9 : Janji

Keenam ba'it Mantra berkumpul di depan api unggun kecil di halaman Bon Voyage.

"Jadi kapan mau nembak?" tanya Andis di tengah perbincangan.

Dirga memasang wajah pasrah. "Lu punya congor gila ya?"

"Santai, semua udah tau kok. Gua pikir cuma gua yang tau," balas Andis.

"Gua enggak segila itu buat nembak cewek. Harga diri taruhannya." Dirga menyeruput kopi hitamnya.

"Padahal Chica juga suka," sambung Ajay.

Air hitam itu tumpah dari mulut Dirga, menyembur mengenai seragam Tama.

"Sorry, Tam." Dirga segera membersihkan noda tersebut dengan tangannya.

Pria tampan itu mengambil sapu tangan di kantong celana abu-abunya, lalu menyingkirkan tangan Dirga sambil tersenyum.

"Parah lu, Dir." Tirta menggeleng sambil meledeknya.

Kini sepasang mata Dirga tajam menatap ke arah Ajay. "Lu sih, Jay."

Ajay mengerutkan kening. "Dari pengamatan gua sih gitu. Terserah mau percaya apa enggak."

Dirga terkekeh. "Mana ada. Waktu gua lewat kelasnya aja dia sama sekali enggak ngelirik ke gua."

"Apa harus ketauan dulu baru bisa dibilang ngelirik? Kan lu juga punya titik buta, Dir," balas Ajay. "Pasti ada saatnya seseorang itu merasa diperhatiin kalo emang lagi diliatin. Apa dia harus bales ngeliat lu? Bisa aja dia sengaja ngalihin pandangan sampe lu lepasin dia dari pandangan lu, terus balik lirik."

"Apa lagi?" tanya Dirga.

Ajay menghela napas. "Tadi sore, dia nyamperin lu di warung, kan? Lu enggak perhatiin kalo dia tuh gemeter? Di warung depan sekolah tuh sarang serigala. Cewek normal enggak akan mau ke sana. Kecuali ...."

Dirga memicing. "Kecuali?"

"Dia suka sama lu," jawab Ajay.

Dirga menggeleng diiringi kekehan kecil. "Enggak mungkin."

Ajay menatap api unggun yang semakin mengecil. "Ya terserah lu."

Kata-kata terserah dari pria itu membuat Dirga goyah. Ia paham bahwa pengamatan Ajay tak bisa dipandang sebelah mata. Ajay pandai menilai gelagat manusia.

"Now or nothing sih," lanjut Tirta.

"Sayang banget. Kalo gua sih udah gua tembak sebelum ada cowok lain yang ngambil," sahut Andis. "Yaa—kan enggak ada yang tau ya."

"IYA! IYA! IYA! Gua tembak besok!"

Semua terdiam mendengar Dirga berkata seperti itu. Mereka tersenyum serempak.

"Jadi gua harus gimana?" tanya Dirga. "Gua enggak tau cara berhadapan sama cewek."

Andis mengusap dagunya dengan senyum sok pintar. "Gua ada ide."

Dirga tak peduli lagi. Ia mendekatkan kepala ke Andis. "Apaan?"

Semua ikut mendekat dan saling rangkul. Andis membeberkan rencananya di depan anak-anak Mantra.

"Gua enggak bisa sendiri, Dirga juga. Kita harus kerjasama," ucap Andis.

"Kalo gitu gerak dari sekarang," timpal Tirta.

"Oke." Ajay bangkit dari duduknya.

Semua berdiri kecuali Dirga dan Tama. Pria dingin itu mengambil gitar kembali dan duduk di sebelah Dirga.

Dirga meneguk ludah. "Harus banget gini nih?"

"Lu percaya sama kita enggak?" tanya Andis dengan sorot mata yang tajam.

Dirga mengangguk dengan wajah tak kalah serius. "Oke, gua enggak pernah ragu."

Satu sudut bibir Andis terangkat naik, ia mengambil tas dan memutar tubuh. "Cul, bangun! Kita punya tugas."

"Kekeke." Uchul yang berbaring menatap langit di atap Bon Voyage segera bangun. Ia menginjak jendela yang terbuka, lalu turun dari Bon Voyage dan berjalan di belakang Andis. Sejenak ia separuh menoleh menatap Dirga. "Jangan sampe gagal, bajingan." Kemudian lanjut melangkah.

Ajay dan Tirta ikut pergi, tetapi mengambil jalan yang berbeda dari Andis dan Uchul.

"Gua pergi bentar, Tam. Nanti balik lagi jemput lu," ucap Ajay.

Tama yang sedang menyetel senar gitar mengangguk sebagai respons.

Kini sorot mata dingin itu menatap tajam ke arah Dirga sambil memainkan petikan melodi.

Ditatap seperti itu, Dirga meneguk ludah. "Harus banget nih, Tam?"

Tama mengangguk sebagai jawaban.

Pada akhirnya Dirga hanya bisa pasrah. Sejenak ia menutup mata sambil menarik napas. Ditahannya udara itu, lalu keluar bersamaan dengan matanya yang kembali terbuka dengan sorot mata tak kalah tajam dari Tama.

***

Malam tunduk di hadapan mentari. Hari ini Dirga dan kawanannya akan melancarkan sebuah aksi hidup dan mati.

"Are you ready, ma bro?" tanya Tirta.

"Yes, brother," jawab Dirga yang duduk mengangkang di kursi belakang Bon Voyage.

Hari ini Dirga terlihat berbeda. Rambutnya klimis dan tersisir rapi seperti fresh graduade yang sedang melamar kerja. Seragamnya pun masuk seutuhnya, ditambah kancing yang full tertutup.

"Bring it." Tirta memberikan kacamata hitam pada Dirga.

"Oke, thanks." Ia mengenakan kacamata hitam tersebut.

Dua kembar itu berjalan keluar zona mereka menuju sekolah. Langkah mereka selaras.

Dari kejauhan, Andis melihat pergerakan mereka dengan teropong, lalu menatap empat yang lainnya.

"Gimana?" tanya Ajay.

Andis tersenyum. "Pffftt ...."

Uchul merebut teropong Andis dan langsung menyorot Dirga. "Khhhh ...."

"Lu pada ngapa sih." Ajay merebut teropong ajaib Andis dari Uchul dan ikut menyaksikan dua kembar itu. "Ppfftt ...."

"Wkwkwkwkwkwk."

"Burakakakakak."

"Bgakakakak."

Semua jenis tawa keluar dari mereka semua. Hanya Tama yang tak memiliki selera humor.

"Kayak tukang pijet kekeke."

"Lebih mirip bapak-bapak yang udah punya anak SMA sih," timpal Andis.

"Parah lu, Dis!" ucap Ajay yang menangis karena tawanya.

"Gua enggak nyangka dia nurut beneran, bangsat! Kocak abieez."

Begitu Dirga dan Tirta lewat, keempat orang itu memberi hormat dengan tampang serius. Namun, begitu mereka sudah lewat agak jauh, ketiganya kembali terbahak-bahak.

Mereka menjadi sorotan umat. Tidak, sebenarnya hanya Dirga saja. Tirta terlihat biasa.

Saat mendekati gerbang, seorang gadis yang ingin keluar sekolah untuk jajan berpapasan dengannya.

"Idih."

Telinga Dirga bergerak. 'Idih?'

"Tir, kayaknya gua keliatan kayak orang tolol dah." Dirga hendak menoleh ke arah gadis itu, tetapi Tirta menahan kepalanya.

"Awas tai. Tadi cewek itu jijik liat tai," ucap Tirta.

"Hah? Mana tai?" Dirga hendak menatap ke bawah, tapi Tirta memaksanya menatap lurus. Seingatnya tidak ada tai di jalan yang ia lewati.

"Jangan berpaling, dude. Keep focus, your doing fine."

"Oke, oke." Dirga lanjut berjalan.

Sementara Tirta membuang muka untuk sesaat. "Pfftt ...."

***

Dirga dan para Mantra berkumpul di lantai dua, samping toilet elit.

"Target memasuki gerbang." Andis mantau lewat teropongnya. "Semua bersiap di posisi."

Tak sampai lima menit, Chicha datang memasuki kelas. Ia mengerutkan kening ketika merasa ada yang aneh dari ekspresi teman-temannya. Mereka yang biasanya berisik, hari ini terlihat damai. Sangat mencurigakan.

"Kalian kenapa?" tanya Chica.

Petikan gitar membuat Chica menoleh kembali ke pintu kelas. Seorang pria bertopeng kardus memainkan alunan indah untuknya. Sengaja wajahnya ditutupi karena aurat.

Chica terdiam seribu bahasa ketika seorang pria lain muncul dari balik gitaris bertopeng. Seorang pria cupu yang membuat bibirnya tersenyum.

"Terdengar lirih bisikanmu, di antara bayang-bayangmu. Terucap kata cinta, yang dulu tersimpan, dan tak mau pergi."

https://youtu.be/2rRpdyR-FGI

Ia menyanyikan lagu berjudul Aku Milikmu dari Dewa19. Dari belakang pria cupu itu, empat laki-laki berkacamata hitam masuk dan menyebar di sisi kanan dan kirinya, memainkan jari sebagai instrumen pengiring.

"Mungkinkah ku miliki cinta seperti ini lagi? Jangan biarkan aku ...." Dari bawah, Dirga mengangkat tangan perlahan dan membuka telapak tangannya ke atas, menunjuk ke arah Chica. "... Kehilangan dirimu."

"Uuuhuuu huu." Keempat orang itu memainkan backing vocal. Jujur, mereka terdengar merdu seperti grup vokal sungguhan.

"Coba dengarkanlah sumpahku," lanjut Dirga memasuki bagian reff.

"Dari hati," sahut keempat pria berkacamata.

"Aku cinta kamu." Pria culun itu menunjuk ke arah Chica. "Jangan dengar kata mereka, yang tak ingin kita satu. Yakinkan aku milikmu, aku milikmu."

Dari balik tubuhnya, Dirga mengambil setangkai mawar yang sudah teman-temannya persiapkan semalam. Ia sudah berdiri di depan Chica, tapi mendadak keberaniannya luntur. Namun, lima telapak tangan mendorong punggungnya untuk maju. Dirga berusaha membunuh keraguan dalam hatinya. Ia kembali menghadap ke depan, lalu memberikan mawar itu untuk Chica.

"Kak, aku suka sama kakak. Kalo kakak mau terima aku, kakak boleh ambil mawarnya, tapi kalo kakak mau nolak." Pandangan Dirga menunduk ke lantai. "Jangan diambil."

"Ppfftt ...." Chica menutup mulutnya, berusaha untuk tidak tertawa karena penampilan Dirga yang kocak parah. Namun, seisi kelas tak bisa membendungnya lagi dan tertawa lepas terbahak-bahak.

Mendengar tawa mereka, Dirga semakin kehilangan nyali. Kini ia terlihat seperti badut yang sedang melakukan pertunjukan di depan kelas.

Chica mengambil napas dalam. "Kamu suka sama aku?" tanya Chica.

Dirga mengangguk, tapi masih menghindari kontak mata dengan gadis di depannya.

"Kalo beneran suka, liat mata aku. Jangan kabur."

Dirga memberanikan diri mengangkat kepala. Kini matanya beradu tatap dengan Chica.

"Beneran kamu suka sama aku?" Pertanyaan itu begitu tegas.

"Iya. Aku suka sama kakak sejak pertama kita ketemu. Yaa—awalnya cuma tertarik sih, tapi semakin kita kenal, semakin aku yakin. Aku suka sama kamu, Kak."

Chica mendekat ke Dirga. Ia melepaskan satu kancing seragam teratas lelaki itu, lalu mengusap rambutnya hingga terlihat normal seperti biasanya. Terakhir, ia lepaskan kacamata hitam yang menutupi ketampan wajah pria itu.

"Aku suka kamu apa adanya. Enggak perlu berubah terlalu banyak."

"Jadi—diterima?" tanya Dirga.

Chica memasang senyum sendu diikuti gelengan tipis. Melihat reaksi Chica, Dirga memasang senyum palsu dan mencubit pipi Chica.

"Ya udah, enggak apa-apa. Kalo emang enggak suka, jangan dipaksain."

Kelima lelaki di belakang Dirga ikut memasang wajah muram dan saling melempar tatap. Mereka semua merasakan patah hati yang Dirga rasakan.

Dirga hendak pergi, tetapi Chica menahan tangannya. "Aku enggak mau pacaran sama anak nakal. Kalo kamu serius suka sama aku, aku mau kamu janji satu hal sama aku. Kamu enggak boleh lagi terlibat tawuran atau perkelahian apa pun."

"Janji!" ucap Dirga bersemangat.

Chica tersenyum. "Kalo kamu ingkar, kita putus."

Kini Dirga tak mampu membendung senyumnya. Ia mengangguk sebagai jawaban. "Berarti kita?"

Chica mengambil mawar di tangan Dirga dan berjalan mundur, tetapi masih menghadap ke arah pria itu.

"Nanti anterin aku pulang ya, jagoan."

Dirga mengangguk masih dengan senyum manisnya. "Iya."

Kini kelima lelaki di belakangnya merangkul Dirga. Mereka berjalan meninggalkan kelas Chica dengan tawa riang gembira. Pernyataan cinta Dirga disambut hangat oleh Chica. Kini mereka berdua resmi berpacaran.

Ketika keluar dari kelas Chica, Dirga menghentikan langkahnya dan diam menatap Andis.

"Kenapa?" tanya Andis heran.

Pria itu mengeluarkan seragamnya yang masih terlihat rapi masuk di bawah celana abu-abunya.

"Untung diterima. Kalo tadi gua ditolak, gua bunuh lu, Dis. Tai!" gerutu Dirga.

Semua kembali tertawa setelah itu, kecuali Andis dan Dirga. Pria jenaka bertopi beanie coklat itu tersenyum panik. "Hehe."

.

.

.

TBC





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top