Chapter 11
Suara ketukan sepatu bertumbukan dengan lantai marmer terdengar makin mendekat tuk memecah keheningan. Berbarengan semerbak aroma daging panggang begitu menggugah selera datang setelah hidangan pembuka disajikan. Seorang lelaki berkumis dan mengenakan kemeja abu-abu yang ditutup rompi hitam tanpa lengan, menaruh piring saji di atas meja heksagonal bercat hitam metalik. Bola matanya mencerling sebentar ke arah Louisa yang tengah duduk tegak mengamati Dean sembari melempar tarikan tipis di bibir berpulas lipstik merah. Lantas, menjelaskan hidangan yang dipesan sejoli itu terdiri dari potongan daging ribeye disiram date purée--semacam saus kurma manis tinggi serat, dihias brokoli panggang renyah nan empuk, dan taburan kacang macadamia. Kombinasi epik ketika disanding dengan segelas wine Flowers Sonoma menyegarkan saat melintasi kerongkongan.
Merasa ada orang lain yang ikut campur, Dean sedikit mendongak, memicingkan mata membuat si pelayan gugup dan buru-buru menyilakan tuk menikmati hidangan mewah tersebut. Dia mengambil botol wine berbalut label cokelat muda, menuang ke dalam gelas berkaki lalu bertanya, "Apa yang ingin kau katakan?" Disodorkan gelas kristal itu kepada Louisa mengisyaratkan agar meneguknya kemudian menyandarkan punggung ke kursi.
Louisa menerima dengan senang hati, menghirup sejenak aroma minuman anggur keluaran tahun 2018 sebelum disesap. Wangi jeruk berbaur sedikit mint menenangkan indra penciuman Louisa, selanjutnya menyeruput pelan hingga sensasi pecah di lidah antara buah pir, nanas, keasaman dari fermentasi anggur Sonoma Coast Pinot Noir terasa pekat. Walau tekstur awalnya seperti kapur saat bersinggungan dengan langit-langit mulut, namun hasil akhir minuman ini terasa halus menuruni tenggorokan.
Dean menuang minuman untuk dirinya sendiri, menggoyangkan kaki gelas ketika Louisa menjawab. "Temani aku di Milan untuk menghadiri event fashion di sana. Cory bilang Troy dan kekasihnya akan hadir dalam peragaan busana. Aku ingin melakukan sesuatu untuk lelaki itu."
"Kenapa harus aku?" Dean melempar pertanyaan balik seperti kebiasaan Louisa padanya. Pertanyaan dibalas pertanyaan. Kemudian meneguk hingga habis wine lalu berpindah ke hidangan utama.
"Aku menuntut hubungan mutualisme di antara kita," tukas Louisa mengamati gerakan tangan Dean sedang mengiris daging di depannya. Seksi dan terarah. Guratan nadi menonjol di punggung tangan lelaki itu membuat Louisa mengingat kembali bahwa jemari Dean terlalu pintar membawa tiap jengkal tubuhnya menuju puncak gairah. Dia menelan ludah, menenggak habis wine lalu mengalihkan perhatian ke arah lanskap Los Angeles. Gemerlap lampu-lampu penerangan kota bagai taburan bintang yang berkelap-kelip serta hiruk pikuk orang-orang yang memadati jalanan menandakan bahwa San Diego tidak mengenal kata istirahat. Dan beruntungnya Louisa berada di ruang VIP di mana hanya dia dan Dean bukan orang lain yang bisa saja memergoki betapa merah wajahnya sekarang.
"Lalu, apa yang akan kudapatkan?" tanya Dean melahap potongan daging itu dengan gerakan anggun.
Louisa berdeham tuk menetralkan debaran jantung sekaligus mengembalikan ekspresi wajahnya agar tetap fokus pada pembicaraan. "Semuanya kecuali kau mencampuri pekerjaanku, Dean. Perlu digaris bawahi, aku dan kau tidak lebih dari seorang publik figur yang harus profesional. Aku tidak mau orang-orang berpikir kalau kau memberiku privilege agar bisa terkenal," ujar Louisa masih kekeuh pada pendirian.
"Mereka tahu bakatmu, Babe. Aku hanya memberi fasilitas yang kau inginkan," elak Dean tidak mau disalahkan. "Makan!" perintahnya melihat Louisa belum menyentuh makanan.
"Yang kau inginkan, Dean, bukan aku," protes Louisa mengambil garpu dan pisau lalu mengiris daging itu kemudian melahapnya.
Dia menaikkan alis, memuji dalam hati menu masakan hasil olahan para koki di sini. Dagingnya benar-benar empuk dan tingkat kematangannya sesuai yang disukai Louisa. Ditambah bumbu rempah merasuk hingga ke inti menimbulkan perasaan bahagia ketika mengunyah. Tidak salah juga Cory merekomendasikan 71Above sky lounge restaurant yang sebenarnya sangat cocok bagi pasangan yang mau menghabiskan malam romantis. Padahal, kalau dia masih bersama Troy dan lelaki itu melangsungkan rencananya, Louisa akan meminta dilamar di tempat ini di mana bangunan megah di bawah restoran seperti menjadi saksi bisu di tengah kebisingan kota.
Sayang, rencana hanyalah rencana jika dia dan Troy saling membelakangi dan berlagak menjadi orang asing yang tidak mau mengungkit masa lalu. Hanya saja dalam beberapa kesempatan, Louisa masih sering terjebak dalam ilusinya sendiri, berharap kalau yang terjadi kemarin sebatas mimpi buruk di siang hari. Semua foto bersama sang mantan masih tersimpan rapi di galeri ponsel Louisa, meskipun Cory bolak-balik menyuruh untuk menghapus semua kenangan menyedihkan itu.
"Menghapus foto memang mudah, tapi tidak dengan apa yang telah kami lewatkan, Cory," kata Louisa. "Otakku masih terbayang-bayang wajahnya, suaranya, sampai berita itu menyadarkanku kalau cinta Troy bukan untukku saja."
Louisa menggeleng pelan, mengusir kegundahan yang mulai mengusiknya lagi. Dia tidak mau meneteskan air mata demi pria yang tidak menghargai perasaannya. Lantas, memilih mengagumi wajah tampan Dean yang dibungkus rahang tegas, mata biru samudra yang selalu menatapnya tajam, hingga bulu-bulu janggut halus menghiasi rahang membuatnya makin maskulin tuk dipandang. Benar-benar Cassanova Los Angeles, batin Louisa. "Jadi, kau mau kan?"
"Kita lihat nanti," kata Dean,"jadi, kau menerima kontrak kerja sama dengan Ellie?"
"Kalau aku tidak menerimanya, mengapa aku susah payah mengajakmu ke Milan?" cibir Louisa memutar bola matanya jengah. "Mereka akan meluncurkan parfum di sana sekaligus mengenalkan aku sebagai brand ambassador. Aku anggap sebagai keberuntungan untuk balas dendam kepada Troy."
Dean menaikkan sudut bibir, amarah yang sempat menguasai untuk mengomentari gaya berpakaian Lousia mendadak lenyap. Memberi apresiasi kepada Cory telah berhasil meluluhkan hati si kepala bau untuk menerima penawaran Ellie. Toh, ternyata Tuhan memberi plot twist bahwa peluncuran produk mereka berbarengan pameran busana di Italia. Tidak salah kan Dean memberi rekomendasi?
Rasa penasaran kini memenuhi benak Dean atas apa yang akan dilakukan gadis itu kepada sang mantan. Sekadar menggandeng tangannyakah? Atau sekadar mengenalkan Dean kepada troy? Haruskah Dean memberi secuil ide nakal yang terlintas di kepala? Mengobarkan api yang terlanjur menyala di antara dua manusia itu? Kalau Louisa butuh, Dean bakal membuka gudang ide dalam kepala bahwa ada yang lebih menarik dari sekadar mempublikasikan dirinya sebagai kekasih.
"Baiklah," tandasnya dengan mata berkilat. "Aku ikuti kemauanmu, Lou."
###
Selagi akhir pekan di mana setiap sudut Los Angeles makin ramai dipenuhi orang-orang yang ingin menghabiskan waktu bersama teman atau pasangan. Bar, restoran, hingga kelab malam untuk kencan romantis sampai liar sekalipun. Denting gelas berisi bir sampai vodka sampai dentuman musik menandakan bahwa dunia malam tidak akan berakhir sampai pukul dua pagi nanti. Sementara itu kendaraan roda empat tampak lalu lalang di setiap ruas jalan melaju bergantian saat lampu lalu lintas berpindah dari merah ke hijau. Beruntung tidak turun hujan meski sore tadi gumpalan awan mendung sempat menutupi sebagian kota. Walau musim dingin masih berlangsung, Los Angeles tidak pernah turun salju seperti halnya kota-kota lain di Amerika membuat Louisa lebih betah di sini daripada di tanah kelahirannya sendiri. Terpujilah bagi Tuhan memberikan iklim subtropis di sini, pikir Louisa.
Tapi, bukan berarti dia benci salju. Hanya saja suhu yang terlalu dingin dan menusuk kulit selalu menimbulkan nyeri sendi. Selain itu, dia lebih suka musim semi dan musim panas ketika bias matahari bersemangat menghangatkan kota serta mendekap tubuhnya erat.
Sekarang bersama Dean, dia berjalan beriringan di Walk of Fame seraya mengenakan masker hitam. Salah satu tempat paling populer jika berkunjung ke Hollywood di mana mereka mengapresiasi para seniman dengan mencantumkan nama di plakat berbentuk bintang kemudian dipasang di trotoar Hollywood boulevard. Di malam hari, trotoar ini terasa bersinar saat cahaya dari toko-toko di sepanjang jalan memantulkan pendar warna-warni.
Louisa berhenti di salah satu plakat, mengulum senyum sambil bermunajat dalam hati jika suatu hari nanti namanya akan tersemat di sini juga. Kecintaannya dalam dunia seni peran terkadang membuat Louisa menggantungkan banyak mimpi di langit. Memenangkan penghargaan, disorot banyak kamera, hingga diingat semua orang bahwa dirinya berhasil memerankan suatu karakter begitu apik.
Dean memiringkan kepala lalu berpaling ke arah Louisa dan bertanya, "Apa yang kau pikirkan?"
Louisa terkekeh lalu berjongkok sebentar untuk membelai plakat bertuliskan Jennifer Aniston dalam kategori motion pictures. Kemudian dia bangkit lagi sambil merangkul pinggang Dean dan menatapnya dalam-dalam. "Bermimpi bahwa namaku ada di sini suatu hari nanti, Dean."
Dean mengangguk-anggukan kepala lantas mengecup bibir Louisa penuh kasih sayang. "You did it well, Babe. Aku mengagumimu sejak memerankan Cecilia, jujur saja."
Kontan Louisa tergelak mendengar pengakuan mendadak Dean. "Karena peranku atau komentar penggemar yang berkata bahwa aku adalah perempuan yang membangunkan sisi liar mereka?"
Dean tersipu bukan main. "No, aku berkata yang sebenarnya. Aktingmu bagus dan ... well ... aku ingin merasakan bagaimana kau memuaskan Steven saat itu," bisik Dean sensual.
"Dasar bajingan," ledek Louisa mencubit perut sixpack Dean.
Mereka kembali berjalan bersama ratusan manusia yang memadati trotoar. Dean menggenggam tangan Louisa erat sambil sesekali mencium punggung tangan gadis itu untuk menunjukkan kepada dunia bahwa gadis di sampingnya ini adalah miliknya. Louisa tak menolak sama sekali selagi itu masih dalam batas wajar, lagi pula mereka sudah bersepakat untuk berangkat ke Milan bersama. Sehingga dia harus menahan diri untuk tidak menyulut amarah Dean.
Di antara banyaknya pengunjung sejauh mata memandang, mereka mengenakan kostum untuk meniru beberapa karakter dalam film seperti Thor, Captain America, hingga Transformers yang menari diiringi musik. Di depannya ada kotak-kotak kecil untuk menaruh tip. Selain itu, ada orang yang menjajakan barang seperti topi aneka motif dibanderol harga lima dolar.
Selagi menggenggam tangan Dean, Louisa bercerita bahwa sejak kecil ingin datang ke sini dan bersyukur bisa meniti karier walau jalan yang dilaluinya dulu terasa begitu sulit. Jika bukan karena seseorang melihatnya memenangkan kontes balet di Berlin, dia tak akan pernah menginjakkan kaki di Los Angeles. Dan saat ini, impian Louisa makin membesar seiring berjalannya waktu, berharap suatu hari nanti namanya akan terukir berdampingan dengan para idola. Beberapa tahun lalu saja, grup musik favorit Louisa, Jonas Brother berhasil meraih penghargaan tertinggi ini setelah 18 tahun debut. Jadi, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini kan?
"Kau hanya perlu bersabar, Babe. Semua tidak semudah membalikkan tangan," kata Dean. "Aku akan selalu mendukung kariermu."
"Manis sekali," puji Louisa mencubit pipi Dean.
Selain trotoar bertaburan nama bintang dunia, ada museum patung lilin Madam Tussaud, Ripley's believe it or not. Mann's Chinese Theater yang biasanya digunakan sebagai tempat peluncuran film hingga penyelenggaraan tiga ajang Academy Awards. Louisa merasakan bahwa tempat ini menjadi satu wadah di mana harapan bisa disematkan setinggi langit dan bakal bersinar di waktu yang tepat.
"Aku suka dengan ambisimu," tandas Dean ikut tersipu mendengar penuturan Louisa lalu merangkul bahu gadis itu. "Apalagi mau berkarier di bawah agensiku."
"Dan bercinta di bawah tubuhmu," tambah Louisa.
Dean terpingkal-pingkal lantas mencium bibir gadisnya bangga karena memang itulah kenyataannya. "Kuanggap sebagai pujian."
"Nope, Mr. Cross."
"Mau kutunjukkan sesuatu?" tawar Dean tiba-tiba punya ide brilian.
"Apa itu?" Louisa terdengar antusias.
Dean tidak menjawab, menarik lengan Louisa untuk menghampiri mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri setelah puas menelusuri Walk of Fame juga mengunjungi beberapa rumah makan dan toko souvenir. Louisa duduk di samping Dean ketika lelaki itu menyalakan mobil sambil bertanya ke mana mereka akan pergi.
"Tunggulah!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top