01. Pandangan Pertama
Teriknya matahari di pagi menuju siang, cukup untuk membuat keringat bercucuran pada keningnya. Alea mengusap bulir kecil yang menetes hampir sampai di dagu. Ia sudah kepanasan, tetapi si ketua OSIS sialan itu belum juga berhenti mengoceh, mengulang-ulang kalimat menyebalkan yang menunjukkan bahwa orang-orang yang berdiri bersamanya saat ini salah besar.
Ia cukup tahu diri untuk tidak protes ketika digiring menuju tengah lapangan usai pemeriksaan atribut dari panitia MPLS yang mendapatinya tidak membawa ikat pinggang. Gadis itu sadar betul dirinya melakukan kesalahan saat tidak sengaja meninggalkan benda itu di atas meja belajarnya sebelum berangkat ke sekolah. Namun, bukankah keterlaluan, membiarkannya berdiri di depan tiang bendera selama hampir satu jam dibarengi dengan ocehan panjang dari pemuda yang ia ketahui bernama Narendra itu. Jika tahu begini, Alea pasti akan mendengarkan nasehat mamanya untuk tidur lebih awal, mencegah bangun kesiangan dan berangkat dengan buru-buru.
"Aluna Azalea!" Ia menelan ludah mendengar namanya dipanggil. Ada senang bercampur gugup saat pemuda yang akrab disapa Namu itu menatap tajam manik hitamnya. Dia senang, karena artinya, dia sudah tidak perlu lagi berlama-lama berdiri mendampingi tiang bendera itu.
"Hukuman lo beresin gudang belakang sekolah. Bersihin semua debu di sana, dan tata ulang barang yang berantakan!" ucap Namu terdengar galak di telinga Alea. Gadis itu hanya mengangguk pasrah lalu berbalik untuk mengerjakan apa yang diperitahkan oleh kakak kelasnya itu.
"Tunggu!" Alea menghentikan langkahnya dan menoleh. "Lo berdua sama Rahardian Kenan. Jangan sendiri di gudang. Jam 9 udah harus beres semua!" lanjut Narendra dan lagi-lagi Alea hanya mengangguk. Ia bahkan tidak kenal siapa pemuda yang ditugaskan untuk menjalani hukuman bersamanya. Di pikirannya hanya ingin cepat menyelesaikan hari ini dan pulang. Alea rindu kamarnya.
Langkahnya buru-buru menuju gudang yang dimaksud Namu. Di belakangnya mengekor seorang pemuda yang ia tahu bernama Kenan. Alea bahkan tidak tertarik untuk berkenalan. Namun, pemuda itu seolah berusaha menyamai langkahnya seraya mencuri-curi kesempatan untuk terus melempar lirikan.
Pemuda itu tak kalah tampan dengan Arjuna—sepupu Alea—satu-satunya pria muda yang dekat dengannya. Memiliki postur tubuh yang bagus untuk ukuran anak kelas sepuluh, tetapi tidak setinggi Arjuna. Alea mengaku kagum pada tatapan mata tajam, rahang tegas, serta hidung mancung yang dimilikinya. Diam-diam ia juga memperhatikan pemuda itu.
"Lo tahu di mana gudangnya?" Oh, suaranya terdengar berat dan cukup asing di telinga Alea yang kerap ia dengar di antara anak seusianya, nampak sudah mengalami pubertas di mana suaranya sedikit berubah.
Alea menoleh menatap dengan mendongak sebab rupanya sang lawan bicara jauh lebih tinggi darinya. "Kalau enggak salah, di ujung lorong itu deh. Waktu itu pernah dikasih denah sekolah, kan?" Alea menebak saja, sebab yang ia ingat ada beberapa gudang di sekolah ini. Namun, yang letaknya di belakang sekolah hanya yang itu. Bukan tanpa alasan Kak Namu menyebutnya gudang belakang, kan?
Kenan mengangguk. "Bagus deh, kalau lo inget denah sekolah kita. Soalnya gue enggak sempet lihat." Di dalam hati ia cukup kagum akan ingatan Alea padahal mereka baru tiga hari menjalani masa pengenalan lingkungan sekolah. Sementara Alea hanya mengedikkan bahu dan melanjutkan langkahnya.
Hampir tiba di ujung lorong, tiba-tiba saja Kenan menghentikan langkahnya. Ia melipat bibir bawahnya dan menatap gadis di sebelahnya ragu. "Le, gue mau ke toilet sebentar. Lo duluan aja, ya?"
Alea melotot. "Yang bener aja lo? Mau kabur ya, lo?!" tuduh Alea menatap kesal pada Kenan. Lantas pemuda itu menggeleng kuat. "Enggak sumpah! Gue kebelet banget, enggak tahan. Dari tadi gue tahan aja soalnya gue enggak tahu di mana gudangnya. Nah, sekarang udah tahu, nanti gue gampang buat nyusulin lo."
"Enggak mau! Kalau lo ke toilet, gue ikut!" bantah Alea.
Mata Kenan membelalak. "Mana bisa begitu! Lo kan, cewek, sedangkan gue cowok. Nggak boleh ke toilet barengan, bisa khilaf nanti gue."
Alea agak terkejut mendengarnya. Ia tidak terpikirkan sampai ke sana. Akan tetapi, ia juga tidak seberani itu untuk pergi ke gudang sendirian. Mulai bingung, ia hanya bisa diam tanpa menjawab ucapan Kenan.
Melihat itu membuat Kenan tersenyum kecil. "Udah, lo duluan aja ke gudang, nanti gue pasti nyusul. Kalau lo takut, lo tunggu aja di depan pintu."
Alea terpaksa mengangguk menyetujui dan mereka berpisah di sana. Dengan ragu gadis itu melanjutkan langkah. Suasana terlihat sepi sebab murid kelas sebelas dan dua belas tengah melakukan proses belajar-mengajar, sementara kelas sepuluh masih dalam masa MPLS dan semua berkumpul di aula.
Kebetulan lorong yang ia lalui terletak cukup jauh dari ruang kelas. Hanya ada beberapa ruang ekstra kurikuler yang terlihat kosong. Tiba-tiba ia jadi merinding sendiri dan mempercepat langkah menuju gudang yang sudah mulai terlihat berada di ujung lorong.
Perlahan ia menghentikan langkahnya beberapa meter di depan pintu cokelat tua dengan papan yang sudah usang bertuliskan "Gudang". Alea mulai merutuk dirinya, sebab terlalu terburu-buru hingga tidak memikirkan kemungkinan pintu gudang itu terkunci. Ia jadi menimbang-nimbang, apakah ia harus putar balik dan mencari kunci di tempat lain, atau jalan saja dulu, siapa tahu pintunya enggak dikunci, kan?
Dengan teori keberuntungan, Alea memilih jalan saja dulu sebab letak pintu gudang itu hanya tinggal beberapa meter lagi dari tempatnya berdiri saat ini. Ia mulai melangkah penuh keyakinan lalu membuka gagang pintu dengan hati-hati.
Klek. Yang benar saja, Dewi Keberuntungan memang berpihak padanya sebab pintu itu tidak terkunci sama sekali. Lantas segera Alea menuntun langkahnya dan melesak masuk ke ruang penuh debu dan pengap itu. Hidungnya merengut sebab mencium bau asap rokok yang cukup menyengat bercampur debu pada barang yang ditumpuk lama di sana.
"Oh, shit!"
Alea tersentak kaget mendengar suara orang dari dalam hingga ia mematung di tempatnya. Yang di dalam tak kalah terkejut hingga ia melompat dari meja meja yang dijadikannya tempat duduk. Seorang pemuda dengan seragam putih yang tidak terkancing menampilkan kaos putih polos sebagai dalaman serta celana abu-abu yang warnanya mulai kusam. Terlihat pemuda itu sedikit tenang setelah melihat bahwa Alea lah yang masuk ke sana.
Mengisap rokok di tangannya hingga mengembuskan asap tebal, lalu membuang puntungnya yang masih tersisa setengah sambil menginjak untuk mematikan bara api. Pemuda itu menyugar rambut tebalnya dan berjalan mendekati Alea yang masih mematung di tempat.
Dilihat dari penampilannya, laki-laki itu dapat mengetahui kalau Alea adalah anak kelas sepuluh yang tengah melaksanakan masa orientasi. Kemudian tubuh tinggi itu perlahan mendekat pada wajah mulusnya yang membuat gadis itu sedikit bergetar karena takut.
Namun, di saat yang sama, Alea menatap lamat-lamat wajah pria itu. Kulit putih pucat yang mulus dengan kumis tipis yang baru saja tumbuh usai dicukur. Terlihat satu bekas jerawat kehitaman yang mulai pudar dari pipi kananya. Serta aroma tubuh yang khas beraroma citrus dengan paduan woody yang bercampur bau rokok membuat Alea meremang menciumnya. Entah mengapa jantungnya seolah berdetak berlebihan menatap wajah tampan yang semakin mendekat ke arahnya itu.
Dapat dilihatnya dengan jelas bibir tipis itu berjarak kurang dari satu senti dengan wajahnya. Deru napas pelan membuatnya merinding dan berdebar tak karuan. Perlahan, pemuda itu membisikkan sesuatu pada telinga kanannya. "Awas aja kalau sampai ada guru yang denger soal ini. Gue enggak akan segan buat cari lo."
Usai mengatakannya, pemuda itu berjalan keluar dengan santai. Meninggalkan Alea yang mematung dan mencerna apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdegup kencang, dan wajah pucatnya bersemu merah. "Buset, ganteng banget!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top