5 : Sepenggal Rasa
Sore ini warung depan sekolah ramai. Seperti biasa, Dirga duduk bersama para gerombolan paling disegani di sekolah.
"Dirga."
Terbesit senyum tipis di bibir Dirga ketika ia menatap Chica di depan warung. Gadis manis itu berdiri dengan ransel putih di pundaknya. Sejenak Dirga menatap teman-teman basis sambil beranjak pergi. "Gua duluan, ye."
"Jadi kan beli kue rangi?" tanya Chica.
"Jadi dong." Mereka berdua langsung berjalan pergi meninggalkan warung.
"Kenapa sih cewek itu? Sok akrab banget sama Dirga!" gerutu Vivi. "Cakepan juga gue."
"Udah, Vi. Daripada bertepuk sebelah tangan, mending sama gua," celetuk Pikray.
"Ogah!"
Lanjut ke Dirga dan Chica. Saat ini mereka sama-sama terdiam. Dirga berusaha mencari topik, tapi bukan si Topik anak Pak Samsul, melainkan topik pembicaraan.
"Ayahku bukan polisi. Aku pikir kamu mau ngegombal kemarin," ucap Chica.
Dirga tak memiliki kata-kata untuk membalas gadis itu, tetapi timbul senyum sebagai gantinya.
"Kok kamu diem aja sih?"
"Kirain," balas Dirga.
Chica tersenyum asimetris. "Emangnya kenapa kalo misalkan ayahku polisi? Kamu takut?"
"Tau sendiri, anak-anak modelan aku di mata polisi."
"Emangnya kamu orang jahat? Kenapa harus takut?" tanya Chica.
"Menurut kamu aku jahat enggak?"
Chica menggeleng. "Enggak ada orang jahat yang berkorban buat orang lain."
"Padahal waktu itu aku enggak berkorban. Mereka korbannya karena apes ketemu aku."
"Jadi kamu orang jahatnya?"
"Entah. Dalam setiap cerita akan timbul tiga sudut pandang yang berbeda. Aku, orang lain, dan kebenaran. Terkadang jahat dan baik itu tentatif. Belum tentu yang kita anggap jahat itu memang jahat, dan sebaliknya."
"Belum tentu yang kita anggap baik memanglah baik," timpal Chica.
"Salah," balas Dirga sambil terkekeh. "Jahat memang itu jahat anggap kita yang tentu belum."
"Hah?" Chica memicingkan mata menatap Dirga. Ia tak mengerti dengan ucapan yang pemuda itu lontarkan sebelumnya, persis seperti ekspresi pembaca pada saat ini.
"Iya, sebaliknya. Jadi kata-katanya di balik."
"Gimana sih? Kok aku bingung?" Wajah Chica semakin aneh. Ia tampak sedang berpikir, tapi sepertinya tak menemukan jawaban.
"Kan aku bilang, belum tentu yang kita anggap jahat itu memang jahat, dan sebaliknya. Kita balik ya kata-katanya. Jahat memang itu jahat anggap kita yang tentu belum."
"Dasar si tuan enggak jelas!"
Mereka berdua tertawa. Sepanjang jalan kedua manusia itu selalu tertawa sampai Chica menangis karena kejenakaan Dirga. Sesekali Chica mencubit pinggang Dirga karena tak henti-hentinya melempar guyonan.
Sampai langkah mereka akhirnya berhenti pada sebuah gerobak milik seorang pria paruh baya. "Pak, kue ranginya dua," ucap Chica.
"Siap!" Pria itu langsung membuatkan pesanan Chica.
Tak lama berselang, kue rangi pun matang. Chica membayar kue itu dan berjalan ke arah Dirga yang menunggunya, duduk di trotoar jalan.
"Makan di rumahku yuk?" Ajak Chica.
Dirga berpikir keras. Meskipun ingin, tapi pemuda itu tak berani.
"Enggak mau, ya?" tanya Chica lagi. Wajahnya murung.
Dirga tak sudi melihat gadis itu murung. Ia paksakan tersenyum untuk Chica. "Ayo." Pantatnya beranjak dari trotoar dan membetulkan seragam yang acak-acakan. Melihat itu, Chica tersenyum. Mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah Chica.
Sesampainya di rumah Chica. Dirga duduk di ruang tamu. Keringat dingin bercucuran diiringi riuh debar jantung. 'Et! Ngapa gua ke sini, ya?!'
Tak lama berselang, seorang wanita paruh baya muncul dari dalam kamar. Wajahnya mirip dengan Chica. Ia adalah ibunnya. Wanita itu tersenyum dan menghampiri Dirga.
"Eh, ada temannya Chica. Mau minum apa?" ucap wanita itu ramah.
"Enggak usah repot-repot, tante," balas Dirga sopan.
"Udah lama Chica enggak bawa temannya main ke rumah. Jangan sungkan."
"Asli, enggak usah repot-repot, Tante."
"Mau minum apa?" tanya Chica yang muncul dari balik tembok. "Aku yang buatin."
Dirga menghela napas. "Aku peminum segala yang halal. Apa aja aku minum kok," jawabnya diiringi senyum tipis.
"Oke, wait." Chica pergi ke dapur.
Dirga dan ibu Chica mengobrol cukup banyak. Hingga gadis itu datang dan menyuguhkan teh hangat. Ibunya pamit kembali ke dalam kamar, meninggalkan mereka berdua. Setelah menyuguhkan minuman, Chica membuka kue rangi yang mereka bawa.
"Kamu suka banget kue rangi?" tanya Dirga.
"Enggak tuh. Biasa aja sih sebenernya," jawabnya. Sejenak ia menghentikan aktivitasnya dan menatap Dirga dalam-dalam. "Kalo aku bilang aku beli kue rangi biar bisa basa-basi bareng kamu percaya enggak?"
Dirga terkekeh mendengar ucapannya. "Enggak percaya."
"Ya udah kalo enggak percaya." Wajahnya berubah masam.
"Biar apa gitu basa-basi bareng seorang Dirga Martawangsa?" tanya Dirga lagi.
"Entah. Ada waktu di mana aku merasa aman aja bareng kamu. Kayak punya bodyguard."
"Aku bukan bodyguard kamu," balas Dirga.
"I know, bercanda," timpal Chica dengan sedikit tawa.
Keadaan berbalik. Kali ini giliran Dirga yang menatap dalam mata Chica. "Aku malaikat pelindung."
Wajah Chica memerah. Ia hendak memakan kue rangi, tetapi belum juga sampai di mulut, Dirga meraih kepala gadis itu dan menyampingkan rambut-rambut nakal ke atas telinga. "Awas, nanti rambut kamu kotor kena gula merah."
Saat ini wajah Chica lebih merah daripada gula merah di atas kue rangi. "Terimakasih," ucapnya.
Dirga tersenyum puas dan ikut memotong bagian kue rangi yang ada di atas bungkusan, lalu ikut melahapnya.
Suara kekehan Chica membuatnya kembali menoleh memandang gadis itu. "Kenapa?" tanyanya masih dengan kue rangi di mulut.
"Kamu kalo makan lucu." Chica mengambil tisu dan menyeka mulut Dirga yang belepotan gula merah. "Pelan-pelan kalo makan. Kuenya enggak ke mana-mana kok." Kali ini giliran pemuda itu yang dibuat lumer.
Mendadak suasana canggung. Baik Dirga dan Chica tak ada yang membuka suara. Satu menit rasanya begitu lama, hingga kurang lebih lima menit berlalu, Chica baru membuka obrolan kembali.
"Tipe cewek yang kamu suka itu kayak gimana sih?"
Dirga memikirkan jawaban dari pertanyaan itu cukup lama sambil diam-diam melirik ke arah Chica. "Cantik, baik, pinter, bisa masak, kurang lebih begitu."
Chica tiba-tiba tertawa. "Tinggi juga ya standar kamu? Orang bilang, jodoh kita adalah cerminan diri kita sendiri loh. Kalo kamu mau dapet yang begitu, kamu juga harus jadi baik dan pinter dong?"
Ucapannya menohok, tapi ada benarnya. Dirga adalah anak yang terkenal bandel. Nilai buruk adalah makanan sehari-harinya. Entah keahlian apa yang ia miliki selain berkelahi. Tidak ada hal baik di hidupnya.
"Jangan murung. Kamu masih muda, jalan kamu masih panjang. Terus berusaha jadi yang terbaik demi wanita terbaik," ucapnya menghibur.
Dirga terseyum getir. "Kalo kamu? Tipe cowok idaman kamu yang kayak gimana?"
"Yang dewasa dan bisa bertanggung jawab. Pria yang punya pandangan tentang masa depan dan planing mau jadi apa. Karena pria yang memikirkan masa depan, udah pasti memikirkan keluarganya, tapi pria yang enggak memikirkan masa depan, jangankan mikirin keluarga. Mikirin diri sendiri aja dia enggak bisa."
Is another tertohok. Dirga sama sekali tak punya pandangan tentang masa depan, meskipun bisa melihat sekilas masa depan. Selama ini ia hanya melakukan sesuatu atas dasar yang ia sukai.
"Kamu sendiri punya pandangan tentang masa depan?" tanya Dirga.
"Hmm ... ada sih."
"Apa contohnya?"
"Enggak usah jauh-jauh deh. Rencana setelah lulus sekolah aja dulu. Aku mau masuk UGM," jawab Chica.
"Jogja dong?"
Chica mengangguk. "Yups."
"Kalo gitu ...." Wajah Dirga semakin menekuk ke bawah.
"Kalo gitu apa?" tanya gadis itu.
"Kita enggak bisa ngobrol lagi dong?" Tersirat kekecewaan di wajah Dirga.
"Bisa kok. Susul aku ke UGM. Gampang, kan?" balasnya enteng.
Dirga tertawa renyah mendengar ucapannya. Rasanya seperti ditantang. Namun, apa daya. Jangankan UGM. Masuk kampus swasta saja ia tak yakin diterima.
"Nanti kalo ke Jogja mau tinggal di mana? Enggak ada yang jagain kamu kalo aku jauh dong?" lanjut Dirga. Berharap gadis itu mengurungkan niatnya dan memilih melanjutkan kuliah di daerah Jakarta saja.
"Aku tresno karo kowe," ungkap Chica.
Dirga memicingkan matanya. "Hah? Apa?"
"Itu bahasa Jawa. Aku itu orang Jawa, jadi bisa bahasa sana. Eyang tinggal di Jogja, jadi enggak perlu khawatir. Di sana aku tinggal sama keluarga."
"Bukan, bukan ... itu yang tadi artinya apa?" Sialnya Dirga penasaran dengan ucapan Chica barusan.
"Cari tahu sendiri, wleeee." Ia memeletkan lidahnya meledek.
"Apa tadi? Kasih tau, cepet."
"Enggak ada ulangan! Hahaha selamat mati penasaran, tuan jagoan sekolah!" ledek Chica.
"Parah! Apaan tadi? Aku lupa."
Chica terus meledek Dirga hingga membuat pemuda itu sedikit kesal.
"Emang mau tau banget?" tanya Chica.
"Iya, bisa mati penasaran ini."
Chica tersenyum. "Masuk UGM bareng aku, nanti aku kasih tau."
"Kakak tau kan? Aku anak yang ...."
"Aku pemenang olimpiade dan kebetulan jadi siswi teladan," potongnya. "semua nilai pelajaranku juga selalu bagus. Kalo kamu butuh master, kamu tau harus ke mana. UGM? Bisa! Enggak ada anak yang bodoh, yang ada cuma anak yang malas."
"Dasar gadis sombhong!" Dirga merasa tertantang. Ya, tak ada salahnya mencoba hal yang agak mustahil. "Oke, aku akan mulai belajar biar bisa masuk UGM. Tepatin janjinya."
"Emang mau masuk jurusan apa?" tanya Chica memancing.
Pertanyaan itu membuat Dirga ketar-ketir. Jangan sampai Chica tahu bahwa ia sebenarnya belum punya planing masa depan.
"Sastra Inggris," jawab Dirga asal.
"Kenapa sastra Inggris?" tanya Chica berusaha menyudutkan.
"Karena ...." Dirga diam sejenak. "Karena biar keren bisa ngomong Inggris. Nanti aku bales pake bahasa Inggris sampe kamu enggak ngerti."
Chica hanya memasang senyum meledek sambil mengangguk-angguk. "Satu hal lagi, Dir." Gadis itu merubah raut wajahnya. Kini ia tampak serius.
"Apa?"
"Jangan tawuran lagi," tegas Chica.
Mata Dirga berkedut mendengar ucapan gadis itu.
"Selain akademik, kamu juga harus bersih dari riwayat kenakalan remaja," lanjutnya.
"Aku enggak janji, tapi aku usahain."
Di penghujung senja ini Chica terus menceramahi Dirga bak seorang Kakak. Mereka berdebat, bercanda, dan sesekali meluapkan curahan hati terkait problema kehidupan.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top