34 : Titik Balik Kehidupan

Hari ini dari lantai atas Dirga sedang berdiri di balkon menyaksikan anak kelas tiga yang sedang melakukan pesta corat-coret seragam. Seharusnya Chica ada di antara mereka. Entah gadis itu akan ikut berpesta bersama angkatannya, atau malah ikut menyaksikan pesta itu dari lantai atas bersama Dirga.

Setelah ini mereka semua akan lulus dan melangkah lebih jauh untuk mengarungi samudera kehidupan. Waktu tak mau menunggu, sebab itu persiapkanlah semuanya sebagai bekal nanti ketika kapal kita mulai berlayar.

***

Beberapa bulan kemudian.

Tahun ajaran baru pun dimulai. Dirga menjadi pribadi yang lebih pendiam saat di kelas. Hubungannya dengan Mantra baik, sebab semua anggota Mantra berbagi peran untuk membantu Dirga.

"Gua ngajarin di dableg matematika," ucap Tirta. "Chul, lu bantuin tiga mata pelajaran IPS yang ada di ujian nasional ya. Terus Ajay tolong bantuin bahasa indonesia sama bahasa inggris."

"Tama bantu apaan?" celetuk Ajay.

"Tama bukan guru yang baik, jadi dia bantu konsumsi aja kalo belajar. Duitnya banyak," jawab Tirta.

"Kalo gua?" tanya Andis.

"Lu juga dableg! Lu ikut belajar sama Dirga!" balas Tirta.

Andis terkekeh sambil menggaruk kepala bagian belakangnya. Semua pun ikut tertawa, kecuali Tama yang hanya tersenyum.

"Kalo gitu fix, ya. Besok gua buat jadwalnya," lanjut Tirta. "Ngomong-ngmong agenda lu hari ini apa, Dir?"

"Gua mau ketemu sama orang di Perpusnas," jawab Dirga.

"Cieee pengganti Chica?" ledek Andis.

"Bukan. Ini guru privat gitu. Gua dapet dari blogger gitu, mahasiswa yang lagi butuh pengalaman ngajar."

"Sekarang banget?" tanya Ajay.

Dirga mengangguk. "Waktu adalah ilmu. Gua enggak bisa santai lagi. Banyak yang harus gua kejar." Ia beranjak dari duduknya dan hendak pergi.

"Semangat lu, Dir," ucap Bang Farhan.

"Makasih, Mas. Titip salam buat Bang Erza." Dirga keluar dari Man Robusta dan berjalan ke halte busway.

***

Beberapa menit berlalu.

Dirga turun dari busway dan berjalan sedikit ke sebrang. Ketika memasuki area Perpusnas, ia tak sengaja menabrak bahu seorang pria berhoodie hitam. Pria itu mengenakan masker yang menutupi mulutnya. Sejenak mereka saling bertatapan. Jika Dirga masih Dirga yang lama, mungkin hal sepele itu akan menjadi masalah, tetapi kini ia sudah berubah.

Dirga tersenyum padanya. "Maaf, enggak sengaja."

Pira itu pun tak mempermasalahkannya. Ia melanjutkan langkahnya keluar area Perpusnas. Di sisi lain Dirga pun berjalan masuk untuk bertemu dengan guru privatnya.

Ketika sedang berjalan di halaman, seorang wanita menghampirinya. "Dirga, ya?"

"Iya," jawab Dirga.

"Jaket jeans biru, sepatu kulit cokelat ... vintage ternyata. Keren," lanjutnya.

Dirga menunjuk wanita itu. "Kak Septivia Anggita Prameswari?"

Wanita itu mengangguk.

"Jadi saya manggilnya apa nih? Kak Septi? Kak Via? Kak Anggi? Kak Gita?"

"Panggil aja sayang."

"Jiah," balas Dirga sambil terkekeh. "Baru mulai langsung kena jurus gombal no jutsu."

"Panggil aja Gita," sahut wanita itu. "Yuk, kita ke dalem."

"Oke."

Jika dilihat, Gita merupakan wanita yang cukup cantik. Kulitnya putih mulus, di tambah rambutnya yang pendek seleher membuatnya terlihat manis. Belum lagi gingsul kecilnya yang semakin menambah kesan manis padanya.

Mereka duduk satu meja. Gita mengeluarkan sebuah modul dan memberikannya pada Dirga. Dirga pun mengambilnya dan menatap modul itu sambil sesekali ia buka.

"Itu modul belajar kita. Tipis, tapi tajem buat ngulik pelajaran kelas satu sama dua. Cuma itu, kan? Pelajaran kelas tiga?"

Dirga tersenyum. "Kalo itu saya bisa ikutin. Selain itu juga saya punya guru lain buat mata pelajaran kelas tiga. Saya cuma butuh pelajaran kelas satu sama dua, soalnya ketinggalan banyak."

"Oke, kita langsung mulai, ya." Gita memulai pelajarannya.

Hampir dua jam berlalu, Dirga berpamitan dengan Gita dan segera pulang. Sementara itu Gita menghela napas sambil menatap Dirga yang perlahan menjauh. Ia memegang sebuah amplop, sebab bayarannya adalah per pertemuan.

Pria berhoodie hitam muncul dan duduk di samping Gita. Ia merangkul wanita itu dan menempelkan wajahnya pada pipi Gita.

"Gimana bayarannya?"

"Jangan berharap lebih. Aku bilang sama dia kalo aku lagi nyari pengalaman, jadi enggak butuh uang," balas Gita.

Pria itu terkekeh, lalu memberikan amplop lagi pada Gita. "Jangan sedih dong. Nih aku tambahin."

Gitar ikut tertawa dan menolak amplop itu. "Aku udah janji buat bantuin adek kamu, jadi enggak perlu bayaran apa-apa. Aku ikhlas."

Pria itu melepaskan kupluknya. Rupanya ia adalah Frinza Martawangsa. "Makasih ya, dan maaf ngerepotin kamu."

"Enggak apa-apa baby." Ia mencubit pipi Frinza lebar-lebar. "Emang jurusanku begini dan cita-cita ku jadi guru. Aku suka jadi orang yang berguna dan membantu orang lain. Emangnya kamu! Enggak adek, enggak kakak, sama aja! Berandalan!"

"Eh, kan Dirga udah berubah," balas Frinza.

"Kamu kapan berubahnya? Contoh tuh adek kamu!"

"Bedanya dia tolol. Aku waktu sekolah meskipun bandel ya tetep ranking."

Gita menggeleng dengan tingkah Frinza yang tengil. Namun, ia tak pernah protes berlebihan dan menerima Frinza apa adanya.

***

Beberapa bulan berlalu.

Waktu terus bergulir. Sebenarnya Dirga ingin bekerja untuk membantu perekonomian pamannya. Hanya saja kini ia sudah berada di kelas tiga SMA dan sibuk mengejar pelajaran, jadi Dirga hanya fokus belajar, belajar, dan belajar.

Namun, bukan artinya kehidupannya hanya soal belajar saja. Ia juga sering bermain dengan teman-teman Mantranya untuk melepaskan penat.

Pada kesempatan libur weekend ini mereka berenam sepakat untuk menghabiskan waktu ke Puncak Bogor. Mereka mengendarai motor berboncengan. Dirga dengan Tirta, Ajay dengan Tama, dan Andis dengan Uchul.

Mereka melaju di Jalan Raya Bogor dan lanjut ke arah Sentul. Dari sana mereka melewati rute Bukit Pelangi hingga tembus ke Puncak.

Tama punya villa di area puncak pass, jadi mereka tak perlu repot-repot menyewa tempat singgah di sana.

Villa Tama cukup luas dan bagus. Ada halaman yang luas dan kolam renang di belakang. Mereka pun bersenang-senang melepaskan semua beban yang ada. Tak banyak waktu yang akan mereka habiskan bersama. Sebab waktu terlalu cepat berlalu tanpa disadari.

"Tinggal berapa bulan lagi kita sekolah?" tanya Andis.

"Kurang lebih tiga bulanan," jawab Tirta. "Cepet banget, ya. Perasaan baru kemaren naek kelas."

"Iye, bener," sambung Dirga. "Baru kemaren gua kasus ama si Donay."

Semua menertawakan Dirga.

"Enggak terasa, ya ...." Tomo menghela napas. "Sebentar lagi kita udah mau bubar SMA."

"Gimana pelajaran lu?" tanya Ajay.

Dirga tersenyum. "Harusnya aman kalo enggak lupa ingatan kayak Andis."

"Abis lulus lu mau lanjut ke mana emangnya?" tanya Andis.

"Jogja," jawab Dirga. "Gua mau ke UGM ngambil Sastra Inggris."

Tak ada yang meremehkan Dirga. Mereka semua tersenyum dan mendoakan yang terbaik.

"Kalo lu?" tanya Dirga balik.

"Jogja juga sih. Gua mau masuk kampus kedinasannya KOMINFO. Mau jadi broadcaster gua. Kayaknya asik," jawab Andis. "Lu mau ke mana, Tam?"

"ISI," jawab Tama singkat.

"Jogja juga dong?" tanya Tirta.

Tama mengangguk. "Desainer."

Semua tersenyum mendengar suara Tama dan impiannya.

"Kalo lu, Jay?" tanya Tirta.

"UGM juga, mau ambil Psikologi," jawab Ajay.

"Lah, lu berempat ke Jogja semua." Tirta kini menatap Uchul. "Lu gimana?"

"Gua yang deket aja biar bisa nemenin ibu gua," jawab Tomo. "Gua mau masuk UI."

"Jurusan apa?" tanya Dirga yang penasaran.

"Enggak tau, yang penting masuk aja dulu," jawab Tomo. Kini giliran ia menatap Tirta. "Terakhir nih. Kalo lu?"

Tirta tersenyum. "Gua masih mikirin mau masuk ke mana dan ngambil jurusan apa. Agak aneh ya, liat mantan Ketua Osis malah enggak punya planning."

Dirga menyodorkan tangannya ke depan. "Intinya kita harus lulus bareng, terus kejar impian kita bareng-bareng juga meskipun jalannya berbeda."

Semua ikut mengumpulkan satu tangannya dan saling bertatapan.

"Satu untuk semua!" teriak Dirga.

"Semua untuk satu!" jawab yang lain.

Setelah itu mereka melanjutkan acara dengan bebakaran di halaman villa sambil tertawa gurih menertawakan guyonan Andis. Hanya saja, Tirta terlihat duduk menyendiri sembari menatap kelima orang Mantra.

Setelah sekian lama, Dirga terlihat tertawa lepas. Ia seolah tak memiliki beban dan sejenak melupakan luka di hatinya. Pria itu benar-benar sudah berubah.

Melihat Dirga yang tertawa lepas seperti itu membuat Tirta berkaca-kaca. Ia terharu dan ikut bahagia. Sebelum air matanya tumpah, sengaja ia alihkan pikirannya dan ikut bersenang-senang dengan yang lain.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top