Bagian 1
"Kita kehabisan lilin," ucap Laila, aku mengalihkan pandanganku dari panci rebusan padanya. Menemukan cemberut memelintir bibirnya saat pena bulu melayang tepat di atas kertas. "Menurutmu kita bisa membelinya?"
"Aku akan menyisihkan beberapa koin dari penghasilanku minggu ini." Itu hanya membuat cemberutnya lebih dalam.
"Itu artinya kamu tidak akan pernah membeli sepatu itu." Dia meletakkan pena bulu dan menggulung kertas yang berisi daftar barang-barang yang harus aku dapatkan di pasar pagi ini. Laila bersandar pada punggung kursi seolah terlalu lelah untuk duduk tegak. Jika dia tidak berada di meja dapur rumah kami, aku akan mengomentari posturnya yang sama sekali tidak seperti wanita. Itu hanya akan membuatnya kesal, tapi jika dia mengharapkan seorang pria untuk suami dia perlu belajar sikap dan tata bahasa. Sejauh ini aku sangat gagal mengajarkan itu padanya.
"Lilin jauh lebih penting dari pada sepatu berbulu," jawabku, dan meskipun aku benar-banar mengharapkan bisa memiliki sepatu bot baru dengan bulu yang akan membuat jari kakiku tetap hangat dan tidak membeku di musim dingin, aku masih memaksakan senyum ke wajahku, "aku bisa mendapatkan sepatuku bulan depan."
"Kecuali jika bulan depan kita kehabisan gandum dan kamu harus mengambil koin yang kamu sisihkan lagi."
"Jadi aku akan memakai sepatu lamaku untuk musim dingin ini."
Ketika cemberutnya semakin parah hingga membuatku khawatir itu akan menjadi ekspresi permanen di wajahnya, dia akhirnya mendesah dan tersenyum dengan sedih. "Aku benci kamu harus melakukan semuanya untuk kita."
"Laila—"
"Biarkan aku membantu. Jika aku juga bekerja di Rudledge, kita bisa lebih cepat membuatmu keluar dari sana."
Aku melepaskan sendok sayurku kali ini, dan berbalik untuk menatapnya dengan tajam. "Satu-satunya hal yang harus kamu khawatirkan adalah menemukan seorang pria yang baik. Yang akan menjagamu. Mencintaimu. Merawatmu karena dia peduli padamu."
"Jadilah piala kecil yang cantik itu?" balasnya sinis.
"Persis!" bentakku, bahkan jika dia hanya akan menjadi piala kecil yang manis dan cantik, itu jauh lebih baik dari pada berakhir di Rudledge. Aku berharap Laila akan menemukan pria yang tepat, yang dia cintai dan mencintainya. Namun itu hampir mustahil ketika kami jatuh miskin. Kami tidak punya apa-apa lagi, tidak ada mahar yang bisa ditawarkan untuk pelamar yang berpotensi. Satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah menjaga reputasi saudariku tetap bersih.
Laila cukup cantik, jika dia bisa menghaluskan sedikit sikap tajam dan sinisnya aku yakin satu atau dua putra pedagang yang baik akan meminta tangannya dalam pernikahan. Mungkin bukan keluarga dengan garis keturunan bangsawan, dan bukan tuan tanah, tapi seorang pria yang bisa mencukupi kebutuhannya dan mencintainya.
"Rowena," dia merengek dan aku tahu dia akan mulai dengan semua diskusi tidak berujung untuk meyakinkanku bahwa pernikahan bukanlah solusi, "kamu tahu bagaimana perasaanku tentang pernikahan. Kamu juga tahu tidak ada pria yang cukup bodoh untuk mau menikah denganku ketika utang ayah mencekik keluarga kita. Jadi berhenti dengan delusimu dan biarkan aku membantu!"
"Karena itulah aku bekerja untuk Tuan Lazarus sejak awal. Siapa pun pria yang akhirnya menjadi suamimu tidak akan mewarisi utang ayah. Jadi bantu aku Laila! Cobalah menjadi gadis yang diinginkan, dan temukan seorang suami!" Dia membuka mulut tapi saat dia bertemu dengan mataku, dia kembali menutupnya. "Setidaknya salah satu dari kita akan punya masa depan."
Aku kembali ke panciku, merasakan panas di mataku yang menyengat.
Aku tidak akan menangis. Aku tidak akan menangis. Aku tidak akan menangis. Aku melantunkan kata-kata itu di dalam kepalaku seperti mantra, tetap saja, saat aku mengaduk sup yang mulai mendidih satu lolos membasahi pipiku. Aku buru-buru menghapusnya dengan kepalan tanganku, mematikan tungku dan beralih untuk mengambil mangkuk. Mengisinya dengan sup sebelum meletakkannya di nampan kayu.
"Ini hampir siang, dan ayah belum sarapan," ucapku sembari merobek sebongkah roti untuk bergabung di nampan yang sama dengan sup, "bawakan ke kamarnya."
"Dia ingin melihatmu," ucap Laila, bangkit dari kursi. Aku mengabaikan kata-katanya, memilih menyibukkan diri untuk mengisi gelas dengan air dan meletakkannya juga di nampan. "Kali ini hampir satu bulan Rowena, kamu menghindarinya."
Aku memejamkan mataku, mengulang mantra yang sama di kepalaku. Hingga aku yakin suaraku tidak akan pecah saat kembali bicara. "Aku tidak menghindarinya."
"Sekarang ayo kita tidak berpura-pura," Laila mengambil nampan dariku, dan aku takut untuk bertemu dengan mata cokelatnya, mata yang terlalu mirip dengan milikku, "kamu membencinya."
"Tidak seperti itu," ucapku putus asa.
"Tidak apa-apa membencinya Row. Maksudku ... ayah pantas mendapatkannya. Jika dia tidak begitu bodoh—"
"Laila!"
"Itu kenyataan! Dan itu salahnya kamu harus bekerja di Rudledge." Aku mengintip ke wajahnya dan saat melihat senyum Laila begitu lembut padaku, aku tahu aku sudah melakukan hal yang benar. Tidak mungkin aku membiarkan dia rusak sepertiku, karena itulah yang dilakukan Rudledge pada gadis-gadis yang bekerja di sana, itu merusak mereka. Aku tidak akan pernah membiarkan senyum polos itu rusak. "Namun dia masih ayah kita Rowena. Dia masih mencintaimu, dan apa yang kamu lakukan sangat menyakitinya."
"Aku tahu," jawabku, karena sungguh, aku tahu itu. Hanya saja setiap kali aku melihat ayah, aku sangat marah. Jadi sangat pahit dan aku akan mengatakan hal-hal jahat padanya. Itu hanya akan melukainya lebih parah
"Temui dia, baik?" Laila memohon padaku, dan meskipun aku tidak berencana untuk melakukan itu, aku tetap memberinya anggukan.
"Aku akan melihatnya nanti malam."
"Sangat bagus," ucapnya dan aku langsung merasa bersalah karena berbohong.
"Yah, lebih baik aku pergi sekarang," aku mengambil kertas daftar belanjaan dari atas meja.
"Hati-hati Row, semua kasus hilangnya gadis-gadis itu meresahkan. Dan belum ada petunjuk sama sekali. Aku dengar gadis Gilbert tidak pernah pulang setelah pergi ke penjahit."
Bahuku menegang, dan tiba-tiba udara menjadi terlalu padat di sekitarku, membuatku sulit untuk bernapas. "Gadis yang malang."
"Aku takut kamu akan menjadi yang berikutnya. Karena jelas kamu terlalu menawan untuk dilewatkan. Dengan ikal cokelat dan bibir itu, astaga, cara para pria menatapmu, Rowena! Mereka lapar ... dan jika ada kesamaan yang dimiliki oleh gadis-gadis ini, mereka terlalu cantik untuk kebaikan mereka sendiri."
Aku mengunyah bagian dalam pipiku, jariku bergerak dengan gelisah untuk meremas kain gaun yang aku kenakan. Itu bukan salahku jika putri bungsu keluarga Gilbert hilang. Aku tidak melakukan apa pun. Aku bahkan baru tahu kalau dia hilang. Pembohong. Suara di kepalaku mengejek dengan menyebalkan, tapi aku mengabaikannya. Bukan salahku jika gadis dengan mata biru besar dan rambut pirang itu hilang, itu bukan urusanku.
"Jangan khawatir, aku bisa menjaga diriku sendiri," kataku, dan meskipun itu mungkin juga bohong, aku berhasil mengatakannya tanpa gemetar. Aku tidak tahu apakah Laila memperhatikan menggigil di seluruh tubuhku atau tidak. Aku tidak tinggal lebih lama untuk mencari tahu apakah dia curiga. Atau apakah dia tahu aku menyembunyikan sesuatu. Aku hanya keluar dari dapur dengan begitu cepat. Pergi ke kamarku untuk mengambil mantelku yang terlalu kecil dan sekantung koin. Aku hampir secara harfiah berlari keluar dari rumah, terbang melalui pintu depanku yang mengayun dengan bunyi derak karena engselnya yang berkarat.
Baru setelah aku mendapatkan cukup jarak dari Laila, aku bisa bernapas dengan lebih baik. Karena aku tidak bisa membayangkan betapa kecewanya dia jika dia tahu. Dia akan membenciku. Ohh, lebih buruk. Dia tidak akan pernah memaafkanku. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku jadi tidak menyadari saat seseorang menyelinap ke arahku, meraih pergelangan tanganku dan menarikku cukup keras sehingga aku jatuh ke dadanya.
"Nah, apa yang kita temukan di sini? Pelacur panas Rudledge?"
Aku menyatukan bibirku menjadi garis yang ketat dan mendorong menjauh dari jangkauan penggangguku. Benar-banar tidak punya waktu untuk berurusan dengan omong kosong yang tidak berharga saat aku punya lebih banyak pikiran untuk dipikirkan. "Menyingkir dari jalanku Tanner!"
"Atau apa?" Dia mengejek, mengambil langkah ke arahku. Aku mundur dengan tidak sadar sebelum menegakkan bahuku dan mengangkat dagu untuk menatap matanya. Meludah ke kakinya karena aku jalang seperti itu.
"Atau aku akan mulai memberi tahu orang-orang kalau kamu tidur dengan Baroness Ludwig." Saat wajahnya berubah menjadi pucat, aku tahu aku sudah menang. "Aku pikir itu artinya kita selesai di sini."
Aku mendorong bahunya, melangkah dengan kesal dan dia tidak menghentikanku lagi. Aku sudah menghadapi banyak pria seperti Tanner, mereka pikir mereka pintar, tapi kebanyakan dari mereka tidak punya otak. Dibanding pria, wanita jauh lebih kejam. Cara para wanita menatap dan berbisik, menyebarkan gosip dan omong kosong di setiap acara dan pesta sosial memastikan aku tidak akan pernah punya kesempatan untuk kehidupan bersuami. Bukannya aku ingin suami, itu tidak pernah ada di daftarku tapi kadang-kadang aku masih terluka, merasa dirampok. Sekarang itu tidak masalah, karena bekerja di Rudledge juga memiliki keuntungannya sendiri. Seperti fakta kamu tahu hampir semua rahasia kotor di Navappo. Orang-orang di sana suka membual dan banyak perjanjian kotor dilakukan, skandal dibuat tanpa malu. Karena jika aku tidak bekerja di Rudledge aku tidak akan pernah mendengar suara erangan Baroness Ludwig yang meneriakkan nama Tanner saat mencapai klimaksnya.
Matahari hampir tinggi saat aku mencapai pasar, dan aku masih harus membeli banyak barang dari daftar. Kami telah kehabisan garam dan sabun. Penjual garam adalah seorang wanita paruh baya yang terlalu baik hati. Dia bersedia menukar sekantung garam dengan panen lobak kebun belakang kami. Namun pemilik toko sabun adalah neraka, secara pribadi aku menyebutnya jalang nomor dua, karena jalang nomor satu adalah istri tukang daging. Alasan kenapa aku tidak terlalu sedih jika aku tidak punya cukup uang untuk membeli daging. Akhirnya setelah aku menghabiskan terlalu banyak koin untuk sebongkah sabun, aku berhasil membujuk penjual parfum memberiku harga yang menyenangkan. Parfum bukan hal yang wajib tapi jika kamu bekerja di Rudledge, kamu perlu beberapa biaya jika ingin menarik pelangan yang cukup menyenangkan.
Beberapa toko lagi hingga aku hanya perlu mendapatkan lilin. Aku menghindari toko lilin sama seperti toko daging. Bukan karena ada wanita jalang di sana, tapi karena Tuan Julian adalah rekan Lazarus. Aku tidak tahu pasti apa yang dilakukan Julian untuk Lazarus tapi aku cukup yakin itu bukan hal yang baik. Jadi saat aku mendorong pintu dan masuk ke tokonya, membunyikan lonceng tua yang berdentang dengan memuakan aku mengharapkan seringai lapar, seolah aku akan pernah membiarkan dia meniduriku. Namun dia tidak menyeringai. Dia berdiri di belakang konternya, terlibat percakapan dengan seseorang yang berpakaian terlalu baik untuk dianggap sebagai warga biasa.
Aku menganbil langkah lebih banyak untuk masuk dan akhirnya perhatian Tuan Julian beralih padaku. Aku ingin bisa mengatakan aku benci toko lilin, tapi nyatanya harum dari lilin aroma terapi yang dibakar di sepanjang dinding memberikan efek lain. Aku berharap bisa membeli beberapa dari itu tapi aku tidak pernah punya cukup koin. Lilin lemak adalah yang terbaik yang bisa aku beli kecuali jika aku bersedia membayar dengan cara lain.
"Gadis itu bekerja di sana," ucap Tuan Julian, dan pria itu berbalik.
Untuk sesaat aku kehilangan pikiranku pada mata hijau yang menyesatkan. Mata yang sekarang terlalu fokus padaku. Dia jauh lebih mempesona dari pada yang dikatakan orang-orang. Dengan rambut cokelat yang ditata rapi, bibir penuh dan tulang pipi tinggi, dia terlihat sombong. Tubuhnya tegap dan berotot, tidak seperti kebanyakan bangsawan yang biasanya memiliki terlalu banyak lemak. Saat Duke Pavel akhirnya mengambil langkah datang padaku, aku pikir jantungku baru saja berhenti.
Rowena Abelar
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top