7 : Sahabat Lama

Rumah Tama, 11.00 pagi.

Tirta, Tama, dan Ajay duduk bersama dalam satu ruangan kecil seluas delapan meter persegi. Udara panas tak mampu menembus kamar Tama yang dingin karena Air Conditioner. Suasana di ruangan ini sangat nyaman. Lantai kamar tersebut terbuat dari vinyl. Sangat berbeda dari Bon Voyage.

"Lama bener itu dua sejoli," gerutu Ajay.

"Sabar, bentar lagi juga nongol," balas Tirta. Ia bersandar pada dinding kamar Tama yang empuk karena wallpaper berbahan vinyl seperti lantainya.

Mereka bertiga duduk tanpa kata. Ya, ketiga orang itu bukan orang yang gemar bicara. Selang sepuluh menit kemudian, terdengar suara dari luar rumah.

"Tama." Suara itu milik Andis.

Pintu terbuka. "Masuk, Tama di kamar. Langsung aja naik ke atas," balas Bunda Tama.

Tak lama berselang pintu kamar terbuka. Andis dan Uchul masuk ke dalam kamar. Masing-masing mereka menenteng kantong plastik.

"Apaan tuh?" tanya Tirta.

Andis mengangkat bawaannya. "Gorengan! Enggak seru ngumpul tanpa gorengan."

"Itu?" Kini Tirta menunjuk bawaan Uchul.

Pria dengan penutup mata satu itu menyeringai. "Cola," jawabnya singkat. "Party time."

Begitu gorengan dan cola kalengan diletakkan di lantai, Ajay langsung menyambarnya. Tama pun ikut mengambil tahu goreng dari dalam plastik.

Melihat teman-teman lamanya berkumpul bersama membuat senyum tipis terukir di bibirnya. Tirta dan keempat orang di kamar itu merupakan sahabat sedari kecil. Mereka selalu bersama sampai pada satu titik yang entah kapan, mereka sibuk dengan dunianya masing-masing sehingga tak pernah lagi berkumpul.

"Udah lama, ya," ucap Tirta.

Keempat sahabatnya langsung duduk rapi. Mereka duduk melingkar seperti sedang melakukan rapat.

"Ngomong-ngomong, kenapa lu ngumpulin kita?" tanya Andis.

"Gini, Bro. Gua mau minta tolong sama kalian semua," balas Tirta.

"Dirga mana?" tanya Ajay. "Enggak diajak?"

"Nah, itu." Ekspresi Tirta berubah. Dari yang terlihat senang, mendadak sendu. "Gua mau minta tolong sama kalian semua perihal Dirga."

"Kenapa lagi dia?" tanya Uchul.

"Dirga suka cewek."

Semua terbelalak. Keadaan mendadak hening. Dari semua yang terkejut, Andis tak menampilkan raut serupa. Ia tersenyum, lalu berdiri.

"Gua tau siapa orangnya," ucap Andis penuh kesombongan.

"Gua juga sih sebenernya," timpal Ajay. "Payah lu, Dis. Kagak bisa pura-pura."

"Gua juga," sambung Tirta.

"Ya, jujur. Gua juga tau kekeke," celetuk Uchul. Wajar, pemuda bengal itu banyak memiliki budak informan yang menyebar di seantero sekolah.

Tama menggelengkan kepala. Rupanya hanya ia yang tak tahu rumor tentang Dirga dan Chica yang sudah beredar hangat di lingkungan sekolah. Itu juga wajar, sebab pemuda dingin itu tak peduli sekitarnya.

"Chica itu anak baik, sementara Dirga penjahat," ucap Tirta. "Gua mau gimana pun caranya, Dirga harus jadi baik biar dia pantes bersanding di sisi Chica. Gua butuh bantuan kalian, karena cuma kalian yang dia punya."

"Kirain gara-gara apa ini kita kumpul, ternyata gara-gara itu doang?" tanya Andis.

Tirta mengangguk.

Senyum Andis melebar. "Santai sih, tapi kita harus ngapain?"

"Pertama nilai. Dirga itu nilainya ancur banget. Kita harus bantuin dia belajar biar akademiknya ada peningkatan. Gua minta tolong banget sama lu, Chul. Lu kan anak IPS juga," jawab Tirta.

Uchul menghela napas. Mendadak raut wajahnya berubah. Kini seringainya pudar berganti senyum segar. "Oke, bisa diatur."

"Itu kan pertama. Berarti ada yang kedua dan seterusnya, kan?" sambung Ajay. Tatapannya tajam ke arah Tirta.

"Kedua jelas, kita harus bikin dia berhenti tawuran dan terlibat perkelahian lainnya. Ini tugas lu, Dis. Lu kan salah satu berandal."

"Oke, gua coba," balas Andis.

"Nah, ketiga." Tirta menatap Tama. "Lu jangan deket-deket Chica, Tam. Oke?"

Tama mengangguk paham.

"Oke, kalo gitu keempat." Pandangan Tirta berpindah ke Ajay. "Gua butuh lu jadi mentor dia secara psikologi, Jay. Lu bisa, kan?"

Ajay meneguk ludah. Tugasnya yang paling berat karena harus menjaga sesuatu yang ada di dalam diri Dirga. Namun, tak ada alasan menolak. "Oke."

"Langkah awalnya kita harus mulai semua dari awal lagi. Udah lama kita enggak sama-sama, kan? Sejak kita menjauh, semua berubah," tutur Tirta. "Dirga butuh keluarga."

Mendengar kata keluarga keluar dari mulut Tirta membuat tatapan yang lainnya mendadak layu. Mereka semua tahu latar belakang Dirga dan Tirta yang dibuang dari keluarganya.

Keadaan mendadak hening dan canggung. Tirta tersenyum ketika mendengar isi pikiran teman-temannya.

"Padahal biasa aja kali," ucap Tirta.

"Mantra ...," lirih Tama. "Cuma Mantra yang Dirga punya."

Ajay menghela napas. "Kita harus sering kumpul sih. Yang namanya keluarga itu kan bukan cuma ikatan darah, tapi sesuatu yang bisa jadi tempat pulang."

Uchul merebahkan diri di lantai dengan kedua tangan tertekuk menjadi bantalan kepala. "Udah lama Dirga enggak pernah pulang."

"Gua juga sih," celetuk Tirta.

Semua tertawa hambar. Suasana berubah derastis.

"Eh, Tam. Ngomong-ngomong gimana permainan gitar lu?" tanya Andis. Ia berusaha mencairkan suasana yang mendadak akward.

Tama bangkit dan mengambil gitar yang bersandar di sebelah tempat tidurnya. Pria tampan itu memetik senar dengan indahnya. Semua tersenyum mendengar alunan yang ia bawakan.

"Sejak kapan lu bisa maen gitar?" tanya Tirta.

"Selain gosip Dirga Chica, ada gosip lain yang cukup cetar juga sih. Masa lu enggak tau?" balas Andis. "Hari patah hati sedunia."

Tirta mengerutkan kening. "Hah?"

Andis menghela napas. "Si cowok pendiam dan cewek populer loh, Tir. Tama Sarah."

"Wah, gua kurang update nih."

Andis bangun dari duduk, lalu membanting diri ke kasur Tama sambil memandang langit-langit kamar. "Tirta sama Alya, Tama sama Sarah, kalo hoki Dirga sama Chica, Uchul sama Nabila."

"Kanika," celetuk Uchul.

"Kanika?" Semua memandang pria singit itu.

"Kanika yang—itu?" Tirta meneguk ludah. Gadis bernama Kanika itu bukan gadis biasa. Banyak rumor tak sedap beraroma kematian tentangnya.

"Nabila!" Kepribadian Uchul berubah. "Kanika!" sambungnya lagi. Kini ia berdebat seorang diri.

Hal biasa bagi mereka ketika melihat Uchul bertengkar dengan dirinya sendiri. Dalam tubuh pemuda itu ada kepribadian lain yang menghuni, dan sifat mereka bagaikan laut. Yang satunya tenang, sementara yang satunya lagi liar dan tak terprediksi seperti ombak.

Andis tak peduli. "Tinggal kita doang, Jay."

"Gua enggak tertarik pacaran. Tinggal lu doang yang merasa jomblo, Dis," balas Ajay.

"Ya sama ajalah, sama-sama sendiri. Lu bego banget sih anak IPA," ledek Andis.

Ajay mengerutkan kening. "Cinta itu kan perasaan. Lu kok bawa-bawa otak sih?"

"Sudah, sudah, jangan kelahi," balas Andis. Ia memisahkan dirinya sendiri dan Ajay.

"Dih, lu yang debat kok lu yang melerai sih?" celetuk Tirta.

"Gua cinta damai," balas Andis.

"Tapi sering ikut tawuran?"

Andis menghela napas, ia duduk kembali dan diam sejenak menatap Tirta. "Hanya karena gua ikut, bukan artinya gua bandel. Gua bukan orang yang tergila-gila sama perang."

"Terus kenapa lu sering ikutan sama si Dirga kalo tawuran?" tanya Tirta.

"Gua enggak bisa liat temen gua dipukul. Apa ya—gua udah terbiasa disakiti, jadi kalo mau lukain seseorang ya silakan lukain gua, tapi jangan temen-temen gua. Enggak taulah, ribet jelasinnya."

Tirta tersenyum memandang ke arah jendela. "Enggak berubah lu dari dulu. Selalu terlibat urusan orang lain. Makasih udah jagain Dirga."

Andis menggaruk kepala. "Kedepannya bakal gua bujuk supaya enggak terlibat tawuran lagi."

"Makasih, Dis."

Tok ... tok ... tok

Pintu kamar terbuka separuh. Bunda Tama muncul dari balik pintu. Semua meneguk ludah. Wanita paruh baya itu cantik, tetapi berwajah garang dengan sorot mata yang tajam, ta-tapi dia baik.

"Makan siangnya di bawah, ya," ucapnya. "Makan dulu sana."

"Enggak usah repot-repot, Bunda," balas Tirta.

"Udah repot. Awas kalo enggak dimakan." Ia menutup pintu kembali.

Semua berdiri dan mengikuti Tama turun ke bawah untuk makan siang bersama.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top