1 | Abil dan Teman-temannya
"GUE kan udah bilang, lo jangan makan mie instan lagi!"
Abil menggumam pelan, selagi matanya melirik ke arah Jihan yang kini tengah sibuk menata makanan di atas meja makan. Gadis cantik itu baru saja tiba dengan satu rantang penuh berisi berbagai macam lauk saat melihatnya tengah sibuk memasak mi di dapur.
Lantas, setelah mengunci pandang selama beberapa sekon, Abil kembali menyibukkan diri dengan beberapa artikel di halaman web yang tengah diaksesnya, sembari menyumpal kedua telinganya dengan headset yang ada.
Jihan mendengus. "Tuh, kan gak usah didengerin aja terus."
"Didengerin kok," jawab Abil malas. "Orang gue enggak lagi dengerin apa-apa."
Jihan mendelik. "Terus, ini televisi kalo gak ditonton ya matiin aja!" Selesai dengan urusan makanan, Jihan mulai menghampiri Abil. Mematikan televisi yang dibiarkan menyala sementara yang menonton hanya sibuk sendiri dengan ponselnya.
"Lo tambah bawel aja kayak emak-emak." Abil yang sejak awal selanjaran di atas karpet, segera berdiri saat Jihan menarik tangannya.
"Itu karena gue sayang sama lo. Udah, ayo makan dulu!"
Abil tak lagi berkomentar. Hanya menuruti saja perintah Jihan untuk segera duduk di meja makan guna menyantap berbagai menu makanan yang Jihan bawa dari rumahnya.
Orang tua Jihan pemilik sebuah rumah makan, dan Jihan juga cukup pandai memasak. Setiap sore, jika ada waktu luang, Jihan akan datang ke rumah Abil dengan membawa satu rantang makanan.
Keduanya sudah bersahabat cukup lama. Jihan tahu betul kebiasaan Abil setelah ditinggal mandiri oleh keluarganya. Lantaran tak begitu pandai memasak, Abil lebih sering mengkonsumsi makanan nirnutrisi. Hal itu membuat Jihan khawatir, jelas saja. Terlebih beberapa bulan ini Abil tampaknya sering mengalami masalah pencernaan yang serius.
"Entar ini gue taruh di kulkas. Besok pagi lo bisa panasin lagi buat sarapan. Terus, gue udah siapin telur sama bahan masakan yang lain juga. Ada banyak menu makanan yang bisa dengan mudah dimasak, enggak cuma mi instan doang. Lo bisa tanya mantan pacar gue apa aja resepnya."
"Serius lo punya mantan pacar?"
"Punya. Mas Gugel."
"Seriusan juga!" Iseng, Abil mendaratkan ujung sendok yang digenggamnya tepat di kepala Jihan.
Seraya mengelus kepalanya yang jadi sasaran iseng Abil, Jihan hanya memarkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Oya, Bil. Metta tadi nyuruh gue ke rumahnya. Kayaknya dia ada problem deh."
"Alwin lagi?"
Jihan mengangguk. "Kayaknya, sih. Temen lo, kok enggak ada insaf-insafnya, sih?"
"Dia temen lo juga." Sambil menyisihkan beberapa potongan brokoli di sisi piring, Abil melempar komentar.
Melihat hal itu, Jihan berdecak. Sesaat melupakan topik pembicaraan dan menatap Abil sengit. "Bil!" kesalnya.
"Gue gak suka sayur, Jihan." Abil memelas.
"Tapi, lo harus makan!"
"Iya ... ini kan gue juga lagi makan."
"Makan sayurnya, Dodol!"
Decakan itu lolos dari mulut Abil kini. Dengan enggan Abil memasukkan potongan brokoli yang hendak ia asingkan ke dalam mulutnya. Mengunyahnya dengan setengah hati.
"Ini gue masak sepenuh hati buat lo. Lo enggak hargain kerja keras gue banget, ya ampun!" Jihan merutuk sebal. Menjitak kepala Abil dengan cukup keras.
Di tempatnya, Abil nyengir saja. Indra pendengarannya sudah terlalu biasa mendengar omelan Jihan. Di saat-saat seperti ini, alih-alih merasa jengkel, Abil justru merasa begitu bahagia.
Karena bersama Jihan, semuanya selalu tampak lebih hangat dan berwarna.
"CAPEK gue." Metta biarkan wajahnya tenggelam di balik bantal. Nada suara yang baru saja lolos dari bibirnya, sarat dengan keputusasaan.
"Emang, si Alwin ngapain lagi, sih?" Aisya bertanya, sementara Jihan mengelus lembut punggung Metta. Sepulang dari rumah Abil, Jihan memutuskan untuk datang ke rumah Metta. Aisya dan Sira sudah datang lebih dulu saat ia tiba.
"Gue enggak tau sebenernya Alwin yang emang keganjenan, atau gue yang terlalu lebay ..." Masih di posisi yang sama, Metta berujar lirih. Bayangan kemarin sore kembali berkelebat dalam kepalanya. Bagaimana Alwin, laki-laki yang sudah menjabat sebagai kekasihnya sejak satu tahun silam, kepergok jalan dengan seorang perempuan. Sialnya, perempuan itu Metta kenal jelas.
Jihan menghela napas panjang. Ia tahu sebenarnya Metta gadis yang tangguh. Malah, gadis bernama asli Maretta Humeera itu tergolong gadis tomboi yang tak begitu peduli dengan hal-hal berbau melankolis. Tapi, entah kenapa, jika itu berhubungan dengan Alwin, gadis itu selalu terlihat rapuh seperti saat ini.
"Masalahnya bukan lo yang lebay atau Alwin yang keganjenan. Cuma ya, Alwin-nya nganggep kalo selama ini lo baik-baik aja dia gituin. Kali-kali harusnya lo kasih dia pelajaran. Ini udah terjadi berulang kali, tapi lo selalu aja dengan gampang maafin dia."
Dengan semangat, Aisya mengangguk. Setuju dengan pendapat Jihan. "Iya, lagian semua cewek pastilah capek diselingkuhin terus."
"Alwin, kalo emang sayang sama lo, dia gak bakal nyakitin lo terus. Dalam sebuah hubungan, enggak adil kalo cuma satu pihak aja yang nyimpen perasaan sayang." Sira menambahkan. Gadis setenang malam itu turut mengelus punggung Metta. Berharap ketenangan yang selalu ada dalam dirinya menyebar ke dalam diri sahabatnya.
"Terus sekarang gue harus apa? Gue udah terlanjur sayang sama dia."
Jihan memandang Aisya dan Sira bergantian. Meminta pendapat. Baik Sira maupun Aisya kompak mengangkat bahu. Memang, di antara mereka berempat hanya Metta yang sudah merasakan manis dan pahitnya berpacaran. Jadi, ketiganya hanya bisa bungkam saat itu. Tak tahu harus menyuarakan apa, sebab mereka tak terlalu berpengalaman dengan persoalan yang tengah Metta hadapi.
BARU saja Abil menandaskan Ultra Low Fat miliknya saat Pandu memaksa Alwin duduk di hadapannya. Seraya menaikkan sebelah alis, ditatapnya kedua sahabat baiknya itu secara bergantian. Aura gelap yang terpancar di balik wajah Pandu, jelas mengundang kernyit bingung bermunculan di kening Abil.
"Kenapa?" Kemudian pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Abil.
"Lo tanya sendiri sama nih bocah! Dosa apa lagi yang udah dia perbuat kali ini." Pandu menyenggol keras bahu Alwin. Di sampingnya, Alwin memalingkan muka ke arah lain. Paling tidak tahan jika harus bersitatap langsung dengan mata polos milik Abil.
"Maretta lagi?" tebak Abil. Ia ingat percakapan dengan Jihan kemarin.
Pandu mengangguk singkat. "Sumpah ya, gue gak tahan lo khianatin sepupu gue terus, Win. Gue nyesel tau enggak ngenalin lo sama dia kalo tau bakal gini jadinya."
"Lo jangan mentang-mentang selalu dapet maaf dari Metta, terus bisa seenaknya mainin dia gini, Win." Merasa tak ada kerjaan, Abil iseng memutar-mutar bekas susu kotak di hadapannya.
"Ini enggak kayak yang lo semua pikirin. Kali ini gue beneran gak selingkuhin Metta, kok. Gue cuma nemenin Gina beli buku doang."
"Alah, dulu juga lo bilangnya cuma nemenin, tahunya jadian." Pandu semakin tersulut. Jelas saja, Ketua OSIS SMA Anata itu merasa begitu kecewa kepada sahabatnya itu. Metta adalah sepupu terdekatnya. Saat Aisya memberi tahu ia kalau Metta kembali menangis gara-gara Alwin, ia benar-benar tidak bisa tinggal diam.
"Tapi, kali ini gue beneran enggak selingkuh. Kemarin, gue enggak tahu aja gimana cara nolak ajakannya Gina." Alwin tertunduk. Bagaimana pun juga, sebagai seorang laki-laki, menolak permintaan seorang perempuan adalah hal yang berat.
"Enggak bisa nolak karena dia mantan lo?" sudut Abil telak.
"Enggak kok, Bil. Serius! Seandainya dia bukan mantan gue juga, gue enggak bisa nolak gitu aja."
Abil sebenarnya paham dengan posisi Alwin. Kerap, ia juga sering merasa tak enak jika harus menolak permintaan perempuan. Namun, yang jadi masalahnya, Alwin tak cukup peka dengan perasaan Metta, pacarnya sendiri. Hal itu yang membuat Pandu dan juga sahabat-sahabatnya yang lain sering merasa marah dan kecewa terhadap Alwin.
"Lo udah minta maaf?"
Alwin menggeleng lesu. "Dia nolak ketemu gue, Bil."
Hela napas panjang Abil embuskan. "Yaudah, kali aja dia butuh waktu buat mikir antara harus maafin lo lagi atau enggak."
"Berdoa aja kali ini dia masih bisa berbaik hati maafin lo," tukas Pandu dengan nada suara yang masih terdengar dongkol.
Kemudian, semuanya membisu. Membuat suasana kantin sekolah yang sejak awal memang sepi, semakin terasa hening. Ini sudah jam pulang sekolah, omong-omong. Ketiga siswa kelas XI itu memang lebih sering nongkrong sehabis pulang sekolah ketimbang di jam-jam istirahat.
Bersambung
Publikasi, 07 Juni 2018
Revisi, 29 April 2021
.........
Cerita ini sudah diterbitkan dengan judul RETAK. Versi cetak bisa di-order di shopee tokohaebara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top