03. Kalau Sudah Bertemu, Mau Apa?

Tiga hari sudah Alea mencari keberadaan "Kakak Itu" di seluruh penjuru sekolah, tetapi hasilnya nihil. Alea bukanlah anak populer yang mengenal banyak siswa dari kelas lain, apalagi ini kakak kelas. Ia cukup pendiam, terlebih Aira tidak akan membiarkannya terlalu dekat dengan anak lain, kecuali Arjuna Rayaska, sepupunya.

Biasanya, baru berbincang sebentar dengan teman sekelas saja, Aira sudah memanggilnya untuk kembali ke bangku mereka. Bahkan gadis itu bisa ngambek berhari-hari jika Alea mengabaikannya karena terlalu asik mengobrol dengan teman yang lain. Sangat sulit bagi Alea untuk menjalin pertemanan selain dengan Aira. Karena itu jugalah tidak banyak anak yang mau mengbrol dengannya. "Takut pawangnya marah," katanya.

Hal itu membuat Alea kesulitan untuk mencari tahu perihal kakak kelas yang sedang dia taksir itu. Dia hanya punya Aira dan Arjuna yang bisa menjadi sumber informasi. Aira, sudah jelas gadis itu tidak banyak tahu dan bahkan tidak mau tahu perihal anak kelas lain. Sedangkan Arjuna, pria yang cukup ramah dan memiliki banyak teman lebih berpotensi untuk memberikan informasi padanya.

Namun, Alea tidak seberani itu untuk bertanya perihal lelaki lain kepada Arjuna. Pria itu tidak kalah protektifnya dengan Aira. Bisa-bisa bukannya berhasil dekat dengan kakak kelas yang disukainya, ia malah dipaksa menjauh dengan cara keji yaitu diadukan kepada mamanya oleh Juna. Alea tidak sanggup membayangkan hukuman apa yang akan ia terima jika sampai mamanya itu tahu ia menyukai lawan jenis di sekolah.

Kakinya dibawa ogah-ogahan menyusuri koridor sekolah dengan tumpukan buku di tangannya. Akibat terlambat memasuki laboratorium, ia dihukum untuk membereskan buku-buku yang dipakai untuk pembelajaran di perpustakaan. Meletakkan kembali buku-buku itu pada tempatnya, hingga membersihkan debu-debu pada rak buku yang ada. Baru membayangkannya saja, ia sudah malas luar biasa.

Aira sempat menawarkan untuk menggantikan hukumannya, atau sekedar menemaninya di perpustakaan—membantu, tetapi tentu saja ia menolak. Alea bukan anak superior yang akan memanfaatkan teman seperti Aira. Dia diajarkan untuk bertanggungjawab atas segala tindakannya sendiri.

Tangannya yang penuh dengan tumpukkan buku, membuat Alea kesusahan membuka pintu perpustakaan. Akhirnya dia membuka pintu itu dengan sikunya, meski kesulitan. Dia berhasil masuk dengan perlahan. Aroma buku yang khas serta suasana tenang membuatnya cukup nyaman saat pertama kali memijakkan kakinya di sana. Ia berkata kepada penjaga bahwa diminta oleh guru biologi membereskan buku, maka wanita paruh baya yang tengah bertugas itu dengan senang hati menunjukkan Alea di mana letak lorong buku-buku biologi.

Disusunnya satu per satu buku pada rak yang kosong. Mengatur letaknya agar sesuai dengan urutan, hingga merapikannya bersama buku-buku lain. Saat akan menggeser buku agar rapat, ia melihat pemandangan di luar dugaannya. Ada meja panjang dan juga bangku untuk membaca pada sisi lorong yang lain.

Bukan itu yang membuatnya tertarik, tetapi sosok yang tengah terpejam serta menaruh wajahnya di atas lipatan tangan di atas meja itu yang membuatnya tersenyum kegirangan. Sosok itu, pemuda berparas rupawan dengan kulit putih pucat yang sudah ia cari sejak hari pertama masuk sekolah. Maka dengan penuh semangat dan tanpa pikir panjang, dia melangkahkan kaki menuju lorong rak buku sebelah. Perlahan ia mendekat, menghampiri pemuda yang terlihat pulas itu dengan penuh hati-hati.

Pandangannya tak lepas dari wajah tampan itu. Hidungnya tak terlalu mancung, kumis tipisnya masih ada, serta tahi lalat di pipi kiri yang terlihat mungil. Rambutnya hitam pekat sedikit panjang dan menutupi kening. Rasanya Alea tidak tahan untuk tidak mengusak rambut yang terlihat lembut itu.

Baru saja Alea mendaratkan bokongnya pada bangku tempat pemuda itu tertidur, yang dipandangi sudah membuka mata. Hal itu membuat Alea tersentak kaget hingga ia kelabakan sendiri. Salah tingkahnya membuat ia mengacau hingga mengambil buku apa saja yang ada di hadapannya.

Terlihat pemuda itu menyipitkan matanya menatap penuh curiga pada Alea. "Ngapain lo? Mau mesum ke gue, ya?" tuduhnya ketus.

Tentu saja Alea melotot tidak terima mendengarnya. "Enak aja! Lo pikir, tampang gue mesum, apa? Ini perpustakaan. Jadi ya, gue mau baca lah, bukannya tidur kayak lo!" balas Alea dengan sindiran. Aduh, bukan gini yang gue mau pas ketemu lagi.

Kini pemuda itu mengerutkan kening. "Lo baca buku di jam pelajaran?" Ia kembali bertanya membuat Alea salah tingkah. Alasannya memang tidak tepat, tetapi dia juga tidak mungkin mengatakan tujuannya ke sini adalah untuk menjalankan hukuman atas keteledorannya.

"Bukan urusan lo!" Alea menjawab singkat dan berbalik, hendak buru-buru pergi dari hadapan pemuda ini. Dia sudah salah tingkah. Sungguh tidak aman untuk kesehatan jantungnya jika berlama-lama melihat wajah tampannya dari dekat. Bisa-bisa ia terkena serangan jantung mendadak karena berdebar berlebihan.

"Aluna!"

Merasa namanya dipanggil, Alea menghentikan langkah dan berbalik kembali menatap pria itu. Tatapannya seolah bertanya ada apa, tetapi ditatap balik oleh si lawan bicara justru membuatnya gugup bukan kepalang. Apa dia mau ngajak kenalan, ya? Eh, tapi dia tahu nama gue dari mana?

"Balikin buku gue!" ucap pemuda itu yang seketika membuat wajah Alea memanas. Benar saja, akibat salah tingkah, ia malah sembarangan mengambil buku di atas meja dan mengaku tengah membacanya, padahal dia tidak tahu itu milik siapa, sialnya buku itu adalah milik pemuda itu.

Alea gelagapan. "A-ah, ini buku lo, ya? S-sorry, anu tadi gue ...." Alea terbata memikirkan alasan paling masuk akal untuk mengelak. Mengalihkan pandangan guna menghindari tatapan tajam kakak kelasnya itu, hingga tanpa sengaja ia menangkap tulisan di atas kertas yang sejak tadi tergeletak di meja selagi pemuda itu tertidur. Ada nama lengkap serta kelas dan kalimat pernyataan yang menyatakan ia berjanji untuk tidak terlambat lagi.

Ganindra Yuma Ardean. XII IPA 1

Saya berjanji tidak akan terlambat lagi.

Melihatnya Alea jadi senyum-senyum sendiri. Ia baru menyadari, rupanya mereka sama-sama tengah menjalani hukuman. Apa ini yang dibilang jodoh, ya? "Kak Ganin lagi dihukum juga, ya?" tanyanya mengalihkan pembicaraan, sekaligus mencoba sok akrab. Untung-untung kalau bisa jadi akrab sungguhan. Kan, Alea bisa sekalian bertanya nomor telepon.

Pria yang bernama Ganindra itu berdecak. "Yuma, panggil gue Yuma." Alea dibuat menelan ludah mendengarnya. Suaranya seksi banget nyebutin nama doang, Ya Tuhan. Ia menggerutu dalam hati, malah jadi salah fokus. Lantas tanpa ragu ia mengulurkan telapak tangannya. "Alea, kelas sepuluh IPA 2."

Pria yang bernama Gandindra Yuma Ardean itu hanya geleng-geleng kepala melihatnya. "Gue bukan mau ngajak kenalan," katanya lalu berlalu meninggalkan Alea yang masih mematung di tempatnya.

Anjir gue malu banget! Dia bakal anggap gue aneh enggak, ya? Ah, tapi bodo amat deh, yang penting gue udah dapet namanya, tinggal nomor HP-nya aja yang belum. It's time to stalk like FBI.

Alea bersorak kegirangan di dalam hati. Akhirnya dia bisa mengetahui nama lengkap pemuda itu, bahkan di mana letak kelasnya. Kini dia sudah memikirkan banyak rencana yang akan dia gencarkan untuk bisa mendapatkan perhatian dari sang kakak kelas pujaan hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top