08. Dihukum Bersama Kak Yuma
Berdiri di barisan ke dua dari depan membuat Alea cukup mudah melihat pemandangan di tengah lapangan. Beberapa petugas tengah bersiap pada posisi masing-masing. Mengurai rasa bosan, matanya berkeliling memindai seluruh penjuru—mencari keberadaan Kak Yuma-nya. Matanya mendelik kala menemukan sosok itu tengah berjalan menunduk bersama guru BK di belakangnya mengawasi.
Alea terus memperhatikan pemuda itu. Apa yang membuatnya ditatap sebegitu malas oleh Bu Rianti sebagai guru Bimbingan Konseling. Hingga pemuda itu berhenti berjalan dan memasuki barisan paling ujung—deretan orang-orang yang mendapat hukuman. Kak Yumanya pasti melakukan kesalahan.
Diam-diam Alea jadi membayangkan, bagaiamana jika ia dihukum berduaan dengan Kak Yuma? Pasti mendebarkan sekaligus menyenangkan. Merealisasikan ide gilanya, Alea menarik kembali dasi yang ia sampirkan pada kerah seragam sekolah, lantas memberikannya pada Kenan. "Nitip, Ken," katanya. Kemudian ia mengacung saat Bu Rianty berjalan menghampiri barisan kelasnya untuk mencari siswa yang tidak mengenakan seragam lengkap.
Aira sempat mencekal tangan Alea, tetapi gadis itu melepasnya dan tersenyum simpul. "Sorry, Ra." Persetan dengan apa yang akan ia jelaskan nanti pada Aira. Ia maju lalu mengikuti Bu Rianty dan meninggalkan sahabatnya yang kebingungan. Tak ketinggalan Rahardian Kenan yang tidak tahu apa-apa dan mendapat tatapan sinis dari Aira. Tidak sempat berpikir lagi sebab upacara segera dimulai.
***
Sudah hampir satu jam, dan upacara sudah akan berakhir. Alea jadi semakin gugup membayangkan hukuman apa yang akan ia dapatkan. Meski bukan anak polos yang tidak pernah dihukum, tetapi baru kali ini ia sengaja memalsukan kesalahan untuk mendapatkan hukuman. Semua ini ia lakukan demi bisa lebih dekat dengan kakak kelas tampan pujaan hatinya.
Rupanya hari ini cukup banyak yang menerima hukuman. Alea sendiri tidak tahu apa saja kesalahan yang dilakukan orang-orang yang berbaris bersamanya. Ia hanya mengetahui beberapa orang datang terlambat dan dipaksa memasuki barisan ini, barisan yang dikhususkan bagi siswa-siwi bermasalah yang bersiap menerima sanksi.
Sejak tadi matanya tak henti menatap punggung tegap Yuma yang berada di barisan depan. Alea memeperhatikan rambutnya yang lurus meski sedikit berantakan dicukur pendek di atas telinga. Kemeja putihnya sedikit kusam, berbeda dengannya yang baru satu minggu digunakan. Celana abu-abu dengan potongan lurus ke bawah yang hampir sama dengan bentuk kakinya, Alea yakin sudah melalui proses vermak. Meski begitu, Kak Yuma tetap terlihat tampan di mata Alea apalagi dengan sepatu Converse tinggi berwarna hitam yang dikenakannya.
Tanpa sadar upcara berakhir dan satu persatu murid meninggalkan barisan. Bu Rianty berjalan menghampiri dengan kaca mata tebal bertengger di hidungnya. Alea semakin deg-degan sebab di antara orang-orang yang dihukum, tidak seorangpun yang ia kenal selain Yuma. Sungguh, ia berharap hukumannya tidak terlalu berat.
Satu per satu nama dipanggil. Mereka bergantian menerima buku catatan poin yang berisikan macam-macam kesalahan atas nama masing-masing. Nantinya poin itu akan diakumulasi di akhir semester sebagai bahan pertimbangan kenaikan kelas. Alea jadi semakin takut, jantungnya memompa lebih kuat memberikan respon pada otak akan apa yang ia rasakan.
Perlahan ia mengembuskan napas, namanya dipanggil dan ia maju dua langkah untuk menerima buku miliknya. Rupanya ada Kak Namu sang ketua OSIS yang datang membantu Bu Rianty. Pria itu menatap sinis. "Lo lagi," katanya. Namun, Alea hanya meringis dan segera berbalik, menghindari tatapan tajam Namu yang kelewat seram.
Alea menggoreskan tinta pulpen pada lembaran buku untuk mengisi kesalahannya. Ini bukan yang pertama, sehingga sudah ada dua baris yang sebelumnya di dalam. Gawat, kalau sampai mama tahu, bisa mampus gue. Ia bergumam dalam hati membayangkan angkara sang ibu ketika mengetahui putri tunggalnya sudah beberapa kali menerima hukuman padahal sekolah baru genap satu minggu.
***
Matahari sudah mulai terik ketika jam menunjukkan pukul delapan pagi. Alea yakin ia melewatkan jam pelajaran pertama dan dia sedikit bersyukur untuk itu. Namun, ia mulai merutuk kala Namu memanggil namanya dengan beberapa orang tak dikenal. Sementara Yuma sudah lebih dulu dipanggil dan disatukan dengan tiga orang lelaki yang ia duga sama-sama kakak kelas.
"Aluna Azalea, Clarisa Andriani, Giyandra Jarvis. Kalian dihukum buat bersihin Lab. Biologi, ya!" ucap Namu dengan nada tegasnya. Alea reflek memasang wajah melas lantaran tujuan utamanya rela dihukum di senin pagi agar bisa bersama Kak Yuma tidak juga terwujud.
Di saat dua orang yang dihukum bersamanya sudah lebih dulu berjalan menuju laboratorium biologi, perlahan Alea mendekat kepada sang ketua OSIS galak. Hanya dengan modal nekat, ia memberanikan diri berkata, "Kak, boleh tukeran hukuman, enggak?"
Terlihat pria yang lebih akrab dipanggil Namu itu mengerutkan kening. "Maksudnya?"
Alea menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal sama sekali. Menggerakkan kakinya menandakan kalau ia jadi lebih gugup saat Namu memberikan atensi penuh untuknya. "A-anu, Kak. Aku boleh enggak, kalau dihukumnya bareng sama Kak Yuma?"
Kini kerutan pada dahi Narendra tercetak lebih dalam seiring matanya yang menyipit keheranan. "Loh, lo kenal sama Bang Yuma?"
Salah tingkah, lantas Alea menggerakkan tangan menolak dugaan Namu. "Bu-bukan gitu sih, Kak. Maksudku ... ya, siapa sih, yang enggak kenal sama Kak Yuma? Cowok ganteng gitu," jawab Alea malu-malu. Kini ia bahkan merasakan tubuhnya panas terbakar rasa kasmaran.
Narendra yang melihat rona merah di wajah adik kelasnya itu pun mengerti. Ia melipat tangan di dada dan menatap remeh sambil mengangukkan kepala. "Jadi itu, alasan lo nitipin dasi ke Kenan dan rela dihukum, demi deketin Bang Yuma?"
Bola mata Alea hampir saja copot mendengarnya. Ia bahkan melongo keheranan, bagaimana ketua OSIS-nya itu bisa mengetahui apa yang ia lakukan. "K-kok ... lo?"
"Gue tadi lagi lewat di belakang barisan lo pas lo kasih dasi ke Kenan. Baru aja gue ngira si Kenan bully lo dan maksa buat ngasih dasi karena dia enggak bawa," jelas Namu menerangkan bagaimana ia mengetahui tindakan adik kelasnya itu.
Alea mulai mengusap keningnya meski tak ada sebulirpun keringat di sana. Ia merasa malu pada Narendra sekaligus tidak enak pada Kenan karena membuat pemuda itu dituduh yang bukan-bukan. Ia harus meminta maaf pada teman sekelasnya itu nanti.
Helaan napas berat diembuskan dari bibir tipis Namu. "Lo mau dihukum bareng Bang Yuma?" tanya Namu pada akhirnya. Tentu saja hal itu membuat Alea bersemangat untuk mengangguk sebagai jawaban. "Ya udah, ayo, ikut gue!" titah Namu pada akhirnya. Ia berbalik dan diikuti Alea di belakangnya meski dengan sedikit rasa curiga. Apa iya, segampang itu minta tukeran hukuman ke ketos galak satu ini?
Keduanya berjalan menuju lorong lantai tiga di mana kelas dua belas berada. Suasana sekolah mulai tenang karena jam pelajaran sudah dimulai dan murid-murid tengah fokus di dalam kelas. Alea tetap setia mengikuti setiap langkah lebar Namu menuju tempat yang cukup ia hindari selama satu minggu bersekolah di sini. Toilet murid pria.
Alea menelan ludahnya kala Namu berhenti dan beberapa orang di dalam menatap keduanya yang datang bersamaan. Ada sekitar empat orang termasuk Yuma di sana. Namun, pemuda itu hanya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada pekerjaannya—mengepel lantai kamar mandi. Sementara tiga lainnya terlihat bersemengat dengan cengiran lebar.
"Weh, kenapa nih, Mu? Kok, tumben, lo bawa-bawa cewek cantik ke toilet cowok? Pas banget ada bilik kosong tuh," ucap seorang kakak kelas berperawakan tinggi dengan wajah seram. Alea dibuat merinding mendengarnya.
Narendra menunduk untuk mensejajarkan tingginya dengan Alea. Tepat pada telinga kanan gadis itu ia berbisik, "Lo yakin, masih mau dihukum bareng Bang Yuma?"
Dengan sekuat tenaga Alea menggeleng. Ia ketakutan dan wajahnya mulai memucat. Melihat itu, Namu segera menarik tangan Alea dan pergi dari sana sambil berkata, "Kerjain aja hukuman lo, Bang!"
Pemuda yang berbicara tadi berteriak merespon ucapan Namu yang telah manjauh. "Yah, cupu lo—Aduh!" Ia menoleh sambil memegangi kaki kanannya. "Udah gila lo, ya?" umpatnya merasa seseorang dengan sangaja memukul gagang pel pada kakinya.
"Sorry, gue enggak sengaja."
"Ngajak ribut lo?" pemuda itu sudah akan melayangkan tinju, tetapi dua orang yang lain menahan. "Udah, lo mending enggak usah cari ribut sama Yuma," bisik temannya. Akhirnya tiga pemuda itu melanjutkan pekerjaan masing-masing, sementara Ganindra Yuma menjauh dari mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top