8 : Pulang
Dirga Martawangsa
Bel pulang berbunyi. Dirga berjalan keluar gerbang sekolah dan hendak melipir ke warkop depan.
"Eits, tunggu dulu, Bos." Andis merangkulnya dan mengiring Dirga ke arah lain.
"Lu ngapa sih?" Dirga hendak melepaskan rangkulan itu, tetapi tiba-tiba Andis berbisik.
"Gua punya tantangan buat lu ...."
"Apa?"
"Tembak Chica. Kalo lu diterima, lu menang," ucap Andis.
"Hah?! Muke gila lu." Dirga melepaskan diri dari Andis. "Kagak mau."
Andis meletakkan kedua tangan di pinggang. "Yah elah, kelamaan pergerakan lu jadi cowok."
"Pokoknya kagak mau. Gua enggak mau denger apa-apa dari jomblo ulung kayak lu." Dirga memutar arah hendak pergi ke warung tongkrongannya.
"Pengecut."
Satu ucapan dari Andis mampu menghentikan langkah Komandan tawuran itu. Ia benci disebut pengecut.
Dirga separuh menoleh dengan eskpresi garang. "Apa lu bilang?"
"Pengecut," tegas Andis.
Pemuda itu kembali menghampiri Andis. "Lu tau reputasi gua, kan?"
"Kagak ngaruh!" balas Andis. "Mau lu jagoan kek, presiden kek, pendekar kek, kagak ngaruh! Orang yang bersembunyi itu pengecut!"
"Gua enggak lagi ngumpet dari siapa-siapa," balas Dirga.
Andis terkekeh dengan gelengan kecil. "Lu ngumpet dari diri lu sendiri! Lu ngumpet dari Chi ...."
Dirga berlari menerjang Andis dan menutup mulutnya yang riuh. "Eh bangsat. Jangan berisik!"
Andis menjilat-jilat tangan Dirga. Dirga yang merasa jijik melepaskan tangannya dari mulut Andis.
"Ah, najis banget lu, Dis."
Andis mundur satu langkah, lalu tertawa. "Gua tunggu kabar baiknya. Kalo lu berani ngomong, gua tarik kata-kata gua barusan."
"Lu pikir gua bakalan terjebak?"
Andis hanya berjalan mundur sambil memasang senyum meledek. Dirga tak mau ambil pusing, ia berjalan ke warung tongkrongan.
"Dir, udah lama kita enggak pulang bareng," ucap Agoy ketika Dirga baru saja sampai. "Deket jembatan sering ada anak Belkur noh. Makin lama makin tengil mereka."
Dirga duduk dan bersandar di sofa reyot pojok warung. "Biarin aja. Nanti juga bubar sendiri."
"Ayolah. Udah lama kita tidur ini. Mereka harus tau siapa kita!" Pikray berusaha memanaskan suasana.
"Dirga."
Semua menoleh ke arah depan ketika mendengar nama Komandan mereka dipanggil. Dirga tersenyum melihat Chica yang muncul dan berdiri di depan warung.
"Gua duluan." Ia beranjak dari duduknya.
"Dir, lu berubah dah. Masa gara-gara cewek jadi lembek gini sih?" timpal Babay.
"Maju lu sini. Kita cari tau sekarang aja. Dirga Martawangsa udah lembek apa masih keras?" tanya Dirga.
Semua diam ketika Komandan mereka memasang wajah garangnya menatap Babay. Agoy dan Pikray berusaha menenangkan Dirga dan Babay.
"Dir, udah, Dir." Pikray membawa Dirga keluar dari warung. "Udah ditungguin lu."
Dirga memutar arah dan berjalan menjauhi warung tongkrongan. Chica berjalan di sebelahnya.
"Kenapa?" tanya gadis itu.
"Enggak apa-apa," jawab Dirga dengan nada berbeda dari biasanya. Ia tak pandai menyembunyikan emosi.
"Kenapa sih?" Chica mencubit pipi Dirga.
"A-adaw!" pekik Dirga. "Orang enggak ada apa-apa," ucapnya membiarkan cubitan itu tetap di pipinya.
Chica melepaskan cubitannya. "Mukanya galak."
Pemuda itu menghela napas. "Pokoknya masalah internal tongkrongan deh."
"Tawuran?" tanya Chica.
Dirga mengangguk. "Tapi aku tolak. Katanya kalo mau jadi anak baik harus berhenti tawuran, kan?"
Chica tersenyum. "Iya dong. Jelas.".
Mereka berdua berjalan ke rumah Chica. Gadis itu berjanji untuk mengajarkan Dirga pelajaran terlemahnya, yaitu Matematika.
***
Tirta Martawangsa
Tirta keluar dari ruang rapat dengan mata terpejam dibarengi helaan napas berat. Ia baru saja selesai memimpin rapat bulanan Osis.
"Halo ketua." Seorang gadis yang sedari tadi menunggu di depan ruangan langsung menggandeng tangannya. "Lagi banyak pikiran, ya?"
Tirta menatapnya dengan senyum terbaik. "Enggak kok, Al."
"Kita udah kenal dari SD loh. Sama-sama di setiap momen juga. Aku bisa baca raut muka kamu," ucap Alya. "Dirga, ya?"
Senyum terbaik itu menekuk. Tandanya tebakan Alya benar.
"Kenapa lagi si Dirga?" sambung Alya.
"Kamu deket sama Kak Chica enggak?" tanya Tirta.
"Lumayan sih. Kenapa?" Nada bicara Alya berubah. Suara itu terdengar cemburu.
Tirta terkekeh ketika membaca isi pikiran Alya. "Dirga suka sama dia. Aku galau aja. Bisa enggak dia dapetin Kak Chica? Aku berharap sih. Aku mau Dirga berubah."
"Kamu butuh apa?" tanya Alya.
"Biasa. Apa yang dia suka dan enggak suka," jawab Alya.
"Oke. Kayak biasa, aku yang urus."
"Makasih ya, Al." Tirta melirik jam tangannya. "Mau makan malem bareng?"
Alya sebenarnya mau, tetapi di gerbang depan banyak pria yang sedang duduk bergerombol. Ia tersenyum. "Aku ada tugas."
Wajah Tirta cemberut. "Kamu tega biarin aku makan sendirian? Jahat."
"Iya, aku tega." Alya tertawa, kemudian menunjuk ke arah gerombolan yang terlihat sedang menunggu Tirta. "Tapi mereka enggak akan biarin kamu makan malem sendirian."
Tirta menoleh ke depan. Rupanya Andis, Tama, Ajay, dan Uchul belum pulang. Begitu jarak Tirta semakin dekat, mereka semua berdiri. Andis berjalan menghampirinya.
"Ayo kumpul di Bon Voyage," ucap Andis.
Tirta terlihat galau. Ia seperti disuruh memilih antara gadisnya dan sahabat. Namun, Alya menepuk pundak yang terlihat ragu itu. "Sana."
"Aku punjem dulu ya Tirtanya," ucap Andis.
"Jangan lupa dipulangin ya, Dis."
"Aman." Andis tersenyum. Ia merangkul Tirta dan berjalan bersama yang lainnya.
Alya tersenyum melihat Tirta dan gerombolan sahabat kecilnya berkumpul kembali setelah sekian purnama. Ia tak mau merusak momen kebersamaan itu dan lebih memilih pulang sendirian.
Kelima orang itu berjalan sambil merangkul satu sama lain. Sesekali mereka tertawa karena guyonan Andis. Mereka berusaha menikmati waktu yang ada meskipun momen indah itu agak kurang tanpa Dirga di dalamnya.
Singkat cerita, pasukan Mantra tiba di Bon Voyage. Andis duduk bersandar di sofa rongsok depan pintu. Tenang, meskipun sering hujan, sofa itu terlindungi oleh terpal biru yang melayang di atasnya.
Tama duduk di kursi ember depan sofa. Ada meja yang menjadi pembatas ia dan Andis. Pria tampan itu mengeluarkan gitar dari rumahnya.
"Nah, mantep nih," ucap Andis.
"Pada mau ngopi enggak?" tanya Tirta.
"Boleh," jawab Uchul. "Buat yang enak ya kekeke."
Tirta berjalan masuk ke dalam Bon Voyage. Tak lama berselang ia keluar membawa kompor gas kecil dan panci, lalu berjalan ke sungai mengambil air.
Ajay pun bergerak. Ia mengambil kopi dari dalam markas dan juga lima gelas plastik baru dari tempatnya. Meskipun terkesan gembel, tapi nyatanya tidak begitu. Beberapa barang dibeli menggunakan uang Tirta yang ia peroleh dari rekening almarhum ibunya. Di rekening itu saldo setiap bulannya selalu bertambah. Seseorang dengan nama rekening Frinza yang mengisinya.
Catatan kecil. Hanya Tirta yang menggunakan rekening itu, sementara Dirga tak sudi menggunakannya. Dirga benci apa pun yang berbau Martawangsa.
Waktu berjalan. Air yang dimasak itu pun mendidih. Tirta menuangkannya pada masing-masing gelas berisi bubuk kopi. Aroma harum pun terendus dari gelas-gelas tersebut.
Mereka semua menikmati kopi ditemani sinema semesta. Langit senja hari ini cerah, apa lagi ditambah belaian mersa angin sore. Rasanya begitu teduh dan syahdu.
"Tam, mainkan, Tam! Slank, Terlalu Manis," teriak Andis.
Tama menukar gelas kopi yang berada di genggaman sarung tangan hitamnya dengan gitar. Ia genjreng gitar itu sambil menarik naik pinggir bibirnya.
"Ku ambil gitar dan mulai memainkan, lagu lama yang biasa kita nyanyikan!" Semua bernyanyi dengan suara fals mereka.
Tak apa. Biarpun terdengar sumbang, tetapi tak ada yang peduli. Semua menikmati senja temaram yang tak akan terulang ini.
Ketika sedang asik bernyanyi seorang pemuda muncul dari balik rimbun rerumputan. Semua tersenyum menyambut kedatangannya.
Ia menunjuk mereka yang duduk sambil bernyanyi di depan Bon Voyage.
"Terlalu manis untuk dilupakan! Kenangan yang indah bersamamu, tinggalah mimpi!" Dirga ikut menyanyikan potongan reff lagu tersebut dan ikut berkumpul di tengah Mantra.
Mereka bernyanyi melepaskan segala lara hingga gelap merajai Bumi. Untuk sekian lamanya, akhirnya kembar Martawangsa itu pulang ke rumah.
Selama ini mereka tak pernah pulang. Sebab tempat mereka pulang sedang tak berada di rumah.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top