~35~ ♥※Berkorban※♥

%%%_____DaT_____%%%

Sore hari.

Ketika hasil pemeriksaan sudah keluar tadi pagi. Kini sore harinya operasi pendonoran ginjal Tuan Nayef dilakukan.

Nyonya Lynnel tampak gelisah dan tegang sekali menunggu di depan ruang operasi. Terus dan terus berdoa untuk keselamatan suaminya dan …

Satu jam lebih dia menunggu. Akhirnya operasi pun berhasil dan dokter pun keluar.

"Dok, bagaimana?" tanya Nyonya Lynnel harap-harap cemas.

"Anda jangan khawatir. Semuanya berjalan lancar. Namun, Tuan Nayef masih dalam masa kritis. Jika dalam dua puluh empat jam ini belum sadar juga. Maka akan dipindahkan ke ruang ICU." Jelas Dokter Wijaya.

"Lalu, bagaimana dengan menantu saya?" tanya Nyonya Lynnel lagi.

"Oh, dia akan segera dipindahkan ke ruang rawat. Dan dalam beberapa jam ini pasti akan segera sadar." Jelas dokter Wijaya lagi.

"Alhamdulillah Ya Allah." Nyonya Lynnel mengucap syukur pada Allah.

Tak berapa lama. Datang Shafa bersama dengan Bella dengan sebuah rantang makanan di tangan kirinya.

"Mamih, gimana keadaan Zena?" tanya Shafa khawatir.

"Operasinya lancar. Sebentar lagi Zena akan dipindahkan ke kamar rawat inap dan kata dokter dia akan segera siuman." Jawab Nyonya Lynnel.

"Oh, Alhamdulillah Ya Allah." Shafa mengucapkan syukur juga.

Mereka langsung menuju ke ruang rawat inap di mana ruangannya dengan ruangan ICU agak berjauhan.

Ternyata yang cocok ginjalnya dengan Tuan Nayef adalah Zena. Dan dia bersedia mendonorkannya tanpa sepengetahuan Aryan.

Kini Nyonya Lynnel dan Shafa serta anaknya duduk di kursi kamar rawat Zena menunggunya tersadar.

"Sha, apakah Aryan sudah menghubungi Hp Zena atau Hp-mu?" tanya Nyonya Lynnel khawatir.

"Belum Mih, mudah-mudahan aja mas Ezra atau Aryan menghubungi ke sini setelah Zena siuman. Setidaknya bisa membuat Aryan sedikit tenang tentang keadaanya."

Tak berapa lama. Zena siuman juga.

"Zena, kamu sudah siuman sayang." Kata Nyonya Lynnel memburu ke arahnya.

"Apakah operasinya lancar Mih?" tanya Zena cemas. Meski keadaannya seperti itu.

"Lancar sayang. Mamih sangat berterima kasih padamu. Kenapa kamu harus menyembunyikan semua ini dari kami?" tanya Nyonya Lynnel heran.

Memang benar. Operasi itu tanpa sepengetahuan Nyonya Lynnel ataupun Shafa. Zena sengaja diam-diam memeriksa apakah ginjalnya cocok atau tidak kemarin. Setelah dokter mengatakan kecocokannya. Maka dia pergi ke rumah sakit tanpa sepengetahuan Shafa juga.

Ketika operasi dilangsungkan. Baru Nyonya Lynnel diberitahu siapa yang mendonorkan ginjalnya itu. Sudah pasti Nyonya Lynnel sangat terkejut lalu menghubungi Shafa.

Shafa yang mengira kalau Zena ada di rumahnya terkejut juga mengetahui kalau Zena memang tak ada di rumahnya.

"Mba kira kamu masih di rumah. Pantas aja dipanggil-panggil nggak menjawab. Kalau saat itu Aryan menelepon, sudah pasti mba bakalan bingung mau bilang apa." Kata Shafa khawatir dan bingung.

Zena tersenyum tipis. "Maafkan aku mba. Aku bukan sengaja menyembunyikannya dari kalian." Ucapnya pelan.

"Sudahlah. Jangan dulu banyak bicara, istirahatlah biar cepat pulih-"

Kalimat Shafa terpotong oleh suara ponselnya. Ezra yang menelepon.

"Mas Ezra. Apa yang harus aku katakan padanya Mih?" tanya Shafa bingung tak langsung mengangkatnya.

Zena menyuruh mengangkatnya. "Katakan saja kalau aku terjatuh dan pinggangku terkena sudut lantai yang tajam. Jadi aku dibawa ke rumah sakit kemudian dijahit pinggangnya supaya mas Aryan nggak curiga mba."

"Apakah harus begitu?" tanya Shafa bingung.

Nyonya Lynnel mengangguk. Dia tak mau menambah salah paham antara Aryan dan Ayahnya.

Shafa menggeser tombol hijau untuk mengangkatnya. "Assalamualaikum. Mas?" sapanya sedikit gugup.

"Kalian ada di mana? Di sini Aryan sudah kaya kebakaran jenggot aja karena Hp Zena nggak aktif-aktif."

"Oh, Hp-nya mungkin habis baterainya. Nih Zena ada di sini ko."

"Kalau begitu, kasihkan pada Zena."

Shafa dengan ragu-ragu menyodorkan Hp-nya pada Zena.

Ternyata Aryan juga merebut Hp Ezra.

"Assalamualaikum,"

"Wa'alaikumsalam. Sayang, kenapa Hp-nya nggak aktif?" tanya Aryan terdengar khawatir.

"Habis baterainya mas. Aku belum melihat Hp-ku lagi,"

"Memangnya apa yang kamu lakukan dan di-" belum selesai Aryan bertanya. Datang suster ke kamar itu.

"Maaf nona. Anda tak boleh banyak bicara dulu dan kata dokter harus banyak istirahat." Kata sang Suster menyuntikkan obat penahan rasa sakit ke dalam infusan.

"Dokter? Rumah sakit? Memangnya kamu kenapa sayang?" tanya Aryan terdengar panik.

"Nanti mba Shafa akan jelaskan semuanya mas. Maaf, aku tak bisa banyak bicara la-gi." Pengaruh obat tidur yang di dalam cairan infus begitu cepat bereaksi.

Shafa mengambil lagi handphone dari tangan Zena yang mulai tertidur. "Hallo, Ar."

"Mba, coba jelaskan. Kenapa dengan Zena dan ada apa? Kenapa dia dibawa ke rumah sakit? Apa dia sakit parah?"

Shafa menyuruh Bella duduk bersama dengan neneknya lalu dia keluar dari kamar rawat Zena untuk menjelaskannya pada Aryan seperti apa yang disepakati dengan Zena. Dia terpaksa berbohong demi Zena dan juga Ayah mertuanya.

***♡💞♡***

Dua hari kemudian.

Zena sudah diperbolehkan pulang dan saat itu Tuan Nayef siuman juga.

Tuan Nayef mengedarkan pandangannya ke sekeliling dinding yang seluruhnya putih itu. Dia masih merasakan rasa ngilu pada pinggangnya.

Dilihatnya Nyonya Lynnel duduk di sofa tak jauh darinya dan kini menatapnya dingin.

Tuan Nayef hendak bangkit tetapi masih lemah.

"Tidak usah bangun. Keadaanmu masih belum stabil," kata Nyonya Lynnel masih dengan nada dingin.

"Kenapa kau ada di sini? Apakah kau masih peduli padaku saat aku begini dan begitu mudahnya kau meninggalkan aku waktu itu," kata Tuan Nayef masih kesal.

"Kenapa aku di sini? Karena aku masih punya rasa kemanusiaan. Tak sepertimu,"

Tuan Nayef mengembuskan napasnya bosan. "Jika kau ke sini hanya untuk bertengkar. Sebaiknya kau pergi sana."

"Aku memang akan pergi. Karena tak ada artinya aku bicara dengan orang yang tak punya hati sepertimu meski seseorang sudah berkorban tanpa memikirkan kejahatan apa yang telah dia lakukan padanya." Ujar Nyonya Lynnel bangkit dari duduknya.

"Kau …?! Uhukk... uhukkk..." karena kesal. Tuan Nayef hendak bangkit dari baringannya tetapi pinggangnya benar-benar masih terasa ngilu. Dia tak mengerti apa yang diucapkan oleh istrinya itu karena mereka belum resmi bercerai.

"Suster! Pasien sudah siuman." Kata Nyonya Lynnel di ambang pintu.

Tak lama dokter dan suster pun datang dan Nyonya Lynnel pergi dari sana.

Di rumah Aryan dan Zena.

Shafa membantu Zena baringan di atas ranjangnya. "Hati-hati Na. Jangan terlalu banyak bergerak."

Tiba-tiba saja terdengar suara mobil berhenti dan juga suara pintu pagar dibuka dengan tak sabaran.

Shafa dan Zena yang ada di lantai dua tampak mengernyitkan keningnya. Mereka berdua mengira kalau Ibu mertua mereka yang datang.

Namun, ternyata itu Aryan yang datang.

"Sayang, kau tak kenapa-napa kan?" dari ambang pintu, Aryan berburu pada Zena yang saat itu sedang sandaran ke sandaran ranjang. Dia langsung saja menggenggam tangan Zena lalu mengecupnya.

Zena tersenyum heran. "Kenapa mas sudah pulang? Bukankah satu minggu di Singapore. Seharusnya dua hari lagi kan?"

Ezra tersenyum di ambang pintu. "Kami menyelesaikannya dengan cepat, sampai bergadang. Jadi langsung pulang cepat juga."

Zena mengembuskan napasnya sambil menggelengkan kepalanya. "Aku sudah tidak apa-apa mas. Kenapa memaksakan diri menyelesaikan pekerjaan mas?"

"Coba jelaskan semuanya. Kenapa kau bisa terjatuh dan ujung lantai yang mana yang melukaimu sampai dijahit di pinggangmu itu?" tanya Aryan masih penasaran dan tampak tak percaya kalau istrinya bisa seteledor itu.

Shafa menghampiri suaminya. "Kalian ngobrollah sambil melepas rasa rindu. Kami pulang dulu, Bella tidur sendirian di rumah."

"Makasih banyak mba sudah mau merawatku di rumah sakit." Ucap Zena.

Shafa tak mau banyak bicara lagi. Dia hanya tersenyum sembari mengangguk. Lalu pergi bersama dengan Ezra ke rumahnya.

Di tangga keduanya masih bisa mendengar pertanyaan Aryan yang bertubi-tubi pada Zena.

"Mas, istirahatlah. Nanti aku ceritakan semuanya. Aku ingin istirahat juga." Terdengar Zena sedikit menghindar dari semua pertanyaan Aryan.

"Ah, maafkan mas. Karena panik tak memikirkan keadaanmu saat ini. Istirahatlah, mas mau mandi dulu."

Zena mengangguk lalu membenarkan posisi tidurnya.

Aryan bergegas masuk ke dalam kamar mandi.

Di rumah sebelahnya.

"Shafa, coba kau ceritakan semuanya apa yang terjadi pada Zena," kata Ezra tampak serius.

"Seperti yang sudah diceritakan bahwa Zena jatuh dan-"

"Aku tau dia mendonorkan ginjalnya pada Tuan Nayef kan," potong Ezra ternyata sudah tahu semuanya.

Shafa menatapnya aneh. "Dari mana mas tau semua itu?"

Ezra melonggarkan dasinya lalu duduk di atas sofa ruang TV. "Karena mas mempunyai orang suruhan di mana-mana. Karena khawatir meninggalkan kalian yang hanya tiga orang wanita. Jadi, aku menyuruh orang kantor untuk terus memantau keadaan kalian di sini. Ternyata Zena dan Mamih pergi ke rumah sakit dan-"

"Iya, itu benar." Akhirnya, Shafa menjelaskan semuanya.

Tak lama datang Nyonya Lynnel dan mendengar semua pembicaraan mereka. "Mamih mohon padamu Ezra, jangan sampai Aryan tau kebenaran ini. Karena dia bisa saja membenci Ayahnya seumur hidupnya. Kita tau kalau Zena melakukan ini tanpa sepengetahuan kita. Tetapi, bagi Aryan. Zena dipaksa untuk menyelamatkan nyawa Ayahnya yang dulu hendak mencelakakan Zena."

"Apa?! Mencelakakan Zena. Bagaimana ceritanya?"

Karena Nyonya Lynnel keceplosan. Akhirnya dia menceritakan semuanya dari awal pertama Aryan bertemu dengan Zena dan masuk islam.

***♡💞♡***

Beberapa minggu kemudian Tuan Nayef sudah boleh keluar dari rumah sakit. Hatinya benar-benar masih tidak mengerti kenapa Zena, gadis yang dibencinya mau mendonorkan ginjal untuknya?

Dia pulang ke mansionnya hanya disambut oleh para pelayannya saja tanpa ada keluarganya. Kekosongan mulai merayapi hatinya. Ia pun tak mau pergi ke kamar, hanya merenung di ruang kerjanya.

Di rumah Aryan dan Zena. Di hari libur.

Ketika Zena sedang memasak di dapur untuk makan siang. Aryan datang menghampirinya. "Sayang, kenapa memasak? Kita pesan makanan aja seperti biasanya."

"Aku sudah sembuh mas. Bukankah dokter mengatakan aku sudah bisa beraktivitas kembali," jawab Zena tak mau dimanja terus dan bosan tanpa melakukan apa-apa.

"Baiklah, terserah padamu. Tapi, harus hati-hati jangan sampai jatuh lagi." Aryan masih waswas dan tak mau kalau Zena mengalami luka seperti itu lagi.

Tinggg... tonggg...

Aryan mendengar suara bel gerbang depan dipencet. Dia bergegas melihat siapa yang datang di pagi hari begitu. Bibirnya tersenyum melihat ketiga sahabatnya dan juga Zahra yang datang.

"Wooy, bukain dong. Kalau kaga, gue dobrak nih gerbang!" kata Mika bercanda.

"Iya-iya bentar. Kaga sabaran amat sih." Jawab Aryan berlari ke gerbang.

Keempatnya masuk ke dalam.

"Loh, si Mika kemana? Ko nggak datang sama kalian?" canda Aryan terlihat serius.

Mika menunjuk-nunjuk hidungnya sendiri. "Gue di sini woyy, lo udah buta apa Tor?"

"Hoo, lo Mika toh. Kenapa warna kulit lo jadi geseng kaya gitu."

"Wahh, itu mah seriusan lo. Bukan candaan lagi." Jawab Mika tampak cemberut.

"Ahahaha!" semuanya tergelak.

"Bener tuh. Bang Mika jadi mandor di Bandung bukannya putih malah jadi orang Afrika." Ledek Zahra tertawa.

"Kalau gue kaga diakui lagi. Ya udah, gue pamit." Kata Mika ingin pergi lagi dari sana.

"Haha, canda Mik. Serius amat lo. Yang pasti gue berterima kasih buat lo Bapak mandor yang baik. Karena udah menyelesaikan misi membuat jalan di kampungnya istri gue." Kata Aryan merangkul leher Mika.

"Beneran terima kasih?" kata Mika tak percaya.

"Terima gaji yang ada sih lo." Sambung Andre.

"Iya, item-item juga dia udah jadi mandor." Bimo masih saja meledek.

"Jangan bawa-bawa item kenapa sih?" sewot Mika.

"Udah-udah. Ayo masuk semua. Kebetulan istri gue sedang masak. Jadi kalian bisa rasain masakan Zena hari ini." Ajak Aryan.

"Wahh, kebetulan yang Indah. Bisa merasakan masakan istri lo lagi Yan." Kata Bimo girang.

"Bagaimana dengan keadaan pinggangnya Zena, bang Yan?" tanya Zahra mengikuti Aryan masuk ke dalam.

"Tanya aja sendiri sana. Dia lagi ada di dapur, sekalian bantuin masak ya Ra." Kata Aryan.

"Ok, boss." Jawab Zahra langsung menuju ke dapur.

"Na," sapa Zahra.

"Loh, Zahra yang datang. Gimana kabarnya?" tanya Zena senang melihat kedatangan adik sepupunya itu.

"Kamu yang gimana kabarnya?" Zahra balik bertanya.

"Alhamdulillah. Sudah baikan Ra. Sama siapa datang, rame amat di depan?" tanya Zena mendengar suara gelak tawa di ruang tamu.

"Biasalah, F4 sedang berkumpul," jawab Zahra meraih buah-buahan yang belum dicuci. "Gimana kalau kita bikin sop buah untuk cuci mulut makan siang nanti."

"Bagus itu. Kamu potongin aja buah-buahannya. Nanti tinggal ditaruh di kulkas biar dingin. Di Freezer juga ada eskrim berbagai rasa buat pelengkapnya."

"Ciee, perhatian banget bang Yan nyiapin semua kebutuhan rumah kaya buat anak kecil aja." Goda Zahra.

"Kita berdua kan suka eskrim Ra. Jadi apa salahnya beli bermacam-macam rasa biar nggak cepet bosen." Jawab Zena bercanda.

"Hehe, bener juga sih." Jawab Zahra mulai mencuci buah-buahan itu lalu dipotong dadu kecil-kecil.

Ezra, Shafa dan Bella datang juga ke sana. Sementara Nyonya Lynnel sedang keluar ada urusan.

Mereka semua makan siang dan bercanda tertawa di sana sampai malam tiba.

Setelah semuanya pulang.

Zena sedang duduk di atas ranjangnya sembari membenarkan rambutnya.

Aryan yang datang dari kamar mandi langsung duduk di pinggir ranjang lalu tiduran di atas paha Zena.

"Besok kita harus ke rumah sakit buat periksa jahitanmu itu Dek,"

"Iya-iya, aku ngerti mas," jawab Zena membelai rambut Aryan.

"Dek, apa kamu merasa akhir-akhir ini sikap Mamih agak berubah,"

"Akh, perasaan mas aja kali," sanggah Zena tahu apa penyebabnya.

"Ya mungkin. Mas takut kalau Mamih ada masalah terus nggak ngomong ama kita,"

"Sudahlah, nggak usah dipikirkan masalah itu. Kalau ada apa-apa juga biasanya Mamih bicara langsung sama kita," lagi-lagi Zena menyanggahnya. "Oh ya. Gimana kerjaan di kantor mas? Apakah lancar?" ia mencoba mengalihkan pembicaraan tanpa Aryan sadari.

"Lancar sih. Cuma ada sedikit kendala dan sebentar lagi, akan segera teratasi." Jawab Aryan tersenyum penuh misteri.

Jauh di mansion Tuan Nayef.

Malam-malam begitu semua karyawan kepercayaannya kini berkumpul di ruang kerjanya.

"Bagaimana bisa kalian ceroboh masalah ini!" Tuan Nayef tampak marah-marah pada karyawannya.

"Maaf boss. Masalah yang kemarin belum teratasi, sudah datang lagi masalah ini. Jadi, semua ini diluar kendali kami." Jawab salah satu dari mereka.

"Benar Tuan. Serangan dadakan ini sepertinya sudah direncanakan jauh-jauh hari dan juga di saat kita kehilangan nilai-nilai saham kita." Jawab Sekretarisnya bingung.

"Aku hanya di operasi. Kenapa kalian tidak bisa menyelesaikannya saat aku tak ada- uhuukkk... uhukkk...!" karena marah-marah. Tuan Nayef tampak tak kuat daya tahan tubuhnya. Apalagi semenjak operasi itu, dia tak seaktif yang dulu.

Kepala pelayan khawatir akan kesehatan Tuan Nayef. Jadi dia menyuruh semuanya untuk pulang saja. Nanti semuanya akan dibicarakan lagi besok saat kesehatannya sedikit membaik.

Tuan Nayef juga tak bisa banyak bicara. Dia memang membutuhkan istirahat yang total, apalagi masalah datang secara berturut-turut dan bertubi-tubi menimpanya.

Kembali ke rumah Ezra.

Saat itu Ezra masih di ruang televisi sendirian. Dia tampak masih berkutat di depan layar laptopnya mengetik-ngetik sesuatu.

Hanya tinggal selangkah lagi. Aku akan bisa mengalahkanmu Pak Tua. Kau yang selama ini membiarkan dan membuangku dalam kemiskinan dan juga kehilangan kasih sayang seorang Ibu. Sudah giliranmu untuk menebusnya dan merasakan penderitaan yang tak pernah kau rasakan selama ini.

Bahkan saat kau tahu bahwa menantu yang sangat kau benci telah mendonorkan ginjalnya untukmu. Tapi sampai saat ini kau tak datang untuk minta maaf atau berterima kasih padanya. Kau memang pantas untuk hancur. Rasakan ini Pak Tua. Pembalasan dariku anak tirimu dan juga anak kandungmu sendiri.

Ezra menekan tombol enter sambil tersenyum penuh kepuasan.

"Mas, belum belum selesai kerjanya?" kata Shafa turun untuk mengambil minum dan menemukan suaminya masih duduk di sana.

"Sudah ko. Hoaammss, akh lelahnya." Jawab Ezra menggeliat sambil menguap lalu menutup laptopnya.

"Mau aku buatkan susu jahe?" tanya Shafa.

"Boleh, biar tidurnya nyenyak." Jawab Ezra sambil beranjak dari duduknya lalu menghampiri Shafa. Mengecup keningnya sekilas kemudian naik ke lantai dua.

Shafa tersenyum lalu pergi lagi ke dapur membuatkan susu jahe hangat untuk suaminya itu.

                      ---♣♡💞♡♣---

°°°°____TBC____°°°°


New up* 18~07~2019

By* Rhanesya_grapes 🍇


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top