~31~ ♥※PERTIMBANGAN※♥

%%%_____DaT_____%%%

Aryan dan Erza masuk ke dalam ruang rawat nyonya Lynnel. Di sana mereka melihat kalau nyonya Lynnel sudah siap untuk dibawa pulang. Pastinya ke rumah baru Erza.

Erza menepuk pundak Aryan sambil berbisik. "Pikirkan sekali lagi. Dan nggak lupa kau harus minta persetujuan istrimu pastinya."

Aryan hanya mengangguk sembari menoleh menatap Zena.

Nyonya Lynnel tersenyum menatap semuanya, terasa lengkap sudah keluarganya. Masalah dengan suaminya sudah tak membuatnya pusing dan tak dipikirkan lagi akan berakhir seperti apa.

"Aryan. Kapan kamu akan pulang ke Bandung?" tanya nyonya Lynnel.

Erza yang menjawab. "Sepertinya Mamih mau kamu cepat pulang Ar," candanya.

"Dihh bukan begitu Za. Mamih kan hanya bertanya, biar Zena sama Shafa belanja untuk oleh-oleh semuanya di Bandung." jawab Nyonya Lynnel tersenyum.

Aryan tampak kebingungan. "Untuk hari ini kami akan menginap di hotel aja Mom." Jawabnya melirik Zena seolah meminta pendapatnya.

Dan Zena sudah mengerti bahwa suaminya meminta persetujuannya, ia pun mengangguk.

"Baguslah kalau begitu, biar nanti malam kita bisa mengadakan makan-makan bersama di rumah Erza." Kata Nyonya Lynnel senang.

"Sudahlah, kita bahasnya nanti aja setelah tiba di rumah." Ucap Erza menggendong anak perempuannya yang bernama ARABELLA KENISHA.

Nyonya Lynnel dibantu oleh Shafa dan Zena berjalan. Sementara tas pakaiannya dijinjing Aryan.

Mereka menaiki mobil Kijang rover milik Erza.

Erza yang menyetir, di sampingnya Aryan. Di barisan kedua, Bella yang dipangkuan Shafa, Nyonya Lynnel di tengah dan Zena di pinggir jendela satunya di belakang Aryan.

Mobil melaju ke daerah komplek perumahan baru daerah Jakarta Selatan.

Shafa yang cerewet selalu bertanya ini dan itu tentang keadaan di Bandung serta semua keluarga Zena. Maklum saja dia yatim piatu dan ketika Kuliah di Amerika karena mendapat beasiswa, akhirnya bertemu dengan Erza sehingga setelah Sarjana mereka memutuskan untuk menikah dan mempunyai seorang anak perempuan.

Satu jam dari rumah sakit, Akhirnya mereka sampai di rumah baru Erza. Ternyata komplek itu bersebelahan dengan Komplek Mika. Serta tidak seberapa jauh dari mansions Tuan Firouz.

Ketika mobil berhenti. Aryan melihat keadaan sekitar dari kaca mobil.

"Bang. Apa nggak ada tempat perumahan lain selain di komplek ini?" tanyanya terlihat tak senang.

"Memangnya kenapa Ar?" tanya Erza heran.

"Karena perumahan ini dekat dengan Mansions ayahnya." nyonya Lynnel yang menjawab dengan nada pelan.

Erza tersenyum. "Aku kira nggak dekat. Bahkan aku nggak tau, tapi karena hanya perumahan ini yang dekat dengan kantor. Jadi nggak ada tempat lain lagi yang senyaman dan sedekat ini dengan tempat kerja," jawabnya seolah menyembunyikan sesuatu.

"Dan satu lagi. Kalian kan memutuskan untuk tidak bersangkutan dengannya lagi. Jadi apa salahnya jika punya rumah di daerah sini?" tanya Erza merasa aneh.

Aryan dan nyonya Lynnel tampak berpikir sejenak. Nyonya Lynnel juga tidak tahu kalau Erza memesan rumah di komplek itu karena ketika bertemu dengannya dia berada di rumah sakit.

"Gimana? Masih mau turun?" tanya Erza lagi tak bisa memaksa mereka untuk masuk ke rumah barunya.

Aryan tersenyum. Begitu juga nyonya Lynnel.

Mereka turun dari mobil. Langsung masuk ke rumah itu.

Melihat dalam rumah semuanya tersenyum. "Wiihhh. Hebat sekali rumah ini, sederhana tapi antik semua." Kata Aryan kagum dengan perabot serta hiasan-hiasan yang terlihat biasa namun barang langka.

"Ya. Barang import semua lah." Canda Erza.

"Mamih istirahatlah. Aku dan Zena akan berbelanja untuk nanti malam," ujar Shafa mendudukkan nyonya Lynnel di sofa.

"Ke mana?" tanya Aryan cepat.

Erza melihat reaksi wajah Aryan ketika mendengar Shafa mau membawa Zena berbelanja. "Tenang aja, ada minimarket di ujung komplek ini. Jadi kamu nggak usah takut Ar. Lagian kaka iparmu itu bisa bawa mobil,"

"Iya Ar. Nggak usah takut. Mba nggak akan nyulik Zena kho." Canda Shafa juga.

Aryan hanya nyengir lebar.

Zena dan Shafa berangkat ke mini market.

Nyonya Lynnel diantar Erza untuk istirahat di kamar Atas sebelah kamarnya.

Setelah Shafa dan Zena pergi berbelanja.

Aryan dan Erza duduk di kursi yang terletak di Taman depan.

"Kalian tidur lah dulu di sini. Ada dua kamar kosong di bawah." Kata Erza tak mau kalau Aryan tidur di hotel.

"Tapi istriku sangat pemalu bang, jadi mungkin untuk malam ini kami di hotel dulu sambil membicarakan masalah yang abang tawarkan." Jawab Aryan.

Erza terdiam, dia tak bisa memaksa Aryan serta istrinya untuk tidur di sana walau hanya semalam.

Tiba-tiba ponsel Aryan berbunyi. Dilihatnya panggilan dari Mika.

"Siapa?" tanya Erza.

"Mika," jawab Aryan.

"Ya udah, kamu angkat aja. Abang mau lihat mamih dan menanyakan mau makan apa nanti malam.l"

Aryan mengangguk langsung mengangkat panggilan dari Mika, sementara Erza naik lagi menuju ke kamar nyonya Lynnel.

Baru saja ponselnya menempel di telinga, Mika sudah berteriak-teriak dari seberang seperti biasa.

"Woyyy. Aligator! Lo nyampe Jakarta atau balik lagi ke Australia?!"

Mika bertanya begitu karena dari kemarin tak ada kabar dari Aryan.

Aryan seperti biasa menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Woyyy.. Woyyy..!" Karena Aryan tak cepat menjawab. Mika masih teriak-teriak.

"Iya ini gue. Gimana kabar di sana?" tanya Aryan selalu tersenyum jika mendengar suara Mika

"Masih sibuk buat nyiapin tahlil hari ke tujuh almh nenek imah. Tor lo tau kaga? Tadi ada yang mati di depan pesantren."

"Yang bener lo?" tanya Aryan kaget dan takut kalau yang mati saudara Zena atau salah satu santri di sana.

"Iya. Tadi pagi pas gue mau ngontrol para pegawai di jalan. Eh liat yang lagi sekarat kejang-kejang tor. Sampai gue lihatnya juga ngeri,"

"Gue tanya siapa yang mati?" tanya Aryan tak sabaran dengan jantung tak keruan.

"Kambing tetangga!" jawab Mika dengan nada sedih di telinga Aryan.

"Sialan lo. Kirain siapa," jawab Aryan merasa lega.

"Tapi dia juga makhluk hidup tor. Matinya di depan mata gue lagi,"

"Udahlah. Percuma gue ngomong ma lo," ucap Aryan malas.

"Haha.. Sorry.. Sorry.. Gitu aja ngambek. Eh iya gue cuma mau nanya gimana kabar ibumu?"

"Mommy udah pulang ke rumah, dan lo takkan percaya gue ketemu dan berada di rumah siapa sekarang," kata Aryan membuat Mika jadi balik penasaran.

"Gue nggak akan nanya. Karena gue tau kalau lo mau balas gue masalah kambing itu kan," jawab Mika jadi waswas dan Shu'udzhon sendiri.

Aryan jadi ikut tertawa, padahal dia tidak berniat membalas lelucon Mika. "Kalau begitu, gue juga nggak akan ngomong ada di rumah siapa sekarang,"

"Emang lo sekarang di rumah siapa?" akhirnya Mika bertanya juga karena penasaran. "Jangan bilang lo di rumah bapak lo itu," terkanya.

"Di rumah bang Erza," jawab Aryan.

"Bang Erza? Maksud lo bang Erza kakak lo itu?" tanya Mika dengan nada tak percaya.

"Yuppp,"

"Hahaha.. Lo mau balas gue ya masalah kambing itu sampai lo ngomongnya ngelantur, mana mungkin bang Erza ada di Indo dan punya rumah juga," Mika masih tak percaya pada apa yang Aryan katakan.

"Lo nggak percaya?"

"Kaga,"

Kebetulan Erza baru turun dari tangga, menghampiri Aryan.

Karena Aryan lama tak menjawab, Mika memanggil-manggilnya. "Woyy, ketauan lo balas ngerjain gue ya, gue serius masalah kambing tetangga. Lah lo masalah yang mustahil, mana gue percaya,"

Aryan memberikan ponselnya pada Erza. Dan Erza jadi tersenyum mendengar lagi suara Mika.

"Mika gimana kabarnya? Masihkah godain bule-bule di tanah air juga seperti di Amerika?" Canda Erza.

Mika jadi bengong hampir tak mempercayainya."Bang Erza? Benarkah ini bang Erza kakaknya si Aligator?"

Erza sampai tertawa mendengar Mika masih memanggil adiknya Aligator. "Iya ini abang. Mentang-mentang sudah jadi mandor di Bandung lupa ya sama suara abang." Ia masih menggoda Mika.

Meski di telepon, Mika jadi malu sendiri. "Maaf bang. Belum bisa berpelukan, soalnya sedang menyelesaikan tugas membuat jalan di Bandung,"

"Siapa yang mau memeluk lo, alergi kulit yang ada!" teriak Aryan mendengar pembicaraan mereka.

"Weyy, Tor. Lo kalau jauh berani ngomong kaya gitu. Kalau dekat lo seperti kucing sama pemiliknya, nempel terus," balas Mika tak terima.

"Dan lo kucingnya!" balas Aryan menyuruh Erza membuka speaker ponsel.

Semuanya jadi tertawa.

"Tor, nanti dulu ya. Gue mau bantuin si Fajar datang bawa belanjaan," kata Mika hendak mengakhiri obrolan mereka.

"Oh iya. Kapan selesai pembuatan jalan dan kapan kembali ke Jakarta?" tanya Erza.

"Insya Allah mungkin dua minggu lagi bang," jawab Mika belum yakin karena mungkin kurang dari dua minggu melihat pegawainya bertambah dan juga tinggal setengah jalan lagi, "Tor. Lo berapa hari di sana?"

"Mungkin besok kami pulang Mik, bilangin pada Umi nanti kami menelepon,"

"Ok kalau begitu. Salam pada Tante."

"YO." Jawab Aryan.

Merekapun menutupnya.

"Kirain si Mika kalau di Indo udah berubah," kata Erza menyodorkan ponsel pada Aryan.

"Seperti nggak hapal aja perangai dia bang," jawab Aryan tersenyum.

Tak lama suara pintu gerbang terbuka, Shafa dan Zena sudah pulang membawa banyak belanjaan.

Aryan menghampiri mereka di depan pintu. "Apa ada belanjaan lain di mobil?"

"Masih banyak Ar," jawab Shafa.

"Ada gelas juga mas, jadi hati-hati bawanya," sambung Zena.

"Baiklah," jawab Erza yang datang mendekati mereka juga, ia menepuk pundak Aryan agar mengangkutnya bersama-sama.

---♡💞♡---

Malamnya, Bulan hampir Purnama. Angin malam menyejukkan mereka di Taman belakang, Jakarta yang suhunya sedang panas, ketika di luar terasa sejuk terkena embusan angin.

Zena dan Shafa di dapur sedang mengiris dan membumbui daging serta ayam yang akan dibakar. Sementara nyonya Lynnel sedang memangku cucu pertamanya Arabella.

Aryan dan Erza sedang menyalakan bara api untuk memanggang.

"Hmmm cucu Oma sangat cantik ya," kata Nyonya Lynnel memeluk Bella di pangkuannya gemas.

"Oma mau ini?" tanya Bella menyodorkan permen Yuppi kesukaannya.

Nyonya Lynnel menggelengkan kepalanya. "Gigi Oma lagi sakit, jadi makanlah. Tapi jangan kebanyakan nanti gigi Bella ikut sakit seperti gigi Oma,"

"Why?" tanya Bella, karena kebiasaan dia berbicara dengan anak teman-teman ibu dan ayahnya di Amerika jadi bicaranya masih campuran inggris dan itu perlu waktu untuk bisa berbicara Indonesia sepenuhnya.

"Kalau Bella makan permen semua, nanti takkan bisa makan daging dan daging ayam yang Papi panggang. Hmmm enak," Kata Nyonya Lynnel lagi,

Erza tersenyum melihatnya. Dia menoleh menatap Aryan, "kapan kamu nyusul?" tanyanya sedikit menggoda adiknya itu.

"Entahlah bang, Insya Allah jika Allah sudah mempercayai kami nanti. Lagian aku masih memikirkan bagaimana masa depan kami-"

Kalimat Aryan dipotong Erza. "Seperti yang udah abang bicarakan. Pikirkan dan yakinkan istrimu untuk menerima tawaranku. Ini juga demi masa depan kalian dan untuk anakmu kelak," ucapnya sembari menepuk-nepuk bahu Aryan.

"Ya bang. Sudah kukatakan bahwa tanpa izin dan persetujuan istriku. Aku mungkin takkan bisa bekerja dengan abang dan aku akan minta maaf dari sekarang," jawab Aryan masih pada pendiriannya.

Erza mengembuskan napasnya pelan sembari tersenyum. "Abang mengerti kalau kamu sangat mencintai dan menyayangi istrimu itu. Dan abang bangga akan hal itu."

Shafa dan Zena datang dari dapur membawa daging. "Bagaimana semuanya. Apakah semua sudah lapar?" tanya Shafa menghampiri Erza dan Aryan.

"Wihhh bumbu ala Meksiko, jadi ingat waktu bakar di sana," kata Aryan.

"Pastinya dong buatan Mba tidak akan ada duanya," jawab Shafa tersenyum mencandai Aryan.

Aryan menghampiri Zena yang membawa minuman dalam nampan.

"Sayang. Ada yang bisa Mas bantu di dapur?" tanya Aryan.

"Masih ada Mas, Salad sama minuman lainnya," jawab Zena melangkah lagi ke dapur diikuti Aryan.

Nyonya Lynnel benar-benar bahagia dan kebahagiaannya sekarang takkan terganti atau bahkan tidak bisa dibeli oleh hal apa pun.

Erza dan Aryan memanggang daging. Zena dan Shafa serta nyonya Lynnel dan Bella mengobrol sambil bercanda.

Setelah semuanya siap, mereka makan-makan bersama.

Malam semakin larut dan akhirnya Zena dan Aryan akan tidur di sana. Itu atas permintaan nyonya Lynnel dan pastinya atas persetujuan Zena juga untuk menghargai mertuanya.

Zena sedang membereskan serta memasukkan semua piring kotor dan barang lainnya dibantu Aryan dan pastinya Shafa serta Erza. Dia sekali-kali melihat ke arah rumah baru di sebelah rumah itu. Sebuah rumah yang masih kosong. Dia ngeri melihat cahaya lampu tamannya yang remang-remang.

"Kenapa dek?" Aryan mengagetkannya dari belakang. "Liat apa di rumah itu?" tanya Aryan lagi ikut melihat ke rumah sebelah.

"Tidak apa-apa Mas. Hanya saja melihat warna lampunya yang kuning dan juga merah, kelihatannya menyeramkan tinggal di rumah itu," jawab Zena merinding sendiri.

Aryan terkekeh kecil. "Ya, lampunya memang begitu dek jadi terlihat horror. Mungkin pemiliknya nanti akan mengganti lampu-lampu itu, kecuali kalau pemiliknya seorang vampire,"

"Haukkkk!" Lanjutnya menakut-nakuti Zena.

"Ihh Mas ini," kata Zena ikut tersenyum sembari membawa nampan kembali masuk ke dalam diikuti oleh Aryan.

Sebuah mobil sedan hitam metalik berhenti di depan gerbang rumah Erza. Dia memandang sekeliling tampak mencari-cari sesuatu. Semuanya sudah masuk jadi Taman terlihat sepi. Sikapnya yang mencurigakan itu seolah sedang mencari celah untuk mencuri, tapi mana mungkin dia mencuri. Dia hanya sedang mencari tahu keadaan rumah itu.

Setelah beberapa saat mobil itu melaju lagi meninggalkan komplek.

Zena membantu Shafa mencuci piring. Setelah membantu Shafa mencuci piring dan gelas kotor.

"Istirahatlah Na, kamu pasti Cape. Makasih atas hari ini. Mudah-mudahan kalian sering berkunjung ke sini, biar kita bisa sering ketemu dan mengobrol," ujar Shafa. Dalam waktu sesingkat itu Shafa sudah sayang pada Zena seperti menyayangi seorang adik kandung.

"Insya Allah Mba. Kalau masalah berkunjung, pastinya akan sering berkunjung untuk menjenguk Mamih," Jawab Zena tersenyum.

Erza datang ke dapur, dia berdiri di tengah pintu. "Honey. Baju tidurku yang biru di mana?"

"Pastinya di kamar masa di dapur," canda Shafa. "Ya udah. Bentar lagi aku nyusul," jawabnya lagi sembari melirik Zena.

Setelah Erza pergi dari dapur. Shafa berbisik pada Zena. "Segeralah punya anak biar semakin dimanja sama suami. Biasanya suami suka lebih manja takut tersaingi sama anaknya. Buktinya baju aja harus Mba terus yang nyariin dan pilihin," candanya terkekeh geli.

Zena hanya tersenyum malu. "Insya Allah Mba. Tapi kami belum kepikiran kesitu, biar yang di atas yang menentukan dan jika sudah di percaya nantinya kami pasti langsung terima."

"Iya sih. Nikmatin aja dulu masa-masa pengantin baru kalian." Goda Shafa.

"Honey!" panggil Erza lagi.

"Iya.. Iya.. I'm coming." jawab Shafa. "Ya udah. Selamat istirahat ya sayang." Ucapnya pada Zena sembari mengusap lembut sebelah pipinya.

Zena mengangguk sembari tersenyum juga. "Mba juga selamat istirahat."

Shafa bergegas melangkah menuju ke kamarnya di atas. Setelah mematikan lampu dapur Zena juga melangkah menuju kamar yang berada di bawah.

Ketika masuk. Zena melihat Aryan sedang membaca sebuah Map biru dan tampak terlihat serius sekali.

"Mas belum tidur?" tanya Zena menghampirinya.

"Bagaimana Mas mau tidur jika adek masih sibuk di dapur." Jawab Aryan tersenyum.

Zena juga tersenyum sambil membuka tas pakaian untuk berganti baju tidur di kamar mandi. Setelah itu dia naik ke atas ranjang.

Dia duduk menatap Aryan yang masih duduk membaca Map biru itu. "Apa itu Mas?" tanyanya penasaran.

Aryan menoleh menatapnya, dengan senyuman tipisnya ia menaruh Map itu di atas nakas. Kemudian tiduran di atas paha Zena sebagai bantalannya. "Dek. Mas ada sesuatu yang ingin di bicarakan." Ucapnya tampak ragu-ragu.

"Bicara apa Mas?" tanya Zena membelai lembut rambut Aryan.

Aryan menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Debaran jantungnya yang cepat begitu terasa oleh Zena.

"Bang Erza menawarkan pekerjaan pada Mas di perusahaannya. Mas disuruhnya membantu di kantor, mas belum menjawab soalnya mas harus minta persetujuan Adek terdahulu." jelasnya perlahan.

"Kenapa Mas minta persetujuan aku dulu. Itu kakak mas, dan kalau bukan as yang membantu mereka siapa lagi?" Zena malah merasa heran pada suaminya itu. Dia merasa tak berhak untuk melarangnya.

"Mas sudah katakan. Apa pun yang akan mas lakukan itu semua atas persetujuan dan izin darimu dek," jawab Aryan lagi.

"Jika aku menyuruh mas terjun ke jurang juga. Apa Mas akan menurutinya?" tanya Zena sedikit mencandai Aryan.

"Jika hal itu memang membuat Adek bahagia. Mas akan menurutinya-"

"Ssstttt," Zena keburu membekap mulutnya. "Aku hanya bercanda. Yang pasti aku hargai apa yang mas lakukan yaitu meminta pendapat dan persetujuanku. Dan meski tak meminta juga. Jika ingin membantu kakak mas bekerja, sudah haknya mas sebagai adiknya untuk membantu,"

Aryan melingkarkan satu lengannya di kedua paha Zena sambil menatap ke arah lain, "terima kasih dek. Karena sudah mau mengerti dan selalu mau mengerti." Ucap Aryan tersentuh dengan apa yang diucapkan Zena.

"Aku malahan senang jika mas membantu Kakak Mas disini. Dengan begitu Mas tidak akan kepanasan atau kehujanan di sawah lagi-"

"Tunggu dulu," potong Aryan langsung bangkit dari tidurannya. "Mas hampir lupa bagaimana dengan sawah?" ia sedikit panik. Dia takut kalau mertuanya malah salah paham dan jadi tidak mempercayainya disebabkan melalaikan amanah darinya.

Zena memegang kedua pipi Aryan. "Mas tenang dulu. Masalah sawah ada Fajar dan juga para santri. Mereka pasti membantu. Bukankah hasil panen itu juga untuk mereka semua," Zena mencoba menenangkan Aryan yang panik.

"Tapi dek. Apakah kamu mau pindah ke sini? Bukankah jika mas bekerja membantu Abang Erza pasti akan tinggal di kota ini," tanya Aryan mengungkapkan satu lagi ganjalan di hatinya.

Zena hanya tersenyum.

".................??"

                          ---♣♡💞♡♣---

°°°°____TBC____°°°°










Revisi ulang* 17~07~2019

By* Rhanesya_grapes 🍇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top