32 : Selamat Jalan

Dirga berjalan seorang diri menuju sekolah. Ia menghentikan langkahnya begitu berada di depan warung tongkrongan. Sejenak ia tatap kondisi warung yang sepi. Paling tidak, biasa ada Pikray atau Metkul yang sedang sarapan di sana. Rasanya aneh melihat warung itu tanpa basisnya.

Namun, nasi telah menjadi bubur. Dirga melanjutkan langkah menuju sekolah dengan rasa bersalah dan sebuah tanda tanya besar dalam kepalanya. Apa membunuh mereka semua menyelesaikan masalah? Bahkan setelah sukses membayar nyawa dengan nyawa, Dirga sama sekali tidak merasa membaik.

Pagi ini, sesampainya ia di sekolah, Dirga langsung dipanggil ke ruang kepala sekolah.

"Kamu ikut saya," ucap pak kepala begitu Dirga tiba di ruangannya.

Dirga hanya pasrah mengikuti pria tua itu berjalan menuju parkiran. Mereka masuk ke dalan sebuah mobil.

Begitu masuk, Dirga terkejut melihat dua orang berseragam polisi yang sudah berada di dalam.

"Dirga Martawangsa, ditangkap atas dugaan tuduhan pembunuhan berantai."

Dirga hanya diam tak merespons, seolah pasrah begitu saja.

Ia dan kepala sekolah dibawa ke kantor polisi untuk investigasi lebih lanjut.

Di dalam mobil Dirga hanya merenung. Ia menyesali perbuatannya. Jika waktu bisa ditarik mundur, mungkin ia akan berpikir seribu kali untuk membunuh teman-temannya. Masih banyak hukuman lain yang lebih sadis tanpa harus menghilangkan nyawa seseorang. Sekarang Dirga kembali bertanya, apa bedanya dirinya dan teman-teman tongkrongannya? Sama-sama binatang.

Begitu tiba di kantor polisi, ia langsung dibawa ke suatu ruangan untuk diinterogasi. Seorang polisi duduk di hadapannya.

"Apa benar ...."

Belum selesai polisi itu bertanya, Dirga langsung menyambar dengan jawaban.

"Ya, saya yang bunuh mereka," celetuk Dirga memotong. "Gara-gara mereka, seseorang yang berharga buat saya meninggal. Saya tau perbuatan saya salah, dan saya menyesal. Saya siap dihukum."

"Apa kamu benar-benar menyesali perbuatan yang kamu lakukan?"

Dirga tersenyum getir. "Seandainya waktu bisa ditarik mundur, saya enggak akan bunuh mereka. Sebab di rumah-rumah mereka, ada yang menunggu mereka pulang dengan harapan semua baik-baik aja. Saya menyesal. Saya bukan Tuhan yang bisa seenaknya menghukum mereka dengan mencabut nyawa gitu aja. Sekarang keluarga mereka pasti menyimpan dendam sama saya, tapi enggak apa-apa. Keluarga mereka pun harus tau, bahwa kelakuan anak-anaknya itu mampu membuat seorang gadis baik-baik berakhir bunuh diri. Meskipun sisi terdalam saya menginginkan kematian mereka, tapi ternyata keinginan itu hanya refleksi dari bentuk emosi sesaat."

"Lantas, hukuman apa yang harusnya setimpal dengan mereka?"

Dirga menggeleng. "Saya enggak tau ... tapi yang jelas, mereka harus hidup dan menanggung dosa itu sampai rasa bersalah menghantui mereka. Enggak ada hukuman yang lebih berat daripada penderitaan itu."

Pak polisi menatap kepala sekolah yang sedang mengawasi dari kaca luar ruangan. Ia memberikan sebuah isyarat yang Dirga tak pahami. Melihat tanda itu, pak kepala pun mengangguk sambil tersenyum.

Kini polisi itu kembali menatap Dirga. "Seandainya kamu diberikan kesempatan, apa kamu sudi melihat mereka hidup kembali?"

"Sampai akhir hayat, saya enggak akan pernah sudi maafin mereka. Saya juga enggak berniat buat ngeliat mereka hidup lagi. Tapi seenggaknya saya bersyukur seandainya mereka hidup, karena bagaimana pun juga mereka itu temen saya dan saya ingin mereka hidup memikul dosa di pundak mereka. Sisi kecil hati saya mau mereka lebih menderita."

"Apa kamu akan membunuh mereka lagi seandainya itu terjadi?"

Dirga menggeleng. "Saya serahkan semua sama pihak berwajib. Saya cuma bisa mengutuk mereka dalam doa."

"Kalau begitu mari ikut saya." Polisi itu beranjak dari duduknya dan berjalan keluar ruangan.

Dirga bangun dan mengikutinya dari belakang. Kini ia bersama kepala sekolah berjalan menyusuri lorong di kantor polisi. Langkah mereka berhenti di sebuah ruang tunggu tahanan.

"Saya permisi," ucap polisi itu pergi.

Dirga menatap kepala sekolah. "Bapak masih ada urusan di sini?"

Pria itu menggeleng. "Saya cuma nemenin kamu."

Pemuda itu menghela napas. "Pada akhirnya saya masuk penjara. Semua harapan orang-orang di luar sana akhirnya terkabul."

"Siapa bilang kamu mau di penjara?"

Dirga memicing. "Kalo enggak di penjara, ngapain saya ke sini?"

Kepala sekolah tersenyum, lalu menunjuk ke arah belakang Dirga. Pemuda itu sontak menoleh. Matanya terbelalak menatap keenam rekannya yang kini berpakaian ala narapidana.

"Kenapa mereka ada di sini?" tanya Dirga terheran-heran. "Suara tembakan itu palsu? Siapa yang membawa mereka ke sini?"

"Mereka datang sendiri dan mengakui dosa-dosa mereka. Mereka memohon juga buat enggak melibatkan kamu dalam masalah ini, karena semua masalah ini dimulai dari mereka."

"Enggak mungkin Doni mau ngakuin kesalahannya, Pak!" seru Dirga "Siapa yang bawa mereka?"

"Dirga, dengerin ucapan bapak ....."

Dirga terdiam memandang pak tua itu.

"Sejak awal ini cuma ujian buat kamu. Dari awal semua laporan orang tua itu palsu. Mereka tau bahwa anak mereka berada di penjara karena kesalahannya. Semua kabar kematian itu cuma pancingan agar kamu merasa bersalah dan menyesali perbuatan kamu," sambungnya.

"Kenapa? Kenapa ...."

"Ada tiga orang yang datang nemuin bapak ke ruangan. Mereka yang ngasih tau siapa pelaku utama di balik hilangnya enam orang itu dan alasan mengapa keenam orang itu menghilang. Mereka enggak mau kamu terseret semakin dalam ke dalam kegelapan. Jadi, daripada nutupin kebusukan kamu, mereka memilih membeberkannya dengan sebuah syarat."

"Mereka siapa? Syarat apa?"

"Tirta, Zahran, dan seorang alumni yang lulus dengan nilai sempurna, Kei Yudistira."

Dirga memicing. "Kei?"

"Syaratnya adalah penyesalan kamu. Seandainya kamu menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan kamu lagi, pihak sekolah akan mempertahankan kamu dengan pertimbangan perubahan kamu dalam waktu singkat ini sebelum kelas tiga lulus. Seandainya tadi di ruangan itu kamu enggak menyesal atau pun merasa kematian mereka adalah sebuah kebenaran, kemungkinan terburuknya adalah ... kamu dikeluarkan dari sekolah dan berpotensi masuk penjara."

Dirga terdiam. Bahkan tanpa sepengetahuannya, teman-temannya bekerja di balik layar untuk membantunya. Tak seperti anak tongkrongan, Mantra adalah representasi dari sebenar-benarnya keluarga.

Mereka yang baik adalah mereka yang berdiri paling depan untuk menampar kita ketika kita salah. Adalah mereka yang memberitahu kebenaran tentang kesalahan yang kita perbuat agar kita memperbaiki. Bukan mereka yang mendukung kesalahan kita menjadi pembenaran dan berakhir menutupi busuknya kita agar kita merasa tenang. Sebab ketenangan sejati muncul ketika kita berhenti mengharapkan dan mulai menerima.

Kini ia memejamkan mata menahan pilu yang tercipta dari kebodohannya sendiri. Sedari awal Dirga memiliki Mantra, tapi ia merasa tak memiliki apa pun. Lagi dan lagi, air matanya luruh bersama pilu itu. Meskipun ia tenggelam begitu dalam, teman sejati tak membiarkannya mati di dalam dasar kegelapan. Bagaimana pun caranya, mereka akan datang menyelamatkan.

"Kamu punya teman-teman dan keluarga yang baik, Dirga. Bapak harap kamu mau berubah demi mereka yang berharap kamu berubah. Jangan buat mereka kecewa, karena kita enggak akan pernah tau sampai kapan orang-orang baik itu akan bertahan di sisi kita."

"Harga yang harus dibayar dari kehadiran seseorang yang berharga adalah ego kita sendiri," gumam Dirga mengutip kata-kata Chica. "Mulai detik ini, saya Dirga Martawangsa berjanji akan menjadi pribadi yang lebih baik. Bukan demi siapa pun, tapi demi diri saya sendiri."

Setelah itu, ia dan kepala sekolah kembali ke sekolah.

***

Beberapa hari lalu.

Kilog memegang pistol menodong ke arah Pikray. Matanya menatap Dirga yang berjalan pergi.

"Dirga!" teriak Pikray. "Jangan bunuh gua!"

"Gua enggak punya masalah sama lu, tapi maaf lu harus mati di tangan gua," ucap Kilog.

Begitu Dirga keluar, Kilog hendak membunuh Pikray, tapi tiba-tiba seseorang melesat ke arahnya dan mencengkeram lengan Kilog. Untuk sesaat mereka saling beradu tatap.

"Berlutut."

Kilog tiba-tiba merinding dan berlutut dengan tubuh gemetar. Mata biru itu membuatnya ketakutan hingga bawah sadarnya terpaksa mengikuti ucapan tersebut.

Kei merebut pistol di tangan Kilog dan menembakkannya sebanyak enam kali ke arah kosong untuk mengelabuhi Dirga.

Kini Abet menatap pria berambut ikal dengan kemeja putih dibalut rompi cardigan biru muda itu. Khodamnya berbisik untuk tidak berurusan dengan pria tersebut.

Meskipun bertubuh kecil dan bermata sayu, tetapi aura yang menyelimutinya penuh kengerian.

Abet menghela napas dan berjalan meninggalkan area bangunan. Meninggalkan Kilog dan keenam anak Adinata itu bersama seorang monster.

Kei Yudistira. Kini ia menatap keenam orang itu dengan mata birunya.

"Akui kesalahan kalian di kantor polisi dan jangan pernah ganggu Dirga lagi," tuturnya.

"Siapa lu?" tanya Donay yang kini dipenuhi rasa takut.

Kei berjalan ke arahnya. "Khusus buat lu. Akuin semua rencana bejat lu dan bilang kalo semua kejahatan yang Dirga lakuin itu adalah rencana lu. Gua perintahin lu buat merasa bersalah selamanya atas semua perbuatan lu."

Begitu Kei selesai bicara, keenam orang itu sontak diam dengan tatapan kosong.

"Oi, buka ikatan tali mereka," ucap Kei pada Kilog. Ia menunjukkan sebuah lencana. "Ini perintah polisi."

Dengan gemetar Kilog bangkit dan mengikuti perintah Kei untuk melepaskan ikatan keenam orang itu. Setelah terlepas, mereka pun langsung berdiri dan jalan berbaris pergi dari tempat itu.

"Me-mereka mau ke mana?" tanya Kilog.

"Kantor polisi," jawab Kei singkat.

***

Kembali pada waktu yang seharusnya.

Senja hadir kembali. Dirga yang sudah kembali ke sekolah pun terduduk hingga mentari hampir tenggelam. Ia menjadi siswa terakhir yang berada di sekolah.

"Begini rasanya jadi orang terakhir di sekolah? Kamu pasti kesepian, kan?"

Dirga bangun dan berjalan keluar dari kelas. Ia berjalan seorang diri hingga melewati gerbang sekolah.

Untuk sesaat ia berhenti di depan warung. Dalam imajinasinya, ia menatap dirinya sendiri dan anak tongkrongan yang sedang membunuh waktu dengan guyonan. Lalu ia menoleh dan menatap sosok Chica yang hadir dalam pikirannya. Gadis itu berjalan hingga posisinya kini sejajar dengan Dirga.

"Dirga," ucap Chica.

Dirga kembali menoleh ke arah warung. Kini ia menatap dirinya sendiri yang sedang tersenyum memandang ke arah Chica.

"Gua cabut duluan ya." Pemuda itu bangun dan menghampiri Chica.

"Ayo makan kue rangi!" ajak Chica.

"Ayo," jawab Dirga. Pemuda itu meraih tangan mungil Chica dan berjalan bergandengan tangan.

Perlahan sosok mereka hilang ketika Dirga tersadar dari lamunannya. Ia pun melanjutkan langkah menuju jalan raya. Ketika hendak menyebrang, lagi-lagi Dirga menatap ilusi gerombolan anak sekolah lain yang sedang nongkrong.

Dari arah belakangnya, sosok dirinya berjalan melewati Dirga diikuti Chica.

"Jalan terus ...," lirih Dirga.

Chica berjalan sambil memegangi seragam pemuda itu. Namun, pada satu titik Chica berhenti.

"Jangan takut. Kalo gua ditahan, lu jalan terus, jangan nengok ke belakang ...."

Dirga tersenyum dan kembali melangkah menabrak bayang-bayang masa lalunya. Kini ia sadar, bahwa tingkatan cinta yang paling tinggi ialah mengikhlaskan.

Setiap jalan di sudut kota ini penuh dengan aroma Chica yang semakin memudar. Setiap langkah penuh nostalgia, tapi sejatinya masa lalu adalah guru terbaik kehidupan. Tidak ada lagi air mata. Kini Dirga lebih memilih tersenyum dan menikmati semua kenangan yang masih terasa hangat itu.

Langkahnya membawa Dirga pada halaman luas Bon Voyage. Namun, senyum itu mendadak pudar. Dirga berlari cepat ketika melihat banyak mobil besar dan orang-orang berpakaian project.

Tak jauh di depan, terlihat Tirta, Uchul, Andis, Tama dan Ajay.

"Tirta!" seru Dirga.

Tirta menoleh. Ada perban di wajahnya akibat pukulan terakhir Dirga. Namun, yang miris adalah, kembarannya itu sedang menitihkan air mata.

"Dir, Bon Voyage ...."

Area Bon Voyage kini akan menjadi area pembangunan. Tempat itu akan menjadi sebuah apartemen.

"Bangsat!" Dirga hendak maju, tetapi Tirta menahannya.

"Semua barang-barang udah gua angkut ke rumah paman. Kita harus sadar kalo tanah ini bukan punya kita. Bukan salah mereka kalo mereka mau ngolah tanah ini. Gua juga marah dan sedih, tapi sejak awal daerah ini bukan punya kita."

Dirga mengepal keras tangannya. Ia menatap bayang-bayang tujuh anak kecil yang sedang bermain menemani bus tua kuning kesepian itu. Bon Voyage bukan sekadar istana Mantra dan tempat tinggal Dirga. Ia adalah salah satu teman berharga.

"Selamat tinggal," gumam Andis menitihkan air mata.

"Semoga perjalananmu menyenangkan," sambung Uchul.

"Selamat jalan," timpal Ajay.

"Sampai berjumpa lagi," sahut Tama.

Bon voyage merupakan sebuah frasa bahasa Prancis yang dipinjam ke dalam bahasa Inggris. Biasanya diterjemahkan sebagai "selamat tinggal", "semoga perjalananmu menyenangkan", "selamat jalan", dan "sampai berjumpa lagi".

Lagi-lagi sesuatu yang berharga dari Dirga kembali hilang, dan lagi-lagi pria itu dihadapkan dengan ketidakberdayaan.

Di tengah kesedihan itu, mereka saling merangkul sambil menyaksikan kematian Bon Voyage. Dengan mesin berat, bus kuning tua itu dihancurkan begitu mudahnya.

"Seenggaknya di lokasi ini bakal jadi apartemen. Bon Voyage bakal jadi tempat tinggal beneran buat banyak orang," ucap Andis. "Makasih, Dir ... selama ini lu udah jagain mobil tua itu dan jadiin dia tempat lu pulang."

"Bertahun-tahun mobil itu enggak ke mana-mana, dan sekarang dia pergi jauh. Perjalanan kita masih panjang, kita harus terus melangkah maju," balas Dirga. Ia memutar arah. "Tirta ... ayo kita pulang ke rumah paman. Banyak ucapan maaf yang harus dia denger."

Tirta tersenyum. Ia dan para Mantra berjalan pergi meninggalkan padang rumput itu. Mungkin hari ini merupakan hari terakhir mereka pergi ke tempat itu.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top