4 : Gadis Itu

Dirga Martawangsa

Suasana kantin kala istirahat memang riuh. Dari kejauhan Dirga melihat Andis yang sedang membeli nasi uduk dan mencari tempat. Ia paham, bukan tempat untuk makan yang cari Andis, tetapi lahan perburuan.

Senyum tipis terukir di bibirnya. Pemuda bertopi beanie cokelat itu berjalan ke salah satu meja yang di mana terdapat sekumpulan gadis sedang membunuh waktu di sana.

"Kosong?" tanya Andis pada gadis yang duduk seorang diri di kursi panjang, sementara teman-temannya menumpuk di sisi lain kursi dipisahkan meja.

Gadis itu mengangguk. Teman-temannya tersenyum dengan gelagat meledek.

"Boleh aku isi?" tanya Andis lagi.

"Boleh, silakan." Gadis itu agak bergeser memberikan ruang pada Andis.

"Kamu minggu ini kosong? Nonton yuk." Andis langsung mengajak gadis itu berkencan.

Gadis itu hendak berbicara, tetapi Andis langsung memotong.

"Aku tanya kosong apa enggak? Yang aku tanya itu hati kamu. Kamu bales kosong. Aku bilang, boleh aku isi? Kamu bilang boleh. Sekarang kita udah resmi jadian."

"Cieee, cieee ...." Teman-teman gadis itu tertawa dan terus meledek gadis di samping Andis hingga membuat wajahnya memerah karena malu. Sepertinya bukan malu-malu tapi mau, tapi malu karena menjadi pusat sorotan di kantin.

"Najis! Sok akrab." Gadis itu beranjak dan menjauh dari Andis diikuti teman-temannya yang masih sibuk tertawa.

Andis menghela napas sambil menggeleng. "Cewek jaman sekarang enggak bisa diajak serius. Hubungan setiap orang itu pada dasarnya dimulai dari ketidak akraban. Dasar payah," keluh Andis.

"Lu jelek si," timpal Dirga sambil duduk di sampingnya.

"Cantik dan ganteng itu selera. Setiap rupa punya penikmat," balas Andis.

Dirga tertawa dan menarik topi beanie di kepala Andis ke bawah hingga menutupi muka. "Bahasa lu ketinggian."

"Jadi kenapa? Tumben-tumbenan lu nyamperin gua?" tanyanya. Pemuda itu membenarkan posisi topinya kembali, lalu menatap Dirga. "Gua liat-liat ada luka baru tuh di komuk?"

"Biasa, semalem ribut ama Tirta."

"Menang siapa?" tanya Andis.

"Jadi gini, Dis ...."

"Karena lu mengalihkan topik, berarti Tirta yang menang," potongnya sambil tertawa. "Bener juga apa yang dibilang Ajay."

Sontak Dirga menjitak kepalanya. "Diem. Lu mau duit enggak?"

Wajah Andis mendadak serius. Tak ada lagi raut bercanda yang terlihat. "Jadi?"

Dirga menatap sekitar, lalu ia masukkan beberapa lembar uang kertas ke kantong seragam Andis, lalu mendekatkan mulut ke telinga Andis.

"Gua lagi nyari cewek ...," bisik Dirga.

"Lu dateng ke orang yang tepat." Andis mengeluarkan ponsel Nokia N73 miliknya. Ia membuka galeri foto yang menampilkan jajaran foto gadis di sekolah. "Ini Andis top signature. Pilih aja."

Dirga menatap foto-foto itu dengan teliti. "Enggak ada orangnya."

"Siapa sih?" Andis terlihat penasaran.

"Enggak tau, gua lupa nanya nama."

"Kayak gimana orangnya?"

"Setinggi bahu gua, putih, manis, rambutnya lurus sebahu, pake kacamata frame putih."

Andis beranjak dari duduknya. "Sini, lu ikut gua." Pemuda bertopi itu membawa Dirga berjalan-jalan, meninggalkan nasi uduk yang sama sekali belum sempat ia sentuh.

Langkah Mereka berhenti di depan pintu kelas. Terpampang papan bertuliskan dua belas IPA satu. Andis berjalan ke jendela dan mencari seseorang.

"Itu bukan?" Ia menunjuk seorang gadis.

Dirga berdiri di samping Andis sambil menatap gadis yang ditunjuknya. "Iya! Itu dia."

"Dirga Martawangsa mainnya sama kakak kelas," ledek Andis.

"Siapa namanya? Kalo enggak tau, balikin duit gua."

"Itu Kak Chica," jawab Andis. "Chica Ramalia."

Merasa diperhatikan, Chica menoleh ke arah jendela. Refleks Dirga dan Andis langsung menunduk.

"Lu suka sama dia?" tanya Andis.

"Hah? Enggak. Cuma penasaran doang."

Terpampang senyum jahat di wajahnya. Ia menarik Dirga ke pintu, lalu mendorong tubuh pemuda itu ke dalam kelas. Setelah itu, ditutupnya pintu kelas tersebut sambil menahan gagang pintunya.

"Andis!" Dari dalam kelas Dirga berusaha membuka pintu. "Buka, Dis!"

Sesekali pandangan pemuda itu tertarik ke arah Chica. Entah, ada medan magnet yang begitu kuat sehingga mampu menarik tatapnya. Chica tersenyum sambil menggelengkan kepala, lalu lanjut membaca buku. Sesekali pandangan mereka bertabrakan.

'Gua enggak boleh terjebak di kelas ini kelamaan. Bisa mati diabetes'.

***

Waktu terus bergulir. Hari senin kembali ke singgasananya. Terdengar nyaring suara bel sekolah berbunyi, pertanda upacara bendera akan segera dimulai. Dirga berbaris dengan gelagat tak tenang. Pandangannya terus mencari keberadaan Chica di barisan gadis-gadis IPA.

Di tengah pencariannya, tiba-tiba dari barisan IPS mendadak riuh. Dirga berpindah atensi menatap sumber kegaduhan yang sepertinya bersumber pada barisan kelas Andis.

"Halah, sampah," ujarnya.

Seperti biasa, Andis tiba-tiba saja terkapar. Anak-anak kelasnya mendadak riuh seperti sekumpulan monyet. Petugas PMR mengangkutnya dengan berat hati, lalu membawa Andis ke UKS.

Warga Adinata sebenarnya paham, Andis hanya bersandiwara. Pemuda bertopi beanie yang kalau upacara mengenakan topi sekolah itu tak ingin berpanas-panasan dan lebih memilih tiduran di UKS sambil ditemani cewek-cewek PMR.

Sejenak Dirga menghela napas, lalu menatap pada barisan Tirta. Pemuda itu juga sedang menggeleng melihat tingkah Andis, tapi Andis masih jauh lebih mulia ketimbang satu orang lagi dari angkatan mereka.

Uchul tak pernah sekali pun ikut upacara dan tak penah mendapat teguran dari guru. Pemuda itu pasti sedang bersantai di kantin, merokok di atap, atau tidur di taman belakang sekolah. 

Sisanya normal, kecuali para gadis yang sedikit-sedikit selalu melirik ke barisan Tama secara serempak dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jujur, keberadaan pria tampan itu agak mengganggu Dirga. Ia takut jika Chica juga terjerat pesonanya. Damn!

Singkat cerita, upacara selesai. Dirga berjalan keluar dari barisan, tapi bukan ke arah kelasnya.

"Dir, mau ke mana?" tanya Pikray.

"Kencing."

Pikray memicing melihat Dirga berjalan ke arah toilet utama. Wajar, biasanya anak begundal di SMA Adinata selalu menggunakan toilet belakang yang sepi karena rumor horor. Tak ada yang menggunakan toilet itu sehingga mereka bebas merokok di sana.

"Kok ke sono? Itu kan WC orang pinter, Dir," lanjutnya.

"Lah, gua kan pinter. Bebaslah." Tak ia hiraukan begundal itu dan terus berjalan.

Toilet utama terletak di lantai dua. Untuk sampai ke sana Dirga harus melewati deretan kelas dua belas. Sengaja ia bersusah payah ke tempat ini hanya untuk mencuri sekilas senyum Chica. Dirga tidak butuh kopi di pagi hari. Hanya sedikit senyum gadis itu sudah lebih dari cukup.

Begitu melewati kelas tersebut, waktu seakan melambat. Dirga tersenyum ketika menemukan Chica, tapi sepertinya gadis itu tak menyadari kehadiran Dirga.

'Lah? Senyumnye mane?'

Sesampainya di dalam kamar mandi, Dirga hanya diam menatap cermin dengan tatapan kosong.

'Apa gua sejelek Andis? Jadi dia enggak sadar kehadiran gua?'

Pemuda itu hanya membatin sambil melamun di depan cermin. Hingga sebuah tepukan menyadarkannya.

"Lu ngapain si?!" tanya Ajay dengan mimik panik. "Bengong kayak orang kesambet setan lu! Biasanya juga pake toilet belakang biar bisa ngerokok. Tumben-tumbenan ke sini?"

"Sekali kali ke toilet elit," jawab Dirga, "udah lama enggak ngerasain toilet yang vibes-nya IPA banget."

"Oh, gua kira lu mau ngelakuin sesuatu yang aneh kayak masang CCTV tersembunyi, atau ritual pemujaan iblis. Makanya gua ikutin. Kalo enggak ada yang aneh-aneh gua pergi dulu." Ajay memutar tubuh dan hendak melangkah.

"Eh, Jay!"

Ia menghentikan langkahnya dan menoleh kembali.

"Ciri-ciri cewek yang lagi suka sama cowok tuh—kek mana sih?"

Sebuah pertanyaan yang Ajay kira tak akan pernah keluar dari mulut seorang Dirga Martawangsa. Ia terdiam sejenak untuk berpikir. Banyak human experience yang ia lakukan selama ini termasuk memahami gelagat asmara kawla muda.

"Merasa nyaman bercerita, suka cari perhatian, berani ngungkapin rahasia atau hal-hal yang bersifat pribadi, menanyakan banyak hal, selalu ada buat orang yang dia suka ...."

"Oke, cukup. Makasih, Jay." Dirga berjalan keluar kamar mandi dan kembali melewati kelas Chica.

Dua kali pemuda itu lewat, dan dua kali Chica tak peduli. Entah tak sadar, atau memang benar tak peduli. Merasa diabaikan, tatapan Dirga kembali kosong.

Ajay menepuk pundak pemuda itu, lalu berjalan melewatinya. Dirga sontak menghentikan langkah seraya menatap punggung Ajay yang perlahan hilang masuk ke dalam kelasnya yang memang berada di lantai dua. Perlahan kesadarannya pulih.

***

Sore ini Dirga duduk di warung depan sekolah sambil menatap setiap gadis yang berjalan melewati gerbang sekolah.

"Cari siapa sih?" tanya Vivi. Seorang berandal cewek yang sering ikut di tongkrongan mereka. Semua anak tongkrongan kecuali Dirga tahu, bahwa gadis itu suka dengan Dirga.

"Udah, lu enggak perlu tau," balas Dirga ketus.

Waktu terus berjalan dan tak ia temukan apa yang ia cari. Sontak Dirga menatap anak-anak basis. "Kelas dua belas ada bimbel, ya?"

Basis : Barisan siswa. Mengacu pada anak tongkrongan atau anak sekolah yang bergerombol.

"Iya, setiap senin, rabu, sama jumat mereka ada pelajaran tambahan buat persiapan ujian nasional," jawab Agoy. "Ngapa?"

"Pulang jam berapa?" tanya Dirga lagi.

"Sekitar jam lima, tapi kadang sampe menjelang maghrib," balas Agoy.

"Kenapa sih? Bikin penasaran aja," celetuk Pikray.

"Ada yang tengil, Dir?" tanya Babay.

Dirga tak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ia fokus menatap jam tangan hitam di tangan kirinya.  "Gua caw dulu dah."

"Lah, masih pagi udah cabut aja," balas Babay. "Sebat dulu lah."

"Duluan." Dirga beranjak dari duduk dan berlari keluar warung meninggalkan tasnya. Semua saling melempar tatapan heran, tapi tak ada yang mengejar.

Ia susuri jalan menuju rumah Chica. Tak ada satu pun berandal dari sekolah lain. Terbesit ekspresi kecewa di wajah Dirga. Entah, rasanya pemuda itu ingin menjadi pahlawan lagi untuk Chica dan memiliki alasan untuk pulang bersama.

"Pas dicari malah enggak ada. Anjinglah."

Dengan berat hati dan kaki, Dirga berjalan kembali ke warung tongkrongan. Sesampainya ia di warung, tak ada siapa pun. Semuanya sudah pulang. Dirga duduk sejenak sambil mengatur napas. Setelah letihnya hilang dan kebetulan hari mulai menggelap, di tambah mood yang kurang bagus. Pada akhirnya ia memutuskan pulang.

"Dirga."

Baru saja keluar warung. Suara panggilan itu membuat Dirga menoleh ke arah gerbang sekolah. Terbesit senyum tipis di bibirnya. "Hey."

"Kamu belum pulang?" tanya Chica yang baru saja keluar melewati gerbang.

Dirga refleks menggulung ujung seragamnya yang keluar agar terlihat rapi. "Belum, baru kelar ekskul."

"Kamu ikut ekskul apa?" tanya Chica berjalan menghampiri.

Pemuda itu memikirkan jawaban asal. "Makan kerupuk."

"Pfftt ...." Chica menahan tawa, tetapi tak terbendung. Gadis itu tertawa.

'Bangsat! Manis bener'. Batin Dirga. Tawanya membuat Dirga terpana.

"Mana ada ekskul makan kerupuk? Lomba tujuh belasan kali?"

Dirga masuk kembali ke warung dan mengambil satu kerupuk putih dari kaleng. "Ada, tapi ekskul dari luar sekolah. Buat persiapan olimpiade balap makan kerupuk se Asia Tenggara. Si Bibi pembina ekskulnya."

Bibi penjaga warung mengerutkan kening, tetapi ketika menyadari apa yang sedang Dirga lakukan ia langsung mengikuti alur permainan. "Iya, di sini buka ekskul makan kerupuk, neng."

"Tuh, kan. Apa aku bilang."

Chica tersenyum. "Iya, percaya." Namun, pada satu titik gadis itu tiba-tiba memicing.

"Ke-kenapa?" Rasanya ada yang janggal.

"Sejak kapan kamu jadi aku-kamu gitu ngomongnya? Seorang Dirga Martawangsa—aku-kamu?"

'Seorang Dirga Martawangsa, ya?'

Dirga membuang tatap ke langit-langit sambil memikirkan alasan. "Ya—namanya juga sama kakak kelas. Harus sopan."

Chica lagi-lagi tersenyum. "Oh gitu. Percaya kok."

Di tengah percakapan manis itu, arah tatap Dirga turun memandang kakinya sendiri. Mendadak senyumnya pudar menjelma raut kecewa. "Hari ini enggak ada anak sekolah lain yang gangguin jalan."

"Bagus dong! Jadi aman," balas Chica.

"Kamu bisa pulang sendiri ...," lirih Dirga sambil memegangi tali ransel.

"Suka kue rangi?" tanya Chica.

Dirga mengerutkan kening. "Kue rangi?"

"Iya kue rangi," jelasnya, "suka enggak?"

"Suka," jawab Dirga singkat.

"Ayo makan kue rangi. Aku yang traktir. Anggap aja karena kamu udah nolongin aku kemarin dan bikin anak-anak nakal itu hilang nyali nongrong di sini lagi."

"Enggak usah, aku ...."

Tanpa permisi Chica menarik tangan Dirga. "Ayo, enggak usah merasa enggak enak."

Tangan yang biasanya digunakan untuk memukul itu, kini berpasrah dalam genggaman seorang gadis. Kaki yang biasa menendang lawan, kini tunduk berserah diri mengikuti langkah gadis mungil itu tanpa perlawanan.

Mereka bergandengan hingga memasuki jalan raya. Karena jalur pinggir yang menyempit, Dirga memperlambat langkah dan melangkah di belakang Chica. Ia perhatikan gadis itu dari belakang.

'Ah, aku suka dia'.

"Makanan kesukaan kamu apa?" tanya Chica memecah keheningan.

"Semua makanan."

Jawaban Dirga membuat gadis itu tertawa. "Pasti ada yang enggak kamu suka dong?"

"Suka semua kok, beneran."

"Dari yang kamu suka deh. Pasti ada dong yang paling kamu suka?"

Dirga mengingat satu makanan yang mungkin paling ia rindukan di dunia. "Yang aku paling suka? Hmm ... ada sih."

"Apa?"

"Telor ceplok buatan Ibu," jawab Dirga.

Chica menghentikan langkahnya dan menoleh. "Seenak itukah telor ceplok masakan Ibu kamu?"

Dirga tersenyum menatapnya. "Ya, seenak itu."

Mereka melanjutkan langkah menuju tukang kue rangi. Sayangnya hari ini pedagang kue rangi itu sudah tak berada di tempatnya.

"Yah tutup. Udah kesorean," gerutu Chica. Tampangnya terlihat kecewa.

"Besok deh. Besok kita ke sini lagi. Siapa tau buka kalo besok." Dirga berusaha menghapus kecewa di wajah gadis itu. "Kamu ada bimbel enggak?"

"Boleh. Enggak ada bimbel kok." Gadis itu lagi-lagi tersenyum. "Eh, tapi kamu ada ekskul makan kerupuk enggak?"

"ENGGAK ADA!" balas Dirga terlalu bersemangat. "Eh, maaf. Enggak ada." Ia memperkecil suaranya sambil menggaruk kepala.

"Ya udah, besok tunggu-tungguan di warung depan, ya."

Dirga mengangguk dengan senyum sumringah, kemudian menyodorkan tangan. "Kalo dipikir-pikir, kita belum kenalan secara resmi. Dirga Martawangsa."

Chica menyambut tangan pemuda itu.  "Chica Ramalia." Tangan Chica begitu kecil dan halus. Berbeda jauh dari tangan Dirga yang besar dan kasar.

"Kalo gitu sampe ketemu besok, Kak Chica."

"Enggak usah lebay! Panggil aja Chica. Oh iya, ngomong-ngomong kamu tinggal di mana, Dir?"

Pemuda itu terdiam semiliyar bahasa. 'Mampuslah ako!'

"Di-di-di-di ...."

Melihat tingkah Dirga, Chica tertawa kecil. "Kalo rumahku di sana." Chica menunjuk sebuah rumah. "Mau mampir? Siapa tau rumah kamu enggak jauh dari sini, bisalah mampir sebentar."

"Boleh itu! Boleh!" balas Dirga bersemangat.

Dirga mendadak shock dengan jawaban yang keluar dari mulutnya sendiri. 'Blegug sia! Naha boleh-boleh wae?!'

"Yuk, aku kenalin sama orang tuaku sekalian."

"Oke deh."

'Anying OKE DEH! Kumaha atuh?! Blegug Dirga!'

Nyali berandalan itu mendadak ciut. Rasanya lebih baik bertemu Abet dan bertempur mati-matian, ketimbang bertamu ke rumah Chica. Baru kali ini rasa takut menyelimutinya. Dirga Martawangsa yang tak pernah takut pada pertempuran kini gemetar setengah mati ketika langkahnya semakin dekat dengan rumah Chica.

"Tunggu!" Ia menahan langkah. Chica otomatis juga berhenti. Gadis itu memergoki Dirga sedang meneguk ludah.

"Kenapa?" tanyanya dengan senyum ambigu yang entah apa artinya.

"Ca, bapak kamu polisi, ya?" tanya Dirga random.

"Kok tau?" balas Chica.

Wajah pemuda itu mendadak pucat. Kakinya tiba-tiba saja berjalan mundur perlahan. "Lain kali aja deh mampirnya. Aku pulang dulu, mau persiapan olimpiade makan kerupuk."

"Loh, Dirga?" Terlihat jelas wajah Chica yang mendadak heran.

"Aku pulang dulu, tiba-tiba kebelet boker." Sekuat tenaga Dirga berusaha lepas dari jaring pesona Chica. Jujur, sebenarnya Dirga masih ingin bersama dengan gadis itu, tapi tidak di rumahnya.

"Ayah aku bukan polisi! Aku pikir kamu mau ngegombal! Hey, Dirgaaaa!" teriak Chica.

Pemuda itu sudah terlanjur jauh dan tak mendengar ucapan Chica. Gadis itu menggeleng sambil tersenyum. "Dasar pria aneh."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top