35 : END

Semenjak kasus terakhir, Dirga menjumpai titik balik hidupnya. Kini Pria itu tampak berbeda dari Dirga yang dulu.

Tak ada lagi perkelahian. Di setiap masalah, Dirga selalu berusaha untuk berkepala dingin. Di penghujung masa SMA nya, ia selalu menghabiskan waktu dengan belajar. Entah dengan Uchul, bersama Tirta, atau bersama Kak Gita di perpustakaan kota. Nilainya mendadak naik hingga membuat satu sekolah gempar.

Malam ini di temani lampu temaram, Dirga membaca buku. Bukan hanya secara akademik saja, wawasannya pun semakin luas.

Sejak kehilangan Bon Voyage, Dirga berusaha memperbaiki hubungan dengan pamannya dan tinggal di rumah yang pernah ia tinggalkan.

Pintu berdecit dan terbuka separuh. Dirga menoleh, ditatapnya Tirta yang berdiri di balik pintu.

"Lagi ngapain?" tanya Tirta.

"Baca buku," jawab Dirga singkat.

Tirta masuk ke kamar Dirga dan duduk di tepi kasur. "Gimana? Udah punya planning masa depan?"

Dirga tersenyum. Jika ia masih Dirga yang dulu, mungkin senyum itu tak akan pernah hadir di wajahnya, sebab tak ada jawaban atas pertanyaan barusan.

"Ada," jawabnya lantang. Sejenak tersirat getir di wajah itu. "Dulu Chica pernah nanya hal serupa, tapi waktu itu gua belom bisa jawab."

Tirta bangkit dari tepi kasur, ia mengusap pundak Dirga yang saat ini terlihat rapuh dan gemetar. Tak ada kata yang mampu ia berikan untuk Dirga.

"Kenapa dulu gua enggak ngikutin ucapan dia sih? Kenapa gua bego banget?"

"Kita ini hidup atas skenario Tuhan. Semua yang terjadi itu adalah jalan yang terbaik," balas Tirta.

Sejenak, mereka berdua diam dilumat keheningan malam.

"Jadi—apa planning lu ke depannya?" tanya Tirta.

"Masuk Sastra Inggris UGM," jawab Dirga.

"Kalo enggak dapet?"

"Enggak bisa. Pun, gua enggak mau yaa tetep aja masuk. Udah 100% kok."

Tirta terkekeh. "Kadang gua lupa, lu bisa liat masa depan."

Mendengar itu, Dirga kembali tersenyum. "Justru karena gua ngeliat masa depan yang suram, gua berjuang sekeras ini. Apa pun caranya gua harus masuk Sastra Inggris UGM."

"Berusaha ngelawan takdir?" tanya Tirta.

"Semua yang gua liat pake prekognisi itu sifatnya prediksi. Pun itu kenyataan, gua akan tetep ngelawan. Kekuatan terbesar manusia itu adalah kemampuan untuk bangkit kembali setelah jatuh. Meskipun gua jatoh seribu kali, gua akan bangkit seribu satu kali. Manusia emang makhluk lemah, tapi mereka punya kemampuan buat ngerubah takdir."

Tirta ikut tersenyum. "Gua percaya lu bisa."

Dirga terkekeh. "Bukan cuma itu. Gua udah pikirin ini mateng-mateng. Gua bakal pake uang di rekening ibu buat modal bisnis."

Tirta mengerutkan kening. "Bisnis?"

Dirga mengangguk. "Gua mau buka kedai kopi di Jogja. Peluangnya cukup gede." Ia menunjukkan buku yang sedang ia baca. Buku itu berisi ilmu tentang perkopian dan cara membangun bisnis coffee shop.

"Serius?"

Lagi-lagi Dirga mengangguk menimpali pertanyaan Tirta. "Selain itu, gua butuh mobil buat oprasional toko."

"Enggak, enggak ... maksud gua lu serius mau pake duit di rekening ibu? Lu tau ASAL itu duit dari siapa, kan?"

"Iya, gua paham. Gua enggak berniat buat pake uang itu secara harfiah kok. Dari hasil usaha nanti gua akan ganti. Gua enggak mau berutang sama keluarga Martawangsa, Tir. Gua enggak mau nelen ludah sendiri, tapi mumpung ada kesempatan menurut gua ya harus gua ambil."

"Ya udah kalo emang udah lu pikirin baik-baik. Gua pasti dukung selama itu baik," balas Tirta.

"Kalo lu?" tanya Dirga balik. "Apa planning lu ke depan?"

Tirta tersenyum menatap pemandangan di luar jendela. "Gua mau masuk Kriminologi UI."

Dirga memicing. "Kriminologi?"

Tirta mengangguk. "Iya. Gua enggak mau ada Dirga-Dirga lain yang bertumbuh tanpa penanganan. Gua berharap bisa mengurangi, atau bahkan menghilangkan kenakalan remaja yang jadi cikal-bakal kasus kriminal."

Dirga ikut tersenyum. "Gua yakin lu juga bisa. Inget, lu udah pernah berhasil nanganin satu Dirga. Dirga yang paling brutal di antara jutaan Dirga lainnya. Enggak ada lagi yang perlu lu khawatirin."

Entah apa yang Tirta pikirkan, tetapi wajanya terlihat murung. Menyadari itu, Dirga menepuk pundaknya.

"Lu kenape? Enggak percaya diri?"

"Bukan." Tirta menghela napas. "Seandainya gua masuk UI, dan lu masuk UGM. Ini pertama kalinya kita pisah jauh sejak kita dilahirin."

"Ya mau gimana lagi? Ini bagian dari alur takdir, kan?" tanya Dirga.

Tirta mengangguk. "Ya, lu bener." Ia berjalan menuju pintu. "Tidur dah, udah malem. Besok pertempuran terakhir kita di babak SMA."

"Oke." Sejenak Dirga menatap secarik foto dirinya dan Chica yang berada di bawah cahaya lampu temaram.

Pintu tertutup meninggalkan Dirga bersama kenangan yang menari di atas meja. Ia hapus setetes air mata yang tumpah sebelum cahaya di kamarnya hilang. Setelah itu ia berjalan ke kasur dan membaringkan diri memandang langit-langit yang gelap.

"Sebentar lagi aku lulus." Dirga terdiam sesaat. "Harusnya aku nyusul kamu ke Jogja, tapi maaf, ternyata kamu enggak sampe ke sana dan aku enggak nyusul siapa-siapa." Mulutnya kembali bergeming. "Biarpun kamu udah enggak ada, tapi janji kita abadi. Aku akan pergi ke sana membawa impian kamu. Maaf karena aku terlambat sadar."

Pria itu menutup mata. Ia mengatur napasnya yang perlahan terasa sesak dan kehilangan ritme. Besok adalah hari penentuan, sebab jenjang SMA akan menghadapi Ujian Nasional. Dirga berusaha tenang untuk persiapannya menyambut pertempuran esok hari.

***

Waktu adalah hal yang aneh. Ia tak berkaki, tetapi mampu berjalan maju. Ujian Nasional telah berlalu. Saat ini Dirga, Tirta, Andis, Tama, Ajay, dan Uchul duduk di pinggir sungai dekat lokasi Bon Voyage dulu. Sudah satu tahun berlalu sejak bus tua itu mati demi kepentingan penguasa.

"Enggak heran kalo Tirta sama Uchul masuk UI," ucap Dirga.

"Yang gua heran bisa-bisanya lu masuk UGM beneran," balas Andis.

Ujung bibir Dirga tertarik ke atas. Ia berhasil merubah sekeping takdir dalam hidupnya. Pemuda itu dinyatakan lolos SBMPTN dan mendapatkan Sastra Inggris UGM.

"Gua, lu, Ajay, sama Tama ngerantau ke Jogja," balas Dirga. "Ini pertama kalinya kita pisah beneran. Terutama gua sama Tirta."

"Dua biji yang terpisah," celetuk Andis diiringi kekehan.

"Biji lu sini gua pisah!" balas Dirga.

Sore ini adalah sore terakhir mereka bersama, sebelum pada akhirnya dipisahkan jarak. Nanti malam Dirga, Andis, Ajay, dan Tama berangkat ke Jogja di antar kereta api.

"Mobil lu gimana?" tanya Ajay.

"Aman," jawab Tirta. "Dua hari lalu gua sama Dirga udah ke Jogja duluan liatin Ruko terus naro mobil di sana. Kita pulang naik kereta gara-gara Dirga mau waktu ke sana lagi itu naik kereta. Capek bawa mobil jauh katanya."

Dirga lebih banyak diam hari ini. Raut wajahnya menimbulkan banyak pertanyaan di benak yang lainnya.

"Lu mikirin apa sih?" tanya Tirta. "Segala kosong gitu pikiran seakan lagi ngumpetin sesuatu dari gua."

Pemuda itu terkekeh. Ia menatap Tama, Andis, dan Ajay bergantian. "Enggak apa-apa kan ngerepotin?" tanya Dirga.

"Santai. Itung-itung punya penghasilan sama tempat tinggal gratis," balas Ajay.

"Jadi barista sih oke. Bisa liatin cewek-cewek kampus," timpal Andis diikuti siulan genit.

Dirga berpindah tatap ke arah Tama. "Lu enggak apa-apa, Tam? Apa mau ngekos aja?"

Tama mengacungkan jempol andalannya. Ia juga tak masalah jika harus kuliah sambil bekerja paruh waktu di toko kopi Dirga.

"Apa nama toko kopinya, Dir?" tanya Andis.

Dirga tersenyum memandang langit jingga.

"Mantra Coffee."

***

Dirga dan Tirta berdiri saling berhadapan di malam yang sendu. Sebuah dinding raksasa bernama jarak hampir berdiri kokoh menghalangi separuh raga kembar itu.

"Hati-hati lu," ucap Tirta dengan mata berkaca-kaca.

Dirga menepuk bahu Tirta. "Lu juga. Jaga diri lu." Matanya tak kalah sedih dari Tirta.

Tangan di bahu Tirta itu menarik pemuda itu dalam dekap kembarannya. Ini kali pertama Dirga dan Tirta berpisah sejak mereka dilahirkan. Kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa ternyata memang sesakit itu, tapi mau bagaimana lagi? Setiap jiwa punya tujuan yang berbeda. Dirga sudah mantap dengan alur takdir yang ia pilih, dan tugas Tirta adalah mendukungnya sepenuh hati.

Pengumuman pemberangkatan kereta membuat Dirga perlahan merenggangkan pelukan itu hingga terlepas. Langkahnya perlahan mundur, tetapi tubuhnya masih menatap lurus pada Tirta. Dalam waktu dekat, Dirga tak bisa lagi berkaca tanpa cermin.

"Gua pergi dulu," ucap Dirga dengan mulut bergetar, tetapi mencoba tersenyum.

Tirta mengusap matanya dengan punggung tangan dan memasang senyum serupa. "Ya. Jaga diri lu baik-baik."

Meskipun berat, Dirga memutar tubuhnya. Tirta hanya bisa terdiam melihat punggung kembarannya yang perlahan menjauh dan hilang ditelan jarak.

"Yok, pulang," ucap Uchul yang sedari tadi berdiri tak jauh di belakang Tirta.

"Yok." Tirta pun memutar arah tubuhnya berlawanan dengan Dirga, ia berjalan meninggalkan stasiun.

Di sisi lain Dirga sudah duduk bersama ketiga sahabatnya berhadap-hadapan. Ia menatap keluar jendela kereta yang perlahan bergerak maju. Perlahan demi perlahan Dirga meninggalkan segalanya di belakang. Keluarga, sahabat, kenangan ....

"Cuma kematian yang bisa bikin perjalanan seorang manusia berhenti," gumam Dirga dibalas tatapan Tama, Ajay, dan Andis. "Kita harus maju demi semua orang. Demi diri kita sendiri. Meskipun dalam perjalanan itu kita kehilangan banyak hal."

"Kehilangan cuma perasaan. Sejatinya kita enggak pernah kehilangan apa pun di dalam hidup kita." Andis menimpali kata-kata Dirga bagai geledek. Tatapannya pun mengarah pada satu titik yang sama dengan Dirga. "Karena emang pada dasarnya, kita enggak punya apa-apa."

"Tapi dari ketidak punya apa-apaan itu, manusia sudi berjuang," lanjut Ajay. "Kita itu serakah, kita itu haus memiliki, kita benci merasa hampa tanpa apa-apa."

Tama menghela napas. "Hampa itu bukan kekosongan." Semua beralih tatap dari jendela ke arah pria tampan itu. Mendengar suaranya merupakan momen yang cukup langka. "Hampa itu sebuah panggung untuk menemukan kembali makna yang hilang."

"Ini ngomong apaan sih pada?" tanya Dirga dibalas gelengan kepala oleh yang lain.

Mereka semua tertawa hingga seorang petugas keamanan kereta datang bersama pria berseragam rapi yang merupakan kondektur. Dirga, Ajay, Andis, dan Tama menghentikan tawanya dan memberikan tiket masing-masing untuk dilubangi.

"Jangan berisik ya, Mas. Nanti yang lain keganggu," ucap pria berseragam itu.

Mereka semua mengangguk. Wajar, mereka berempat menunggangi kereta malam. Mungkin banyak yang ingin beristirahat dan merasa terganggu dengan riuh yang mereka timbulkan. Andis, Ajay, dan Tama bersandar memejamkan mata mereka. Sementara Dirga masih terjaga memandang keluar jendela dengan headset di kedua telinganya. Ia ingin menikmati perjalanan sambil menatap semua yang berlalu ditemani lagu The Beatles.

Let it be, let it be, let it be, let it be
There will be an answer, let it be

Pada satu titik, Dirga merasakan kantuk. Ia menyandarkan diri di kursi. "Aku pengen naik kereta bareng kamu, nikmatin perjalanan berdua sambil ngobrol banyak hal." Ia pejamkan matanya dan berusaha tertidur. Sengaja ia bayangkan wajah Chica dan berharap mimpinya akan terwujud. Yaaa ... meskipun hanya sebatas mimpi, tapi itu sudah lebih dari cukup.

Ketika kondisinya sudah berada di ambang separuh sadar, Dirga mendengar sebuah lirih di telinganya. Suara ilusi yang tercipta dari kumpulan rindu yang mengendap dan tak menemukan pintu keluar.

'Selamat atas kelulusannya, selamat udah diterima di UGM ngelanjutin impian yang enggak bisa aku capai, dan makasih karena udah mau berubah demi aku. Selamat jalan dan selamat tinggal, jagoan ....'

Senyum tipis itu tercipta ketika Dirga terlelap beriringan dengan air mata yang luruh.

Kisah Dirga berakhir sampai di sini. Setelah ini ia akan memulai perjalanan baru. Sebab selalu ada awal dari sebuah akhir.

Banyak hal yang terjadi dalam hidup kita, dan terkadang tidak selaras dengan apa yang kita inginkan. Camkan ini baik-baik. Apa yang kita inginkan belum tentu adalah apa yang kita butuhkan.

Setiap kita adalah petualang, yang akan selalu berjalan sampai nanti lupa untuk apa kita berjalan. Dalam perjalanan itu banyak rintangan. Dalam perjalanan itu banyak pembelajaran. Dalam perjalanan itu banyak perpisahan.

Namun, di balik semua rintangan, pembelajaran, dan perpisahan itu, kita akan menemukan kekuatan dan kebijaksanaan untuk melanjutkan perjalanan kita, dengan keyakinan bahwa meski kita lupa untuk apa kita berjalan, setiap langkah memiliki arti yang tak tergantikan.

END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top