~21~ ♥※Gelisah※♥

%%%_____DaT_____%%%

(Ilmu) dari Syeikh Sultan Farees di masjid Riyadh (Saudy Arabia- yang pernah mengajariku).

"Bacalah surah al-kahfi dari Ayat 1 sampai selesai. Setiap selesai salat subuh atau salat ashar pada hari jum'at, In syaa Allah dari jum'at itu sampai jum'at yang akan datang kita akan disinari terus cahaya dari surga."

"Min iqra surah al-kahfi youm jum'ah khamil, fi bada shala Sub'hi au shala Ashari, Insya Allah Nurul Zanah fog Rass kum/hum (barang siapa yang membaca surah Al-kahfi lengkap sesudah melaksanakan salat subuh atau salat Ashar (sebelum terbit atau sebelum terbenam'nya matahari) In syaa Allah cahaya surga menyinari terus dari atas kepala kalian.)

Semoga bermanfaat.

                      ---♥♡💞♡♥---

Aryan dilarikan ke ruang UGD. Kini dia dalam keadaan tidak berdaya antara hidup dan mati. Kedua orang tuanya berdiri di dekat pintu ruang UGD dengan penuh kecemasan dan kekhawatiran.

Karena selama tiga hari tidak ada pasokan makanan dalam tubuh Aryan ditambah darah yang keluar banyak membuat Aryan dalam keadaan tidak stabil dan benar-benar kritis.

Di Bandung.

Prannkkkk!!

Terdengar sebuah piring jatuh ke lantai dan pecah berantakan.

Ternyata itu adalah Zena yang tak sengaja menjatuhkan piring yang sedang dipegangnya, hatinya bertambah gelisah. Sudah tiga hari berlalu tak ada kabar dari Aryan, apalagi semenjak mendapat kabar dari Mika bahwa Aryan dibawa pulang paksa oleh keluarganya, benar-benar membuat Zena bertambah khawatir dan perasaannya jadi tak menentu.

"Zena kenapa kamu teh gelisah terus?" tanya Umi Fatma melihat Zena yang tak keruan.

"Tidak tahu Ummi, aku merasa tidak tenang selama beberapa hari terakhir ini." Jawab Zena sembari membereskan pecahan piring-piring itu di lantai.

"Apa karena belum ada kabar dari nak Aryan? Kamu tenang saja dan teruslah berdoa semoga dia di sana baik-baik saja dan cepat kembali lagi ke sini." Ucap Umi Fatma mencoba menenangkan kegelisahan anaknya itu.

"Insya Allah Ya Rabb." Doa Zena.

Tak lama setelah membereskan pecahan piring Ziad dan Zaib berlari ke dapur. "Kakak Zena di depan ada seorang lelaki datang dan menanyakan kak Zena." Kata Ziad.

"Siapa?" tanya Zena mengernyitkan keningnya.

Ziad dan Zaib mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu.

Zena dan Umi Fatma melangkah menuju ke depan. Ketika pintu terbuka mereka melihat seorang lelaki berdiri, ternyata itu hanya pengantar surat dari kantor pos.

"Nona Zena?" tanyanya.

"Iya saya sendiri." Jawab Zena menghampiri.

"Ini ada surat untuk Anda, jadi tolong tandatangan di sini." Ucapnya lagi menyodorkan surat beserta buku tanda terima.

Zena menerima amplop lumayan cukup besar, ia pun menandatangani sebuah buku tanda terima itu.

Setelah lelaki itu pergi, di bolak-balik surat itu dengan masih menautkan kedua alisnya.

"Apaan itu Zena dan dari siapa?" tanya Umi Fatma penasaran.

Zena membaca kirimannya hanya tercantum alamatnya saja dari Jakarta.

"Mungkin itu kiriman bom mi." Ziad yang menjawab seenaknya.

"Kalau bom itu besar Ziad bukan kecil seperti itu." Tempis Zaib.

"Bisa aja itu bom kecil weekk!" ledek Ziad.

"Lebih pinter anak kecil ketimbang kamu Ziad." Ledek Zena pada adik laki-lakinya itu.

Ziad mengerucutkan bibirnya. "Ya udah buka aja pasti tebakan aku benar." Ucapnya lagi tak mau kalah.

"Sudah.. Sudah.. kalian main sana, jangan ganggu kakak kalian terus." Kata Umi Fatma menyuruh mereka main sebelum hari menjadi petang dan gelap.

Setelah mereka pergi Zena dan Umi Fatma masuk kemudian duduk di kursi sofa di ruang depan. Perlahan dibukanya dengan jantung berdebar kencang.

Ketika terbuka dan melihat isinya.

Traakkk!!

Surat itu berjatuhan di atas meja, Umi Fatma ikut terkejut melihatnya. Sebuah undangan, poto dan juga sepucuk surat jatuh berserakan di sana.

Umi Fatma mengambil lalu membaca undangan itu, tercantum nama Aryan dan wanita bernama Belvia. Dilihat lagi sebuah poto yang tidak pantas untuk dilihat, Aryan sedang tertidur bersandar di bahu seorang wanita dengan hanya berselimut setengah dada di Atas ranjang.

"Tidak mungkin?" ucap Zena pelan dengan kedua mata berkaca-kaca.

"Kenapa bisa jadi begini? Apa maksudnya mengirim undangan dan poto kepadamu Zena?" tanya Umi Fatma terlihat berpikir dan benar-benar ikut terkejut.

"Aku tidak tahu Mi, tapi aku rasa ada sesuatu yang tidak beres di sana." Perasaan Zena mengatakan begitu, mustahil Aryan melakukan hal itu apalagi kepadanya.

Meski begitu, keraguan mulai merayapi perasaan Zena saat itu, dia harus mencari tahu kebenarannya.

Zena meraih sepucuk surat itu lalu membacanya.

Dear Zena

Maafkan aku karena sudah menghianatimu, aku pulang ke rumah memang dipaksa oleh kedua orang tuaku, akan tetapi aku sadar tanpa mereka apalah aku ini. Aku minum bersama mereka sampai mabuk dan aku telah melakukan hubungan terlarang dengan wanita di poto itu. Kini aku harus mempertanggung jawabkan perbuatanku.

Zena aku mohon maafkan aku setulus hatimu, aku harus menikahi wanita itu dan aku tidak akan pernah kembali lagi ke sisimu.

Aryan Mirza Rhakshan

Zena tampak terpukul membaca isi surat itu, dia tak kuasa menahan tangisnya yang akan pecah, ia bangkit dari sofa kemudian berlari keluar menuju ke tengah sawah.

Umi Fatma membiarkan anaknya menenangkan hatinya sendirian.

Zena duduk di saung sendirian, dia berpikir apa benar Aryan tega melakukan itu padanya. Dia memang belum bisa mempercayai semua itu apalagi belum ada kabar sedikitpun bagaimana keadaannya.

Di Jakarta.

Debaran jantung Aryan mulai melemah, mereka sebenarnya hanya menjahit lengan Aryan yang terluka, tapi mereka kewalahan hanya karena keadaan Aryan yang benar-benar lemah itu.

Kedua orang tuanya terus berdoa kepada Tuhan mereka yesus.

Hari sudah gelap, mereka memindahkan Aryan dari Ruang UGD ke ruang ICU.

***♡💞♡***

Zena pulang dari sawah dan sesampainya di rumah, ketika itu Ziad berlari kearahnya sambil berkata. "KAK ZENA, ADA TELEPHONE DARI BANG MIKA!" teriaknya.

Tanpa bertanya lagi Zena berlari ke kantor ayahnya, karena dia sama sekali tak pernah memegang ponsel, selama ini dia hanya memakai telephone rumah yang berada di kantor Pak Zainal.

Sesampainya di sana, ia langsung meraih gagang telepon lalu menyapa Mika. "Hallo, Assalamualaikum. Bang Mika apa ada kabar lagi dari mas Aryan?" tanyanya langsung tanpa ada rasa sabar.

"Wa'alaikumsalam. Masalah itu aku...? Dia..?" Mika tampak bingung untuk menjelaskannya.

"Masalah apa? Apa benar kalau mas Aryan akan menikah dengan wanita lain di sana?" tanya Zena lagi.

"Tidak! Itu hanya karangan orang tua Aryan saja, sebenarnya dia sekarang sedang kritis di rumah sakit." Jawab Mika dengan nada getir.

"APA!! Bang Mika tidak sedang berbohong, kan? Semua hanya candaan, kan. Tidak mungkin mas-"

"Sumpah demi Allah Na, sekarang Aryan sedang dalam masa kritis karena tadi dia mencoba bunuh diri akibat dikurung terus dikamarnya." Jelas Mika. Ia mengetahui hal itu dari mamang tukang kebun Aryan yang waktu itu melempar surat pada Aryan.

"Astagfirullahaladzim! Ya Allah." Ucap Zena beristighfar, hatinya berdetak kencang, tubuhnya mulai gemetaran, dia sungguh tak menyangka kalau Aryan akan nekad seperti itu.

"Haloo. Zena.. Zena.. Haloo kamu masih di sana kan? Kamu tak apa-apakan.. Tutt.. Tutt!" pembicaraan pun terputus karena tanpa sadar Zena menaruh gagang telepon ke tempatnya.

Mika menghela napas berat, dia juga ingin sekali menemui Aryan. Namun, penjagaan begitu ketat di depan kamar ICU sehingga dia tak bisa menemuinya meski sekadar untuk memastikan keadaannya.

Zahra menelepon ke ponsel Mika yang diangkat langsung olehnya, dia mengajak untuk bertemu di sebuah Kafe biasa.

Zena melangkah ke kamarnya dengan gontai. Jadi benar kalau perasaan tidak enaknya selama beberapa hari semenjak kepergian Aryan membuktikan kalau Aryan tidak sedang baik-baik saja.

***♡💞♡***

Tengah malam yang sunyi untuk kedua kalinya Zena salat tahajud dan sunah malam serta berdoa.

"Ya Allah, kau lah yang maha pengasih lagi maha penyayang, ampunilah dosa hamba serta kedua ibu bapa hamba, selama ini hamba selalu berusaha untuk taat padamu, maka dari itu hamba mohon padamu Ya Allah, selamatkanlah mas Aryan yang kini sedang dalam masa kritis, hamba mohon jangan kau uji kami dengan ujian yang tak sanggup kami untuk memikulnya, sesungguhnya engkaulah yang maha berkehendak. Hamba pasrahkan semuanya padamu Ya Rabb. Amminnn."

Dengan linangan air mata Zena bersimpuh di atas sajadahnya, air mata terus mengalir di kedua pipinya membasahi mukena dan kedua telapak tangannya.

Allah Maha Penyayang, doa itu benar-benar cepat dikabul apalagi di seperempat malam terakhir (antara jam 12 sampai jam 3 subuh) Allah turun ke langit terendah. Saat itu Allah lebih dekat kepada hamba dan umatnya di seperempat malam terakhir. Sesungguhnya keadaan yang paling dekat antara hamba dan Rabb'Nya adalah ketika hambanya bersujud. Maka perbanyaklah doa ketika kita bersujud (dalam salat).

Aryan perlahan membuka kedua matanya, di kedip-kedip menatap cahaya kecil yang tampak menyilaukan matanya itu. Setelah pandangannya jelas ternyata cahaya itu datang dari lampu kamar rumah sakit. Bau menyengat dari cairan detoks pembersih rumah sakit kini mulai membuatnya hampir sesak untuk bernapas.

Dia menoleh ke samping, dengan memutar matanya jengah ia melihat keadaannya yang tampak sedang di infus lagi. Perlahan dia bangkit, namun keadaannya benar-benar sangat lemah saat itu, akan tetapi dia tetap berusaha untuk turun dari ranjangnya.

Di cabut jarum infusan. Sambil mendekap bekas jarum itu agar tidak mengeluarkan banyak darah lagi, ia menapak ke lantai dengan kaki telanjang.

"Zena," yang ada di pikirannya saat itu adalah Zena,"aku harus segera pergi dari sini untuk pergi ke rumah Zena," tanpa mempedulikan sakit tangan yang dijahit itu, ia tetap melangkah dengan gontai menuju pintu.

Ketika pintu dibukanya, berdiri 4 bodyguard mengadang di sana agar Aryan tidak kabur.

"Apa kalian ingin mati." Ancam Aryan dengan nada lemah. Mereka tampak tak menghiraukan ancaman itu.

"Biarkan aku pergi!" bentaknya lagi.

Mereka tetap bergeming di tempat mereka berdiri sehingga Aryan terpaksa menubruk tubuh kekar-kekar itu. Namun, apalah daya yang sakit pasti akan kalah dengan yang sehat apalagi melawan tubuh para bodyguard itu.

Ketika dia berontak terus. "LEPASKAN DIA!" perintah nyonya Lynnel yang tergesa-gesa menghampirinya.

"Mom." Dengan berkaca-kaca Aryan seolah mempunyai harapan baru untuk segera pergi dari sana.

Para bodyguard itu melepaskan Aryan yang bersender di dinding menopang tubuhnya yang lemah itu.

"Aryan syukur nyawamu selamat nak," ucap nyonya Lynnel menangis memeluk Anaknya itu. Dia ketakutan setengah mati kalau anaknya tidak akan tertolong nyawanya.

"Where are you going? Masuklah, kau sedang sakit dan harus banyak istirahat." Bujuk nyonya Lynnel menopang tubuh Aryan.

"Tidak! Aku tidak mau masuk, aku ingin kembali ke Bandung." Tolak Aryan masih berontak ingin melepaskan tangan nyonya Lynnel.

"Aryan!"

Namun Aryan masih melangkah dengan gontai terus merapat ke dinding sebagai penopangnya. Namun, karena terlalu lemah, dia jatuh ke lantai dan tangannya tertekan sehingga ia harus merintih kesakitan lagi.

"ARYAN!" nyonya Lynnel berburu kearahnya. Meski masih berontak ia dibantu oleh kedua bodyguard untuk berdiri tegak kembali.

"Aryan dengarkan Mommy." Pinta nyonya Lynnel.

"Pokoknya aku harus pergi dari sini, I HATE DADDY!" teriak Aryan.

Nyonya Lynnel dengan sadis menarik baju Aryan agar mendekat dengannya, itu pertama kalinya nyonya Lynnel sekasar itu. Tapi, dia tampak membisikkan sesuatu ke telinga Aryan membuat kedua mata Aryan membelalak.

***♡💞♡***

Pagi-pagi sekali. Zena sudah merenung di saung, dia menatap ke arah sawah yang sudah siap ditanami padi. Begitu jelas bayangan Aryan di sana, dari senyum, tawa dan juga tingkah lakunya yang kadang-kadang konyol membuatnya meneteskan air matanya.

"Aku sangat merindukanmu mas Aryan." Ia hanya bisa mengungkapkannya dalam hati saja.

Dari semalam dia belum mendapat kabar apapun tentang Aryan dari Mika. Ia merasa sudah putus asa. Memang benar, jika tanpa restu orang tua. Sebuah hubungan terasa sangat tidak berarti bahkan rintangan selalu saja datang menguji.

Datang Zaib dan Ziad yang kebetulan hari itu hari minggu jadi pagi-pagi mereka sudah ikut nongkrong di sana.

"Kak Zena, kenapa kedua mata kakak sembap seperti itu?" tanya Zaib heran melihat mata kakaknya itu merah dan sedikit bengkak.

"Dia itu habis tinju tadi malam Zaib." Jawab Ziad asal, membuat Zena tersenyum tipis.

"Benarkah? Dengan siapa?" tanya Zaib malah semakin penasaran.

"Dengan bantal, ahahaha." Jawab Ziad lagi tertawa sendiri. Zaib mengejar Ziad karena kesal.

Zena menggelengkan kepalanya melihat mereka saling mengejar.

"Zena!" terdengar suara perempuan yang memanggilnya dari belakang, dan dia mengenali suara siapa itu.

Ketika bangkit berdiri dari duduknya, ia menengok ke belakang melihat Zahra dan Mika sedang berdiri di sana tersenyum melihat kearahnya.

"Zahra?!" Zena berlari langsung memeluk Zahra. "Akh akhirnya kau datang juga ke sini." Peluknya lagi semakin erat.

"Iya ni Na, aku sedang libur kuliah jadi lumayan meski beberapa hari di sini melepas bosan di kota terus." Jawab Zahra ikut memeluk Zena.

Perlahan Zena melepaskan pelukannya. Dia kini menatap Mika seakan bertanya bagaimana keadaan Aryan, Mika mengerti dan dia hanya menggelengkan kepalanya tanda dia juga tidak tahu keadaannya.

Zena menunduk sedih. Ia berjalan kembali ke saung diikuti oleh Mika dan Zahra. Zaib dan Ziad juga ikut duduk di sana. Bercanda dengan Mika.

"Apa kamu semalaman menangis, Na?" tanya Zahra.

Zena hanya tersenyum tipis mencoba menahan air matanya. "Aku sangat khawatir sekali, dan ingin tahu keadaannya sekarang Ra, sebenarnya aku bisa saja menyusulnya ke kota. Tapi aku takut menghadapi kedua orang tuanya, dan aku sempat berpikir untuk mengikhlaskannya menikahi wanita lain pilihan orang tuanya itu."

"Apa benar kau rela begitu?" tanya Zahra ingin meyakinkan jawabannya itu.

"Ya, jika Mas Aryan tidak menentang kedua orang tuanya dan mengikuti semua keinginan mereka, aku yakin dia akan bahagia." Jawab Zena dengan masih menundukkan kepalanya.

"Jadi jika dia bahagia, kamu juga ikut bahagia Na?" tanya Mika.

Zena hanya bisa mengangguk. Setetes air matanya turun tak tertahankan. Namun, masih berusaha untuk ditahannya.

"Jika dia bahagia, maka bagaimana denganmu?" tanya Zahra.

"Aku-".

"Akan bunuh diri lagi di hadapanmu." Potong seseorang yang kini sudah berdiri di hadapannya.

Jantung Zena semakin berdetak kencang, ia menatap sepatu seorang pria yang berdiri dihadapannya, dan dia mengenali suara itu, suara yang selama beberapa hari sangat ia rindukan dan orang yang sedang ia cemaskan saat itu.

Perlahan Zena mengangkat wajahnya mendongak ke atas, air matanya mengalir begitu saja ketika melihat yang berdiri di sana benar-benar adalah Aryan.

Aryan tersenyum dengan kedua mata berkaca-kaca juga menatapnya. "Apa kabar sayang? Apa kau ingin membiarkanku pergi, atau ingin melihatku bunuh diri lagi dihadapanmu-" belum selesai Aryan berkata Zena langsung bangkit berdiri ingin memeluknya erat tetapi ditahannya.

Aryan juga berusaha agar menahan tubuhnya dari memeluk Zena.

"Alhamdulillah Ya Allah, kau telah mengabulkan doaku, Subhanallah." Puji syukur Zena pada sang Maha Kuasa.

Mereka berdua melepas rasa rindu dengan tangisan, membuat semua yang melihat ikut terharu juga.

"Maaf, beberapa hari ini aku tidak memberimu kabar." Ucapnya sedikit merintih karena tangan yang di ghip dan talinya dikalungkan di lehernya masih terasa ngilu.

"Tidak apa, aku sudah tahu semua ceritanya." Jawab Zena tersipu malu sambil mengusap air matanya.

"Pelukan dong," goda Mika.

"Ihhh, belum muhrim." Goda Zahra juga.

"Kaya teletubbies aja." Ucap Ziad asal, membuat semuanya tertawa.

Setelah mereka duduk dengan tenang. "Bagaimana ceritanya mas bisa datang ke sini dengan bang Mika dan Zahra? Bukankah kedua orang tua mas tidak boleh datang ke sini lagi dan akan dinikahkan dengan wanita lain?" tanya Zena penasaran.

"Ya awalnya memang aku akan dipaksa menikah dengan wanita lain akan tetapi-?"

**Flashback**

Ketika di rumah sakit, Aryan terus berontak sehingga semua kewalahan dan khawatir akan terjadi apa-apa dengannya jika terus marah dan mencoba untuk kabur, dalam keadaan begitu dia bisa saja mencoba bunuh diri lagi jika dikurung kembali.

Akhirnya nyonya Lynnel membisikkan sesuatu. "Aryan, jika kau ingin pergi dari sini turutin apa mau mommy,"

Dengan pelan juga Aryan bertanya. "Apa itu?"

Nyonya Lynnel mengajak Aryan masuk ke dalam kamar rawatnya, kemudian mendudukan Aryan di atas ranjangnya.

"Berbahagialah dengan cintamu, Mommy yakin suatu hari nanti Daddy mu akan setuju dengan pernikahanmu, saat itu bawa menantu Mommy ke sini kerumah kita." Ucap nyonya Lynnel sembari tersenyum simpul.

"Benarkah itu?" tanya Aryan hampir tak bisa mempercayainya, "terus bagaimana dengan Daddy sekarang, kalau sampai dia tahu aku pergi ke Bandung lagi, dia pasti tidak akan tinggal diam." Ucapnya takut bercampur cemas.

"Kamu jangan Khawatir sayang, Daddy mu biar Mommy yang ngurus, tadi dia ada urusan mendadak ke luar kota yang tak bisa ditunda, untuk itu besok kau bisa pergi dengan tenang menemui calon istrimu itu." Ujar nyonya Lynnel.

"Akh. Alhamdulillah Ya Allah," ucap Aryan bersyukur dan tak sabar untuk menemui Zena. Dia memeluk erat ibunya, "thanks Mom, and I LOVE U." Sembari mencium pipi nyonya Lynnel.

Paginya Aryan menghubungi Mika dan Zahra untuk berangkat bersama ke Bandung. Dia memohon kepada keduanya untuk merahasiakan dahulu tentang kedatangannya itu.

**Flashback off**

"Jadi kalian sekongkol ingin membuat aku mati berdiri, jahat." Kata Zena cemberut. Tak sengaja dia menyenggol lengan Aryan yang terluka.

"Awww!" rintih Aryan pura-pura.

"Akh, maaf mas aku tak sengaja." Kata Zena menjadi khawatir melihat Aryan kesakitan.

Aryan tersenyum. "Aku hanya bercanda," cengirnya.

"Kenapa matamu sembap seperti itu?" tanya Aryan aneh.

"Katanya semalam habis tinju, benar kan Ziad?" tanya Zaib menatap kakak laki-lakinya itu.

"Tinju?" Zahra mengernyitkan alisnya. Mika tertawa dan Aryan malah nyengir. Kini dia tahu kalau Zena banyak menangisinya.

"Kapan aku ada yang nangisin?" kata Mika berkhayal.

"Nanti aku yang nangisi abang," kata Zahra.

"Beneran?" tanya Mika baper sendiri.

"Iya, kalo abang tangannya terluka kaya bang Yan."

"Ra, kalo kamu mau abang bunuh diri agar kamu tangisi. Sekarang juga abang akan bunuh diri di pohon pisang itu." Tunjuk Mika pada Batang pohon pisang yang masih kecil.

"Yeeeh, mana bisa mati di sana." Dengus Zahra sebal.

"Hahaha!" semuanya tertawa.

Begitu hangatnya kebersamaan mereka, sehingga mereka tidak peduli ujian apa lagi yang akan menerpa, mereka pasti akan menghadapinya bersama.

                      ---♣♡💞♡♣---

°°°°______TBC______°°°°









Revisi ulang* 13~07~2019

By* Rhanesya_grapes 🍇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top