~28~ ♥※SYDNEY※♥
%%%____DaT____%%%
Mika dan Zahra mengantarkan Aryan dan Zena ke Bandara. Sebenarnya semuanya ingin pergi mengantar ke Bandara. Namun, dipikir lagi mereka seperti mau mengantar Aryan dan Zena (serahan) ke perayaan pernikahan lagi. Dan juga Zena sedikit melarang karena mengerti mereka pasti lelah sehabis hajatan.
Mika duduk dengan Aryan, sementara Zahra duduk di sebelah Zena, mereka duduk di bangku Bandara agak berjauhan.
"Na, hati-hati ya di sana, kalau ada apa-apa segera hubungi kami." Kata Zahra.
Zena mengangguk. "Kamu tenang aja Ra. Di sana kan ada mas Aryan."
"Iya aku tahu hal itu. Jadi selamat menikmati Honeymoon'nya." Goda Zahra membuat Zena menunduk tersenyum malu.
Sementara Mika tampak bisik-bisik dengan Aryan.
"Gimana semalam? Lancar?" tanya Mika sedikit menggoda Aryan.
"Apakah gue harus menceritakan semuanya di sini dengan sedetailnya?" Aryan malah balik bertanya sedikit menggoda Mika juga.
Mika dan Aryan jadi cekikikan. "Semprul lo, kaga usah lah. Takut gue nanti pengin nikah juga. Yang penting lo udah bisa naklukin rasa ragu dan takut lo itu. Dan lo udah jadi pejantan tangguh."
"Sialan lo. Emang gue dulu bencong apa." Kata Aryan tak bisa menahan tawanya. Begitupun Mika masih cekikikan.
Zahra dan Zena hanya menurunkan sebelah alisnya.
"Mereka lagi membicarakan apa sih?" tanya Zahra jadi kepo.
Zena tersenyum melihat ke arah mereka. "Biasa. Mungkin mereka sudah lama tak bercanda seperti itu."
Tak lama suara pengumuman penerbangan ke Australia pun terdengar menggema di Bandara.
"Sudah saatnya kalian masuk ke pesawat." Kata Mika memeluk Aryan.
"Hati-hati juga lo di pesantren. Tolong jagain Abi Haji, Umi sama adik-adik gue. Kalau ada apa-apa di pesantren segera hubungi gue-"
"Iya.. Iya," potong Mika, "lo jangan khawatir kalau masalah itu, bersenang-senanglah kalian di sana. Buat moment yang tak terlupakan selama di sana." Ucapnya sembari menepuk-nepuk punggung Aryan.
"Ingat Na, jaga kesehatan di sana." Kata Zahra.
"Kamu juga Ra, salam pada ayah dan bunda (orang tua Zahra)." Ucap Zena.
Aryan dan Mika mendekati keduanya.
"Bang Aryan, awas ya kalau ada apa-apa dengan kalian nggak ngasih tahu ke sini, pokoknya setiap hari setiap moment kalian harus selalu ngasih tahu dan ngasih kabar." Kata Zahra nyengir.
"Iya.. Iya bawel." Jawab Aryan mengacak-acak rambutnya Zahra.
Aryan memeluk Mika, begitupun Zahra memeluk Zena.
Setelah itu Aryan mengulurkan tangannya pada Zena, disambut dengan senyum hangat dan uluran tangan Zena.
"Semoga mereka pulang dan pergi dengan selamat," ucap Zahra melihat mereka melangkah pergi.
"Aminnn," jawab Mika melingkarkan lengannya ke tengkuk lehernya Zahra. "Yo pulang, perjalanan kita juga jauh kan harus kembali ke Bandung jemput orang tuamu dan juga Tante Lynnel."
Zahra hanya mengangguk masih menatap punggung Zena dan Aryan yang semakin hilang ditelan orang-orang yang lalu-lalang ada yang hendak pergi dan ada juga yang pulang atau petugas Bandara.
Aryan takut Zena terpisah, jadi dia menggenggam erat tangan Zena.
Zena tak pernah bergandengan tangan seperti itu di depan banyak orang, akan tetapi Aryan adalah suaminya. Jadi itu tidak jadi masalah lagi apalagi di Bandara banyak orang lalu-lalang.
Mereka mengantri di Gate untuk masuk ke pesawat.
Setelah selesai memberikan tiket dan disobek, mereka memasuki Gate. Itu pertama kalinya Zena akan naik Pesawat, selama ini dia memang tak pernah pergi sejauh itu jadi dia terlihat sedikit gugup.
Ketika masuk ke pintu Pesawat. Pramugari tersenyum ramah menyambut mereka. Keduanya melangkah lebih masuk lagi, dibarisan kursi kedua First class, Aryan mempersilakan Zena untuk duduk di sebelah jendela Pesawat.
"Kamu pasti gugup. Jangan khawatir, mas selalu ada di sampingmu." Kata Aryan memegang tangan Zena yang terlihat sedikit gemetaran.
Zena tersenyum. "Maaf, aku kampungan ya mas."
"Ssstttt, tak usah bicara begitu dek, mas selalu ngerti." Jawab Aryan menepuk-nepuk pelan tangan Zena.
Zena menatap keluar di mana semua orang tampak sibuk dengan mobil yang kesana kemari. Ia tampak menghela napas panjang.
Perlahan Pesawat berjalan. Kemudian perlahan juga naik ke angkasa. Zena memejamkan kedua matanya takut.
Aryan menggenggam tangan Zena. Dia tahu kalau orang yang pertama kali naik pesawat pasti akan begitu, makanya dia hanya tersenyum melihat Zena. Karena dia juga pernah mengalaminya ketika lulus SMA langsung kuliah ke Amerika.
Setelah pesawat terbang biasa. Aryan menyuruh Zena membuka kedua matanya lalu menatap keluar.
Zena membuka kedua matanya melirik ke samping menatap kagum dan takjub keluar. Awan-awan putih membentang luas, matahari terlihat bersinar sangat terang.
Zena mengerjapkan matanya. "Apa kita benar-benar terbang di atas awan mas?"
Aryan mengangguk. "Kalau kamu takut, sembunyi di dadaku aja dek." Candanya sembari menepuk-nepuk dada bidangnya.
Zena hanya tersenyum malu.
Beberapa jam berada di Pesawat, akhirnya mereka sampai juga di Australia. Sesampainya di sana hari sudah gelap.
Zena masih terkagum-kagum dengan hal-hal yang baru saja dialaminya yaitu menginjak Negeri asing. Aryan masih membimbingnya agar tak terpisah dengannya di Bandara Australia.
Mereka naik mobil milik hotel yang sudah di Booking oleh Nyonya Lynnel untuk mereka agar tak susah kemana-mana. Mobil perlahan menuju hotel yang sudah di Booking selama 3 hari sebelum diantarkan lagi ke tempat peristirahatan di pinggir pantai. Zena masih menatap keluar memandang lampu-lampu jalan dan juga hotel serta rumah-rumah yang dilewati mereka.
Ketika sampai mereka Cek in dahulu. Lalu diantar ke kamar 357.
"Akh, perjalanan yang melelahkan." Ucap Aryan melepaskan jaketnya kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang.
"Aku mau mandi dulu mas, rasanya lengket sekali," Klkata Zena membuka koper lalu mengeluarkan baju dan handuk.
"Apa kita salat berjamaah lagi?" tanya Aryan bangkit dari tidurannya menatap Zena.
Zena menoleh ke belakang, melirik ke jam dinding kemudian mengangguk sembari tersenyum menatap Aryan, Ia pun masuk ke kamar mandi.
Aryan menggumam dalam hati. "Beginikah rasanya menjadi Imam dalam salat, tak sabar ingin merasakan menjadi Imam dalam keluarga. Seorang ayah." Aryan malah membayangkan kalau mereka sudah mempunyai anak.
Plakkk.. Dia memukul kepalanya sendiri sembari tersenyum. "Bodoh kau Aryan, masalah itu kan masih lama,"
Aryan menatap langit-langit kamarnya, sungguh menikah itu adalah pilihan yang tak akan pernah dia sesali seumur hidupnya, apalagi itu Zena wanita impiannya. Karena kelelahan dia pun tertidur.
Zena keluar dari kamar mandi, melihat Aryan sudah tidur tampak lelapnya dengan masih memakai sepatu. Zena mengerti kalau suaminya terlalu kelelahan. Dia pun perlahan-lahan membungkuk akan membuka sepatu. Tapi, belum sempat Zena membuka sepatunya. Aryan keburu terbangun.
"Maaf mas, jadi ngebangunin mas. Tadinya mau buka sepatunya."
Aryan tersenyum. "Nggak apa-apa dek, lagian mas belum mandi jadi makasih sudah bangunin," Aryan bangkit dari ranjang. "Kamu siap-siap lah, kita akan makan malam di luar,"
"Tapi mas kan cape, apa tidak bisa memesan makanan ke kamar?" tanya Zena merasa kasihan pada Aryan yang terlihat kelelahan.
"Tapi kamu kan perlu jalan-jalan dek," jawab Aryan tak mau membuat Zena kecewa karena merasa terkurung di kamar hotel.
"Kita bisa jalan-jalan besok, Insya Allah. Sekarang mas mandi terus istirahat," jawab Zena sembari memunguti Jaket Aryan yang berserakan di atas ranjang,
"Bisa kau pesan makanan dek?" tanya Aryan.
"Aku kurang lancar berbahasa inggris-nya jadi-"
"Ya sudah, mas pesan dulu sekarang biar nanti mas udah selesai mandi, makanan datang. Kita bisa langsung makan." Kata Aryan langsung duduk di sofa lalu mengangkat telepon duduk di meja kecil memencet nomor pelayanan di sana.
"Hallo, excuse me ...," Aryan memesan makanan, setelah itu dia langsung masuk ke kamar mandi.
Zena duduk di depan kaca rias, dia menghela napasnya pelan lalu tersenyum. Sungguh tak menyangka hidupnya akan secepat itu berubah, dulunya masih tidur sendiri dan hanya seorang gadis tanpa banyak mengkhayal, kini dia tidur ada yang menemani. Bahkan hal-hal yang tak pernah terlintas dibenaknya kini dialaminya.
Dia bangkit dari kursi rias. Berjalan mendekati jendela lalu berdiri di sana menatap pemandangan malam.
Aryan selesai mandi, dia mendekati Zena yang berdiri di dekat jendela menatap ke bawah. Dari belakang perlahan Aryan memeluknya, melingkarkan kedua lengannya di pinggang Zena sembari menaruh dagunya di pundak Zena.
"Indah bukan?" tanya Aryan mencium leher Zena.
Zena mengangguk. "Rasanya baru saja kemarin kita berkenalan, kini kita-"
"Bersama," sambung Aryan.
Aryan memutar Zena supaya menghadap kearahnya, ia menatap kedua mata Zena sayu. Kedua telapak tangannya memegang kedua pipi Zena, mencium keningnya.
"Mas janji, apa pun yang terjadi. Mas tak akan meninggalkanmu, dan mas berharap kamu selalu percaya pada mas," ucap Aryan. Ia tahu bahwa dalam rumah tangga pasti banyak godaan dan cobaannya. Dia hanya ingin Zena percaya padanya karena di sekitarannya banyak wanita-wanita yang mengejar-ngejarnya dan mungkin tidak senang dengan pernikahannya itu.
Zena tersenyum. "Insya Allah. Kita sudah mengucap janji suci, jadi sampai kapanpun aku hanya bisa percaya pada mas."
Aryan tersenyum lebar, ia mendekatkan wajahnya dengan wajah Zena ingin mengecup bibirnya. Namun, suara bel pintu mengagetkan mereka.
"Hehe.. mungkin itu makanan." Ucap Aryan bergegas membuka pintu.
Zena hanya bisa tersenyum melihat Sikap Aryan yang masih selalu salah tingkah.
Benar saja makanan datang. Aryan menyuruh menaruh di meja pendek yang sengaja dia pesan juga.
Mereka makan malam di kamar.
***♡💞♡***
Pagi-pagi setelah salat subuh, mereka siap-siap untuk jalan-jalan keliling Australia. Menuju ke tempat-tempat yang dirasanya Indah.
Berjalan di jalan trotoar sambil satu tangan bergandengan, dan tangan satunya memegang es krim. Pergi ke Taman-Taman melihat banyak Kangguru yang melompat-lompat kesana-kemari membuat keduanya seharian hampir melupakan waktu.
Malamnya mereka pulang ke hotel.
Tak terasa sudah tiga hari mereka berada di sana. Hari ini mereka akan ke peristirahatan di tepi pantai.
Sesampainya dipondok hotel tempat peristirahatan. Setelah menyimpan tas, Aryan langsung mengajak Zena ke tepi pantai.
Deburan ombak seakan menyambut keduanya. Pemandangan yang begitu Indah di sana. Embusan semilir angin menyegarkan pikiran dan hati mereka.
Aryan menggenggam erat tangan Zena, lalu menariknya menuju ke pasir pantai. Mereka berdiri di sana menatap luasnya lautan, kemudian duduk di atas pasir pantai.
Zena mengembuskan napasnya pelan. "Di pantai kita pertama kali kenalan, setelah menikah pun kita duduk berdua di pantai,"
"Ya, di pantai Anyer kita pertama kenalan, tapi Cinta pada pandangan pertamaku padamu adalah ketika bertemu di Mall, dan Cinta itu bertambah ketika bertemu lagi di kantor ayahku,"
"Benarkah? Kenapa aku sampai melupakannya. Bahkan tak ingat sedikitpun," canda Zena pura-pura tak mengingat hal itu.
"Tidak mengingatnya? Apakah perlu mas bantu ingatkan?" tanya Aryan mendekatkan wajahnya ke dekat wajah Zena.
"Tidak... tidak! Aku ingat kok. Maaf hanya bercanda," jawab Zena menjauhkan wajahnya dengan wajah Aryan.
"Mengecewakan, padahal mas mau bantu kamu mengingatnya." Ucap Aryan terlihat tampak kecewa.
"Bagaimana caranya?" tanya Zena penasaran.
"Seperti ini-"
Cuppp..
Aryan mengecup kening Zena.
Zena tampak tertunduk malu. "Iihh mas jangan di sini, malu banyak orang,"
"Memangnya kenapa? Kamu kan istriku dek." Jawab Aryan nyengir.
"Tapi-"
"Sssttt, kamu lihat pantai adalah saksi Cinta kita. Dari dulu mas sangat suka dengan pemandangan pantai, masa kecil, masa remaja, bahkan masa-masa di Amerika pun mas sangat suka pergi ke pantai,"
"Kini mas tidak sendirian, ada wanita yang sangat mas cintai di samping. Kuharap di pantai juga kita bisa menghabiskan masa tua kita nanti, Insya Allah."
"Ya. Insya Allah." Sambung Zena.
Aryan berdiri mengulurkan tangannya pada Zena. Mereka berlari saling mengejar. Saling bercanda ria mengabiskan waktu bersama sampai Sun set menghiasi langit pantai Australia.
Langit kuning kemerahan, matahari perlahan tenggelam seolah masuk ke dalam lautan yang memantulkan warna merah juga.
Benar-benar hal-hal dan kenangan indah yang takkan terlupakan.
Mereka pulang ke tempat peristirahatan. Makan malam di restoran di pinggir pantai. Menikmati masa-masa Bulan madu mereka selama seminggu di Australia.
Mereka jalan-jalan membeli oleh-oleh untuk semuanya.
Malam terakhir mereka di Australia.
"Dek,"
"Iya mas?"
"Tutup mata pakai ini," Aryan memberikan kain penutup mata.
"Untuk apa mas?" tanya Zena heran.
"Pakai saja, pleasee," Aryan memohon sedikit manja.
Zena tersenyum. "Baiklah."
Aryan yang membantu menutup kedua matanya. Ia menuntun Zena keluar dari kamar menuju ke pantai. Kedua kaki mereka telanjang tanpa sepatu atau pun sandal.
Zena hanya mendengar deburan ombak. Dan kakinya menginjak pasir-pasir pantai. "Mas. Kita mau ke mana?" tanyanya heran.
"Jangan takut, sebentar lagi kita sampai." Jawab Aryan masih membimbing langkahnya Zena.
Tak lama mereka berhenti. Aryan membuka penutup mata Zena. Pandangan Zena masih buram dan sedikit gelap, tak lama pandangannya sudah jelas dan kini membulat sempurna.
Di pantai, di atas meja sudah ada makanan dan dua piring untuk makan malam, dihiasi oleh bunga-bunga White Rose dan juga lilin-lilin dalam gelas agar tak padam oleh angin laut.
Sungguh pemandangan yang sangat Indah. Apalagi di sebelah meja. Di atas pasir, lilin-lilin dibentuk LOVE dan di tengah LOVE ada nama Zena dan Aryan.
Zena menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Semua itu selalu dilakukan Aryan, setiap hari pasti akan ada kejutan-kejutan tak terduga.
Aryan menggenggam tangan Zena, mendekati meja. Ia menyuruh Zena duduk di sana, kemudian dia duduk di kursi satunya. Ia menggenggam tangan Zena lalu mengecup punggung tangannya.
Aryan menatap dalam kedua mata Zena. "Maaf jika aku belum bisa membahagiakanmu dek. Maaf belum bisa memberikan apa pun yang kau inginkan di balik pernikahan ini. Maaf juga jika aku belum bisa menjadi suami yang terbaik untukmu-"
"Ssttt ...," Zena menghentikan ucapan Aryan dengan menempelkan telunjuk jarinya di mulut Aryan.
Aryan menyingkirkan telunjuk Zena, lalu melanjutkan perkataannya. "Ini kenyataan dek, untuk saat ini mas hanya bisa memberikan Cinta. Namun, ditaburi dengan ajab dan penderitaan untukmu dek,"
"Aku tahu hal itu mas, Cinta tidak akan ada yang langsung bahagia tanpa penderitaan. Cinta itu berbumbu penderitaan. Jika mas bilang mas hanya bisa memberikan Cinta namun tak bisa memberikan kebahagiaan, apa aku akan menerima Cinta dan terus ingin berbahagia tak mau menerima penderitaannya,"
"Penderitaan dan kebahagian pasti akan datang silih berganti dalam hal cinta. Yang penting kita bisa melewatinya bersama-sama, mas tak usah pikirkan hal-hal seperti itu. Apa pun yang terjadi mas bilang kita harus selalu bersama dan menghadapinya bersama-sama," Zena mengakhiri ucapannya selalu dengan senyuman.
"Cinta mas sudah hilang sekarang," ucap Aryan datar.
Zena menurunkan alisnya sebelah aneh.
"Tapi sudah berubah menjadi rasa sayang yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata." Lanjutnya tersenyum membuat Zena tersipu-sipu.
Aryan membungkuk, ia berlutut di atas pasir sembari mengulurkan tangannya pada Zena. Zena langsung menerimanya, mereka berdiri saling berpandangan. Tangan kiri Aryan memegang tangan kanan Zena, sementara tangan kanannya melingkar di pinggang Zena.
"Aku tak bisa berdansa mas," kata Zena tertunduk.
Aryan mengecup kening Zena. "Naikkanlah kakimu ke atas kakiku,"
"Tapi-?"
"Ssstttt, ayolah. Akan mas tunjukan cara berdansa," kata Aryan masih menunggu kaki Zena naik ke atas kakinya.
Akhirnya Zena menurut, kakinya dinaikkan ke atas kaki Aryan. Tangan Kanan Aryan semakin memegang erat pinggang Zena.
Perlahan mereka berdansa kecil dengan alunan musik alam, desiran angin, deburan ombak dan juga daun-daun nyiur melambai bergesekan seolah berpadu dengan suara-suara sekitar membentuk alunan lagu yang merdu di telinga keduanya.
Zena merebahkan kepalanya di dada Aryan membuat Aryan tersenyum kecil.
***♡💞♡***
Akhirnya setelah seminggu di Australia, mereka pulang.
Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta. Mereka dijemput oleh Mika dan Zahra.
"Hey, bagaimana kabar kalian dan juga di kampung?" tanya Aryan memeluk Mika.
"Alhamdulillah, baik. Di kampung juga semuanya baik." Jawab Mika.
"Cieee. Berseri-seri sekali kamu, Na." Goda Zahra.
Zena tersipu malu. "Gimana kabarmu serta ayah dan bunda?" tanya Zena memeluk Zahra.
"Semuanya baik-baik aja." Jawab Zahra. Namun, raut wajahnya tak menunjukkan begitu, seolah ada sesuatu yang disembunyikan mereka.
Aryan memeluk Zahra. "Apa kalian sengaja datang dari Bandung menjemput kami?"
"Zahra kan sudah pasti di Jakarta. Ia kan kuliah mas." Zena yang menjawabnya.
"Nggak Na, aku masih di Bandung selama seminggu ini." Sanggah Zahra.
"Kukira kamu sudah pulang ke Jakarta." Kata Zena tersenyum.
"Sudahlah. Ngobrolnya nanti aja di mobil, biar tak kemalaman sampai di Bandung." Kata Aryan melihat hari sudah sore.
"Kalian tenang aja, jalan besar sudah sampai ke kampung kalian, tapi belum di aspal. Hanya sudah bisa masuk mobil sampai ke depan pesantren." Ujar Mika melingkarkan lengannya ke tengkuk leher Aryan.
"Benarkah? Akh syukurlah kalau begitu, kita sudah tak khawatir lagi jika malam hari." Kata Aryan terlihat bahagia mendengar hal itu.
Mereka membawa tas menuju ke tempat parkir.
Di dalam mobil Mika dan Zahra saling bertanya jawab tentang perjalanan mereka berdua selama di Australia.
Zena merasa Aneh, kenapa sikap Zahra terasa berbeda, tidak seperti biasanya. Dia sudah mempunyai firasat tidak enak, pasti ada sesuatu yang terjadi di kampungnya.
Selama perjalanan Zena dan Zahra tidur, sementara Mika dan Aryan masih mengobrol agar Mika tak merasa ngantuk.
Beberapa jam kemudian, mobil memasuki terminal Bandung. Masuk ke sebuah jalan yang masih tanah dan juga masih minim penerangan. Bukit-bukit telah dipotong menjadi jalanan besar yang sebentar lagi akan segera di aspal.
Aryan merasa bangga, perjuangannya demi memajukan kampung itu tidak sia-sia dan sebentar lagi akan bagus.
"Mik. Lo tinggal di kampung sampai nanti jalan selesai, kan?" tanya Aryan melihat ke depan jalanan masih gelap.
"In syaa Allah, gue kan mandornya tor. Jadi sepertinya sampai selesai."
"Hmmmm, setelah itu lo kembali ke Jakarta?" tanya Aryan lagi.
"Ya, gue juga masih banyak urusan di Jakarta. Gue berterima kasih ma lo Tor, karena ketika gue jadi mandor proyek jalan ini. Gue dapat banyak tawaran dari beberapa perusahaan dan gue menjadi arsitektur tetap di perusahaan bokap gue." jawab Mika girang.
"Wihhh, hebat lo bisa seperti itu. Nggak usah berterima kasih ma gue, itu semua adalah kemampuan dan sudah sepatutnya lo mendapatkannya." Ujar Aryan selalu bangga pada sahabatnya itu.
Mobil berhenti di depan gerbang pesantren. Aryan membangunkan Zena dan Zahra yang tertidur lelap.
Ketika turun dari mobil, semuanya sudah berdiri di sana menyambut mereka.
"Assalamualaikum wr.wb." Mereka mengucapkan salam.
Zena mencium tangan ayahnya. "Bagaimana keadaan Abi?"
"Alhamdulillah baik Neng, kamu pasti lelah. Kita ngobrol-ngobrolnya di dalam saja."
Mereka disambut hangat oleh semuanya. Kebetulan di sana baru selesai salat isya.
Zena tampak mengernyitkan keningnya melihat mata ibunya sedikit sembap.
"Umi," Zena mencium tangan dan kedua pipi ibunya, "Kenapa kedua mata Umi jadi begitu? Ada apa ini teh? Apa di sini ada masalah?" tanyanya sudah merasa tak enak hati dan ia sudah bisa menebak kalau di sana semuanya tidak baik-baik saja. Ia melirik Ayahnya yang sedang memeluk Aryan.
"Kita masuk dulu tak enak ngobrol di luar." Ajak Umi Fatma.
Aryan dan Zena duduk di kursi di ruang depan. Semua menatap aneh pada mereka berdua.
"Ada apa Abi, Umi? Kenapa semua jadi tegang begini?" tanya Zena penasaran.
Aryan melirik pada Mika seolah meminta penjelasan atas sikap aneh mereka,
Ziad yang angkat bicara. "Kak Zena. Nenek imah meninggal dunia tiga hari yang lalu." Jawabnya membuat Zena dan Aryan terbelalak mendengar kabar itu.
---♣♡💞♡♣---
°°°°_____TBC______°°°°
Ma'assalamah.. 〜(^∇^〜)..
Revisi ulang* 16~07~2019
By* Rhanesya_grapes 🍇
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top