DUA
DUA| THE OBJECT OF MY SUDDEN AFFECTION
Satu hal yang pasti, cewek itu sedang jaga jarak dengannya. Salahnya juga sih dan nggak ada yang bisa Jerman lakukan kecuali memperbaiki keadaan. Dan, jangan lupa juga, meyakinkan reporter bernama Ananda ini bahwa dia nggak semenyebalkan kesan pertamanya tadi.
Setelah mengucapkan terima kasih ke tukang cendol yang baru saja memberinya uang kembalian, Jerman kembali lagi ke TKP. Ananda, seglamor penampilannya, begitu menyolok saat duduk di kantin kampusnya itu. Dan sejurus kemudian, Jerman menyadari, nggak hanya dia seorang yang memandangi cewek itu. Rudin dan para bro-nya sesama jurusan kehutanan sedang kasak-kusuk heboh di meja seberang, sebelum mendorong Rudin ke arah Ananda.
“Hai, kamu,” sapa Rudin dengan gaya sok asyik—Jerman yakin banget, cowok itu grogi setengah mati, “boleh kenalan nggak?”
Ananda hanya balas memandanginya beberapa saat. Nggak ngomong, nggak bikin gesture mengusir—murni hanya menatap Rudin lekat-lekat. Perlahan-lahan senyum di wajah songong itu memudar, digantikan sekelebat ekspresi bete. Rudin lalu balik badan grak dan sebelum kembali ke geng bro-nya, cowok itu sempat mengumpat, “Sombong!”
Jerman nggak bisa menahan geli menyaksikan pemandangan itu. Dan Ananda, cewek itu sama sekali nggak peduli. Dia kembali melanjutkan kipas-kipas dengan selembar kertas lecek yang dilipat dua. Jerman kemudian menyadari satu hal, cewek itu jelas adalah tipe langka yang beruntung kalau bisa dia kenal sekali seumur hidup. Nggak tahu pasti persisnya arti kesimpulannya barusan, tapi pokoknya begitu deh. Cowok itu memutuskan nggak mau memikirkannya lebih lanjut dan mempercepat langkahnya untuk menghampiri Ananda.
Cewek itu tersenyum lemah saat melihat warna kecokelatan cendol di gelas yang masih berada di genggaman Jerman. “I’m on diet,” ucapnya lirih. Harusnya Jerman tersinggung, tapi pada kenyataannya nggak tuh. Cowok itu malah meletakkan gelas cendol di hadapan Ananda.
“Cobain deh. Cendol Bu Aya paling enak setanah air.”
Alis Ananda naik sebelah, tanda nggak percaya. Tapi Jerman pura-pura nggak ngeh dan menikmati cendolnya sendiri. Akhirnya, Ananda mau juga menyesap isi gelasnya dengan sedotan. Awalnya sedikit, seperti nggak sudi. Tapi saat Jerman lengah, Ananda meminum sampai tinggal setengahnya. Doyan toh, batin Jerman sambil tersenyum.
“Boleh nanya nggak?”
“Shoot,” kata Ananda, sama sekali nggak mengalihkan pandangannya dari dalam tas. Mencari-cari sesuatu—ah, tisu ternyata. Cewek itu kemudian mengelap sudut bibirnya yang berlepotan dengan keanggunan yang luar biasa. Bertambah satu lagi deh kekaguman Jerman ke cewek itu.
“Ngomong-ngomong ini wawancaranya buat artikel apaan sih? Mungkin guenya yang sok tahu, tapi sepertinya majalah lo bukan semacam majalah olahraga atau majalah untuk laki-laki gitu.”
“Memang bukan.” Ananda tersenyum samar—senyuman yang pertama kali Jerman lihat sejak bertemu dengan cewek itu hari ini. Not bad, gumamnya, tanpa sadar ikut tersenyum juga.
“Jadi?”
“Tema dua bulan mendatang adalah Urban Community. Kami ditugaskan untuk meliput sejumlah komunitas yang sedang happening di Jakarta ini. Selain klub sepeda kalian, nantinya akan ada tentang klub jajan, komunitas belajar bahasa Inggris bersama, komunitas pecinta alam, klub DJ SMA, dan masih banyak lagi.”
Jerman manggut-manggut. “Wow, cool!”
“Thanks.” Diam sebentar demi menghabiskan es cendol hingga tandas. “Hmm, jadi gimana? Bisa diwawancarai sekarang?”
“Sure. Fire away!”
“Bisa dimulai dengan sejarahnya? You know, kapan mulai berdiri, siapa pelopornya—that kind of stuff,” kata Ananda, sambil menunjuk cowok itu dengan ujung pulpen di tangannya.
Jerman memejamkan matanya, sepertinya sedang mencoba mengingat-ingat. “Pertama kali berdiri tahun 2010. Tren bersepeda di kalangan hipster adalah pemicunya—meskipun fakta ini pasti akan disangkal beberapa anggota klub.”
Ananda berusaha keras menahan diri supaya nggak tertawa geli. Setengah mati dilakukannya, tapi tetap saja cowok itu tahu. Apalagi ketika Ananda bertanya, “Termasuk lo?”
“Haha, nggak. Dicap hipster nggak malu-maluin amat kok.”
Jerman berhenti sejenak demi bisa menjulurkan badan supaya semakin dekat dengan Ananda. Gesture sederhana sebenarnya, tapi Ananda bereaksi di luar dugaan. Untuk ukuran cewek yang tampak sangat kosmopolitan, Ananda tampak sedikit rikuh dengan kedekatan mereka. Cewek itu mundur sedikit dan tak menyadari sisi tangannya bersentuhan dengan tangan Jerman. Ananda terlihat makin panik, tapi disamarkannya dengan pura-pura merapikan rambut.
Jerman menggigit bibir bawahnya. Nggak kebayang apa yang sedang dipikirkan Ananda karena sentuhan innocent barusan, tapi sekujur tubuh cowok itu seperti habis kena setrum. Sekujur tubuhnya bereaksi, mengirimkan desir-desir ganjil yang tak bisa dia jelaskan dengan kata-kata.
“Terus?” Tatapan keduanya tak sengaja bertemu di udara. Wawancara ini ternyata lebih berat daripada dugaan gue sebelumnya, pikir Jerman, mulai sedikit grogi.
“Yang pertama kali memelopori adalah dosen senior fakultas kedokteran, Pak Sudrajat namanya.” Jerman membayangkan beliau di dalam kepalanya dengan harapan bisa mengusir segala pikiran absurd yang berlompatan karena cewek di sebelahnya itu. “Orangnya menerapkan hidup sehat banget: vegetarian, punya kebun sayur organik di belakang rumah, rajin olahraga.”
“Sounds like a cool person.” Ananda mencatat beberapa baris kalimat di notesnya. Tulisannya kecil-kecil dan agak imut gitu. Wait, what? Imut?! Behave, Jer! Lo mulai kedengaran norak sekarang, hardik suara dalam dirinya.
Jerman mengangguk setuju. “Memang. Dan salah satu favoritnya adalah bersepeda. Makanya, dia antusias sekali dengan ide membuat klub bersepeda di kampus ini. Ide itu digagasnya bareng-bareng dengan dua orang dosen lainnya dan mahasiswa yang sedang ikut kelasnya di tahun itu. Saat mulai, klub sepeda sudah beranggotakan tiga belas orang.”
Ananda manggut-manggut.
“Gue sendiri anggota generasi keempat—in case lo pengen tahu.”
Cewek itu spontan mengernyitkan dahi. “Kok gitu ngomongnya?”
“Ya kali lo segitu marahnya sama gue jadi masa bodoh soal fakta itu.”
“Dih! Gue kira setelah traktiran cendol enak ini, yang tadi benar-benar case closed lho. Gue bahkan nyaris lupa kalo nggak lo ingetin tadi.”
Jerman menyeringai. “Gue salah lagi ya.”
“Justru sebaliknya. Yang ada sekarang gue heran: lo beneran segitu merasa bersalahnya ya tadi?”
“Jujur saja, iya.” Mereka berbagi senyuman, which is not bad untuk ukuran orang yang baru saja baikan. Dan Jerman semakin sulit untuk menyangkal ketertarikannya pada Ananda. Benar-benar sulit. Jeleknya, mulutnya malah nggak bisa direm untuk nggak menggombali cewek itu. “Satu, karena nggak seharusnya gue ngomong gitu ke elo. Dua, karena pada kenyataannya, lo nggak jelek sama sekali. Swear to God, menurut gue lo itu... charming.”
Astaga, corny amat omongan gue, Jerman membatin.
“Charming?” Ananda mendengus. “Segitu nggak pantesnya ya gue dibilang cantik.”
“Tuh kan, salah lagi gue.” Jerman geleng-geleng kepala. “Gue pengen bilang lo cantik, tapi khawatir lo-nya bakal nganggep gue lagi ngegombal atau gimana.”
Padahal emang lagi ngegombal tuh! Suara hatinya mencibir.
“Gue nggak keberatan dibilang cantik. In fact, gue yakin, pada dasarnya cewek senang dipuji cantik.”
Cowok itu menanggapi dengan senyum terkulum. “Good to know. Jadi, bisa gue koreksi ucapan gue tadi: menurut gue, lo cantik, Nanda.”
“Makasih.” Ananda terdiam sesaat. “Hm..., ya, lo bener. Kedengarannya memang agak gombal.”
“Hahahahaha!” Cowok itu tiba-tiba berdiri. “Mau tambah lagi cendolnya? Sekalian sambil gue beli air mineral.”
“Nggak usah. Beli buat diri lo sendiri aja.”
*
WHAT.
THE.
HECK?!
Nanda, lo lagi kerasukan apa sih? Cewek itu mengomentari diri sendiri habis-habisan. Bisa-bisanya lo tersipu karena gombalan standar mahasiswa tadi. Iya, Nanda, lo harus diingetin juga soal kemahasiswaan si Jerman-Jerman tadi. Dan nggak perlu otak genius buat menebak kalo jarak umur kalian juga lumayan. I mean, lo itu udah masuk level tante-tante kalo dibanding orang itu!
Ya, suara hatinya memang bisa bitchy banget kalo dia mau. Dan biasanya Nanda hanya bisa terdiam saja mendengar semua omongan beracun di dalam dirinya itu. Nggak bisa membantah juga, karena kalo boleh jujur, dia juga tertarik pada Jerman untuk alasan yang nggak dia mengerti. Apa karena ganteng? Dih, shallow banget. Apa karena tubuhnya terlihat maskulin di balik pakaian yang dia kenakan? Oke, sekarang dia kedengaran seperti penulis yang sedang berusaha mendeskripsikan karakter di novel romance-nya.
Jadi apa dong? Masa karena tas pinggangnya kan ya? Idih, amit-amit jabang baby Blue Ivy!
“I’m back!”
Shit!
Dia kan belum siap-siap jaim untuk cowok itu. Aduh, aduh, gimana ini? Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Ananda belum siap untuk ketemu lagi sama Jerman!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top