~30~ ♥※KEJUTAN dan RAHASIA※♥

%%%____DaT____%%%

"Ya Allah, jangan engkau beri hamba cobaan yang tak sanggup hamba memikulnya. Jangan pernah berpaling sedikitpun dari hamba, karena hamba tidak akan bisa melewati semua ujianmu jika engkau berpaling sedikit saja dari hamba." Aryan.

"Ya Allah, berilah kami petunjukmu. Tuntun selalu kami untuk selalu berada di jalanmu yang lurus." Zena.

"Amiinnnn!" Aryan, Zena.

---♥♡💞♡♥---

Aryan dan Zena tidur di rumah sakit menemani nyonya Lynnel.

Pagi-pagi Aryan sudah berdiri di dekat jendela menatap ke Taman rumah sakit. Kepalanya sedikit pusing karena semalaman dia tak bisa memejamkan kedua matanya. Seandainya dia dipukuli, dimarahi atau bahkan ditusuk pisau masih bisa ditahannya. Namun, ada satu yang paling dia tidak bisa tahan adalah berlama-lama di rumah sakit dan melihat jarum suntik.

Dia melirik pada kursi sofa di mana Zena tertidur lelap, menoleh lagi pada ibunya yang masih tertidur juga. Bibirnya tersenyum tipis sambil berjalan mendekati Zena, diraih jaketnya yang ada di sandaran sofa kemudian diselimutkan pada tubuh Zena.

Aryan membungkuk sedikit, Cupp..

Perlahan dia mengecup kening Zena takut membangunkannya. Dia tahu semalaman Zena ikut menjaga nyonya Lynnel dan tidur setelah Salat subuh.

Dia keluar dari kamar rawat menuju ke kantin untuk memesan minuman dan membawakan Zena sarapan.

Sambil berjalan, tatapan Aryan jauh ke depan, ibunya akan segera bercerai dengan ayahnya. Apakah tidak ada cara agar mereka tidak bercerai? Sepertinya perceraian kedua orang tuanya tidak bisa dihindari lagi.

Dia juga berpikir ibunya tidak punya siapa-siapa lagi di sana. Jadi dia harus merawat ibunya setidaknya sampai ibunya itu sembuh total, setelah itu dia pulang kembali ke Bandung dengan istrinya. Setelah mengambil keputusan itu dia juga harus meminta persetujuan Zena pastinya.

Dua gelas nescafe krim serta beberapa Roti hangat dia bawa kembali ke kamar rawat nyonya Lynnel.

Ketika masuk, ternyata Zena sudah bangun dan sedang menyuapi ibunya agar bisa meminum obat.

"Good morning, Mom. Sayang." Sapa Aryan.

"Morning," jawab Nyonya Lynnel, sementara Zena hanya mengangguk pelan.

"Uhh, maaf. Assalamualaikum wr.wb," ulang Aryan.

"Wa'alaikumsalam. Begitu kan jawabnya," sahut nyonya Lynnel sewot sendiri, "iya kan begitu?" tanya Nyonya Lynnel. Semenjak dia masuk islam belum banyak belajar, jadi masih terasa kaku baginya hal-hal yang baru itu.

"Iya Mom, Wa'alaikumsalam wr.wb, mas." jawab Zena membenarkannya.

"Mulai sekarang panggil mamih saja, kita kan ada di Indonesia. Biar mamih tuh berasa tinggal di sini jangan manggil Mommy terus," protes nyonya Lynnel tersenyum.

"Wiiihhh, sejak kapan Mommy maunya di panggil mamih?" goda Aryan duduk di kursi dipinggir ranjang.

"Memangnya nggak boleh jika Mommy mau dipanggil seperti ibu-ibu arisan teman Mommy juga," jawab Nyonya Lynnel cemberut.

"Iya, iya.. Mamihku tersayang, mamihku tercinta, dan sayang ...," Aryan melirik pada Zena, "mulai sekarang kita panggil Mommy dengan mamih," ia malah mengajak bercanda Zena. Sambil mengecup kening ibunya.

Zena hanya bisa tersenyum.

"Sayang, jika sudah selesai. Bisa kita bicara sebentar," kata Aryan terlihat malu-malu di depan ibunya karena memanggil Zena dengan sebutan sayang.

"Ambil saja Aryan, Mamih nggak akan menahan terus istrimu di sini," goda Nyonya Lynnel membuat keduanya tersipu malu.

Setelah memberi sarapan nyonya Lynnel dan memberi obat, Aryan keluar duluan menunggu Zena di depan pintu.

"Ada apa mas?" tanya Zena aneh. Pasti ada sesuatu yang sangat penting sehingga tak bisa berbicara di depan ibunya itu.

Aryan menggenggam tangan Zena berjalan menuju Taman rumah sakit. Mereka duduk di kursi panjang di bawah pohon besar.

Zena menoleh ke samping menatap Aryan yang hanya diam saja dari tadi.

"Dek, apa bisa kita di sini dulu untuk sementara menjaga dan merawat mamih sampai sembuh-"

"Maaf mas menyela, kenapa mas menanyakan hal itu?" tanya Zena merasa heran.

"Karena apa pun yang akan mas lakukan, mas harus menanyakan dan meminta persetujuanmu dulu dek, bukankah itu yang selalu mas katakan padamu, apa pun yang akan mas lakukan atas persetujuanmu pastinya."

Zena tersenyum, "aku tahu hal itu mas. Tanpa menanyakannya juga, malahan aku yang tadinya akan mengusulkan hal itu."

"Benarkah? Akh syukurlah kalau kamu mau menjaga sementara mamih." Ucap Syukur Aryan atas pengertian istrinya itu. Ia menggenggam tangan Zena lalu mencium punggung tangannya.

"Kalau begitu, kita harus bicara dengan mamih sekarang. Kata dokter hari ini Mamih udah bisa pulang ke rumah." Ajak Aryan untuk kembali ke kamar rawat nyonya Lynnel.

Mereka berjalan beriringan.

"Mas, aku mau ke toilet dulu sebentar sekalian ke apotek menebus obat mamih." Kata Zena hampir melupakannya.

"Apa perlu mas antar sampai ke dalam?" tanya Aryan mencandai Zena.

Zena malah menatapnya bingung.

Aryan tersenyum. "Mas bercanda. Ya udah, mas tunggu di kamar mamih."

Zena hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis, mereka berpisah di tikungan rumah sakit.

Aryan melangkah lagi menuju kamar. Namun, ketika membuka pintu. Kedua matanya membulat melihat seseorang berdiri di dekat ranjang ibunya. Seorang pria berpakaian Casual berdiri membelakanginya.

Nyonya Lynnel tampaknya sedang menangis, tetapi dia segera mengusap air matanya kala melihat Aryan masuk dan dia langsung tersenyum bahagia.

Aryan perlahan berjalan mendekati pria itu, jantungnya berdebar kencang. Siapa pria muda itu? Sepertinya bukan ayahnya. Atau apakah suruhan ayahnya?

Pria muda itu membalik perlahan, dan kini berhadapan dengannya. Ia tersenyum tampak terharu melihat Aryan yang diam terpaku penuh pertanyaan menatapnya.

"Aryan," pria muda itu memanggil namanya, "lama tidak bertemu." Ucapnya lagi hendak memeluk Aryan.

"Bang Erza?!" Aryan terlihat terkejut mengenali pria muda itu, "benarkah ini kau?" tanyanya langsung memburu pria yang bernama Erza itu dan juga langsung memeluknya.

"Ya, ini aku," jawab Erza memeluk sembari menepuk-nepuk punggung Aryan.

"Oh, I' can't believe!" Ucap Aryan masih tidak percaya. Kedua matanya berbinar-binar memeluk pria muda itu.

"Yeah, me to," jawab Erza masih memeluk erat Aryan.

Nyonya Lynnel meneteskan air matanya bahagia.

Zena masuk ke sana, membuka pintu sambil menenteng obat untuk nyonya Lynnel. "Mas ini obat yang di pe.. san ...-?" kalimat Zena terhenti ketika melihat Aryan memeluk seorang pria muda, hampir sama gagahnya dengan Aryan. Ia menunduk sedikit memberi salam pada Erza yang dibalas senyuman olehnya.

Aryan baru melepaskan pelukannya lalu memperkenalkan Zena. "Bang. Ini istriku, Zena."

Erza menyodorkan tangannya pada Zena. Namun, Zena hanya menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada tak biasa bersalaman.

Erza menarik tangannya kembali mengikuti apa yang dilakukan Zena.

"Maaf bang, dia-"

"Aku mengerti," potong Erza mengerti.

Zena masih menatap bingung siapa dia? Aryan baru sadar atas kebingungan Zena.

"Oh, dia abangku dek, maksudku kakakku," jelas Aryan tersenyum mendekati Zena sambil mengambil kantong plastik isi obat di tangan Zena.

"Kakak?" Zena tampak terkejut mendengar bahwa ternyata Aryan mempunyai kakak. Bukankah selama ini yang Zena tahu bahwa Aryan anak satu-satunya keluarga Rakhsan.

"Ya, saya kakaknya. Erza Alvando," ujar Erza memperkenalkan dirinya.

"Zena," kata Zena terlihat gugup masih tak percaya bahwa itu kakaknya Aryan.

"Aryan, bawa istrimu keluar sebentar lalu jelaskan semuanya, sepertinya dia masih bingung." Kata Erza mengerti kebingungan di wajah Zena.

Nyonya Lynnel mengangguk agar Aryan menjelaskan tentang Erza.

Aryan menaruh obat di nakas, lalu menggenggam tangan Zena membawa Zena ke arah Taman lagi.

Sampai di Taman Aryan menyuruh Zena duduk dengan tenang, mengatur napas dalam-dalam, setelah melihat Zena tenang Aryan baru duduk disebelahnya.

"Entah dari mana aku harus mulai menceritakannya," kata Aryan tampak bingung juga untuk bercerita.

"Jika itu membuat mas susah untuk menceritakannya tak apa, yang penting aku sudah tahu kalau mas mempunyai kakak," jawab Zena tersenyum tak terlalu mementingkan penjelasan Aryan yang mungkin itu rahasia keluarganya.

"Dia kakak se'ibu, tapi tidak se'ayah," ujar Aryan menghela napasnya lirih.

Zena mengusap-usap punggung Aryan, dia tak mau memaksa Aryan untuk bercerita. Apalagi melihatnya seolah terluka untuk menceritakannya.

"Aku akan mulai menceritakannya,"

**Flashback**

Ketika masih di India, nyonya Lynnel menikah dengan seorang laki-laki yang gila judi serta mabuk-mabukkan dan itu adalah ayah Erza.

Dan ketika Erza berumur 4 tahun. Ayahnya meninggal kecelakaan mobil dalam keadaan mabuk.

Dua tahun kemudian.

Tuan Firouz datang ke India untuk bisnis, lalu bertemu dengan nyonya Lynnel dan jatuh Cinta padanya. Waktu membuat mereka saling mencintai dan akan menikah.

Namun, keluarga Rakhsan tidak boleh tahu kalau nyonya Lynnel sudah mempunyai anak yang sudah berumur 6 tahun, jadi ketika mereka menikah di Persia dan tinggal di Amerika. Kemudian pindah ke Indonesia sampai mempunyai anak yaitu Aryan, rahasia itu terus disembunyikan nyonya Lynnel dari Aryan juga.

Sampai di mana mereka menjadi warga Negara Indonesia. di saat itu Aryan masih berumur 2 tahun.

Nyonya Lynnel menunggu saat yang tepat untuk menceritakannya pada Aryan karena dia juga berhak tahu kalau dia tidak sebatang kara dan mempunyai saudara.

Saat Aryan berusia 18 tahun dan akan kelulusan SMA. Akhirnya nyonya Lynnel menceritakan semuanya. Dia juga menyuruh Aryan merahasiakannya dari ayahnya kalau dia sudah tahu kakak se'ibunya itu.

Kini Aryan tahu tentang kakaknya yang tak diakui oleh ayahnya. Dia ingin sekali menemuinya.

Ketika ayahnya menyuruhnya dan bertanya dia mau kuliah di mana, itu kesempatan baik untuknya bertemu dengan kakaknya yang tinggal di Amerika dengan sang paman, adik dari nyonya Lynnel dari India.

Semuanya lancar dan Tuan Firouz tidak curiga sedikitpun padanya. Akhirnya Aryan kuliah di Amerika dengan Mika serta tinggal dengan Erza. Bahkan Mika pun sampai merahasiakan hal itu agar Tuan Firouz tak menarik Aryan untuk pulang dan kuliah di Indonesia.

Ketika Aryan sudah menjadi sarjana dan pulang ke Indonesia, tak lama Erza menyusul ke sana dengan anak dan istrinya yang sama-sama berwarga Negara Indonesia.

Dulu juga Nyonya Lynnel sering berkunjung ke Amerika menjenguk Aryan dan untuk menemui Erza juga.

Erza tak pernah dendam pada ibunya karena meninggalkannya di India dengan nenek dan kakeknya, bahkan sangat menyayangi Aryan. Meski tidak se'ayah tapi mereka se'ibu dan itu membuat Erza tak pernah mempermasalahkannya bahkan sangat bangga pada Aryan.

Aryan sebelum mengambil keputusan untuk menikahi Zena, dia bahkan meminta Erza untuk memberinya masukan dan nasihat. Erza selagi seorang kakak dengan bijaksana menasehati dan menyuruh Aryan menuruti apa kata hatinya.

Erza mendengar kalau ibunya akan bercerai dengan ayah tirinya itu, jadi dia bergegas pindah ke Indonesia, menjemput ibunya untuk tinggal dengan anak istrinya. Dan tentunya Tuan Firouz belum tahu hal itu.

**Flashback off**

Mendengar cerita itu, kedua mata Zena berkaca-kaca. Hatinya tersentuh dengan cerita Aryan, dia tak menyangka kalau keegoisan ayah Aryan benar-benar tak bisa diganggu gugat bahkan tak peduli dengan sekitarnya.

Zena menyandarkan kepalanya di bahu Aryan, dia menatap ke depan dengan tatapan kosong. Ia tak menyangka bahwa perjuangan Aryan untuk mendapatkannya benar-benar besar serta banyak berkorban juga, bahkan ternyata keluarganya yang dulu terlihat harmonis dan bahagia oleh semua orang, terdapat banyak rahasia yang disembunyikan keluarga itu.

"Jadi mas, apa kita akan tetap merawat mamih?" tanya Zena.

"Sepertinya nggak dek, karena sudah ada bang Erza dan istrinya yang menjaga mamih. Tapi untuk sekadar silahturahmi dengan kakak ipar serta melihat ponakanku, kita akan di sini untuk beberapa hari lagi,"

"Nggak apa-apa, kan?" tanya Aryan, takut Zena tak akan betah lama-lama di kota.

"Nggak apa-apa, malahan aku senang bisa dekat dengan keluarga mas dan yang lainnya," jawab Zena tak keberatan sedikitpun dengan hal itu.

Aryan mengecup kening Zena yang sedang bersandar di bahunya itu.

Setelah menceritakan semuanya sampai sedalam-dalamnya tentang keluarga Aryan, mereka kembali ke kamar nyonya Lynnel.

Kali ini ketika masuk mereka melihat seorang wanita dan anak perempuan yang masih berumur 3 tahun. Anak dan istri Erza.

Wanita yang terlihat lebih tua sedikit dari Zena langsung memeluknya. "Apakah ini istrimu Aryan?" tanyanya terlihat senang memeluk Zena.

"Ya, namanya Zena," jawab Aryan tersenyum malu.

"Lebih cantik dari fotonya ya," goda wanita itu menatap Zena dengan tatapan sayu.

Zena tersipu malu melirik Aryan seperti tadi sedikit bingung juga.

Aryan memberi isyarat pada kakak iparnya itu.

"Oh maaf belum memperkenalkan diri. Namaku Shafa Nazafarin," ucapnya memperkenalkan dirinya.

"Zena," jawab Zena masih malu-malu.

"Tak usah malu-malu seperti itu, Na, aku sama asli orang Indonesia juga," canda Shafa melihat kebingungan Zena yang pastinya aneh karena wajahnya seperti keturunan Jepang.

"Dan sekarang dia kakak iparmu, sayang." Sambung nyonya Lynnel.

Zena melirik anaknya yang tertidur di sofa.

"Dia sedikit tak enak badan Na, jadi jam segini tidur lagi," kata Shafa masih memegang tangan Zena seakan tak ingin lepas saking bahagianya, itu pertama kalinya Shafa berkumpul dengan saudara dan ibu mertuanya seperti itu.

Selama ini, meski Shafa bertemu dengan nyonya Lynnel di Amerika, mereka hanya bisa bertemu di sebuah Cafe. Itu pun hanya sebentar disebabkan takut ketahuan oleh Tuan Firouz.

Tapi sekarang semuanya bebas bahkan akan serumah dengan nyonya Lynnel.

"Ar, bisa kita bicara sebentar di kantin, ada hal penting yang harus kita bicarakan, biar mereka melepas rasa rindu dlu," Ajak Erza pada Aryan.

Erza menoleh menatap nyonya Lynnel. "Dan Mamih. Siap-siap, kita akan kita pulang ke rumah, biar Shafa yang akan membantu menyiapkan semuanya."

Nyonya Lynnel mengangguk sembari tersenyum, akhirnya kedua anaknya sekarang berkumpul di depan kedua matanya, kini tanpa rasa takut ketahuan suaminya, dan dia sudah tak peduli akan hal itu.

"Ayo Ar."

Aryan mengangguk. Mereka keluar dari kamar nyonya Lynnel menuju ke kantin.

Zena dan Shafa serta nyonya Lynnel berbincang melepas kecanggungan mereka.

Aryan dan Erza duduk di kantin sambil memesan minuman.

"Bang, kapan datang ke Indonesia? Kenapa nggak memberi kabar padaku?" tanya Aryan tampak sedikit cemberut.

"Maaf Ar, Abang sengaja nggak memberitahumu karena masih menyelidiki tentang mamih dan dirimu, serta mengurus urusan tentang membuka cabang perusahaan di sini." Jelas Erza memberitahukan alasan kenapa dia tak memberitahu Aryan tentang kedatangan mereka ke Indonesia.

"Jadi abang akan tinggal di sini untuk seterusnya?" tanya Aryan terlihat senang.

"Ya, sepertinya begitu. Biar perusahaan di Amerika abang serahkan pada paman (adik dari nyonya Lynnel). Dan abang akan mengurus cabangnya di sini."

"Lalu, apa yang akan abang bicarakan padaku?" tanya Aryan mengingat bukankah tadi mereka akan membicarakan masalah penting.

"Abang ingin kamu juga ikut mengurus perusahaanku, hanya kamu yang bisa abang andalkan di kota ini. Abang mohon padamu Ar." Erza benar-benar memohon supaya Aryan mau bekerja dengannya mengurus perusahaannya yang baru.

Aryan menghela napas getir. "Tapi aku punya banyak urusan di Bandung. Aku masih punya sawah yang dipercayakan padaku oleh ayah mertuaku bang," ia terlihat sedikit keberatan.

"Kalau begitu, kamu bicarakan dulu dengan ayah mertuamu, bukankah dia memberikan sawah itu agar diurus olehmu karena waktu itu kamu tak punya uang dan pekerjaan,"

"Tapi kini lihat, abang sudah ada di sini. Dengan perusahaan yang sudah terjamin kemajuannya dan penghasilannya, bahkan kalau dokumen-dokumen sudah lengkap abang akan membuka cabang di kota lain, jadi pikirkan kembali apa yang abang tawarkan padamu,"

"Itu juga untuk masa depanmu juga istrimu, mau sampai kapan kau akan tinggal dengan mertuamu di Bandung?" Erza menepuk pundak Aryan agar dia memikirkan tentang tawarannya itu.

Aryan tampak berpikir keras, tak lupa dia harus mempertimbangkan dan meminta persetujuan dari Zena juga dari semuanya di Bandung.

---♣♡💞♡♣---

°°°°_____TBC_____°°°°












Revisi ulang* 16~07~2019

By* Rhanesya_grapes 🍇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top