6 : Permulaan
Dirga Martawangsa.
"Ngapa lu senyum-senyum sendiri? Udah kagak pake baju, senyum-senyum sendiri. Gila lu ya?" ucap Tirta.
Pecah sudah lamunan indah Dirga ketika Tirta bertanya. Ia tatap pria yang sedang berdiri membuang air kecil di sungai itu.
"Goblok ye!" Cepat-cepat diangkatnya baju seragam yang sedang ia cuci di pinggir sungai. "Enggak liat gua lagi nyuci lu?"
Tirta tertawa renyah. "Gua udah bilang, gua mau kencing, tapi lu bengong sambil senyum-senyum sendiri. Kesambet setan kali lu?"
"Pinter-pinter, tapi bego lu." Dengan tatapan sinis, Dirga beranjak dari posisinya dan berjalan menuju Bon Voyage.
Bon Voyage, atau tempat tinggal Dirga berada di antara padang rumput dan sungai kecil yang mengalir tak jauh di barat. Ia dan Tirta membangun peradaban di sana, terutama jamban untuk buang air besar. Sementara jika ingin buang air kecil biasanya mereka lebih fleksibel, terkadang menggunakan aliran sungai, terkadang juga di rerumputan.
Sungai ini cukup krusial. Mereka mandi dan mencuci menggunakan air dari sana. Ini bukan Kali Ciliwung yang kotor. Hanya sungai kecil yang jauh dari peradaban. Airnya masih bersih dan jernih.
Sebenarnya Dirga dan Tirta tinggal di rumah Paman setelah almarhum Ibu meninggal dan keluarga Martawangsa menuai konflik besar. Namun, karena kerap membuat masalah, Dirga memilih pergi dari sana dan tinggal di mobil terbengkalai ini. Ia tak ingin nama baik pamannya jelek karena kelakuannya.
Berbeda dengan Tirta. Ia masih sering tidur di sana dan menjalin hubungan baik dengan paman. Jika ia ada di sini, tandanya Tirta sedang merasa kasihan pada Dirga dan mau menemani. Katanya agar kembarannya itu tidak menangis saat kesepian.
"Heh, ada apa sih?" Tirta menyenggol Dirga dengan sikutnya.
Dirga yang sibuk menjemur satu-satunya seragam yang ia miliki pun bergeser menjauh dari Tirta. Namun, pemuda itu mengikuti.
"Kenapa sih? Seneng banget?" tanya Tirta lagi.
"Apa sih anjing?" balas Dirga kesal. "Orang enggak ada apa-apa. Sana pergi."
"Halah." Tirta menekan telunjuknya di pinggang Dirga hingga membuat pemuda itu merasa geli dan refleks melompat kaget.
"Gua gebuk pala lu nih ya!"
Tirta tertawa. Ia menjauh karena tak ingin meneruskan tingkah usilnya karena ia paham sebentar lagi mereka akan bergelut serius. Pemuda itu duduk di pintu masuk Bon Voyage.
"Sebagai orang yang punya muka sama kayak lu, gua enggak tau banyak tentang apa yang lu alami. Gua cuma berusaha jadi keluarga, tapi ya lu tau sendiri dari kecil kita udah jauh dari keluarga, jadi gua pun enggak punya contoh harus berbuat apa."
Pandangan Dirga mendadak sendu di balik seragam yang tergantung di tali jemur. Tali yang membentang dari satu tiang tongkat ke kaca jendela Bon Voyage yang terbuka. Ia ambil rokok di meja rongsok yang ditemukannya di depan jalan, lalu membakar ujung rokok. Setelah itu ia bersandar di badan mobil, sebelah Tirta.
"Gua pun enggak tahu apa yang lagi gua rasain," balas Dirga.
"Yah, enggak apa-apa juga. Mungkin lu emang tipe orang yang enggak bisa ngungkapin apa yang ada di pikiran atau perasaan lu, tapi nanti kalo waktunya tiba tolong cari gua ya. Gua cemburu kalo ada orang lain yang lebih tau lu daripada gua."
Ucapan pria itu romantis. Sebenarnya terdengar agak menjijikan, tetapi mengingat mereka saudara kembar, okelah, tak apa. Dirga berusaha memakluminya.
"Dulu waktu lu nembak Chica gimana ceritanya, Tir? Gua iri sama lu yang udah pacaran lama," tanya Dirga.
Tirta memicing. "Chica?"
Dirga terdiam seribu bahasa. Langit seakan runtuh dan semesta berakhir. Sial, ia salah sebut nama. Kini ia tatap sosok Tirta yang sedang menyeringai ke arahnya.
"Alya, Tir. Salah denger lu." Ia berusaha mengelak.
"Chica Ramalia?"
"Salah denger lu, bego!"
Tirta tertawa. "Seorang Dirga Martawangsa? Suka sama Chica Ramalia?"
"Bangsat lu ya!"
Tirta bangun dan menepuk pundak Dirga. "Oi, Bro."
Wajah senyumnya seakan meledek dan merendahkan seolah Dirga tak bisa mendapatkan Chica. Tirta memang kurang ajar.
"Bacot lu." Dirga menepis tangan Tirta dari bahunya. "Salah denger lu!"
"Gua dukung lu kalo suka sama dia. Lu butuh apa? Sini gua bantu."
Giliran Dirga yang mengerutkan kening. "Hah?"
"Lu butuh apa? Informasi? Atau apa? Gua bantu?" tegasnya.
"Bentar, bentar. Lu pikir gua si anak bajingan ini cocok sama dia? Dan bisa bersatu gitu?"
"Jujur gua pesimis sih, tapi gua yakin kalo sampe lu dapetin dia, hidup lu akan berubah. Gua dukung lu suka sama Chica daripada suka sama cewek enggak jelas."
"Makanya gua nanya sama lu. Lu dulu gimana nembak si Alya?"
"Pertama cari tau apa yang dia suka," balas Tirta. "Terus cari tau juga apa yang dia enggak suka."
"Kalo udah tau?" tanya Dirga, "harus gua kasih hadiah?"
"Ketimbang lu ngasih apa yang dia suka, gua yakin ketika lu menyelamatkan dia dari sesuatu yang enggak dia suka, peluang lu lebih banyak."
"Logika lu aneh, Tir. Jelas-jelas kalo dikasih hadiah, ya bakalan ...." Dirga terdiam. Jika kita tarik mundur waktu kembali, pertemuannya dengan Chica merupakan hal kedua yang diucapkan Tirta barusan. Chica tak suka berandalan, dan Dirga menyelamatkannya.
Dari wajahnya, sepertinya Tirta membaca isi pikiran Dirga saat ia memikirkan pertemuan pertamanya dengan Chica. Ya, Dirga tidak selamanya bisa bersembunyi dari kemampuan pria itu.
"Ya, begitulah gadis. Ketika kita menyelamatkannya dari apa yang dia enggak suka, itu lebih baik ketimbang kita memberikan apa yang dia suka. Karena belum tentu seorang gadis akan menerima pemberian kita, sementara dia enggak akan menolak jika kita membantunya dari apa yang dia enggak suka."
Dirga tersenyum. "Logika lu tetep aneh, Tir. Tapi gua demen."
"Chica itu cewek jenius. Kalo kita satu angkatan sama dia, kemungkinan Uchul kalah sama dia."
"Uchul?" Dirga memicing.
Tirta pun memicing. "Emang lu enggak tau? Uchul itu pemegang nilai tertinggi di angkatan kita. Itu secara global, kalo minor di IPA, yang paling tinggi itu si Tama."
"Kalo Tama sama lu gua percaya, tapi Uchul?"
Tirta menghela napas. "Uchul, Tama, gua, Ajay. Itu big four angkatan kita."
"Lah, Andis?" tanya Dirga.
Tirta terkekeh. "Lu sama Andis sama. Big two dari bawah."
"Lah?" Dirga makin bingung. "Anak Mantra pinter semua dong? Gua doang sama Andis yang tolol?"
"Bukan. Lu enggak tolol, cuma males aja. Emang pernah belajar lu? Lu aja enggak punya buku. Buku paket dari sekolah aja lu jual, Dir, ke tukang loak."
"Lah iya, ya."
"Lah iya lagi." Tirta memukul kepala kembarannya. "Kalo lu serius suka sama Chica, lu harus berubah. Inget, jodoh itu cerminan lu."
"Elu dong? Kan mirip," balas Dirga.
"Dongo!" balas Tirta lagi.
Mereka berdua tertawa. Sudah sangat lama rasanya, terakhir kali Dirga dan kembarannya tertawa bersama. Biasanya mereka selalu bertengkar perihal perbedaan cara pandang hidup.
Dirga berjalan masuk ke Bon Voyage melewati Tirta dan mengambil satu kaos hitam lengan buntung, lalu mengenakannya. Setelah itu, ia raih jaket hitam bertudung yang tergantung di belakang kursi bagian belakang bus.
"Mau ke mana?" tanya Tirta.
"Maen," jawab Dirga sembari mengenakan jaket.
"Belajarnya kapan?"
"Maen dulu. Sekalian pamitan, besok kan udah jadi pejuang cinta," balasnya.
Tirta terkekeh. "Ya udah, tapi jangan buat onar." Ia pun bangun dan menutup pintu Bon Voyage, lalu memasang gembok pada rantai yang mengekang pintu.
"Lah, lu juga mau pergi?"
Ia mengangguk. "Iya, ada rapat."
Dirga dan Tirta berjalan bersama keluar dari istana mereka. Namun, begitu menemui persimpangan, kedua anak kembar itu mengambil jalan yang berbeda.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top