~32~ ♥※Keputusan※♥

%%%_____DaT_____%%%

Allah menurunkan penyakit, pasti dengan penawarnya. Begitu juga dengan masalah pasti ada jalan keluarnya (In syaa Allah).

             ---♥♡💞♡♥---

Setelah beberapa hari di Jakarta. Aryan dan Zena pulang ke Bandung. Dan pagi itu ketika sampai di rumah mereka menceritakan tentang keadaan ibunya. Bahkan tentang rencana kepindahan serta kakaknya Erza.

Semuanya sedikit terkejut mendengarnya. Namun, mau bagaimana lagi, setelah mendengar cerita lengkapnya mereka pun mengerti bahwa keadaanlah yang memaksa Aryan untuk berpisah dengan kakaknya, dan kini mereka sudah bersama lagi dan itu membuat mereka ikut bahagia.

Pak Zainal tampak berpikir.

"Jika Abi tak mengizinkan dan saya harus mengurus sawah serta terus tinggal di sini, maka sekarang juga saya akan menelepon abang Erza untuk membatalkan semuanya di kota dan akan menjelaskannya juga." Ujar Aryan dengan nada pelan sembari menunduk takut. Sebagaimanapun juga dia harus meminta izin pada mertuanya itu.

Umi Fatma hanya tersenyum melihatnya.

"Abi memang takkan mengizinkannya," Jawab Pak Zainal tegas membuat Aryan menghela napasnya berat.

"Abi takkan mengizinkannya jika nak Aryan pergi tanpa membawa istrimu Zena," lanjut Pak Zainal membuat Aryan mengangkat kepalanya menatap tak percaya.

"Jadi Abi mengizinkannya?" tanya Zena terlihat senang juga.

Umi Fatma ikut bicara juga. "Kami sebagai orang tua malah bangga jika kalian meminta izin pada kami. Meski kalian sudah suami istri tapi masih meminta izin dan mendiskusikannya bersama kami itu adalah hal yang langka bagi anak zaman sekarang."

"Dan karena semua demi masa depan kalian. Jadi kami mengizinkannya. Namun, ada satu syarat," kata Pak Zainal menatap Aryan.

Aryan masih menelan salivanya susah payah.

"Kalian harus sering berkunjung ke sini," lanjut Pak Zainal. Hati Aryan yang dagdigdug tak menentu menjadi tenang kembali.

"I.. itu pastinya Abi." Jawab Aryan tersenyum.

Semuanya merasa tenang mendengar hal itu.

Setelah salat zuhur. Aryan, Mika dan Fajar duduk di saung di tengah sawah, dan seperti biasa mereka mengobrol sembari memandang pemandangan di sana.

Semilir angin berembus mengoyangkan dedaunan serta padi yang sudah tumbuh menghijau serta subur.

Aryan menatap pemandangan di sana sembari tersenyum lalu mengembuskan napasnya berat. "Padi sebentar lagi akan menguning. Namun, sepertinya aku nggak akan ada di sini,"

"Apakah ketika hari panen tiba kau tidak bisa datang? Ini kan semua hasil jerih payahmu, Yan." Tanya Fajar jauh memandang hamparan sawah yang hijau.

"Iya tor. Masa lo kaga ada di sini, sebentar lagi tor padi akan menguning. Dan di saat itu juga tugas gue jadi mandor membuat jalan selesai." Ujar Mika menoleh menatap Aryan yang tampak bingung.

Aryan tersenyum. "Iya juga sih. Hanya tinggal dua minggu lagi padi menguning, dan pastinya gue akan datang ke sini. Insya Allah." Ucap Aryan tersenyum.

Zena dan Zahra datang ke sana membawa makanan. Zahra duduk di antara Mika dan Fajar, sementara Zena di sudut saung di dekat Aryan.

"Ra. Kamu besok bareng kami ke Jakarta kan?" tanya Aryan.

Zahra mengangguk. "Hari ke tujuh nenek imah sudah kan kemarin. Jadi ya ikut pulang lah, aku kan harus Kuliah," jawab Zahra menopang dagunya dengan tangan kanannya.

"Oh iya. Coba ceritakan tentang bang Erza sama mba Shafa. Serta anaknya itu siapa namanya?" tanya Zahra lupa lagi.

"Arabella." Jawab Zena tersenyum.

"Ya. Arabella, lihat dari fotonya lucu banget," kata Zahra, "dan ibunya juga cantik banget." Tambahnya melihat foto mereka dari Ponsel Aryan.

Aryan dan Zena menceritakannya secara bergantian.

---♡💞♡---

Pagi-pagi semua sudah siap-siap berangkat ke Jakarta.

Aryan, Zena dan juga Zahra sudah berdiri di depan rumah untuk berpamitan.

"Jaga Zena baik-baik nak Aryan. Dan Nak Aryan jaga kesehatan juga di sana," kata Umi Fatma.

"Insya Allah itu pasti Umi." Jawab Aryan membungkuk sopan sembari mencium punggung tangan Umi Fatma serta memeluk Pak Zainal.

Zena dan Zahra juga memeluk Umi Fatma "Ra. Bilang sama ayah bundamu, kalau nanti panen padi harus datang ke sini." Ucap Umi Fatma.

"Insya Allah Umi. Nanti Ra sampaikan pada ayah bunda." Jawab Zahra.

Aryan memeluk Fajar. "Makasih ya atas semuanya dan maaf sudah banyak merepotkanmu selama di sini,"

Fajar tersenyum sembari menepuk-nepuk punggung Aryan. "Tak usah bicara begitu. Kita kan saudara. Dan jangan lupa sering ngabarin dan main kemari."

Aryan hanya mengangguk, ia pun bergantian memeluk Mika.

Mika berbisik padanya. "Ngapain lo meluk gue kaya yang nggak akan ketemu lagi, gue kan sebentar lagi balik ke Jakarta." Candanya.

"Ya siapa tau lo nambah lagi jadi dua tahun di sini." Canda Aryan juga.

"Gue lumutan di sini dong tor."

Aryan hanya tersenyum.

Setelah pamitan pada semuanya. Mereka naik mobil pesantren diantar Mika ke terminal.

Siangnya mereka sampai di Jakarta. Zahra dijemput oleh Satrio, sementara Aryan dan Zena naik angkot lagi menuju kompleks perumahan Erza.

Sesampainya di sana mereka disambut oleh Nyonya Lynnel dan juga Shafa serta Arabella.

"Maaf ya Ar, tak bisa jemput. Abangmu ada urusan sebentar." Kata Shafa.

"Tak apa mba. Lagian bang Erza pasti sibuk mengurusi berkas-berkas penting." Kata Aryan memaklumi.

"Kalian masuklah, sebentar lagi makan siang." Ajak Nyonya Lynnel senang.

Mereka semua masuk. Ponsel Shafa berbunyi, ia pun mengangkatnya.

Baru saja Aryan dan Zena duduk untuk membicarakan akan menyewa rumah. Shafa tampak tergesa-gesa menghampiri mereka sembari memberikan dua buah kain penutup mata.

"Apa ini mba?" tanya Aryan aneh.

"Kalian harus pakai ini. Mas Erza mau memberi kalian sebuah kejutan," jawab Shafa tersenyum penuh misteri.

Aryan dan Zena malah mengernyitkan keningnya heran.

"Ayo pakai," ucap Shafa lagi tampak tak sabar.

Aryan menghela napasnya lalu memakai penutup mata itu.

Aryan di bimbing oleh nyonya Lynnel, sementara Zena oleh Shafa untuk berjalan keluar.

"Sebenarnya kejutan apa sih Mih?" tanya Aryan penasaran.

"Tunggu sebentar. Tidak sabaran sekali sih anak mamih ni." Canda Nyonya Lynnel.

"Buka ya. Mam pleasee," bujuk Aryan ingin membuka penutup matanya.

"Iihhh. Sabar sedikit sayang." Ucap nyonya Lynnel menepis tangan Aryan yang hendak membuka penutup matanya itu.

"Mba," Zena masih berjalan hati-hati dibimbing oleh Shafa.

"Iya Na,"

"Bukankah ini kejutan untuk mas Aryan. Kenapa aku juga ditutup matanya?" tanya Zena heran.

"Kejutan buat kalian berdua, bukan hanya buat Aryan saja." jlJawab Shafa masih tersenyum.

Tak lama kemudian mereka berhenti.

"Apa sudah bisa dibuka?" tanya Aryan benar-benar tak sabaran.

Nyonya Lynnel membuka penutup mata Aryan, begitu juga Shafa membuka penutup mata Zena.

Aryan menatap sekeliling. "Bukankah ini rumah sebelah yang kosong?" tanyanya melihat ke sebelah adalah rumah Erza.

"Maksudnya apa mba?" tanya Zena tak mengerti juga.

Tiiddddd..!!

Tiba-tiba sebuah mobil yang dihias pita besar sudah parkir di depan rumah itu. Keluarlah Erza dari dalam mobil menghampiri mereka.

"Ternyata semua sudah berkumpul di sini," kata Erza tersenyum mencium Arabella yang ada di gendongan Shafa.

"Bang. Sebenarnya ada apa ini?" tanya Aryan masih bingung.

Erza memberikan dua kunci padanya.

"Apa ini?" tanya Aryan menatap aneh pada semuanya.

"Kunci mobil," jawab Erza singkat. Dan malah membuat Aryan semakin tanda tanya.

"Aku tahu bang ini kunci mobil, tapi-"

"Itu kunci mobilmu," tunjuk Erza pada mobil berpita yang barusan dibawanya, "dan satu lagi kunci rumah ini." Lanjutnya sembari menepuk kedua pundak Aryan lalu membalikkannya menghadap rumah.

"Maksudnya?" Aryan masih mencerna setiap kata-kata yang diucapkan kakaknya itu.

Shafa mengerti tentang kebingungan adik iparnya itu. Ia merebut kunci rumah yang ada di genggaman Aryan. "Kalian ngobrol lah. Mba akan membawa masuk Zena ke dalam." Ia langsung menuntun Zena diikuti oleh nyonya Lynnel.

Setelah semuanya masuk, Erza menarik Aryan untuk duduk di kursi yang ada di halaman.

Aryan masih menatap aneh pada kakaknya itu.

"Begini ya Ar. Kamu kan akan bekerja lagi dengan abang, dan abang udah tahu kalau kau akan menyewa rumah di kota ini. Daripada menyewa rumah jadi abang beliin rumah ini buat kalian agar kita bisa bersebelahan."

"Tapi bang, aku nggak bisa menerimanya. Aku ingin rumah hasil jerih payahku sendiri," tolak Aryan halus dan pelan namun menunjukan keberatannya.

Erza menepuk sebelah pundak Aryan. "Abng tau kau pasti akan mengatakan hal itu. Makanya abang sekalian membuatkanmu kertas ini," ia menyodorkan sebuah map.

Aryan meraih lalu membuka map itu. Dibacanya dari barisan pertama, surat rumah atas nama Aryan. Dan di kertas lainya surat dari perusahaan. "Di cicil?"

"Ya. Kau boleh mencicilnya, dari setiap gaji perbulanmu akan dipotong. Anggap aja kalian mencicil rumah ini sampai nanti lunas, dan bukankah itu hasil dari kerja kerasmu,"

Setelah mendengar hal itu senyum mengembang di bibir Aryan. "Dengan mobil juga?" tanyanya menoleh menatap mobil Innova hitam metalik.

Erza menggelengkan kepalanya. "Itu adalah hadiah pernikahanmu. Dan kau tak boleh menolaknya karena sebagai kakak, abang sudah lama ingin membelikannya untukmu dan juga istrimu,"

Aryan malah bengong.

"Jadi pleasee jangan menolaknya, sudah cukup rumah ini kau tolak dari uang abang. Namun, jika mobil kau tolak juga maka abang akan benar-benar marah." Canda Erza. Namun, dengan nada ancaman.

Aryan memeluk Erza sangat erat karena sangat terharu. "Makasih bang. Aku beruntung sangat beruntung mempunyai kakak seperti abang,"

Erza masih menepuk-nepuk punggung Aryan sambil berujar, "jangan terlalu erat meluknya, bisa-bisa abang mati di tangan adik sendiri."

Aryan melepaskan pelukannya.

"Kalau begitu. Ayo masuk lihat-lihat rumah baru kalian, dan besok kalian belanja lah untuk isinya. Jangan khawatir masalah isi dapur kakak iparmu sudah melengkapi semuanya. Kalau kursi dan lainnya biar istrimu yang memilihnya, ajak belanja kali-kali istrimu itu." Kata Erza melingkarkan lengannya di pundak Aryan.

Mereka berdua masuk. Malamnya mereka bakar-bakar lagi di depan halaman rumah baru Aryan dan Zena.

Awalnya Zena tidak mau tinggal di sana karena tak enak dibelikan rumah sama kakak ipar. Namun, ketika Aryan menjelaskan semuanya, ia juga mengerti perasaan sayang seorang kakak pada adiknya dan akhirnya mau tinggal disana.

---♡💞♡---

Pagi-pagi setelah salat subuh Zena membuatkan sarapan untuk Aryan. Itu adalah hari pertama Aryan masuk kerja.

Ketika Zena tengah menyiapkan sarapan dan menaruhnya di atas meja, Aryan datang dengan pakaian yang sangat rapi. Jenggot yang panjang sudah dipotongnya dan terlihat lebih tampan dari pertama bertemu dengan Zena.

Dia tersenyum lalu duduk di depan meja makan, menghirup harum masakan yang disajikan Zena.

"Ternyata suamiku sangat tampan ya," puji Zena tersenyum.

"Hmmm baru sadar ya kalau suamimu ini tampan, kemarin ke mana aja dek?" canda Aryan menantapnya dengan senyuman.

Sembari menggosok-gosok kedua tangannya, ia tak sabar untuk menyantap makanan yang ada di depan matanya itu.

"Makanlah mas, bukankah hari ini mas harus berangkat lebih awal ke kantor bang Erza?" tanya Zena.

Aryan mengangguk. "Semenjak kita menikah, ini hari pertama mas pergi meninggalkanmu sendiri dek, jadi kalau ada apa-apa segera hubungi mas," kata Aryan menyodorkan sebuah ponsel baru.

"Ingat kalau ada apa-apa segera hubungi mas," lanjut Aryan masih terlihat khawatir. Itu hari pertama Zena di sana sendiri di rumah baru,

"Kenapa mas khawatir sekali, di sebelah kan rumah mba Shafa sama mamih." Kata Zena menenangkan Aryan.

Aryan tersenyum sembari garuk-garuk kepalanya. "Ya wajar dong kalau khawatir."

"Iya-iya tau. Makanlah yang banyak biar kerjanya semangat."

Setelah sarapan Aryan berpamitan, di depan pintu tak lupa Zena mencium tangan Aryan dan dia mengecup kening Zena.

"Mas berangkat ya. Hati-hati di rumah. Assalamualaikum wr.wb." Kata Aryan melambaikan tangannya.

"Wa'allaikumsalam. Zena tersenyum sembari membalas melambaikan tangan juga. Hari itu karena hari pertama bagi Aryan, dia ikut mobil Erza.

Setelah melihat mobil menghilang dari pandangan, Zena hendak masuk kembali ke dalam. Namun, Shafa yang tengah membuang sampah ke depan melihatnya lalu memanggilnya, "Zena,"

Zena menoleh ke rumah sebelah di mana Shafa melambaikan tangannya, "Na sini, mba ada perlu sama kamu," panggil Shafa tersenyum.

Zena mengangguk. Ia berjalan ke pagar samping di mana ada pintu tengah untuk ke rumah Shafa.

"Selamat pagi mba, ada apa?" tanya Zena.

"Sini Na. Hari ini mba mau buat kue untuk selamatan rumahmu, jadi kamu mau bantuin mba kan?" tanya Shafa.

"Biar di rumah aku aja mba. Nggak enak ngerepotin mba," kata Zena malu sendiri dan belum terbiasa.

"Kamu ini bicara apa sayang. Tenang aja hanya bikin kue kan karena mas Erza sudah pesan makanan dari Catering, jadi kita bisa bikin kue yang kita inginkan buat nanti." Ajak Shafa menggandeng tangan Zena masuk ke dalam rumahnya.

Begitu hangatnya sikap Shafa dan juga mamih Lynnel sehingga Zena tak merasa mereka hanya kakak ipar dan seorang mertua.

Mereka di dapur penuh dengan gurauan dan juga candaan serta cerita ini dan itu. Dari pertama bertemu dengan suami mereka sampai pergi ke mana saja.

Bahkan nyonya Lynnel juga menceritakan kisah dia dengan suami pertamanya ayah Erza yang meninggal, sampai menikah dengan Tuan Nayef dan melahirkan Aryan.

---♡💞♡---

Aryan sampai di kantor baru Erza. Dia diperkenalkan oleh Erza pada para staf baru diperusahaan itu.

Semua staf menyambut hangat Aryan membuatnya merasa malu karena itu hari pertamanya bekerja di kantoran.

Dia dibawa Erza keruangannya sendiri. "Ini adalah ruang kantormu dan sebelah ruang kantor abang. Jadi kalau ada apa-apa kamu ke sebelah saja." Kata Erza.

Aryan memeluk Erza lagi. "Makasih bang, kalau nggak ada abang. Entah bagaimana nasibku."

Erza malah mengacak-acak rambut Aryan sambil mencandainya. "Hmmm adik kecil abang kini jadi manja begini, sedikit-sedikit meluk abang, nanti ujungnya malah jatuh Cinta sama abang,"

"Idihh, abang bicaranya bikin ngeri." Ucap Aryan bergidik langsung melepaskan pelukannya.

"Hahaha. Habisnya sedikit-sedikit terima kasih, udah abang banyak kerjaan hari ini dan pasti butuh bantuanmu," kata Erza berjalan menuju pintu.

Ia berhenti di depan pintu lalu menoleh lagi. "Awas kalau mengucapkan terima kasih lagi, abang akan jadi kakak yang paling kejam."

Aryan hanya tersenyum sembari mengepalkan tangannya lalu memukul pelan sebelah dadanya tanda mengerti dan sehati.

Di perusahaan Tuan Nayef.

Semua staf tampak tegang.

Sekretaris Tuan Nayef kini duduk di depan meja kerjanya dan terlihat gugup.

Kerugian besar untuk pertama kalinya bagi perusahaan Tuan Nayef karena kalah saing dengan sebuah perusahaan baru.

"Bagaimana bisa perusahaan kita yang nomor satu di seluruh penjuru Kota dan Negara kalah dengan sebuah perusahaan baru, bahkan tak ada yang tahu dari mana asal-usul boss perusahaan itu-"

Kalimat Tuan Nayef dipotong sekretarisnya. "Maaf tuan menyela, tapi Anda pasti tahu siapa pemilik perusahaan baru itu," ucap Romi, sekretarisnya itu.

"Siapa?" tanya Tuan Nayef memicingkan matanya.

"Erza Alvando Mortis." Jawab Romi.

"Mortis?!" Tuan Nayef tampak terkejut mendengar nama itu.

"Seperti yang sudah saya katakan pada Anda tuan, bahwa istri Anda kini telah tinggal bersama dengan anak pertamanya Erza yang tinggal juga dengan istri dan anak perempuannya yang masih kecil."

Ternyata selama ini Tuan Nayef terus mengirim mata-mata untuk memata-matai nyonya Lynnel. Mereka belum resmi bercerai dan persidangan itu akan segera dilaksanakan.

Tak ada berita yang tak pernah diketahui olehnya. Namun, kepindahan Aryan ke rumah baru di sebelah rumah Erza dia belum mengetahuinya karena masih baru.

Di dalam hati Tuan Nayef. "Ternyata perusahaan baru yang bisa menyaingi dan membuat kerugian perusahaanku adalah perusahaan anak tiriku sendiri. Baiklah, tunjukkan kemampuanmu padaku, Erza."

Tuan Nayef menyuruh Romi keluar dari ruangannya. Dia harus memikirkan cara untuk mengalahkan atau membuat bangkrut perusahaan baru itu. Tapi dia tak ingin dengan cara licik, dia ingin menunjukkan bahwa perusahaan Erza takkan bisa menyainginya terus.

Di perusahaan Mortis.Co.group.

Di jam istirahat.

Erza berjalan keruangan Aryan. Ia tersenyum melihat keseriusan adiknya dalam bekerja hari itu. Ia membuka pintu lalu hanya menengok ke dalam. "Ar, makan siang dulu."

"Abang duluan aja, nanti aku menyusul, sedikit lagi selesai." Jawab Aryan membereskan berkas-berkas yang berserakan di depan mejanya itu.

"Ya udah. Abang tunggu di kafe sebelah kantor ini." Kata Erza menutup kembali pintu lalu pergi duluan ke lantai bawah menuju sebuah kafe baru di sebelah kantornya itu.

Aryan menghirup udara dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Ia pun bergegas menuju ke kafe untuk makan siang.

Aryan berjalan keluar gedung menuju kafe, tak sengaja ia berpapasan dengan Belvia yang hendak masuk juga ke kafe itu.

"Aryan." Sapa Belvia tak percaya bisa bertemu dengan Aryan lagi.

"Belvia?"

Keduanya berdiri saling menatap.

                           ---♣♡💞♡♣---

°°°°_____TBC_____°°°°








Revisi ulang* 17~07~2019

By* Rhanesya_grapes 🍇


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top