~37~ ♥※Indah pada waktunya※♥

%%%___DaT___%%%

Dari mushola. Aryan berlari seperti orang gila menuju ke kamar rawat Zena. Kedua matanya dari tadi terus mengalir tak ada hentinya.

"Tak mungkin." Gumam Aryan dengan jantung berdebar kencang.

Sesampainya di depan kamar Zena. Kedua tangannya gemetaran memegang knop besi pintu kamar tersebut. Zenaku? Dan anakku? Aryan membatin masih belum percaya. Perlahan dia membuka pintu lalu melihat Zena yang menutup matanya dan sedang diperiksa.

Sang dokter dan suster tersenyum melihatnya. "Pak Aryan. Selamat telah menjadi Ayah baru, anak Anda dan istri Anda selamat."

Aryan mengusap air mata di kedua pipi dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya. Dia masih tak percaya. Kelahiran Zena diperkirakan besok melihat keadaan serta pembukaan rahimnya. Ternyata Allah berkehendak lain. Saat Aryan mengambil air wudhu. Zena merasakan sakit yang amat lalu dokter berdatangan ke sana.

Saat Aryan salat subuh di saat itu Zena hendak melahirkan dan di saat Aryan berdoa dan menangis. Lahirlah anak pertama mereka yang berjenis kelamin laki-laki.

Aryan menatap Zena yang sedang istirahat.

"Anda tenang saja. Istri Anda tak kenapa-napa. Dia hanya kelelahan dan tertidur. Oh, Putra pertama Anda ada di ruang bayi, tampak sehat dan juga tampan seperti Anda." Ujar sang dokter.

Aryan tersenyum sembari menyalami dokter itu. "Terima kasih banyak dok. Saya takkan melupakan usaha Anda untuk menyelamatkan istri dan bayi saya."

"Sudah kewajiban kami." Ucap dokter kemudian pergi dari sana.

Aryan perlahan mendekati Zena kemudian mengecup keningnya. "Terima kasih sayang. Kamu telah berusaha dan telah memberikan harta paling berharga di hidupku."

Ia kemudian keluar dari kamar rawat untuk melihat keadaan putra pertamanya. Suster mempersilakan Aryan untuk masuk ke ruang bayi lalu menunjukkan bayi mungil yang masih terlihat merah dan juga tampak lelap tertidur. Dia tadi belum sempat mendengar suara tangisan pertama putra tercintanya.

Suster menggendong lalu memberikannya pada Aryan. Sang bayi menggeliat hendak menangis tetapi ketika dipangkuan Aryan. Dia menjadi diam kembali. Mirip denganku? Apakah benar mirip denganku. Selamat datang di dunia ini, putraku. Batin Aryan.

Sang suster menyuruh Aryan untuk meng-adzani putranya untuk pertama kalinya. Ia pun menuruti lalu mengangkat putranya sedikit untuk lebih mendekatkan telinga bayi itu dengan bibirnya. Perlahan dan dengan nada pelan, Aryan mulai mengumandangkan adzan ke telinga mungil itu.

Sang bayi mulai menggeliat kecil kemudian menangis. Aryan terharu mendengar tangisan putranya yang semakin lama semakin keras. Seusai itu, dia menimang kembali bayi mungil itu untuk menenangkannya.

Tak berapa lama setelah tenang. Ia memberikannya pada sang suster. Oh, dia hampir lupa untuk memberitahukan kabar baik itu kepada orang-orang yang dia sayangi.

Melihat putranya ditidurkan kembali. Aryan keluar lalu masuk kembali ke kamar Zena mengambil ponselnya yang ada di saku jaketnya. Namun, belum sempat dia memencet tombol ponsel. Dilihatnya Zena bergerak lalu membuka kedua matanya.

Hilang sudah niat untuk mengabari semuanya. Dia langsung memburu Zena. "Assalamualaikum, dek. Selamat pagi," ucapnya karena melihat hari sudah mulai terang.

"Wa'alaikumsalam. Mas, anak kita …?" nada bicara Zena sangat pelan lalu dipotong oleh Aryan.

"Dia sehat dan baik-baik aja. Sebentar lagi akan aku suruh suster untuk membawanya ke sini,"

"Sudah memberi kabar semuanya?"

Aryan menepuk keningnya sambil nyengir. "Belum, baru aja mau ngabarin lihat kamu bangun. Jadi lupa." Ia langsung menelepon pada Ibunya dan pastinya semuanya akan tahu akan kabar itu.

Semua yang dirumah sangat terkejut sekaligus senang serta bersyukur atas lancarnya kelahiran cucu kedua Nyonya Lynnel.

Siangnya. Semua datang menjenguk Zena, termasuk Zahra, Mika, Bimo dan Andre beserta kedua orang tua Zahra.

Bayi mungil yang masih merah itu digendong bergiliran sama mereka.

Ketika Zahra menggendongnya. Mika berdiri di sampingnya sambil berkata. "Tor, kenapa bayi ini mirip banget ma lo?"

"Lah, Mik. Emang harus mirip siapa?" jawab Andre.

"Pasti karena Zena benci banget ma lo, makanya mukanya mirip banget ma lo tor." Ujar Mika sok tahu.

Aryan mengernyitkan keningnya sambil menoleh menatap Zena.

Bimo juga begitu. "Argumen dari mana lo Mik?"

"Kata orang sunda sih begitu. Katanya kalau anaknya mirip bapaknya. Itu berarti mboknya benci sama suaminya itu," ujar Mika lagi dengan tampang seriusnya.

Aryan mengerjap menatap Zena. "Dek, apa benar begitu? Ketika kamu hamil, benci sama mas?"

Zena mengangguk sambil menahan senyumnya.

"Haahh?" Aryan mengusap wajahnya. Ternyata istrinya itu membencinya saat hamil.

"Ahahahaha!" tiba-tiba semuanya tergelak melihat tampang lesu Aryan.

"Nggak begitu nak Aryan," jawab bunda Ava.

Pak Satrio juga menimpalinya. "Itu berarti kalian memang saling mencintai, apalagi kamu yang paling Cinta pada Zena."

Aryan nyengir mengira pembicaraan yang tadi benar adanya. Mana mungkin Zena membencinya sampai segitunya.

Mika mendekati Aryan lalu menepuk pundaknya. "Lagian, pasti mirip lo lah tor. Masa harus mirip si Bimo yang tampangnya pas-pasan kaya gitu."

"Mulai lo Mik. Mau gue ulek jadi sambel pecel lo ya." Dengus Bimo.

Semuanya tergelak kembali.

Nyonya Lynnel menimang-nimang cucunya itu. "Bella, coba lihat dedeknya. Lucu kan."

"Iya, lutu banget. Lala juga mau dedek balu." Dengan nada cadelnya, Arabella ingin mempunyai adik baru.

"Oho, mba, bang Ezra. Gimana nih, anaknya minta adik baru tuh." Goda Zena.

Aryan juga cekikikan. "Udah, bikin lagi aja dua atau tiga bang."

"Kalian ini. Bikinnya memang gampang, ngeluarinnya yang susah." Jawab Shafa.

"Honey. Tenang aja, nunggu setahun lagi. Bella harus punya temen di rumah." Kata Ezra malah sengaja membuat Shafa tersipu malu.

"Iya, Sha, Ezra. Kasih mamih cucu yang banyak dong. Masa cucu mamih irit banget cuma dua." Rutuk nyonya Lynnel seolah marah tetapi ternyata dia hanya bercanda.

"Tenang Mom. Aryan siap bikin cucu sebelas yang embul-embul dan ucul-ucul." Kata Aryan sehingga mendapat cubitan kecil dari Zena.

Semuanya lagi-lagi tertawa.

Suasana di rumah sakit itu begitu hangat.

***♡💞♡***

Dua hari kemudian.

Zena dan bayinya sudah diperbolehkan pulang. Dan seminggu kemudian, selamatan bayi sekaligus pemberian nama.

Muhammad Arzey Rakhshan. Bayi mungil yang dipanggil Arzey itu kini ditimang-timang lagi oleh keluarga Pak haji Zainal.

Satrio mendekati kakaknya itu. "Kang, cucu pertamanya ganteng sekali."

"Iya, Alhamdulillah Yo. Duh, akhirnya udah bisa menimang cucu. Kamu sih kapan Yo?" goda Pak Zainal.

"Nanti aja lah Kang. Zahra belum selesai kuliah. Lagian, dia belum siap berumah tangga. Masih manja sama aku dan bundanya." Jawab Satrio melihat anak gadisnya tengah bercanda dengan Zena dan yang lainnya.

"Sabar saja Yo. Kalau jodoh juga nggak akan kemana." Kata Pak Zainal masih terus menimang cucu pertamanya itu dengan bangga dan penuh kebahagiaan.

Tiba-tiba. Di hari yang bahagia itu. Masuk seorang pria paruh baya dengan tampang lesu dan terlihat cekungan di kedua mata serta kedua pipinya. Bawah mata yang hitam serta bibir yang terlihat pucat.

Mereka semua mengerjap tak percaya dan benar-benar terkejut. Siapa lagi kalau bukan Tuan Nayef.

Nyonya Lynnel langsung saja mendekati dan menyeretnya keluar. Dengan kesal dan marah. "Kenapa kau datang ke sini? Apakah kau ingin menghancurkan kebahagiaan anakku?!"

Tuan Nayef menggelengkan kepalanya lemah.

"Lalu?"

Ketika Tuan Nayef hendak berbicara. Mendadak kepalanya pening lalu hampir terjatuh. Untung saja, istrinya itu sempat menahannya agar tidak terbentur tembok.

"Tolong! Semuaaaaa!" teriak Nyonya Lynnel menahan tubuh Tuan Nayef.

Semua yang ada di sana langsung berlarian keluar. Aryan dan Ezra terkejut melihat Tuan Nayef pingsan. Keduanya menggotongnya lalu ditidurkan di atas sofa.

"Cepat panggilkan dokter!" kata Nyonya Lynnel panik.

Shafa langsung menyambar ponselnya lalu menelepon dokter.

"Kenapa dia Mih?" tanya Ezra heran.

"Entahlah. Dia belum berbicara sedikitpun, sudah pingsan." Jawab Nyonya Lynnel aneh dan tak mengerti.

Sementara keluarga Zena tak mengenal siapa pria itu.

Satrio mendekati kakaknya. Dengan nada pelan. "Kang, itu adalah Ayahnya Aryan."

"Ayahnya Aryan? Jadi dia …," Pak Zainal seolah tak bisa bicara apa-apa lagi.

Masih dengan nada pelan. Satrio berbicara dengan kakaknya. "Iya, dialah yang menentang pernikahan Zena dan Aryan sekaligus tak mau Aryan masuk agama islam."

Zena memegang lengan kanan Aryan. Terlihat sekali kekhawatiran dalam wajahnya.

Aryan mengerti kekhawatirannya itu. "Kau tenang saja. Semua akan baik-baik saja." Jawabnya penuh keyakinan. Karena, jika Ayahnya itu berani membuat kekacauan di sana. Dia takkan tinggal diam dan akan terus memberontak seperti dulu.

Di dalam ketegangan itu. Tak lama datang sang dokter lalu langsung memeriksa Tuan Nayef.

Setelah selesai.

"Bagaimana keadaanya Pak Dokter?" tanya Nyonya Lynnel terlihat cemas. Beberapa bulan ini, dia dan suaminya yang akan menjalani sidang perceraian minggu depan itu jarang atau lebih tepatnya sudah tidak saling bertemu. Bahkan pelayan kepercayaan Nyonya Lynnel di mansion pun sudah dipecat dari sana. Jadi dia tak lagi mengetahui kabar dan keadaan mansion serta Tuan Nayef.

"Beliau tidak apa-apa. Hanya saja, perutnya kosong dan juga kurang tidur, serta mengalami stres ringan. Sebaiknya biarkan Tuan perbanyak istirahat." Jawab sang dokter.

"Jadi, tak ada yang perlu di khawatirkan dok?" tanya Shafa mengembuskan napasnya lega.

Dokter menggelengkan kepalanya. "Jangan lupa beri Tuan vitamin untuk kesehatan dan kebugaran tubuhnya lagi, lalu jauhkanlah dari banyaknya pikiran yang akan membuatnya menjadi stres berat." Ujarnya lagi sembari menuliskan vitamin apa yang cocok untuk kondisi Tuan Nayef.

Nyonya Lynnel hanya mengangguk. Lalu Ezra mengantarkan sang dokter keluar.

Semuanya kini menatap Tuan Nayef yang bergerak kecil. Telah tersadar dalam pingsannya.

"Aryan. My Son," kata itulah yang kini keluar dari bibir Tuan Nayef.

Nyonya Lynnel dan Aryan mengernyit bingung.

Kenapa dan ada apa dengannya?

Perlahan Tuan Nayef membuka kedua matanya yang kini terlihat jelas merah dengan kantung mata yang hitam. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Banyak wajah-wajah asing di sana.

Nyonya Lynnel mendekatinya. Dengan nada terdengar sadis. "Jika kau ingin merusak kebahagiaan kami. Sebaiknya kau pulang saja dan akan ada yang mengurusmu di rumah besarmu it-"

Mendadak Tuan Nayef bangkit dari baringannya lalu memeluk Nyonya Lynnel. "Aku mohon maafkan aku. Huhu, aku menyesal telah menyakiti kalian. Aku menyesal telah melakukan hal yang tak pantas untuk dilakukan sebagai seorang Ayah. Jadi, aku mohon maafkan aku."

Semua orang terkejut. Ada apa dengannya dan kenapa dia menangis di sana dengan meminta maaf? Apakah dia telah menyadari kesalahannya? Maka dari itu dia telah menyesal.

Nyonya Lynnel merasa risi dengan pelukan itu.

Aryan melepaskan tangan Zena pelan lalu mendekati kedua orang tuanya. "Kami tidak percaya, aku tidak akan pernah memaafkanmu, kau tak patut dipanggil Ay-"

"Mas!" Zena tiba-tiba menyela dengan nada sedikit tinggi membuat Aryan kaget. Selama ini Zena tak pernah menaikan nada bicaranya.

"Dek?" Aryan menatap Zena yang berjalan mendekatinya.

Zena memegang tangan Aryan. "Mas, Ayahmu sudah mengucapkan kata maaf. Maka maafkanlah. Tidak baik menyimpan dendam apalagi itu kepada kedua orang tua kita,"

"Tapi dek-"

"Iya nak Aryan. Allah saja maha pemaaf. Kenapa kita sebagai manusia tidak bisa memaafkan." Potong Pak Zainal tersenyum.

Aryan jadi kebingungan. Kenapa semua orang kini malah menyalahkannya? Padahal dia merasa kalau Ayahnya tak pantas untuk dimaafkan.

Zena semakin erat menggenggam tangan Aryan. "Mas, tolonglah. Maafkanlah, kalau bukan demi aku. Demi Arzey, anak kita."

Aryan menoleh menatap anaknya yang kini ada di pangkuan Umi Fatma. Hatinya jadi terenyuh dan tak tega. Dia juga kini sudah menjadi seorang Ayah. Jika dia yang melakukan kesalahan dan anaknya tiba-tiba tak mau memaafkan, sudah pasti hatinya akan teriris juga.

Tuan Nayef langsung saja merangkul dan memeluknya erat dengan tangisan yang semakin pecah. Ia bahkan hendak berlutut di hadapan Aryan seandainya anaknya itu tak segera menahannya.

"Maafkan Daddy nak. Daddy sudah banyak berbuat tak adil padamu. Selama ini Daddy terus saja membuntuti, memata-matai sampai berbuat hal yang membuatmu pantas untuk membenciku. Tapi, untuk kali ini saja. Daddy mohon maafkanlah Ayah yang jahat dan tak berguna ini." Isak Tuan Nayef.

Aryan tak terasa ikut meneteskan air mata melihat Ibunya menangis haru di dekatnya. Bahkan semua yang ada di sana juga ikut menangis. Tangannya yang masih menggenggam tangan Zena semakin erat seolah tak mau melepaskannya. Sementara tangan kiri yang bebas menepuk-nepuk punggung Ayahnya.

"Baiklah, karena aku juga sudah menjadi seorang Ayah. Jadi, akan aku maafkan kau Pah." Panggilan Daddy yang dirasanya sudah terasa canggung menjadi Papih.

"Hhmmm."

Semuanya mengembuskan napas lega.

Tuan Nayef melepaskan pelukan Aryan lalu mendekati Erza. Ia juga memeluknya dengan erat. "Apakah kau juga mau memaafkan pria yang selama bertahun-tahun ini telah merebut Ibumu? Merusak masa kecilmu dan menghancurkan kebahagiaanmu," tanyanya lirih.

Jika semua memaafkannya. Kenapa Erza tak bisa. Apalagi ketika melihat Bella memeluk paha Shafa karena tak tahu apa yang terjadi di sana. Lalu melihat senyum serta anggukan istrinya itu membuat hatinya kembali terbuka dan dengan mudahnya dia memaafkan pria yang memang selama bertahun-tahun dari semenjak dia kecil telah menyakitinya itu.

Semuanya kembali tersenyum bahagia.

Nyonya Lynnel menyuruh Shafa membawakan makanan untuk suaminya. Tuan Nayef memperkenalkan diri pada Pak Zainal sang besannya itu. Beberapa saat kemudian, suasana tegang pun menjadi cair dan semakin dekat.

Mereka bahkan tertawa bercanda seolah sudah saling mengenal lama.

Tuan Nayef dan Nyonya Lynnel tertawa bahagia. Tuan Nayef menggendong Arzey, sementara nyonya Lynnel menggendong Bella.

"Cucu kita sungguh tampan dan cantik ya." Kata Tuan Nayef bahagia. Tak pernah dia merasakan kebahagiaan seperti saat ini.

Nyonya Lynnel tersenyum. "Ya, seandainya kita jadi bercerai. Sudah pasti kebahagiaan ini takkan pernah kita rasakan dan pasti terasa ada yang kurang."

Tuan Nayef menatap istrinya itu. "Maafkan aku. Karena selama ini tak pernah mau mengerti perasaanmu terpisah dari anak kandungmu sendiri. Baru kurasakan saat Aryan pergi dan merasa dia takkan pernah kembali lagi. Aku benar-benar minta maaf."

"Aku sudah memaafkanmu dari dulu. Karena anak-anakku sudah memaafkanmu juga." Jawab Nyonya Lynnel tersenyum manatap balik suaminya itu.

"Kakek, aku pengin gendong juga sama kakek." Kata Bella sambil memainkan kedua tangannya malu-malu.

"Benarkah?" tanya Tuan Nayef tersenyum.

Bella mengangguk masih dengan malu-malu.

"Kalau begitu turun dulu." Kata nyonya Lynnel.

Bella turun dari pangkuan neneknya. Lalu nyonya Lynnel menggendong Arzey.

"Sini, kakek gendong ya. Uuh, Bella berat sekali ya. Makan apa sih?" goda Tuan Nayef.

"Aku nggak gendut ko kek. Cuma makan cokelat sama banyak es klim." Jawab Bella cadel sangat lucu sekali.

"Hahaha," Tuan Nayef tergakgak mendengar Bella bicara. Dia mengecup pundak kepalanya. "Akh. Menggemaskan sekali cucuku ini."

"Siapa dulu dong neneknya." Jawab nyonya Lynnel bangga.

Dari kejauhan. Erza dan Shafa menatap kebahagiaan mereka.

Shafa memeluk lengan Erza. "Aku tak menyangka kalau kebahagiaan ini akan datang juga."

"Sebenarnya aku belum bisa sepenuhnya memaafkannya. Tetapi, mendengar kalau dia telah menganggapku sebagai anaknya dan terlihat tulus. Akhirnya aku tak tega merusak kebahagiaan Aryan dan juga Ibuku." Jawab Erza melihat ke arah Aryan yang tak jauh darinya.

"Kau telah melakukan hal yang benar sayang." Kata Shafa mengusap pinggir lengan Erza.

Ternyata hal sama juga dipikirkan oleh Aryan dan Zena.

Aryan juga menatap kedua orang tuanya. "Kau tau dek. Selama ini aku selalu berpikir kalau pernikahanku akan terjadi seperti pernikahan bisnis. Rumah tanggaku mungkin akan seperti yang lainnya,"

"Memangnya rumah tangga kita seperti apa?" tanya Zena menggodanya.

"Rumah tangga kita jauh dari apa yang kubayangkan semuanya. Terasa indah dan istimewa. Aku memang beruntung mendapatkan wanita sepertimu. Bukan hanya itu, kau telah melengkapinya dengan menghadirkan Arzey di kehidupanku. Rasanya-"

"Rasa vanilla," goda Zena lagi.

"Lebih dari itu," jawab Aryan tersenyum. "Kau adalah pemilik hatiku dan juga takdirku. Allah benar-benar telah memberikan aku nikmat yang tiada tara dan ternyata apa yang dijanjikan-Nya adalah benar. Siapa yang menanam kebaikan serta memperbaiki diri. Maka dia akan mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara. Kesabaran itu Indah dan akan Indah pada waktunya."

Zena tersenyum sembari menyandarkan kepalanya ke bahu Aryan. "Aku juga sangat berterima kasih padamu mas. Karena kau mencintaiku serta menyayangiku tanpa syarat."

Aryan tersenyum dengan embusan napas lega dan kebahagiaannya itu takkan dibiarkan hilang. Dia akan selalu berdoa dan lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Selalu bersyukur tentang apa yang dia miliki dan tentang apa yang Allah berikan padanya. ANUGRAH TAK TERHINGGA DAN KEBAHAGIAAN YANG TERASA SEMPURNA.

------------TAMAT------------ 


Akhirnya tamat juga. Alhamdulillah hirobbil Alamin.
Maaf ya, nggak akan ada epiloge jhehe. Soalnya lagi fokus untuk nyelesaiin SOL.

Sukron Jajilan. Katir... katirr...

Terima kasih untuk semua yang selalu mendukung cerita ini dari awal. Memang banyak kesalahan dan keganjalan. Insya Allah akan dirombak jika ada niat diterbitkan..

Sampai jumpa di ceritaku yang lainnya.

Huangkyu dan love u all.

💜😊😘💞

New up* 18~07~2019

By* Rhanesya_grapes 🍇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top