara-gara mimisan lebih baik ketimbang mati bunuh diri seperti yang selalu gue rencanain."
"Anjir, lo emang butuh psikiater."
Abil tak menjawab. Darah di hidungnya sepertinya sudah bosan dan mulai berhenti menyiksa. Namun, pusing dan lemas mulai mengambil alih. Alwin yang melihat hal itu buru-buru memapah Abil keluar toilet.
"Gue anterin lo ke rumah sakit pokoknya."
Abil refleks menggeleng. Sebentar ia menyandarkan tubuh rapuhnya di dinding toilet. Berusaha mengumpulkan kembali sadarnya yang sempat tercecer. "Anterin gue pulang aja."
Alwin mendengkus. Kesal. Tak paham kenapa Abil mendadak menjadi keras kepala seperti sekarang ini. Masalahnya, melihat betapa menderitanya Abil saat ini, membuat Alwin yakin kalau Abil membutuhkan penanganan serius.
"Win! Anterin gue pulang ...." suara Abil terdengar melemah. Laki-laki bertubuh tinggi itu membungkuk dalam. Menjadikan kedua lututnya yang juga bergetar sebagai topangan kala tubuhnya terasa semakin lemas tak bertenaga. "Anterin gue pulang aja!" ulangnya lagi.
Sebentar Alwin mengusap kasar wajahnya guna melampiaskan rasa frustasi. "Yaudah!" putusnya kemudian. Setengah pasrah dan mengalah.
"BELUM pulang?"
Sira terhenyak. Angannya tengah sibuk melayang-layang kala suara berat khas ABG itu berlabuh di telinga. Menarik sadarnya yang sempat kembali menepi pada kejadian di ruang osis kemarin. Kejadian yang menciptakan kecanggungan hingga hari ini. Hal yang lebih Sira benci dari sekadar nonton film dengan tokoh cewek penyakitan.
"Lagi nunggu jemputan, nih." Malu-malu Sira melempar pandang ke arah laki-laki berambut hitam itu. Gugup, seperti biasanya setiap kali ada kesempatan berjumpa. Seolah mata tegas itu menyimpan kekuatan magis yang membuat Sira ciut dan melemah.
"Oh." Hanya itu yang lolos dari bibir tipis Hilal.
"Lo sendiri kok belum pulang?" Sadar kalau Hilal terlalu pelit kata, Sira balik bertanya.
Hilal tak lantas menjawab. Berpikir, mencari jawaban yang tepat. "Entahlah ...," jawab laki-laki itu seraya mengangkat bahu.
Sira mengernyit. Bingung. Ia ingin melanjutkan sesi percakapan bersama Hilal seandainya Swift biru tak berhenti di dekatnya. Semula Sira pikir itu Mika, saudara kembarnya. Namun, ternyata bukan. Yang keluar justru Melly, ibu tirinya. Tentu saja, mana mungkin Mika mau menjemputnya sementara hubungan mereka tak begitu baik.
"Bunda kok pake mobilnya Mika?" Sira bertanya saat Melly berdiri tepat di hadapannya. Di samping Sira, Hilal tampak terpaku, selagi netranya menilik sosok wanita yang Sira panggil Bunda itu dengan rinci. Wanita itu benar-benar tampak tak asing di matanya.
"Mobil Bunda mogok, Sayang." Melly mengelus rambut Sira lembut. Kendati statusnya hanya anak tiri, tapi Melly sudah menyayangi Sira seperti anaknya sendiri.
"Emang Mika enggak apa-apa?"
Melly tak menjawab. Hanya tersenyum saja.
Sira tak ingin ambil pusing. Ia dan Melly hendak masuk ke dalam mobil, tetapi suara Hilal membuat Sira terpaksa kembali menutup pintu mobil itu.
"Kenapa?" Melupakan rasa penasaran tentang bundanya Sira, Hilal tergopoh-gopoh mendekati Alwin yang tengah berusaha memapah Abil. Sigap, ia membantu kakak kelasnya itu untuk kemudian mendudukkan Abil di depan pos satpam. Melihat hal itu Sira segera berlari ke arah mereka dan melempar tanya serupa seperti Hilal begitu sampai. Melly mengekor di belakang Sira, cukup penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
"Tadi Abil--"
"Gue baik-baik aja." Cepat, Abil memotong Kalimat Alwin. Ia mencoba mengangkat kepalanya yang terasa begitu berat untuk menatap orang-orang di hadapannya. "Cuma agak pusing aja." Kemudian fokusnya jatuh pada sosok wanita di samping Sira. Lantaran kesadarannya timbul tenggelam, Abil tak yakin kalau ia merasa kenal dengan wanita cantik itu.
"Ayo, gue anter ke rumah sakit!" Sira menawarkan bantuan, ia sungguh cemas melihat wajah pucat sahabatnya itu. Lagi pula, tidak mungkin Alwin mengantarkan Abil menggunakan motor sementara kondisi Abil benar-benar tidak bisa dibilang baik.
"Gue udah pesen pesen taksi online, Sir." Mata Alwin kemudian berputar ke arah pintu gerbang sekolah. "Tuh, mobilnya udah dateng."
Abil sebenarnya benci situasi di mana orang-orang menatapnya cemas campur prihatin. Namun, tubuhnya bahkan tak bisa menolak saat Alwin kembali memapah dirinya. Hilal turut membantu Alwin. Sira sempat ingin membantu, tetapi Melly mencegahnya dengan alasan mereka harus segera pulang.
"AKHIRNYA ..."
Sudah satu jam setelah ia menolak Alwin merawatnya dan memaksa sahabat baiknya itu pulang. Memang, ia merasa kurang ajar setelah Alwin mau repot-repot mengantarkannya pulang, tetapi ia bahkan tak mengizinkan laki-laki penyuka basket itu masuk ke dalam rumah. Justru mengusirnya dengan tanpa perasaan. Padahal jelas Abil tahu kalau niat Alwin sungguh tulus.
Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Abil tidak ingin membuat Alwin lebih repot lagi.
Abil masih terduduk lesu di bawah tempat tidur. Berulang kali mencoba menghubungi salah satu nomor di kontak ponselnya sebelum akhirnya panggilannya diterima.
Ingin rasanya Abil berteriak saat tahu panggilannya tersambung. Namun-—
"Ada apa, Abil? Jangan ganggu papa terus! Kamu tau, kalau papa ini sedang sibuk, hah?"
—--seperti panah beracun, kalimat itu membidik tepat ke dalam jantungnya. Membuat emisi seketika memenuhi dadanya. Sesak.
Ingin saja Abil membanting ponselnya, memaki, mengutuk si lawan bicara seandainya saja pria itu bukan ayahnya. Sosok yang selama ini selalu diam-diam ia rindukan kendati pria itu tak lagi memedulikan kehadirannya. Sosok yang diam-diam selalu Abil harapkan mengetuk pintu rumah, pulang untuk memeluknya erat seraya meminta maaf karena selama ini sudah mengabaikannya.
"Jadi kamu perlu apa, Abil? Papa gak bisa ngobrol lama-lama."
Abil terhenyak. Suara di balik speaker ponsel membuyarkan asa yang selalu ia susun. Asa yang entah kapan akan berwujud nyata.
Sebanyak mungkin Abil berusaha memenuhi paru-parunya dengan udara positif. Tak banyak yang Abil perlukan. Karena hanya satu yang Abil paling inginkan saat ini.
Orang yang saat ini tengah bicara dengannya di seberang telepon sana.
Ayah.
Ayahnya.
"Cepat katakan atau papa tutup teleponnya!"
"Bibi ...."
Namun, alih-alih mengatakan apa yang diinginkannya, Abil justru mengatakan hal yang lain. Sesuatu yang bahkan tidak sedikit pun terlintas sebelumnya.
"Apa? Bicara yang jelas!" Suara di seberang sana semakin terdengar tak sabar. Membuat Abil semakin terluka.
"Kalo Papa benar-benar gak bisa pulang ke sini, Papa bisa, kan telepon Bi Rani? Tolong suruh Bibi tinggal lagi di sini."
Setelah ibunya pergi dan ayahnya menikah lagi, Rani adalah satu-satunya orang yang menaruh peduli kepadanya. Hanya saja setelah hari itu, hari paling mengerikan yang pernah Abil alami, wanita paruh baya itu tiba-tiba dipecat tanpa Abil tahu apa alasan sebenarnya.
Lama tak ada jawaban. Hanya hela napas panjang yang berulang kali terdengar, pertanda kalau itu memang permintaan yang cukup sulit.
"Kalau emang gak bisa ..."
"Yaudah! Nanti Papa hubungi dia."
"Makasih, Pa." Kendati itu bukan hal yang benar-benar ia inginkan, tetapi Abil berujar riang setelah mendengar jawaban papanya. "Abil-—"
Tut Tut Tut...
Diputus dengan sebelah pihak. Hati Abil menghampa seketika. Sakit. Perih.
Padahal Abil hanya ingin mengungkapkan kalau...
Abil tahu kalau Papa masih peduli sama Abil.
Tapi, tetap saja ini menyakitkan.
ADA sesuatu yang mengusik tidurnya. Abil ingin tahu, tapi kelopak matanya terlalu berat untuk dibuka. Panas yang bersumber dari dalam tubuhnya sungguh membuat ia tak berdaya. Beberapa menit setelah berbincang dengan ayahnya, Abil memang memutuskan untuk tidur. Kepalanya pusing dan demamnya semakin tinggi.
"Abil?"
Baru saat sentuhan lembut di keningnya terasa, laki-laki itu membuka sedikit matanya. Terlalu samar. Abil tak yakin, tetapi ia yakin kalau ia kenal jelas dengan orang itu.
"Jihan?" tebaknya. Jika itu memang Jihan, Abil merasa begitu bersyukur. Itu tandanya gadis itu tak lagi marah dan masih peduli padanya.
Entahlah ...
Mata Abil terlalu berat. Sehingga tanpa sempat memastikan tebakannya benar atau tidak, ia kembali ditenggelamkan dalam gelap.
Publikasi, 27 Desember 2018
Revisi, 16 Mei 2021
***
Masukin list koleksi novel kalian boleh?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top