~7~ ♥※Sampai※♥
%%%________DaT________%%%
~Janganlah pernah mencintai seseorang yang tidak mencintai Allah.
Jika Allah saja ia tinggalkan, apalagi hanya seorang dirimu??!~ (Imam Asy Syafi'i)
**°°____________________°°**
Aryan dan Mika menapaki tangga yang terbuat dari papan dengan sekali-kali mengatur napas yang tersengal-sengal. Ketika sampai di Puncak mereka berdiri membulatkan kedua matanya melihat pemandangan dari sana. Sebuah masjid besar serta asrama-asrama santri/santriwati dan beberapa rumah penduduk menjadi pemandangan yang menakjubkan di kelilingi bukit-bukit kecil dan juga pohon-pohon yang rindang.
Hanya sayangnya tempat itu jauh dari jalan besar sehingga hanya sebuah motor saja yang bisa masuk ke kampung tersebut dari arah terminal dua yang memutar arah lain.
Tetesan hujan mulai menitik jatuh menetes di hidung serta Puncak kepala Aryan dan Mika.
"Wah hujan ni, cepetan Mik sebelum deras." Kata Aryan langsung buru-buru menuruni tangga yang lain diikuti oleh Mika di belakangnya. Dengan mengerahkan tenaga, keduanya berlari sekencang mungkin melewati beberapa kotak sawah, dan akhirnya sampai juga di rumah pertama.
Benar saja ketika mereka baru sampai di salah satu rumah penduduknya, hujan turun dengan lebat memaksa mereka untuk berteduh dulu di depan teras rumah tersebut.
Mika membungkuk mengatur napasnya. "Kita kaya dikejar-kejar setan ya." Candanya. "Untung aja kita udah sampai di sini, coba lo bayangin kalau kita masih belum melintas di jembatan tadi, bisa jatuh ke sungai terus terbawa arus sampai ke Jakarta." Ucapnya lagi sambil kepalanya di miringkan sedikit ke kiri dengan kedua tangannya ia mengusap-usap kepalanya menurunkan air hujan di rambutnya.
Aryan menatap Mika sembari menurunkan sebelah alisnya. "Memangnya sungai tadi arusnya sampai ke Jakarta?" tanyanya dengan polos dan hati bertanya-tanya apa benar sungai itu terhubung sampai ke Jakarta.
"Pppttthh ha..ha!" Mika tidak tahan menahan tawanya yang pecah begitu saja melihat mimik wajah Aryan seperti anak kecil ketika diberi lelucon yang tidak masuk di akal namun dipikirkan dengan keras oleh anak kecil tersebut.
"Gue baru sadar, kalau selama ini si tampan aligator gue ternyata bukan saja bego tetapi mudah juga dibodohi." Ujar Mika masih tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya.
Shit! Umpat Aryan. "Sialan lo." Ucapnya lagi dengan muka yang merah padam entah marah atau telat berpikir, yang pasti dia sedikit malu selalu terjebak dan dibodohi oleh sahabatnya itu.
Karena tawa Mika yang menggelegar, penghuni rumah itu keluar.
Mereka sedikit terkejut menengok ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka dari dalam.
Dengan suara pelan Aryan berkata pada Mika, "lo sih berisik, jadi yang punya rumah marah tuh."
Glekk! Mika dengan berat menelan salivanya.
Mereka kini menatap seorang nenek yang masih berdiri di depan pintu menatap keduanya dengan tajam, tak lama tatapan itu berubah menjadi hangat. "Eh ujang.. ujang mau ke mana? Kalian kehujanan ya, ayo masuk dulu atuh." Ajak nenek itu benar-benar ramah.
Hati Aryan dan mika mulai merasa lega, mereka awalnya mengira kalau nenek itu akan memaki-maki atau marah-marah karena mungkin tidur siangnya terganggu oleh tawa Mika tadi. Namun, ternyata malah dipersilahkan masuk.
"Tidak, terima kasih nek, kami mau ke pesantren AL-HIDAYAH. Tapi karena hujan, kami terpaksa ikut berteduh dulu di sini." Tolak Mika halus dan jadi merasa malu sendiri.
"Oh mau ke pesantren, sudah dekat dari sini mah. Tapi karena hujan, mari masuk dulu di luar dingin, kalau sudah agak reda kalian bisa melanjutkannya ke sana." Ajak nenek itu lagi membuka pintu lebar-lebar mempersilakan masuk ke dalam rumahnya.
Baru saja Aryan hendak menjawab untuk menolaknya lagi, datang seorang pemuda membawa payung menghampiri mereka.
"Assalamualaikum." Pemuda itu memberi salam pada semuanya sambil melipat payungnya.
"Wa'alaikumsalam wr.wb." Jawab nenek itu dengan Mika. Sementara Aryan hanya mengernyitkan keningnya kenapa setiap dia berkumpul dengan orang-orang yang beragama islam selalu memberi salam yang panjang itu, karena di agama kristen hanya salam saja tidak sepanjang itu.
Setelah mencium tangan sang nenek, kini pemuda itu menatap ke arah mereka berdua dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Nek mereka-?"
"Mereka hanya ikut berteduh di sini, berniat ke pesantren Wawa mu." Kalimat Pemuda itu keburu dijawab neneknya.
Pemuda itu tersenyum. "Oh mau ke Pesantren, kalau begitu mari masuk dulu menunggu hujan reda, atau mau sekalian diantar ke sana dengan memakai payung?" dia pun tidak kalah ramahnya pada mereka berdua.
Mika menarik Aryan untuk membelakangi nenek dan pemuda itu, lalu tampak membisikkan sesuatu pada Aryan. "Sepertinya dia juga sepupu Zena, buktinya dia juga memanggil ayah Zena dengan panggilan Wawa."
"Benarkah?" tanya Aryan dengan suara pelan nyaris berbisik juga.
"Yes, jadi sebaiknya kita masuk dulu untuk bertanya-tanya tentang keadaan pesantren, juga tentang sifat semua keluarganya Zena, kalau kita tiba-tiba saja datang langsung melamar, bisa dicincang habis-habisan kita, dan nanti hanya di antarkan sandal dan baju ke orang tua kita di Jakarta." Ujar Mika sedikit mencandai Aryan. Namun kata-kata itu sempat membuat nyali Aryan yang menggebu-gebu jadi menciut begitu saja.
"Benar juga kata lo, kita harus bertanya dulu, apalagi tentang ayahnya mungkin juga galak dan langsung membunuh tanpa ampun." Jawab Aryan setuju dengan apa kata Mika.
Karena mereka berdiskusi cukup lama dan berbisik-bisik, Pemuda itu berdeham. "Ehemm!"
Aryan dan Mika membalikkan tubuh mereka lagi menghadap nenek dan pemuda itu.
"Kalau tidak merepotkan boleh saja nek," jawab Mika tersenyum malu-malu.
"Kalau begitu kenalkan dulu, nama saya Fajar Ali Rizhan," ucap pemuda itu menyodorkan tangannya pada Mika dan Aryan.
"Saya Mika." Jawab Mika menyalami Fajar.
"Dan gue-" Mika menyenggol Aryan agar tidak menggunakan kata-kata elo gue di sana.
"Maksud saya, saya Aryan, senang berkenalan dengan Anda." Ulang Aryan menyalami Fajar, sementara tangan satunya menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.
"Dan ini nenek Dasimah, kalian panggil saja nenek imah." Lanjut Fajar menoleh ke arah neneknya yang tersenyum menatap mereka.
"Cepat ajak mereka masuk, mereka pasti sudah kedinginan." Ajak nenek imah lagi pada cucunya itu.
"Oh iya, mari masuk den..aden."
"Jangan panggil Aden, panggil saja nama biar tambah Akrab." Ujar Aryan.
"Baiklah." Jawab Fajar. Dia mengira kalau Aryan dan Mika berniat menjadi santri di pesantren wawa-nya. Ia tak tahu kalau Aryan datang ke sana ingin menemui Pak Zainal untuk melamar Zena pada beliau.
Mereka berdua akhirnya ikut masuk ke dalam. Di dalam mereka duduk di sebuah sofa dan disuguhi minuman hangat. Aryan tidak terbiasa dengan minuman orang yang baru di kenalnya, apalagi rumah sederhana itu mungkin saja banyak kumannya membuatnya sedikit enggan menyentuh apa-apa.
Fajar duduk di sofa satunya di samping Mika. "Kalau boleh tahu, ada niat apa kalian datang ke pesantren? Apa kalian berniat untuk ikut pesantren menjadi santri-santri di pesantren Al-hidayah?" tanya Fajar melihat tas ransel mereka yang disimpan di lantai di dekat mereka duduk.
Aryan menggelengkan kepalanya. "Tidak, kami ke sini ingin melamar Zena pada kedua orang tuanya yang-" lagi-lagi kalimat Aryan terpotong oleh Mika di saat sikut tangannya menyenggol sedikit pinggir pinggang Aryan. "Aduuhhh! Apaan sih lo, sakit."
Mika berbisik, "lo kok to the point banget sih?"
Aryan malah mengernyitkan keningnya. "Biarin aja, emang niat kita ke sini untuk itu kan." Jawabnya pelan dan tampak tak sabaran.
Percakapan pelan mereka terdengar samar namun sedikit di mengerti oleh Fajar.
"Jadi kalian datang dari mana? Dan sejak kapan kenal sama Zena?" tanya Fajar sedikit memicingkan kedua matanya curiga.
Akhirnya Mika yang menjelaskan semuanya bahwa mereka teman dari kecil Zahra, sengaja datang dari kota Jakarta berniat untuk melamar Zena.
Fajar sedikit terkejut mendengarnya. Ia memegang dagunya dengan jari tangan kanannya tampak berpikir, "kalau masalah itu sepertinya nggak akan berhasil. Saya kasih tau sebaiknya Anda urungkan niat Anda untuk melamar Zena." Ucapan Fajar masih lembut namun benar-benar membuat Aryan dan Mika mengernyit heran.
Aryan menghela napas putus asa. "Kenapa semua orang berkata bahwa aku harus mengurungkan niatku untuk melamar Zena, apa salah jika aku benar-benar tulus mencintainya." Ia menampakkan mimik muka yang kebingungan dan memelas tidak mengerti.
"Kamu tidak salah nak," jawab Nenek dasimah yang datang dari dapur membawa goreng singkong.
"Tapi nek-" kalimat Fajar terhenti ketika melihat sorot mata neneknya terlihat serius.
"Kita tidak boleh asal menebak atau memvonis bahwa niatnya akan ditolak begitu saja, biarkan dia menemui Wawa mu itu dan berbicara empat mata, baru dia akan mengetahui jawabannya." Ujar nenek imah duduk di samping Fajar sambil tersenyum menatap Aryan.
Kata-kata nenek imah benar-benar menyejukkan hati Aryan, benar apa katanya, bahwa dia belum tahu jawaban orang tua Zena, jadi belum saatnya untuk berputus asa.
Nenek imah mengintip dari jendela melihat keadaan di luar. "Di luar. Hujan gerimis, antarkan mereka ke pesantren sebelum malam tiba, nanti jalanan licin dan tidak terlihat jelas kalau gelap." Perintahnya pada Fajar.
"Baik nek," jawab Fajar menurut pada neneknya itu. Dia mengambil tiga payung lalu memberikannya pada Mika dan Aryan.
Setelah berpamitan pada nenek imah, mereka keluar melanjutkan perjalanan menuju pesantren, mereka melangkah dinaungi payung melewati beberapa rumah penduduk yang memang masih bisa di hitung itu.
***♡💞♡***
Pak Zainal tengah duduk di kantor pesantren. Hari itu beliau sedang mendiskusikan sesuatu dengan dua orang penduduk tetua di sana tentang acara muludan di pesantrennya, dan membicarakan tentang penolakan Kepala Desa untuk membuat jalan besar agar perjalanan ke sana lebih mudah dan akan sangat memudahkan urusan para penduduknya dalam angkutan. Penolakan Kepala Desa yang tanpa sebab itu membuat para penduduk mengadu pada Pak Zainal.
Fajar, Aryan dan Mika akhirnya sampai juga di depan gerbang pesantren.
Setibanya di depan gerbang pesantren kedua mata Aryan menyapu sekeliling tempat itu, dia berharap akan bertemu dengan Zena. Namun harapannya hilang begitu saja ketika dia tidak melihat seorangpun di sana.
Mereka bertiga sampai di teras depan ruangan kantor Pak Zainal yang saat itu memang agak sepi, karena semua santri di dalam masjid dan ada juga yang di dalam kamar asrama masing-masing karena hujan.
"Kita tunggu dulu di sini, sepertinya Wawa sedang ada tamu." Ujar Fajar menyuruh mereka duduk di sebuah kursi di samping pintu.
Aryan duduk di kursi tepat di sebelah pintu, tak sengaja ia mendengar sedikit dengan jelas pembicaraan Pak Zainal di dalam sana.
"Tapi bagaimana dengan masa depan anakku nanti kalau nikahan Wa haji, semua iringan akan sulit jika jalan besar ber'aspal tidak segera dibuat." Kata seorang bapak mengadukan acara nikahan anak gadisnya yang akan diadakan besar-besaran itu pada Pak Zainal.
Aryan menurunkan sebelah alisnya, di dalam hatinya dia bertanya-tanya. Mereka sedang mendiskusikan pernikahan siapa? Tiba-tiba saja hatinya menjadi tak tenang.
"Apa dia memang dijodohkan dengan lelaki dari kota Jakarta?" tanya Bapak satunya pengurus Pesantren bernama Bapak Arif.
"Iya, kemarin ketika kami berkunjung beberapa hari ke Jakarta, ada yang langsung melamar anak gadis saya, jadi tanpa pikir panjang saya langsung menerimanya." Jawab Bapak itu pada Pak Arif dan Pak Zainal.
Debaran jantung Aryan bertambah kencang. Jakarta? Lamaran? Pernikahan? Nggak mungkin, ini nggak boleh terjadi. Zena ku nggak boleh menikah dengan pria lain. Batinnya langsung berontak dan tanpa berpikir panjang dia bangkit dari kursi lalu membuka paksa, lebih tepatnya setengah mendobrak pintu itu membuat ketiga Bapak-bapak di dalam benar-benar terkejut, termasuk Mika dan Fajar.
"TIDAK BOLEH, ZENA TIDAK BOLEH DINIKAHKAN DENGAN LELAKI MANAPUN, SAYA YANG AKAN MENIKAHINYA!" teriak Aryan tiba-tiba saja menerobos dari luar.
Pandangannya kini ke arah Pak Zainal yang sontak bangkit berdiri dari kursinya karena kaget.
Bapak itu? Kedua mata Aryan dibulatkan lebar-lebar.
"Heh, siapa kamu? Beraninya masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu, tanpa permisi dan tanpa sopan santun berteriak begitu pada kami!" Bentak Pak Arif hampir ingin menyeretnya keluar saking kagetnya.
Sementara Pak Zainal terdiam menatap dalam wajah Aryan. Ia tampak mengingat-ingat wajah pemuda itu dan merasa pernah bertemu dengannya, pemuda itu bukankah? Selintas ingatannya kembali ke beberapa hari yang lalu di Jakarta.
"KAU!" kata Pak Zainal mengingat di mana mereka pernah bertemu. "Anak tidak tahu sopan santun waktu di market itukan, bagaimana bisa kau ada di sini? Dan mau apa kau kemari?" tanya beliau masih dengan nada normal dan sedikit menahan Amarahnya karena pintu yang sedikit didobrak barusan.
"Saya mau bertemu dengan ayah-nya Zena …-" kalimat Aryan terhenti ketika Fajar sedikit menariknya dan setengah menyeretnya keluar, diikuti oleh Mika yang dari tadi hanya melongo tidak bisa berkata-kata.
"Apa kau gila, tadi yang memakai peci putih itu adalah ayahnya Zena." Ujar Fajar sembari menggelengkan kepalanya.
"Ya.. yang tadi a.. ayahnya Zena?" kata-kata Aryan kini jadi terbata-bata. "Jadi Bapak yang gue terobos di market waktu gue membeli minuman beralkohol itu adalah ayahnya Zena, shit. Mampus gue sekarang." Rutuk Aryan dalam hati mengutuk diri sendiri dan sudah bisa menebak bahwa usaha untuk meluluhkan hati kedua orang tua Zena bakalan sia-sia, apalagi barusan dia hampir saja menghancurkan pintu.
Aryan terkulai duduk di kursi.
"Lo kaga apa-apa tor?" tanya Mika heran kenapa Aryan jadi terlihat lesu begitu, apa karena tadi dia menerobos masuk dan berteriak?
Tak lama kedua Bapak di dalam kini keluar dan menyuruh mereka masuk atas perintah Pak Zainal.
Kini Aryan, Mika dan bahkan Fajar menundukan kepala mereka di hadapan Pak Zainal yang masih duduk di kursi di depan mejanya.
"Wa mereka …," kalimat Fajar terhenti ketika Pak Zainal mengangkat tangan kanannya tidak mau mendengar penjelasan dari Fajar.
Pak Zainal menatap tajam ke arah Aryan. "Pemuda, siapa namamu?" tanyanya dingin.
Aryan dan Mika mengangkat wajah mereka memberanikan diri menatap mata Pak Zainal.
"Saya Pak?" tunjuk Aryan pada diri sendiri.
"Iya kamu, siapa lagi. Bukankah kamu yang tadi mengatakan ingin menikah dengan anak gadisku Zena." Jawab Pak Zainal seakan mencoba menahan terus emosinya.
"I.. Iya Pak, eh Aryan Mirza Pak." Jawab Aryan terlihat gemetaran seolah dia akan dicabut nyawa hari itu oleh Pak Zainal. Keringat dingin mulai membasahi keningnya, pasti Bapak itu akan langsung menolaknya.
"Apa agamamu?" tanya Pak Zainal lagi.
"Kris.. tian (kristen).. Pak." Jawab Aryan masih sedikit tergagap-gagap.
Tatapan Pak Zainal pada kalung salib yang menggantung di leher Aryan.
"Dan kau?" tanya Pak Zainal kini beralih menatap Mika.
"Nama saya Mika Pak, Kalau saya islam, bisa dilihat begitu di KTP saya." (islam KTP loh kho Mika itu)
Pemandangan yang sangat runyam bagi Fajar, jawaban Aryan dan Mika membuat dia menahan tawanya yang hampir saja pecah.
Pak Zainal memijit sedikit pelipisnya. "Kau berdiri dan maju ke depan," perintahnya pada Aryan seperti Pak guru yang menyuruh murid bandelnya mengerjakan tugas di depan papan tulis.
Aryan maju ke depan tanpa banyak tanya, kini dia berdiri di hadapan Pak Zainal.
"Buka celanamu, dan kalian menghadap ke belakang," perintah Pak Zainal menyuruh Aryan membuka celananya dan menyuruh Mika dan Fajar menghadap ke belakang. Keduanya menjadi heran tapi perintah itu langsung saja dituruti oleh mereka berdua.
"Kenapa saya harus membuka celana Pak? Apa hubungannya dengan lamaran saya yang benar-benar serius pada anak Bapak itu." Protes Aryan tidak mau menuruti perintah Pak Zainal dan memang hal itu tidak ada sangkut paut dan tidak masuk di akal baginya.
"Menurut atau keluar." Kini kalimat tegas keluar dari mulut Pak Zainal dan itu memang bukan saatnya main-main.
"Kenapa bapak itu nyuruhku buka celana? Apa dia takut kalau punyaku kecil dan tidak akan memuaskan anaknya nanti?" Gerutu Aryan dalam hati. "Kalau begitu nggak apa-apa deh, nggak ada wanita ini di sini." Perlahan ia memberanikan diri membuka ikat pinggang celananya lalu menurunkan celana sedikit.
"Semuanya." Perintah Pak Zainal lagi ketika melihat Aryan hanya memperlihatkan celana boxer-nya.
Aryan terpaksa memperlihatkan ... nya.
Pak Zainal tampak mengusap-usap dagunya, "pakai lagi." perintahnya lagi pada Aryan.
Aryan memakai lagi celananya, dengan tatapan aneh dia menatap Pak Zainal.
"Kalau kau memang menyukai anak gadisku, kau harus masuk agama islam dan memotong anumu." Kata Pak Zainal sembari mengisyaratkan dua jari tangannya membentuk gunting.
"..............??"
***♡💞♡***
Aryan merenung di dalam kamarnya di mansions kedua orang tuanya di kota Jakarta, dia berpikir ribuan kali apa yang harus dia lakukan sekarang.
"Zena aku benar-benar mencintaimu, namun ...?"
---♣♡💞♡♣---
°°°°_________TBC_________°°°°
Apakah Aryan yang menyerah dan membatalkan lamarannya karena tidak mau dipotong anunya(di sunat), atau Pak Zainal yang memang menolak karena Aryan tidak mau masuk islam?
Revisi ulang* 17~06~2019
By*Rhanesya_grapes 🍇💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top