Epilog
Dalam setiap perjalanan, kita akan ditemukan dengan pemberhentian. Dan dalam setiap pemberhentian itu, selalu ada perjalanan baru.
Keretaku sudah bergerak maju. Meninggalkan Tirta yang entah sedang apa saat ini. Aku merindukan perkelahian kami yang entah terjadi karena apa. Sebentar lagi aku akan kehilangan momen-momen itu.
Ini keputusanku untuk pergi meninggalkannya. Sejak kami dilahirkan, baru kali ini kami terpisah jauh. Ada ikatan batin yang terluka di antara kami. Baik aku dan Tirta sama-sama merasa kehilangan. Kami terluka bersama.
Tapi jika dipikir-pikir, semua manusia pasti akan kehilangan pada akhirnya. Sebab pemberhentian terakhir kita adalah kematian. Hanya persoalan waktu saja siapa yang akan pergi lebih dulu.
Dari pemikiran itu, aku memutuskan pergi. Meskipun alasan utamanya adalah janji yang ku ucapkan pada Chica satu tahun lalu. Aku akan menyusulnya ke Jogja. Lucunya, sekarang aku tidak sedang menyusul siapa-siapa. Chica pergi lebih dulu ke tempat yang sangat jauh. Tempat yang saat ini tak bisa ku gapai.
Ku hela napas sambil bersandar di kursi. "Aku pengen naik kereta bareng kamu, nikmatin perjalanan berdua sambil ngobrol banyak hal." Setelah bergumam mengeluarkan isi hati, ku pejamkan mata dan berusaha tidur. Sengaja ku bayangkan wajah Chica, berharap ia hadir dalam mimpiku malam ini. Tak masalah meskipun hanya sebatas mimpi, itu sudah lebih dari cukup.
***
Beberapa jam berlalu. Kereta baru saja melewati Stasiun Kutoarjo. Aku merapikan barang-barang dan berjalan ke kantin kereta untuk membeli kopi dan makanan ringan.
"Ada yang mau ikut ke kantin enggak?" tanyaku.
Andis, Tama, dan Ajay menggeleng tanpa kata. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.
Ku tinggalkan mereka. Begitu sampai di kantin, kembali aku memikirkan berbagai hal yang dahulu tak pernah terpikirkan. Aku baru menyadarinya, bahwa aku memang sudah berubah. Waktu punya peran penting di dalam perjalanan itu.
"Mbak, kopi satu."
Aku duduk di kursi yang kosong dan memepetkan diri ke jendela. Aku suka pojok kereta. Ku perhatikan semesta yang bergerak mundur dibelah laju keretaku.
"Ini kopinya, Mas," ucap ramah petugas kereta yang menjaga kantin.
"Terimakasih," balasku.
Ku tatap kepulan asap yang keluar dari gelas itu, lalu ku cumbu aromanya sebelum pada akhirnya ku seruput indah kopi hitamku. Jujur, aku tak tahu alasan di balik orang yang suka kopi hitam, padahal rasanya pahit. Alasan apa yang mereka punya? Aku tak mengerti.
Jika bicara tentang alasan, yang aku mengerti adalah ....
Kita itu hidup di dunia ini karena sebuah alasan. Namun, perihal alasan apa kita hidup di dunia ini, kitalah yang menentukannya.
Berjuang untuk diri sendiri, berkorban demi orang lain, bertempur membela harga diri, atau diam tanpa arah mengikuti alur takdir.
Tidak ada yang salah, tidak ada yang benar. Semua hanya soal prespektif dari sisi mana kita melihat.
Sesekali ku seruput kopi hitam di gelas sambil menikmati pemandangan dari balik jendela kereta api.
Jika dipikir-pikir, 'waktu' itu mirip kereta api. Dari luar terlihat melaju cepat, tetapi dari dalam terasa santai. Semua berlalu begitu saja sampai nanti berhenti pada satu titik. Sampai nanti kita lupa bahwa kita sudah meninggalkan banyak hal.
Laju kereta pun berlika-liku, persis skema takdir. Kadang ke kanan, kadang ke kiri, sesekali berhenti di tengah jalan tanpa kita ketahui apa penyebabnya.
Waktu terus berjalan seperti laju keretaku. Entah sudah berapa lama aku terduduk di sini, aku pun lupa. Tapi seingatku, baru saja Stasiun Wates berlalu.
"Dirga."
Arah tatapku berpindah pada Andis yang datang menenteng koper. Melihat kehadirannya aku beranjak dari dudukku dan meninggalkan kopi hitam yang sudah kehilangan hangatnya.
"Yok," balasku.
Kedua kakiku pergi mengikutinya, melangkah ke kursi tempat kami duduk.
"Lu ngapain bawa koper dah? Tinggal aja," ucapku. "Orang belom turun."
"Gaya-gayaan aja," balasnya terkekeh.
Aku tak tau apa yang ada di kepala Andis. Terkadang pria itu aneh dan tak terbaca. Ada saja tingkahnya yang membuat kepalaku ingin bergeleng.
Setelah itu, aku dan teman-teman membenahi barang bawaan kami dan memastikan tak ada yang tertinggal, hingga pada satu titik kereta api yang kami tunggangi berhenti di Stasiun Lempuyangan. Begitu pintu terbuka, kami melangkah meninggalkan kereta untuk sebuah perjalanan baru.
Jogja, 2013.
Aroma khas kota Jogja selalu menyambut hangat para mahasiswa baru yang datang dari luar kota, seperti halnya aku, Andis, Tama, dan Ajay. Oke, sebut saja kami Mantra.
Dari stasiun, kami langsung bergegas menuju tempat tinggal baru kami yang terletak di daerah Maguwoharjo. Daripada disebut rumah, sebenarnya tempat itu merupakan sebuah ruko dua lantai di Ruko Casa Grande.
Di dalam mobil taxi, baik aku dan ketiga temanku tak banyak bicara hingga kami sampai ditujuan. Setelah membayar pak sopir, aku segera berjalan ke pintu dan membukanya.
Andis, Ajay, dan Tama masuk ke dalam untuk melihat-lihat lantai satu yang sudah ku design sebelumnya menjadi bentukan kafe.
"Kamar kita di lantai dua," ucapku.
Mereka bertiga segera naik untuk memilih kamar dan meletakkan barang-barang. Sementara aku masih berdiri di depan pintu.
Ku rogoh kantong celana dan mengambil sebuah gantungan lonceng kado ulang tahun dari Chica. Sengaja ku pasang lonceng itu di pintu agar saat mendengar gemerincingnya, aku selalu mengingat gadis itu. Agar aku selalu mengingat bahwa setiap yang datang pasti akan pergi pada akhirnya.
Aku melangkah hendak menuju tangga menyusul yang lain, tetapi angin berhembus hingga gemerincing lonceng di pintu berbunyi. Sejenak langkah ku terhenti dan menoleh dengan senyum tipis ke arah pintu yang sedikit terbuka.
"Selamat datang di Mantra Coffee."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top