~13~ ♥※IKHLAS※♥

%%%________DaT________%%%

Bukan keikhlasan jika masih merasa sakit dan dibicarakan.
Bukan kesabaran jika masih mempunyai batasan.

"Jika dia memang ditakdirkan bukan untukku, aku ikhlas melepaskannya bahagia dengan yang lain, meski kebahagiaan itu diambil dari senyumku,"

"Wahai sang pencipta maha membolak-balikkan hati, ambilah kebahagiaanku dan berikan padanya, agar dia bisa terus bahagia, meski aku tak akan bisa bahagia lagi, karena aku siap menanggung semua kesedihannya." (Aryan)

**°____________________________°**

Malam itu sehabis salat magrib. Mika membawa Aryan ke rumah Andre agar tidak ada yang mengetahui atau menyusul dan memaksanya pulang kembali ke mansions-nya, Bimo juga akan datang ke rumah Andre. Kebetulan kedua orang tuanya sedang berada di luar kota.

Setelah menceritakan semuanya pada Andre, akhirnya Andre mengerti kenapa sahabat beda agama-nya itu mau masuk ke dalam agamanya dan nekat pergi dari rumahnya.

"Tor, kita di sini dulu malam ini, kalau lo sampai nekat malam ini pergi ke Bandung. Gue takut lo dibegal atau dirampok di tengah jalan, apalagi nanti nggak akan ada kendaraan yang mengantar lo ke pesantren." Bujuk Mika menunjukkan rasa khawatirnya.

"Tapi gue-" kalimat Aryan terpotong oleh Andre yang datang dari dapur membawa minuman hangat.

"Si Mika benar Yan, kalau lo pergi. Bukannya nyelesaiin masalah, yang ada malah lo yang kena masalah." Ucap Andre menaruh minuman di atas meja di depan mereka.

Aryan tampak merenung.

Terdengar suara motor Bimo yang berhenti di depan teras, tak lama derak suara langkah terdengar dari luar. Beberapa saat kemudian, Bimo membuka pintu melihat mereka yang sedang kumpul bertiga di ruang depan.

"Wiiihh, sedang ada perkumpulan apa nih? Tega banget nggak ngajak-ngajak." Ucap Bimo berburu ke arah mereka, dia menurunkan sebelah alisnya melihat ketegangan di wajah sahabat-sahabatnya itu.

"Perkumpulan pala lo peyang, sini gue ceritain sekalian bantuin gue nyiapin kamar buat mereka tidur." Kata Andre melingkarkan sebelah tangannya ke tengkuk leher Bimo lalu membawanya ke kamar tamu.

"Mik," akhirnya Aryan buka mulut juga.

"Hmm," jawab Mika menatap sayu pada sahabatnya itu.

"Sorry ya. Karena gue, lo kebawa repot, dan tergulung dalam masalah gue." Tiba-tiba saja ucapan Aryan terasa merinding bagi Mika.

"Lo gila apa? Kenapa lo sampai ngomong begitu? Lo tau kan apa pun masalahnya kita selalu membereskannya bersama-sama. Gue bahkan yang banyak berhutang budi sama lo." Jawab Mika mengingat waktu perusahaan ayahnya hampir bangkrut, Aryan-lah yang meminta kepada ayahnya agar menyuntikkan dana pada perusahaan Mika sehingga sukses kembali sampai sekarang. Dari saat itu hubungan persahabatan mereka sudah lebih dari saudara.

"Jujur Mik, baru pertama kali ini gue mengalami hal seperti ini. Gue seumur-umur belum pernah merasakan sebuah perasaan yang bahkan sangat menyiksa gue," ucapan Aryan terdengar lirih. "Apa gue udah egois ingin memiliki Zena seutuhnya, bahkan sangat ingin menikahinya." Ia terlihat sangat sedih. Wajahnya masih menunduk dalam.

Mika menepuk sebelah pundak Aryan. "Gue ngerti perasaan lo saat ini, tapi kalau masalah soal Cinta memang perlu sedikit keegoisan-"

"Tapi Mik, gue sekarang bukan anak seorang bilioner lagi, apa jika mereka membatalkan pernikahan Zena dengan lelaki lain, gue bakalan diterima dalam keadaan begini?" kini Aryan terlihat ragu memikirkan masa depannya yang mungkin akan menjadi sulit.

"Ingat tor, jika mereka bukan keluarga matre, gue yakin mereka bakalan menerima lo. Namun, jika memang mereka menjodohkan Zena hanya demi uang semata, gue nggak bisa berkata apa-apa lagi,"

"Tapi gue yakin, keluarga si Zahra bukan tipe seperti itu. Apalagi ayahnya Zena adalah seorang Pak haji, rata-rata mereka tidak mengedepankan duniawi, tapi mengejar Akhirat," Aryan mendongak menatap langit-langit ruangan itu.

"Gue sepertinya memang udah terlambat Mik, Zena udah dijodohkan dengan orang lain, tapi meski begitu gue tetap berniat datang ke sana, walaupun tidak bisa mendapatkan Zena, paling tidak gue bisa menjadi salah satu santri di sana yang menuntut ilmu." Ujar Aryan terlihat sudah pasrah.

"Gue bangga sama lo, udah bisa belajar ikhlas."

"Ikhlas? Sebenarnya hati gue nggak pernah ikhlas. Kenapa di saat gue udah menemukan dermaga untuk berlabuh, gue harus kembali ke tengah samudra yang berombak besar." Jawab Aryan terdengar putus asa.

"Apa pun yang terjadi, yakinlah gue selalu ada di samping lo-"

"Sembarangan." Potong Andre keluar dari kamar tamu.

"Memangnya cuma lo yang boleh berada di samping si Aligator, kita berdua dianggap apa?" protes Bimo ikut duduk di sebelah Aryan.

"Thanks, kalian sudah mau berada di samping di saat gue kesulitan." Ucap Aryan menatap satu per satu sahabat-sahabatnya itu.

"Itulah gunanya teman." Ujar Andre tersenyum.

Aryan merenung di depan teras rumah, sementara Mika, Bimo dan Andre sedang bermain-main kartu sambil sesekali mereka menertawakan yang kalah.

***♡💞♡***

Sementara di rumah Zena. Dia merenung di kamar memikirkan tentang perkataan Zahra. Dia baru tahu kalau Aryan sudah masuk agama islam dan kemungkinan besok Aryan akan datang ke pesantren.

"Apa dia memang sangat mencintaiku? Sampai dia rela berkorban untukku. Lalu bagaimana bisa aku menentang perjodohan yang telah diterima Abi dengan anak Pak Kades itu? Ya Allah (sambil menengadah ke atas) berilah petunjukmu, sebenarnya siapa yang terbaik untuk hamba."

Di kamar lain, kedua orang tuanya sedang mendiskusikan hal yang sama.

"Abi, kenapa Abi teh bisa menjodohkan anak kita dengan anak Pak Kades itu? Padahal dia kan pemuda yang tidak baik." Tanya Bu Fatma heran pada suaminya.

"Karena, kalau kita menerima lamaran keluarga Pak Kades, dia akan menyetujui untuk membuat jalan besar di kampung ini. Apa umi tega melihat penduduk kampung ini tersiksa karena susahnya alat transportasi umum yang menghubungkan dengan kota. Abi juga sudah berpikir ribuan kali, semoga nanti setelah anaknya Pak Kades menikah dengan Zena, dia akan berubah dan bertanggung jawab sebagai suami." Harap Pak Zainal menghela napasnya getir.

Rupanya Pak Zainal mempertaruhkan Zena demi kepentingan penduduknya. Di sana dia sudah dianggap kepala suku atau pembesar. Bertahun-tahun mereka mengadu kepadanya lalu pada pemerintah. Namun, pemerintah seolah memandang sebelah mata pada kampung kecil itu.

***♡💞♡***

Semalaman Aryan tidak bisa tidur. Pagi-pagi sekali dia sudah bersiap-siap untuk berangkat.

"Tor, lo mau berangkat sekarang?" tanya Mika kaget ketika melihat Aryan tengah memasukkan pakaianya ke dalam tas ransel.

"Ya, semakin cepat semakin lebih baik Mik, gue ingin tau bagaimana nasib masa depan gue." Jawab Aryan masih tetap memasukkan pakaianya.

"Ya udah, gue ganti baju dulu." Kata Mika bangkit dari atas ranjang.

"Jangan Mik, lo nggak usah ikut. Kali ini gue harus berhadapan dan menyelesaikan masalah gue sendiri, nanti kalau lo mau nyusul ke sana, nyusul aja. Yang pasti gue harus berangkat sendiri dulu sekarang." Jawab Aryan terlihat yakin dengan keputusannya.

"Lo yakin?" tanya Mika ragu.

Aryan mengangguk. "Kalau gitu gue berangkat dulu, Ok." Ia menggendong sebelah tali tas ke belakang punggungnya.

Mika tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia mengantarnya ke depan. "Hati-hati tor. Ingat kalau ada apa-apa segera hubungi gue, dan nanti kalau urusan lo udah kelar atau belum kelar juga nggak apa-apa gue pasti akan nyusul ke sana." Ia langsung memeluknya.

Aryan hanya mengacungkan jempol tangan kanannya, "Assalamualaikum wr.wb." Pamitnya bergegas melangkah menuju ke pinggir jalan, menunggu ojek lewat untuk mengantarkannya ke terminal bus.

Mika malah bengong, itu pertama kalinya Aryan mengucapkan salam ketika akan pergi. "Wa'alaikumsalam wr.wb." Jawabnya pelan.

Tiba-tiba Andre yang baru saja bangun sudah berdiri di belakang Mika menatap kepergian Aryan. "Hoammss, ternyata dia memang udah berubah." Ucapnya benar-benar mengagetkan Mika.

"Kampret lo! Mau bikin gue jantungan apa, kirain malaikat pencabut nyawa yang tiba-tiba aja udah ada di belakang gue." Kata Mika memegang jantungnya yang berdetak kencang.

Andre malah tertawa. "Kenapa lo berpikir gue malaikat pencabut nyawa, takut mati juga lo ya," ledeknya.

"Iya lah, jujur ni dosa gue itu udah menumpuk, jangan sampai bertambah gara-gara ngegantung lo di pohon cabe," kata Mika melangkah masuk berniat mau mandi.

Tiba-tiba lagi Bimo keluar dari kamarnya tampak panik. "Woyy, si aligator ke mana? Apa dia kabur tanpa pamit ma kita?" tanyanya bingung.

"Ini lagi, yang satu ngagetin yang satu musingin, si Aligator udah pergi dari tadi, lo sih molor mulu." Jawab Mika membuat Bimo nyengir kuda.

"Mik, kalau lo pergi ke Bandung gue ikut ya." Kata Andre.

"Gue juga." Sahut Bimo.

"Ogah gue bawa lo elo ke Bandung, bakalan malu-maluin nantinya, emang pada ngapain sih pengin ikut ke sana?" tanya Mika heran.

Andre dan Bimo saling pandang lalu tersenyum. "Mau nyari mojang priangan di kota kembang." Jawab mereka hampir bersamaan.

"Yee, ya udah ntar gue kasih kalian bunga yang paling cantik di sana." Jawab Mika tersenyum aneh.

"Serius?" Bimo.

"Beneran lo?" Andre.

"Bunga bangkai hahaha." Mika begitu enaknya menertawakan mereka.

Bimo dan Andre saling pandang lagi lalu tersenyum. Mereka mendekati Mika yang sedang tertawa terbahak, lalu mereka berdua mengandengnya ke Taman belakang.

"Woyy, mau dibawa kemana gue, lepasin!" teriak Mika sambil menahan tawanya.

"Mik, lo kan mau mandi jadi-"

"Jangan dong please!" teriak Mika.

Byuurrr mereka melemparkan Mika ke kolam renang sambil menertawakannya.

"Sialan kalian!" Ucap Mika tersenyum sambil menyiram-nyiram air ke arah Bimo dan Andre.

***♡💞♡***

Di sepanjang perjalanan, Aryan terus melamun. Kedua matanya yang sudah merah karena kurang tidur tidak bisa terpejam sedikitpun.

Sementara di sisi lain, keluarga Pak Zainal sedang menerima lamaran untuk Zena dari keluarga Pak kepala desa.

Zena tertunduk malu, namun entah kenapa hati dan pikirannya teringat terus pada Aryan. Apa dia benar-benar akan datang? Sudah sampai mana dia sekarang?

Mereka mengobrol dan menentukan tanggal pernikahan Zena bersama anak Pak kepala desa yang bernama Hamdan.

Fajar juga sedang berada di sana menyaksikan sebagai saudara tertua dari keluarga Rizhan.

"Na, bawa minuman sana dari dapur." Perintah Pak Zainal pada Zena.

"Baik Abi." Jawab Zena lembut sembari masih menunduk dia berjalan menuju dapur. Karena melihat mimik muka Zena yang lesu dan seperti sedang memikirkan sesuatu, Fajar menyusulnya ke dapur.

"Na, kamu lagi ada masalah?" tanya Fajar penasaran. "Atau kamu tidak mau menerima perjodohan ini?"

Zena menghela napas lirih. "Kak, sebenarnya aku sedang memikirkan tentang Aryan." Jawabnya jujur.

"Aryan pemuda beragama kristen yang dari Jakarta itu bukan?" tanya Fajar masih mengingatnya.

Zena mengangguk. "Dia kini sudah masuk islam, kata Zahra. Dia akan datang ke sini lagi karena mendengar aku akan di nikahkan dengan pemuda lain. Bagaimana atuh kak? Aku takut kalau dia akan berbuat onar di sini." Ujarnya terlihat bimbang dan khawatir.

"Kamu tenang aja, nanti kakak yang akan membereskannya." Ucap Fajar memikirkan cara agar Aryan tidak membuat rusuh di sana.

Siang menjelang sore.

Aryan akhirnya sampai di jalan setapak menuju rumah Zena. Dengan langkah tergesa-gesa ingin segera sampai, bahkan jembatan bambu yang licin tidak dihiraukannya. Di atas bukit dia memandang hamparan kampung. Ketika menuruni anak tangga seseorang mengadangnya.

"Fajar?"

"Iya ini aku, sengaja menunggumu karena ada yang harus kita bicarakan tapi jangan di sini." Kata Fajar mengajak Aryan menuju ke suatu tempat.

"Aku tidak punya waktu, maaf Faj kita bicara saja lain kali, aku harus segera ke rumah Zena dan menemui ayahnya." Jawab Aryan ingin melangkah lagi.

"Tapi ini demi Zena juga, aku tau kau sangat mencintainya. Maka dari itu kita harus bicara." Ucapan Fajar membuat langkah Aryan terhenti, dia mundur lagi ke belakang lalu menatap Fajar.

"Demi Zena?"

Fajar mengangguk.

Akhirnya Aryan mau berbicara dulu dengan Fajar, mereka kini berbicara berdua di sebuah gubuk bambu (sebuah saung) di tengah sawah tepat di pinggir sungai. Mereka duduk bersampingan.

"Apa yang hendak kau bicarakan sampai membawaku jauh ke sini?" tanya Aryan membuka pembicaraan duluan.

"Sebenarnya, mungkin Zena juga sudah mulai menyukaimu." Jawab Fajar menatap kosong ke depan.

"Zena? Suka? Maksud lo- maaf maksudmu?" ulang Aryan masih belum terbiasa bicara aku kamu kalau sesama lelaki.

"Ya, dia dari tadi memikirkanmu, dia sudah dengar dari Zahra bahwa kau masuk islam dan akan datang ke sini. Dia terlihat panik dan gelisah takut kau membuat onar di sini kerena ...-"

"Kau jangan takut," potong Aryan, "aku bukan tipe pria pembuat onar, aku ke sini hanya ingin memastikan apa perjodohannya dengan pria lain itu benar,"

"Itu memang benar, jadi sekarang apa yang akan kau lakukan? Apa kau menyesal sudah masuk agama islam, namun Zena malah dijodohkan dengan pria lain?" tanya Fajar.

Aryan menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak pernah menyesal atas apa yang aku lakukan yang menurutku benar dan pantas aku lakukan (masuk agama islam), selama itu tidak merugikan diri orang lain, tak akan ada penyesalan bagiku." Jawab Aryan getir dan terdengar lirih.

"Sekarang kau sudah tahu kebenarannya. Apa kau akan kembali ke Jakarta?" tanya Fajar lagi.

"Aku tidak akan kembali ke Jakarta, aku ingin menuntut ilmu di sini, meskipun aku akan diusir oleh ayahnya Zena, aku akan mencari pesantren lain untuk menjadi santri, itu tujuanku sekarang karena ...," Aryan akhirnya menceritakan bagaimana dia keluar dari rumah kedua orang tuanya.

"Begini saja ...," Fajar membisikkan sesuatu kepada Aryan.

".............."

Di rumah Pak Zainal. Setelah tanggal ditentukan dan semuanya setuju, keluarga Pak kades akhirnya berpamitan. Setelah semua pergi.

"Kak Zena," panggil Zaidan.

"Ada apa?" tanya Zena heran.

"Sini dulu," panggil Ziyad (panggilan kecil).

"Sana samperin dulu adikmu itu." Perintah Bu Fatma.

Zena menghampiri Ziyad. "Ada apa Ziyad?"

"Kak, anterin ke toko buku yuk yang berada di kampung seberang," Ajak Ziyad.

"Ziyad, kamu teh sudah kelas 4 lagian ini masih siang. Tumben minta antar siang-siang begini?" tanya Zena sedikit aneh.

"Abi! Kak Zena nggak mau nganter Ziyad ke toko buku!" teriak Ziyad pada ayahnya yang sedang sibuk membicarakan sesuatu dengan ketua lainnya.

"Ih kamu mah Ziyad pengadu dasar." Kata Zena memicingkan matanya.

"Zena, antar saja ke sana sebentar." Perintah Pak Zainal lalu dia melanjutkan obrolannya.

Ziyad mengeluarkan lidahnya pada Zena.

"Ya sudah buruan, milih bukunya jangan lama-lama ya awas kalau lama-lama di sana." Akhirnya Zena mau juga mengantar Ziyad ke kampung seberang yang jaraknya agak berjauhan karena terhalang sungai dan pesawahan.

Zena merasa heran kenapa Ziyad mengajaknya berjalan ke arah yang semakin jauh ke kampung seberang itu.

"Ziyad. Kenapa jalan sini? Malah makin jauh." Tanya Zena masih mengikuti Ziyad dari belakang.

"Jangan banyak tanya nenek bawel, ikuti aja Ziyad atuh." Jawab Ziyad terdengar songong namun itu sudah biasa untuk Zena.

Ziyad berhenti di sebuah saung. Begitupun Zena ikut berhenti namun merasa aneh kenapa Ziyad berhenti di sana.

Sambil celingak-celinguk Ziyad tampak mencari seseorang.

"Ziyad, kamu sedang mencari siapa?" tanya Zena semakin aneh, dia melihat sebuah tas tersandar di papan saung.

"Kak, kak Fajar!" panggil Ziyad masih mencari-cari Fajar.

"Fajar? Bukannya tadi dia ada di rumah, sedang apa dia di sini?" Zena bertanya-tanya dalam hati.

Tak lama dari balik semak-semak sungai Aryan muncul. Dia berjalan mendekati Zena yang kaget melihatnya.

Dari hulu sungai Fajar juga berjalan ke arah mereka.

"Ka.. Kamu," Zena tampak terbata-bata melihat kehadirannya, "kapan mas sampai ke sini? Dan sedang apa mas keluar dari arah sungai?" tanyanya aneh melihat Aryan sedikit basah wajah, kaki dan tangannya.

"Aku berwudhu, ini kan sudah waktunya salat Ashar." Jawab Aryan singkat.

"Berwudhu?" tanya Zena tidak percaya.

Aryan hanya mengangguk. Fajar sampai di sana.

"Kak Fajar, aku sudah membawa kak Zena ke sini, tugasku sudah selesai kan?" tanya Ziyad tampak tak sabar ingin segera pergi dari sana.

"Makasih ya Ziyad, kamu boleh pergi main lagi sekarang." Jawab Fajar tersenyum.

"Asekkk!" Seru Ziyad sambil berjalan meninggalkan mereka, dia mengeluarkan uang seratus ribu dari kantong saku celananya. Dia mencium harum uang itu. "Akhirnya bisa beli mainan kesukaanku." Gumamnya sembari mempercepat langkahnya.

Ternyata dia disogok uang agar membawa Zena ke saung itu.

"Kak Fajar, ada apa? Kenapa kalian mau aku datang ke sini? Apa ada yang mau dibicarakan?" tanya Zena takut ada yang melihat kalau mereka mengobrol di sana sementara tadi dia baru saja dilamar.

"Kamu jangan takut Na, ada aku di sini. Jadi tidak akan ada yang curiga meski ada yang melihat kita juga." Ucap Fajar mengetahui rasa gelisah Zena.

"Kami akan salat Ashar dulu sebentar, takut nanti keburu magrib, setelah itu kita bicara enam mata." Ucap Fajar naik ke atas papan saung diikuti Aryan kemudian mereka berdua melaksanakan salat Ashar.

Setelah selesai berdoa. "Zena," dengan nada sedih Aryan menyebut namanya dan menatapnya tajam.

Zena yang sedang duduk membelakangi mereka menengok ke belakang. Ia tidak menjawab hanya menatap sayu kedua manik mata Aryan.

"Aku tahu kamu sudah dijodohkan dengan lelaki lain, maka dari itu aku akan ikhlaskan hal itu." Ucapan Aryan semakin terdengar lirih, terlihat luka yang sangat dalam yang menggores hati Aryan saat itu.

Hatinya benar-benar terluka dan perih, bagaikan berjalan di bawah derasnya air hujan yang ujungnya sangat tajam menusuk dan menghujam tajam seluruh tubuhnya tanpa ada hujung perjalanannya.

Ikhlas? Sebenarnya hatinya sangat berat mengatakan hal itu, namun dia menuruti usul dan saran Fajar.

"...............??"

                    ---♣♡💞♡♣---

°°°°_______TBC_______°°°°










Ma'asslamah..

Revisi ulang* 11~07~2019

By* Rhanesya_grapes 🍇💕





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top